You are on page 1of 5

E.

Eksistensi program pendidikan kewarganegaraan dalam kerangka kurikulum


Beberapa persoalan yang hendak kita jawab untuk menempatkan pendidikan
kewarganegaraan, meliputi:
1. Penpendidikan macam apakah pendidikan kewarganegaraan itu
2. Bagaimana posisi programatik pendidikan kewarganegaraan terhadapprogram pendidikan
nasional
3. Adakah signifikasin aspek kurikuler pendidikan kewarganegaraan dengan aspek kurikuler
yang di kembangkan dalam dunia persekolahan.

1. Karakteristik pendidikan kewarganegaraan

a. PKN sebagai pendidikan nilai dan moral


Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini diarahkan pada pembentukan
manusia Indonesia yang berkualitas, yakni manusia yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, cerdas, terampil berbudi pekerti luhur, kreatif, inovatif dan bertanggung jawab
terhadap pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan keberadaan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), yaitu mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa
Indonesia. Nilai-nilai moral yang luhur tersebut diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk
perilaku sehari-hari siswa, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Depdiknas,1990).
Dalam Kaitan itu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan
membentuk kepribadian warga Negara yang baik (desirable personal qualities) selaras dengan
jiwa dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. PKn harus mampu membekali kompetensi peserta
didik terhadap pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan
(civic ethic atau civic disposition) (KBK,2001). Dengan demikian sangat potensial disebut
sebagai pendidikan nilai dan moral.
Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value, diartikan sebagai harga, penghargaan, atau
taksiran.Maksudnya adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu obyek.Obyek yang
dimaksudkan di sini bisa berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, perilaku, peristiwa dan
lain-lain. Dengan demikian seseorang dapat berbicara tentang nilai sebuah rumah, nilai dari
sebuah tanda penghargaan, nilai dari kehadiran seorang pemimpin di tengah-tengah rakyatnya,
nilai dari peristiwa pembakaran pencuri sepeda motor yang tertangkap, nilai dari penyerangan
para pejuang di markas tentara colonial dan lain-lain.
Manusia dalam hubungannya dengan sesame, dan alam semesta, selalu mengadakan
penilaian. Sikap menilai dari manusia terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik
materill (jasmaniah) maupun spiritual (rohaniah) selalu dihubungkan dengan kemanfaatan
(kegunaan) dari segala sesuatu bagi manusia , baik secara langsung aspek-aspek yang terdapat di
dalam dirinya, yakni aspek rasio (cipta), rasa, karsa dan budi nurani.
Menurut Widjaja (1985) menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan membanding-kan
antara sesuatu dengan sesuatu yang lain (sebagai standard), untuk selanjutnya mengambil
keputusan. Keputusan itu dapat berupa baik atau buruk, benar atau salah, indah atau tidak indah,
berguna atau tidak berguna dan sebagainya.
Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang kongkrit, yang hanya bisa
difikirkan, dipahami, dan dihayati.Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-
hal lain yang bersifat batiniah.Nilai adalah suatu kualitas, bukan kuantitas.Nilai adalah sesuatu
yang bersifat ideal, bukan factual. Nilai berkaitan dengan das sollen (apa yang seharusnya),
bukan das sein (apa yang senyatanya), (Muchson, 2002).
Sedangkan kata moral , sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989), yang
menjelaskan kata moral sebagai sinonim dengan akhlak, budi pekerti, atau susila. Menurut
Wijaya (1985), moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak).
Sementara itu menurut Ghazali (1994), akhlak (sebagai padanan kata moral) adalah views about
good and bad, right and wrong, what ought or ought not do(Djahiri, 1992). Dalam konteks
yang lain, kata moral juga sering digunakan sebagai pengganti kata mental atau spirit. Konsep
moral tidak bisa dilepaskan dengan nilai.Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak
dapat dipisahkan, apalagi dalam konteks pendidikan. Berbicara tentang perilaku baik tidak baik,
manusia bermoral, ajaran baik dan buruk dan sebagainya, tidak dapat dilepaskan dengan norma
dan nilai sebagai kriteria, indicator untuk mengidentifikasi perilaku manusia yang baik dan tidak
baik.
Nilai merupakan sesuatu yang paling dasar, sesuatu yang bersifat hakiki, esensi, intisari,
atau makna yang terdalam (Muchson, 2002).Sebagaimana telah dikemukakan, nilai adalah
sesuatu yang abstrak, yang berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang
bersifat ideal. Agar hal-hal yang bersifat abstrak itu menjadi kongkrit, dan apa yang menjadi
harapan itu menjadi kenyataan, maka diperlukan formulasi yang lebih kongkrit. Formulasi yang
lebih kongkrit dari nilai itu berwujud norma dengan berbagai jenisnya.
Norma yang berisi perintah atau larangan, didasarkan pada suatu nilai, yang dihargai atau
dijunjung tinggi, karena dianggap baik, benar, atau bermanfaat bagi umat manusia atau
lingkungan masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara nilai dengan norma dapat
dinyatakan bahwa nilai merupakan sumber dari suatu norma. Norma merupakan aturan-aturan
atau standar penuntun tingkah laku agar harapan-harapan menjadi kenyataan. Agar lebih jelas
dapat dicontohkan bahwa kejujuran merupakan suatu nilai dan larangan menipu atau anjuran
untuk bersikap jujur (fair play dalam olahraga misalnya) merupakan suatu norma. Demikian pula
halnya dengan kebersihan yang merupakan suatu nilai dan anjuran membuang sampah di tempat
sampah atau larangan membuang sampah di sembarang bilamana anda membuang bungkus
permen di sembarang tempat (moral), berarti anda melanggar norma kesusilaan, serta melanggar
nilai kebersihan.
Adapun moral dalam pengertian sikap dan perbuatan yang baik, akhlak, budi pekerti,
watak, tabiat adalah merupakan perwujudan dari suatu norma. Perlu dikemukakan kembali
bahwa moral juga dapat dipahami dalam tataran nilai, sehingga disebut nilai moral, serta dapat
pula dipahami dalam tataran norma, sehingga disebut nilai moral. Dengan demikian secara
hirakhis dapat dikemukakan bahwa nilai merupakan landasan dari norma, selanjutnya norma
menjadi dasar penuntun dari moral atau sikap dan perbuatan yang baik.(Rochmadi, 2008).

