You are on page 1of 10

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Dasar Penegakan Diagnosis


4.1.1 Resume
Tn. F diantar kakeknya datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen tanggal 7
September 2017 pukul 20.45. Pada pukul 19.00 WIB Tn. F mengalami KLL
antara sepeda motor dengan sepeda motor. Pasien datang dalam keadaan kaki
kanan luka robek, sadar, nyeri berat (+) skala 9, dapat mengingat kejadian, namun
tanpa disertai mual (-) dan muntah (-). Luka pada kaki kanan terbuka dengan nyeri
yang memiliki pola menetap, dan kualitas tajam. Nyeri semakin memberat apabila
Tn. F melakukan aktivitas dan dapat berkurang apabila diberi kompres panas.
Pada pemeriksaan primary survey didapatkan Airway: tidak ada gangguan
jalan nafas, Breathing : Pernafasan 22x/mnt, Circulation: tekanan darah 130/70
mmHg, Nadi; 86x/mnt, Disability : GCS E4 V5 M6 , Exposure: Suhu 36,5 oC.
Pada pemeriksaan secondary survey didapatkan status lokalis regio pedis dextra,
Look: Tampak open wound (+) dengan ukuran 4 x 5 cm pada regio dorsal dan
plantar pedis dextra, fraktur tendon extensor digitorum longus II III pedis dextra
(+), deformitas (+), bleeding (+), hematom (+), skin degloving (+) 15 x 10 cm,
Feel : tenderness (+), krepitasi (+), swelling (+), neurovaskular distal pada a.
dorsalis pedis (+) teraba kuat, neurovaskular distal pada a. tibialis posterior (+)
teraba kuat, motoris dan sensoris dalam batas normal, Move: Range of Movement
(ROM) terbatas pada regio ankle dan pada digiti II dan III pedis dextra.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis sebesar 18.020
cell/cmm. Pemeriksaan foto rontgen menunjukkan adanya diskontinyuitas pada
regio medial metatarsal II III. Pada metatarsal II didapatkan diskontinyuitas
berbentuk kominutif dan pada metatarsal III didapatkan diskontinyuitas berbentuk
oblique dan tampak adanya soft tissue swelling pada bagian lateral.
4.1.2 Prinsip Penegakan Diagnosis
Diagnosis pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Hasil Anamnesis (Subjective)

17
18

a. Adanya riwayat trauma (post KLL)

b. Nyeri

c. Sulit digerakkan

d. Deformitas

e. Bengkak

2. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Penegakan diagnosa fraktur dapat dipastikan apabila terdapat tanda deformitas,


krepitasi, dan false movement dari pemeriksaan fisik. Berikut adalah hasil
pemeriksaan fisik lokalis yang didapatkan dari pasien

a. Inspeksi (look):Pada pedis dextra tampak adanya luka terbuka dengan


ukuran 4 x 5 cm, fraktur tendon extensor digitorum, deformitas,
perdarahan, hematom, dan pengelupasan kulit 15 x 10 cm.
b. Palpasi (feel):Terdapat nyeri tekan, krepitasi, pembengkakan, namun
neurovaskular pada bagian distal, motoris, dan sensoris tidak terganggu.
c. Gerak (move):ROM pada region ankle dan digiti II III terbatas.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, maka 3 tanda pasti fraktur terpenuhi dan
diagnosa dapat ditegakkan.
Pada pasien ini didapatkan luka terbuka yang luas dan disertai oleh kerusakan
jaringan hingga tendon extensor digitorum longus II III pedis dextra tanpa ada
kerusakan neurovaskular distal yang dibuktikan dengan a.dorsalis pedis dan
a.tibialis posterior masih positif dan teraba kuat pada saat dilakukan perabaan.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang penunjang yang digunakan pada pasien ini meliputi
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan foto rontgen.

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini ditujukan untuk melihat riwayat penyakit yang pernah
diderita pasien sebagai salah satu tahap perencanaan sebelum dilakukannya
operasi. Pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan hanya beberapa
pemeriksaan yang berkaitan dengan kondisi pasien saat dilakukan operasi.
19

Pemeriksaan leukosit termasuk dalam pemeriksaan darah lengkap.


