Professional Documents
Culture Documents
HALIM AKBAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS
PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG
PEUTOE KABUPATEN ACEH UTARA
HALIM AKBAR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
LEMBAR PERNYATAAN
Halim Akbar
NRP A252030031
ABSTRACT
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 6 Juni 1967 dari ayah
H. Abubakar Siddik, BA dan ibu Hj. Halimah, BA. Penulis merupakan putra ke
dua dari lima bersaudara.
Pendidikan dasar penulis selesaikan pada tahun 1980 di SD Negeri 1
Meulaboh - Aceh Barat, pendidikan menengah pertama pada tahun 1983 di SMP
Negeri 1 Meulaboh - Aceh Barat dan pendidikan menengah atas penulis selesaikan
pada tahun 1986 di SMA Negeri 2 Banda Aceh. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, lulus pada tahun
1993.
Penulis pernah bekerja pada perkebunan dan pengolahan kelapa sawit PT.
Woyla Raya Abadi, kebun Alue Gani Aceh Barat mulai tahun 1994 2000 sebagai
staf lapangan.
Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi staf pengajar pada Fakultas
Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, dan tahun 2002 penulis
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi
Ilmu Pengelolaan DAS dengan beasiswa dari Direktorat Pendidikan Tinggi
(DIKTI) melalui jalur Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjud ul
Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan Di Daerah
Aliran Sungai Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.
Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Iskandar selaku komisi pembimbing
yang telah meluangkan waktu dalam memberikan arahan dan bimbingan serta
saran dalam penulisan tesis.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu
Pengelolaan DAS, atas bimbingan, arahan, dorongan semangat dan
bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.
3. Bapak Rektor Universitas Malikussaleh yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar.
4. Teman-teman kuliah, Aidamel Takalapeta, M.Si, Dahlan, M.Si, M.Rusdi,
M.Si, Bukhari, SP atas kerjasama dan bantuannya.
5. Ayahanda H. Abubakar Siddik, BA, Ibunda Hj. Halimah, BA, Mertuaku
Ibunda Henny Djuned dan Kakanda : Ir. Hadimusnamar, Adinda Halizarman,
ST, Halimuddin, A.Md, Arief Hidayat, A.Md atas segala bantuan, dorongan
dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 di IPB.
6. Istri dan Ananda tercinta : Isra Maisarra, A.Md, Muhammad Alif Rachman
dan Muhammad Fabyan Akbar atas izin dan pengorbanan yang tulus selama
penulis mengikuti pendidikan.
Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna bagi penulis dan pihak lain.
Halim Akbar
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL....................................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................................xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...... 1
Tujuan Penelitian ...... 3
Kegunaan Penelitian ........ 3
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ....... 4
Penggunaan Lahan ........ 5
Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan..........................................................7
Erosi dan Prediksi erosi ........ 12
Pembangunan dan Pertanian Berkelanjutan ......... 17
Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak...................................19
Halaman
6 Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah
di DAS Krueng Peutoe Periode 1993 2002.........................................................34
Halaman
Halaman
Latar Belakang
Pemanfaatan sumberdaya alam hutan, tanah dan air merupakan salah satu
modal dasar pembangunan nasional yang harus dilaksanakan berdasarkan asas
kelestarian dan manfaat secara nasional. Setiap pembangunan yang menyangkut
pengelolaan sumberdaya alam perlu direncanakan secara tepat dan terarah dalam
satuan daerah aliran sungai (DAS).
Saat ini di Indonesia hampir di seluruh bagian DAS pemanfaatannya
diperuntukkan untuk lahan pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, irigasi
dan eksploitasi hasil hutan, sebagian dari pemanfaatan tersebut kurang bahkan
tidak bijaksana sehingga menimbulkan kerusakan lahan (degradasi lahan).
Bila pengelolaan yang tidak sesuai tersebut tidak dibenahi, maka
peningkatan luas lahan kritis akan terus bertambah. Menurut Baharsja (1994
dalam Sinukaban 2001), saat ini luas ahanl tidak produktif diperkirakan sudah
mencapai 38 juta hektar atau 20% dari luas daratan Indonesia. Soenarno (2000)
dan Ditjen RRL (1999 dalam Nugroho et al. 2004) mengemukakan bahwa tahun
1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian
meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas lahan kritis
sebesar 12.517.632 ha dan tahun 2000 jumlah DAS kritis meningkat lagi menjadi
42 DAS kritis dengan luas lahan kritis sekitar 23.714.000 ha. Hal ini akibat
kondisi DAS di berbagai daerah cenderung memburuk dan tatanan keseimbangan-
nya dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Selanjutnya menurut Ditjen
1)
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan bahwa saat ini 59,3 juta ha dari total luas
hutan 120 juta ha dalam kondisi rusak (degradasi), akibat illegal logging, okupasi
lahan dan perambahan hutan.