b. PKn sebagai pendidikan untukmenjadi (educational for be coming)


Eksistensis pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan untuk menjadi, berhadapan
pada tiga masalah yakni: sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral dan pendidikan budi pekerti
(etik education). Dalam kaitan itu, fungsi ketiga pendidikan tersebut mutlak di perlukan bagi
pendidikan kewarganegaraan. Ketiganya mengundang persoalan tersendiri bagi pendidikan
kewarganegaraan, untuk bias berkipra dalam dunia pendidikan dan pengajaran di Negara kita.
Berkaitan dengan ketiga masalah tersebut diatas, bisajadi timbul suasana tarik menarik
antara bidang studi (matakuliha) dalam berebut kapling pendidikan dan pengajaran, yang pada
gilirannya tidak akan menguntungkan bagi peserta didik. Yang pasti, kesadaran akan pendidikan
nilai, molar dan budi pekerti mutlak di perlukan dalam mendapatkan pendidikan
kewarganegaraan dalam kerangka piker nasional.
magatrens kehidupan yang ingin di kembangkan oleh bangsa dan Negara Indonesia
dewasa ini (terutama dalam alam reformasi menuju format Indonesia baru) di pusatkan pada
persoalan demokratisasi, supremasi, dan kepastian hokum serta hak asasi manusia. Ketiga
persoalan bangsa dan Negara tadi di harapkan mampu membantu menemukan jati diri dan
sekaligus mengangkat martabat bangsa dan Negara Indonesia dalam konstelasi bangsa-bangsa di
duania (global).
Pendidikan kewarganegaraan hendaknya juga memfokuskan ruang geraknya pada sekitar
trens diatas, dengan orientasi garapannya sebagai Laboratorium demokrasi. Dengan orientasi
ini, pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu menggodok persoalan kedaulatan rakyat
yang senada dengan posisi Negara Indonesia sebagai Negara demokrasi.