Pemeriksaan ini ditujukan untuk melihat apakah pasien berada dalam
kondisi infeksi, mengingat adanya fraktur terbuka pada pasien ini sangat
rentan menimbulkan infeksi. Pada pasien ini didapatkan leukositosis
sebesar 18.020 cell/cmm yang menunjukkan adanya infeksi. Infeksi dapat
disebabkan karena luka yang terbuka sehingga terdapat kontaminasi dari
luar. Namun, infeksi yang dialami pasien belum tergolong infeksi berat
yang dapat mengarah pada terjadinya sepsis, dimana kondisi tersebut dapat
ditunjukkan dengan leukositosis >20.000 cell/cmm.
b. Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi yang di rekomendasikan adalah
menggunakan penampakan pedis AP, lateral, dan oblique. Penampakan lain
yang dapat digunakan adalah penampakan kontralateral dan gambar
stress/weight bearing. Pemeriksaan CT dapat berguna apabila curiga
mengarah pada Lisfranc injury. MRI atau bone scan dapat digunakan untuk
mendeteksi fraktur yang tidak terlihat atau yang disebabkan oleh stress.
Pada pasien ini, pemeriksaan yang digunakan berupa foto polos dalam
proyeksi AP untuk menunjang penegakan diagnosis fraktur.
4.1.3 Diagnosis Banding
1. Fraktur terbuka metatarsal II III pedis dextra dengan ruptur total tendon
extensor digitorum longus II III pedis dextra
Definisi: adanya diskontinyuitas tulang terbuka pada os metatarsal.
Diagnosis:
- Adanya riwayat nyeri (jika curiga fraktur dikarenakan adanya stress)
- Adanya riwayat trauma
- Gejala klinis: nyeri, ketidakmampuan mempertahankan berat tubuh
- Pemeriksaan fisik: pada look ditemukan ketidaksejajaran garis pedis,
terdapat nyeri tekan lokal atau difus, evaluai soft tissue apabila terdapat riwayat
trauma. Evaluasi adanya overlapping atau malrotasi gerakan dan evaluasi
neurovaskuler dengan tes Semmes Weinstein Monofilament apabila terdapat
kecurigaan neuropati perifer.
- Pemeriksaan radiologi
20

2. Lisfranc fracture II III pedis dextra


Definisi: Sebuah kondisi yang diakibatkan adanya gangguan atara persendian
os cuneiforme medial dan basis metatarsal II
Diagnosis:
- Gejala Klinis: nyeri berat, tidak dapat mempertahankan berat tubuh
- Pemeriksaan fisik: look and feel didapatkan adanya memar pada plantar
medial, bengkak pada midfoot, dan nyeri tekan pada sendi tarsometatarsal
- Tanda radiografi: diskontinyuitas pada garis basis medial metatarsal II
hingga sisi medial os cuneiforme, pelebaran celah antara ray pertama dan
kedua, sisi medial basis metatarsal IV tidak sejajar dengan sisi medial os
cuboideum pada foto oblique, pada foto lateral tampak subluksas basis dorsal
metatarsal, dan diskontinyitas garis medial column.
4.1.4 Diagnosis Kerja
Fraktur terbuka metatarsal II III pedis dextra dengan ruptur total tendon
extensor digitorum longus II III pedis dextra

4.2 Dasar Rencana Penatalaksanaan


Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur secara umum meliputi
recognize, reduction, retaining, dan rehabilitation. Berikut adalah penjabarannya,

a. Recognize/Mengenali
Pengenalan adanya fraktur didasarkan pada rangkaian penegakan diagnosis
seperti yang telah dijabarkan di atas. Pada anamnesa pasien ini didapatkan riwayat
trauma mekanik berat, sehingga tidak digolongkan pada fraktur patologis. Namun,
pada rekam medis tidak didapatkan data adanya anamnesa mengenai arah dan
posisi penderita ketika trauma terjadi atau yang biasa disebut Mechanism of Injury
(MOI).
Selain anamnesa, pemeriksaan umum untuk melihat adanya komplikasi juga
diperlukan. Pada pasien ini, tidak ditemukan adanya komplikasi seperti adanya
syok dan sepsis. Namun, adanya leukositosis dapat dimungkinkan adanya infeksi
yang cukup berat. Setelah pemeriksaan umum, pemeriksaan status lokalis
merupakan komponen penting untuk mengenali adanya fraktur dan penentuan
penatalaksanaan.
21