Pertanian berkelanjutan merupakan sistem pertanian yang tidak merusak,
tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan (Salikin 2003).
Selanjutnya Hadisuparto (1998) mengatakan pengelolaan DAS yang berhasil
secara hidro-pedologis dapat dicirikan dengan terpeliharanya kesuburan tanah,
ketersediaan sumber air dan debit sungai yang cukup pada musim kemarau dan
aliran sungai yang tidak berlebihan (banjir) pada musim hujan.
1)
Harian Kompas 10 Juni 2006, halaman 10 kolom 1-3
DAS Krueng Peutoe dengan luasan 30.258 ha yang berada di Kecamatan
Lhoksukon, Cot Girek dan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara memiliki panjang
3 3
sungai 53 km dengan debit maksimum 7,74 m /det dan debit rata-rata 0,77 m /det
(Dinas Sumber Daya Air NAD 2004).
Penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe terdiri dari pemukiman 729 ha,
kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, hutan primer 11.628 ha dan
semak belukar 1.987 ha (Forum Remote Sensing dan GIS 2005).
Luas lahan kritis di DAS Krueng Peutoe saat ini seluas 2.500 ha (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Aceh Utara 2000). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan
masyarakat setempat yang masih menggunakan lahannya tidak sesuai dengan
kemampuannya, yaitu masih menggunakan tanah secara terus menerus (tanpa
bera), perladangan berpindah, membiarkan tanah terbuka tanpa vegetasi atau
tanpa menanami tanaman apapun di atasnya dan melakukan penebangan hutan di
daerah hulu. Hal inilah merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan
(pembentukan lahan kritis).
Berdasarkan hasil rekapitulasi keluarga miskin yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara, penduduk di Kabupaten Aceh Utara
memiliki persentase keluarga miskin 44,75 %. (Dinas Infokom Aceh Utara 2005),
sedangkan di lokasi DAS Krueng Peutoe jumlah KK miskin 1.815 KK (27,9%)
(BPS Kabupaten Aceh Utara 2003).
Kemiskinan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang relatif, yang dikaitkan
dengan tingkat pendapatan yang rendah atau tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
bagi kehidupan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan antara
lain disebabkan oleh produktivitas lahan yang rendah, lahan pertanian sempit,
harga hasil pertanian rendah dan kesempatan kerja diluar usaha tani atau
pendapatan di luar usaha tani sangat terbatas (Sinukaban 2001).
Penanggulangan kemiskinan di daerah hulu daerah aliran sungai, dapat
dilakukan dengan beberapa upaya, diantaranya : (1) rehabilitasi lahan yang tidak
produktif agar menjadi lebih produktif, (2) pengembangan kemampuan organisasi
masyarakat agar lebih mampu mengatasi masalah pemeliharaan produktivitas
lahan, (3) pengembangan modal di daerah pedesaan melalui penggunaan bahan
dan tenaga lokal dalam pembangunan sarana penanggulangan erosi dan (4)
peningkatan kemampuan manusia pedesaan melalui penyuluhan dan latihan
(Haeruman 1996).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu disusun perencanaan penggunaan
lahan berdasarkan kemampuan lahan yang berwawasan lingkungan dan
pemerataan pendapatan, agar nantinya sumberdaya alam di DAS Krueng Peutoe
dapat terpelihara secara berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
pengguna lahan dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan lahan, khususnya di
wilayah DAS Krueng Peutoe.
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh
pembatas topografi berupa punggung-punggung bukit atau gunung yang
menampung air hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya
melalui sungai utama (outlet) ke laut atau ke danau (Sinukaban 1995). Selanjutnya
Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di
dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling
berhubungan erat membentuk keseimbangan.
Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan
tanah (Asdak 1995).
Adapun tujuan pengelolaan daerah aliran sungai : (1) mengkonservasi tanah
pada lahan pertanian, (2) memanen/menyimpan kelebihan air pada musim hujan
dan memanfaatkannya pada musim kemarau, (3) memacu usahatani berkelanjutan
dan menstabilkan hasil panen melalui perbaikan pengelolaan sistem pertanian dan
(4) memperbaiki keseimbangan ekologi (hubungan tata air hulu dengan hilir,
kualitas air, kualitas dan kemampuan lahan dan keanekaragaman hayati) (ICRAF
2005).