c. PKn sebagai wahana pengembangan daya nalar dan berfikir kritis peserta didik
Stanlay E. Dimond(1970), dalam civic for citizens, menegaskan bahwa salah satu
indikator warganegara yang baik adalah sala satu sebagi seorang pemikir. Dengan demikian
pendidikan kewarganegaraan harus di posisikan sebagai wahana pengembangan daya nalar
subjek atau peserta didik.
Halpen (dalam arief achnhad 2007), menegaskan bahwa berfikir Kristi bahwa
meberdayakan keterampilan atau strategi komunitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut
dilalui setelah menentukan tujuan,mempertimbangkan, dan mengacuh langsung kepada sasaran
merupakan bentuk berpikir yang perlu di kembangkan dalam rangka memecahkan masalah,
merumuskan kesimpulan, mengumpulakan berbagai kemungkinan, dan membuat kepurusan
secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat.
Pendapat senada dikemukakan oleh Anggelo (1995). Ia mengatakan berfikir kritis adalah
mengaplikasikan rasional, kegiatan berfikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis
,menyintesis, mengenal permasalahan dam pemecahannya, menyimpulkan , serta melakukan
penilaian terhadap sesuatu yang sedang dijadikan objek berfikirnya.
Melalui pendidikan kewarganegaraan, dapat dibangun sebuah penalaran rasional peserta
didik (warga Negara) yang mampu terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan baik
dalam instusi pendidikan maupun dalam masyarakatnya. Di sini tampak pula letak pentingnya
program pendidikan kewarganegaraan (srbagai pendidikan politik warga Negara) yang
ditunjukan untuk mengembangkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban individu sebagai
warga Negara.

d. PKn sebagai laboratorium demokrasi dan pemberdayaan civil socty


1. PKn sebagai laboratorium demikrasi
Sebagai laboratorium demokrasi pkn, harus di perankan sbagai wahana pertemuan
penggodogan perbedaan yang melekat pada diri warganegara menuju kesepakatan, komitmen
yang saling memberdayakan. Pendidikan kewargaannegaraan, sebagai bagian integral dari
bidang pendidikan social, pada dasarnya memiliki fisi dan misi pengembangan Democratic and
believs (NCSS, 1992) atau rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, yang oleh
lickona (1992) di tegaskan sebagai respect and responcibiliti, dan diyakininya sebai inti dari
karakter warga Negara yang cerdas dan baik. Menurut welton dan mallan (dalam winata
putra1999) secara ontologism bidang pendidikan social memusatkan perhatian pada things
social, yaitu segala yang menyangkut kehidupan manusia sebagai masyarakat, yang memiliki
sifat multi dimensional, holistic dan pekah terhadap prubahan oleh karna itu para digma bidang
pendidikan social termasuk pendidikan kewarganegaraan perlu melihat secar holistic dan kontek
tual tataran idela, instrumental dan peraksis kehidupan bermasyarakat bangsa dan bernegara serta
bermasyarakat global.

2. PKn sebagai wahana pemberdayaan civil societe


Konsep civil societe, memiliki atribut adanya sikap dan tindakan warga yang bebas
dari tindakan kekerasan. Dalam masyarakat keberadaan atau madi, terkandung konsep
adanya pengakuan dan penerimaan terhadap kebinekaan, baik etnik, agama, ras dan
golongan, kesemuanya di tempatkan secara equalitas atau kesederajatan. Dalam hubunganya
dengan civil societe, langen berg (1996) mengklasifikasi antara lain terdiri dari kelompok-
kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, bisnis, partai politik, organisasi
keagamaan, provesi, perdagangan, media, seni, kelompok local,keluarga, dan perkumpulan
kekerabatan.
Tugas utama pendidikan kewarganegaraan adalah memberikan pencerahan informasi
tentang hubungan antara Negara dengan warga Negara. Hal ini senada dengan konsep
pendidikan kewarganegaraan yang senang tiasan beri komitmen dalam mengajarkan
keragaman latar kebudayaan peseta didik (warganegara) sebagai kekuatan dalam
membentuk sikap warga Negara.

3. Pendidikan kewarganegaraan memiliki posis strategis dalam kerangka kurikulum


persekolahan.
Secara kurikuler, penyelenggaran pendidikan nasional berdasarkan pancasila,
disadari tidak hanya cukup jika hanya diwakilkan pada bidang studi atau mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan (PKn) atau pendidikan kewarganegaraan ( civic educations
atau citi zens hips education). Bidang-bidang studi lain pada dasarnya memiliki bidang
yang sama terutama dalam mengajarkan nilai-nilai idiologis dan moral pancasila dan
nilai-nilai kostitusif UUD 1945 sebagai hokum dasar Negara yang tertinggi. Oleh karna
itu, tidak di benarkan adanya upaya memutar balikan fakta, bahwa hanya ada satu bidang
studi (Misalnya pendidikan kewarganegaraan) yang mendominasi serta melakukan klain
paling berkompoten untuk mengajarkan nilai-nilai dan moral luhur bangsa Indonesia.
Masing-masing bidang studi dalam kurikulum sekolah hendaknya disikapi sejajar dan
memiliki konstribusi yang sama dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

You might also like