Apabila dari pengenalan dengan beberapa cara di atas ingin mengetahui lebih
lanjut mengenai fraktur, maka dapat dilaksanakan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi memiliki Rule of Two yang biasa
digunakan untuk standardisasi pengambilan foto, yaitu:
Two views: Foto mencakup 2 penampakan, yaitu foto AP/Lateral/Oblique.
Pada foto regio pedis, foto AP dan Oblique lebih sering digunakan. Hal ini
dikarenakan foto lateral akan menampakkan tulang yang saling bertumpuk.
Namun, pada pasien ini hanya dilakukan 1 foto AP.
Two joints: Foto harus meliputi sendi di atas dan di bawah regio fraktur.
Pada pasien ini, foto yang diambil telah menampakkan 2 sendi, yaitu sendi
tarsometatarsal dan sendi sinovial yang berada di antara metatarsal dan phalanges.
Two limbs: Foto diambil pada ekstremitas yang normal dan yang terkena
trauma untuk membandingkan adanya fraktur. Biasanya dilakukan pada fraktur
femur anak-anak. Pada pasien ini hanya dilakukan pada satu ekstremitas yang
terkena trauma, dikarenakan pedis sinistra tidak tampak adanya kelainan.
Two injuries: Foto diambil pada regio lain. Biasanya digunakan pada
fraktur femur yang memerlukan foto pelvis. Pada pasien ini hanya dilakukan foto
pada regio pedis karena fraktur tidak melibatkan regio lain.
Two occasions: Beberapa fraktur sulit dinilai segera setelah trauma. Oleh
karena itu, dibutuhkan satu atau dua minggu setelahnya untuk diambil foto agar
fraktur terlihat.
b. Reduction/Mengembalikan
Reduksi bertujuan untuk mengembalikan fragmen tulang sehingga posisi
menjadi adekuat dan alignment kembali normal sesuai posisi anatomis. Apabila
saat terjadi reduksi terdapat jarak antar ujung fragmen tulang, maka hal ini dapat
menyebabkan delayed union ataupun malunion. Fraktur yang melibatkan
permukaan sendi harus direduksi dengan sempurna agar tidak terjadi komplikasi
seperti arthritis degeneratif. Apabila terdapat keadaan seperti pergeseran yang
sedikit atau tidak ada, pergeseran tidak berarti, ataupun diperkirakan reduksi tidak
akan berhasil, maka reduksi tidak perlu dilaksanakan.
Metode untuk reduksi dibagi menjadi dua, yaitu reduksi tertutup dan terbuka.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
22

mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera


mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Reduksi tertutup: pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan


dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.Biasanya reduksi tertutup
dilakukan untuk fraktur dengan pergeseran minimal, fraktur pada anak, dan
fraktur yang stabil setelah direduksi dan diretensi dengan splint dan cast.

Reduksi terbuka/Operatif: Reduksi terbuka dilaksanakan atas beberapa


indikasi seperti ketika reposisi tertutup gagal, terdapat fragmen tulang
artikular yang memerlukan posisi reposisi yang akurat, maupun untuk
memasang traksi pada tulang yang fraktur. Pada pasien ini, karena mengalami
fraktur terbuka dan tidak stabil, maka dilakukan reduksi terbuka.

c. Retaining/Mempertahankan

Fragmen tulang harus diimobilisasi/dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran


yang benar sampai fragmen tulang terjadi penyembuhan dan menyatu sempurna.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan fiksasi. Teknik fiksasi
terdiri dari traksi kontinyu, cast splintage, functional bracing, fiksasi eksternal
dan fiksasi internal. Pada pasien ini yang digunakan adalah fiksasi internal. Hal ini
dikarenakan pasien memiliki salah satu indikasi fiksasi internal, yaitu fraktur
hanya dapat direposisi melalui operasi. Teknik yang dapat digunakan untuk
fiksasi internal meliputi wire, screw, plate, dan intermedullary nails. Pada pasien
ini, fiksasi menggunakan K-wire dan imobilisasi menggunakan back slab.