Menurut Nugroho, Priyono dan Cahyono (2004) pengelolaan DAS
merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai
unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia
untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan
manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya
alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Terdapat tiga aspek yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS,
yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan air (water regime) dan sedimen.
Ketiga aspek tersebut dapat memberikan gambaran tentang kualitas sistem DAS
(Sing 1992).
Untuk mengetahui kemampuan DAS dalam merespon curah hujan yang
jatuh di atasnya adalah dengan mengamati perubahan koefisien alirannya. Besar
kecilnya perubahan koefisien aliran (run off coefficient) menunjukkan perubahan
kemampuan DAS dalam menerima dan melepaskan air sehingga dapat menjadi
gambaran keadaan vegetasi di atasnya. Berdasarkan selang waktu, dikenal tiga
macam koefisien aliran yaitu (1) koefisien aliran tahunan (annual yield
coefficient), (2) koefisien aliran sesaat (stromflow response) dan (3) koefisien laju
aliran (Todd 1980 dalam Baco 1997).
Menurut Sinukaban (1995) suatu pengelolaan DAS yang lestari memiliki
minimal tiga indikator utama, yaitu (1) pendapatan dan produktifitas masyarakat
di dalam DAS yang relatif tinggi, sehingga dapat mendisain kehidupan
keluarganya dengan layak, (2) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi
yang dapat ditolerir, serta (3) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan
dikembangkan oleh petani dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Selain itu
juga, kelestarian suatu ekosistem DAS dicirikan oleh kemapuan DAS untuk
mempertahankan produktivitasnya dari berbagai macam gangguan dan tekanan
yang masuk ke dalam ekosistem DAS tersebut baik secara alami ataupun dibuat
oleh manusia.
Secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam
pengelolaan DAS, yaitu (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih
produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
konservasi tanah dan air, (2) perlindungan terhadap lahan- lahan yang umumnya
sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor dan (3) peningkatan atau
pengembangan sumber daya air dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen
penyusun sistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-
proses hidrologi atau kualitas air (Asdak 1995).
Penggunaan Lahan
Agar penggunaan lahan dapat dilakukan sesuai dengan potensi yang ada,
maka sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan, yaitu suatu proses yang
berhubungan dengan penilaian kualitas lahan untuk suatu penggunaan tertentu,
termasuk interpretasi dan pelaksanaan survai dasar mengenai iklim, tanah,
vegetasi dan aspek-aspek lahan lainnya.
Kelas
Kelas merupakan tingkat yang ertinggi dan bersifat luas dalam struktur
klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor
penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII.
Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan
yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan
lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII
tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukan untuk usaha pertanian
diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya.
Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan
tanah disajikan pada Gambar 1.
Kelas Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat
Kemampuan
Lahan
Cagar Hutan Penggembalaan Garapan
Alam Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat
Intensif
I
Hambatan II
meningkat, III
kesesuaian
dan pilihan IV
penggunaan
lahan V
berkurang VI
VII
VIII
Kelas II
Kelas III
Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan
hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga
memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng
agak miring atau bergelombang (8 15%) berdrainase buruk, kedalaman sedang,
atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti
penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup
tanah disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan
kesuburan tanah.
Kelas IV
Kelas V
Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih
sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan.
Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu
tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya, atau terdapat liat
masam di dekat atau pada daerah perakarannya.
Kelas VI
Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim,
dikarenakan terletak pada lereng agak curam (30 45%). Tanah ini lebih sesuai
untuk padang rumput atau dihutankan. Jika profil tanahnya dalam dapat
digunakan untuk produksi pertanian (tanaman semusim atau tahunan) dengan
metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan
kombinasi metode vegetatif.
Kelas VII
Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani
tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Tanah ini
terletak pada lereng yang curam (45 65%) dan tanahnya dangkal, atau telah
mengalami erosi yang sangat berat. Namun dapat digunakan untuk padang
pengembalaan (rumput) terbatas, hutan produksi dengan upaya pencegahan erosi,
dan terbaik adalah untuk hutan lindung/suaka alam.
Kelas VIII
Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, terletak pada
lereng sangat curam (> 65 %) sebaiknya Tanah kelas VIII dibiarkan pada keadaan
alami, dan diperuntukkan sebagai hutan lindung atau suaka alam atau areal
rekreasi.
Sub Kelas
Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
Sub Kelas e w s c g
Unit
A = f ( C, T, V, S, H)
dimana :
C = iklim
T = topografi
V = vegetasi S
= tanah
H = manusia.