d. Rehabilitation/Rehabilitasi
Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan
normal pada bagian yang sakit, seperti memelihara gerak sendi, melatih kekuatan
otot, menurunkan edema dengan cara alat gerak dielevasi setelah berakhirnya
proses reduksi-retensi dan melakukan exercise (pergerakan aktif). Pergerakan
aktif dapat membantu melancarkan sirkulasi, mencegah perlekatan jaringan lunak,
23

dan membantu proses penyembuhan tulang. Rehabilitasi juga dapat berupa


mengontrol ansietas dan nyeri seperti meyakinkan pasien dan pengetahuanstrategi
manajemen nyeri. Diharapkan tahap rehabilitasi ini akan membantu pasien
kembali beraktivitas normalsecara bertahap dapat memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutik.
4.2.1. Dasar Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Penatalaksanaan fraktur terbuka dimulai ketika trauma sudah diidentifikasi
dengan baik dan sudah dilakukan resusitasi. Pada pasien ini, keadaan ketika
datang sudah dalam kondisi stabil sehingga hanya perlu dilakukan identifikasi
trauma. Berikut adalah beberapa tahap yang kemudian harus dilakukan ketika
berada di Instalasi Gawat Darurat (IGD):
1. Antibiotik: injeksi antibiotik dan profilaksis harus dilakukan. Pada pasien
ini, ketika di IGD mendapatkan injeksi tetagam 250 IU yang merupakan
profilaksis tetanus. Hal ini berdasarkan pemilihan dosis tetanus, dimana
usia <5 tahun mendapatkan dosis 75 IU, usia 5 10 tahun 125 IU, dan >10
tahun mendapat 250 IU.
2. Kontrol perdarahan: penekanan dapat membantu mengontrol perdarahan
aktif.
3. Penilaian/Assessment: Penilaian terhadap soft tissue ditemukan adanya
pembengkakan pada bagian lateral pedis dextra dan adanya skin degloving
pada regio yang terkena trauma.
4. Dressing: Pembersihan debris kotor dari luka kemudian dibalut dengan
kassa steril yang telah diberi normal saline.
5. Stabilisasi: luka dibidai untuk mengurangi nyeri, mengurangi pergerakan
antar tulang yang fraktur, dan mencegah terjadinya gumpalan darah yang
mengganggu. Pengurangan nyeri juga dilakukan dengan injeksi ketorolac
30 mg 1 amp.
6. Terapi suportif: pasien juga mendapatkan terapi suportif berupa infus
normal saline dengan kecepatan 20 tpm. Cairan ini diberikan untuk
mengembalikan keseimbangan elektrolit yang banyak hilang karena
terjadinya perdarahan. Selain itu, injeksi ranitidin sebagai antagonis H2
24

juga diberikan untuk menghambat ulkus peptikum karena meningkatnya


sekresi asam lambung yang dapat disebabkan oleh obat-obatan yang
diberikan.
Setelah dari IGD, pasien mendapatkan tatalaksana berupa operasi. Berikut
adalah beberapa tahap yang kemudian harus dilakukan ketika berada di ruang
operasi:
1. Debridemen dan irigasi: penanganan ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi yang dalam. Irigasi dilakukan menggunakan salin.
Menurut tipe Gustillo, irigasi tipe I menggunakan salin 3 L, tipe II 6 L, dan
tipe III 9 L. Fragmen tulang yang tidak melekat pada soft tissuedapat
dihilangkan.
2. Stabilisasi fraktur: pada pasien ini, stabilisasi fraktur dilakukan dengan
menggunakan fiksasi internal K-wire.
3. Penutupan soft tissue atau penutupan luka
4. Pemberian antibiotik:
a. Tipe I dan II: Cephalosporin generasi 1
b. Tipe III: Cephalosporin generasi 1 dan aminoglikosida. Pada pasien ini
menggunakan cephalosporin generasi 2 yaitu cefuroxime (anbacim)
setelah dilakukan operasi. Pemberian antibiotik dilakukan hingga 24
jam.
Setelah tindakan operasi, pasien diberikan antibiotik cefixime 2 x 100 mg
untuk pencegahan infeksi lanjut post operasi dan diberikan natrium diclofenac 2 x
50 mg sebagai analgesik (Abbasi & Taylor, n.d.).
4.2.2. Dasar Penatalaksanaan Fraktur Metatarsal
Penanganan fraktur metatarsal dapat menggunakan non operatif maupun
operatif. Berikut adalah indikasi dari tatalaksana tersebut:
1. Non Operatif
Tindakan non operatif berupa sepatu dengan alas yang kaku atau
dengan sepatu yang diberi beban sesuai batas toleransi. Indikasinya berupa:
Fraktur tanpa pergeseran tulang metatarsal I.
Fraktur tertutup dengan pergeseran tulang minimal atau tanpa
pergeseran pada metatarsal II-IV.
25

Fraktur karena stress pada metatarsal II atau penyakit metabolik


yang memengaruhi tuang.
2. Operatif
Tindakan operatif dapat berupa perkutaneus atau reduksi terbuka dan
fiksasi. Indikasinya berupa:
Fraktur terbuka
Metatarsal I dengan pergeseran dan tanpa ditunjang oleh ligamen
intermetatarsal atau memengaruhi cara berjalan hingga 30 50%.
Metatarsal tengah dengan deformitas dengan penampang sagittal
lebih dari 10 derajat atau ada fraktur multipel.
Berdasarkan indikasi tersebut, maka pasien yang mengalami fraktur terbuka
dan fraktur multipel menjalani tatalaksana reduksi terbuka dan fiksasi internal
(Weatherford, n.d.).

4.3 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur metatarsal berupa malunion atau
kegagalan dalam penyembuhan penyambungan tulang. Apabila terjadi malunion,
pasien dapat mengalami metatarsalgia atau keratosis plantar sehingga hrus
dilakukan osteotomi untuk memperbaiki deformitas. Namun, pada pasien ini tidak
ada tanda-tanda terjadinya komplikasi, sehingga prognosis untuk pasien ini adalah
dubia ad bonam atau baik.

4.4 Rehabilitasi dan Pencegahan


Setelah back slab dilepas, pasien sebaiknya mendapatkan terapi rehabilitasi
berupa exercise untuk membantu mengembalikan pergerakan ekstremitas kembali
normal. Beberapa exercise yang dapat dilakukan seperti:
1. Ankle range of motion: Memutar-mutar regio ankle atau dengan menulis
alfabet menggunakan jari-jari kaki. Gerakan ini dapat mengurangi
kekakuan, pembengkakakn, dan juga meningkatkan aliran darah ke area
post fraktur.
2. Toe range of motion: Menggerakkan jari kaki ke atas dan ke bawah dan
mempertahankan posisi tersebut selama beberapa detik. Melebarkan jari-
26

jari kaki dan merapatkan jari-jari kaki masing-masing selama beberapa


detik.
3. Calf stretches: karena imobilisasi yang cukup lama, biasanya regio cruris
akan mengalami sedikit kekakuan. Untuk meregangakn otot
Gastrocnemius, berdiri dengan posisi kaki melebar, dan kaki terbentang di
bagian belakang. Tumit tetap berada di lantai dan lutut lurus saat badan
membungkuk ke dapan. Tahan posisi ini selama 20 30 detik. Sedangkan
untuk meregangkan otot Soleus, dengan posisi lebar kaki yang lebih
sempit, kedua lutut ditekuk seperti berusaha untuk jongkok dan tahan
selama 20-30 detik.
Selain latihan di atas, ada pula latihan untuk memperkuat otot-otot kaki,
seperti:
1. Towel pull: Letakkan beberapa handuk di depan pasien yang dalam posisi
duduk. Kemudian, pasien diminta untuk menarik handuk tersebut
menggunakan jari-jari kaki.
2. Pencil pick-up: Metode ini sama dengan metode towel pull hanya saja
menggunakan pensil. Pensil yang telah diambil menggunakan jari kaki
ditahan dalam waktu beberapa detik dan diulang sebanyak 10x.
3. Walking on tip toes: pasien diminta untuk berjalan dengan menggunakan
ujung jari sebanyak 10 15 langkah, dimana setiap langkah jarak yang
diambil lebih menjauh sedikit demi sedikit.
Adapun latihan yang digunakan untuk menyeimbangkan badan ketika berjalan
seperti single leg balance. Latihan ini dimulai dengan mencoba berdiri dengan
satu kaki yang terluka. Pastikan di sebelah pasien terdapat pegangan. Apabila
lebih dari 30 detik pasien dapat berdiri tanpa jatuh, maka latihan dapat dilanjutkan
lebih lama. Beberapa latihan di atas dapat dilakukan 2 3x dalam sehari.
Setelah dilakukan rehabilitasi, tentunya pasien diharapkan dapat mencegah
terjadinya kembali fraktur metatarsal. Pencegahan fraktur dapat dilakukan dengan
menghindari etiologi dari terjadinya fraktur metatarsal seperti adanya trauma baik
secara langsung maupun tidak langsung, tekanan/stress yang berlangsung lama,
ataupun karena fraktur patologis. Pada pasien ini, fraktur disebabkan oleh trauma
(KLL) sehingga pasien harus diedukasi untuk lebih berhati-hati ketika berkendara.

You might also like