A= Rx Kx Lx S xC xP
dimana :
A = besarnya erosi (ton/ ha/tahun)
R = indeks erosivitas hujan
K = faktor erodibilitas tanah L
= faktor panjang lereng
S = faktor kemiringan lereng
C = faktor pengelolaan tanaman P
= faktor tindakan konservasi
DE - Dmin
ETol = + LPT
UGT
dimana :
ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)
DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd
De = kedalaman efektif tanah (mm)
fd = faktor kedalaman tanah menurut Sub Ordo Tanah
Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm)
UGT = umur guna tanah (tahun)
LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn)
Menurut Soekartawi (2002), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam
analisis finansial usahatani dan standar hidup layak, yaitu (1) penerimaan
usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.
Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut :
TR = Yi.Pyi
TC = S Xi.Pxi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan adalah data fisik hasil pengukuran di
lapangan dan data sosial ekonomi. Data sekunder yang digunakan adalah data
curah hujan 10 tahunan dari stasiun Meteorologi Malikussaleh, data kabupaten
Aceh Utara dalam angka, peta rupa bumi skala 1 : 50.000 lembar 0521-31, 0521-
32, 0520-63, 0520-64 (Bakosurtanal 1978), peta jenis tanah (Ditjen RLPS -
Departemen Kehutanan 2003), peta Land Use-Landsat 7 (Forum Remote Sensing
dan GIS 2005).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kerja (peta hasil
overlay), bor tanah, Abney level, kompas, ring sampel, pisau, cangkul, meteran,
kantong plastik, alat tulis menulis, kertas label, alat dokumentasi, GPS dan
seperangkat komputer PC.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai
yang terdiri atas empat tahap (Gambar 3), yaitu : (1) tahap persiapan yang
meliputi pengumpulan data sekunder dan pembuatan peta satuan lahan homogen,
(2) tahap survai pendahuluan, yaitu melakukan pengecekan lapanga n untuk
mengetahui keadaan lokasi penelitian, khususnya dalam penentuan plot
pengamatan pada satuan lahan homogen pewakil, (3) tahap survai utama meliputi
pengumpulan data biofisik dan data sosial ekonomi, dan (4) tahap analisis data
dan penyajian hasil.
Peta Jenis Tanah Peta Topografi / Kelas Lereng Peta Penggunaan Tanah
Tahap persiapan
Overlay Peta
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Survai Pendahuluan
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Evaluasi Penggunanan Lahan
Ya
Prediksi Erosi
Ya
Tahap ini merupakan tahap studi kepustakaan, yaitu meneliti dan mengkaji
pustaka yang telah ada tentang keadaan lahan di lokasi penelitian serta data
sekunder lainnya.
Salah satu sarana yang sangat penting untuk tahap ini adalah peta dasar,
yaitu peta hasil tumpang tindih (overlay) dari peta penggunaan lahan (Lampiran 2)
peta topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4). Peta ini digunakan
sebagai dasar untuk melakukan pengamatan di lapangan, dan penetapan faktor K,
LS, C dan P.
Survai Pendahuluan
Penentuan peta satuan lahan homogen adalah hasil tumpang tindih (overlay)
dari peta topografi (kelas lereng), peta jenis tanah dan peta penggunaan tanah,
sehingga didapat 17 satuan lahan homogen (Lampiran 5). Peta ini digunakan
sebagai peta dasar (peta kerja) untuk melakukan pengamatan di lapangan pada
plot pengamatan intensif pada satuan lahan homogen pewakil yang berjumlah 14
satuan lahan homogen.
Survai Utama
sehingga besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai
indeks erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :
12
R = S (EI30) i
i=1
dimana : R = faktor erosivitas hujan
dimana :
K = erodibilitas tanah
M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + debu)(100 - % liat)
a= % bahan organik
b= kode struktur tanah
c= kode permeabilitas profil tanah
dimana :
X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%)
Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) merupakan nisbah antara tanah yang
hilang pada pengelolaan tanaman tertentu dengan tanah yang hilang tanpa
tanaman. Nilai C ditentukan berdasarkan pengamatan lapangan dan wawancara
yang meliputi : sistem pertanaman, pemupukan, pemanfaatan sisa tanaman, cara
penanaman dan teknik perlakuan terhadap tanah serta penggunaan mulsa dan
kompos dengan mengacu pada nilai C hasil- hasil penelitian terdahulu. Daftar
nilai C tersebut disajikan pada Lampiran 8.
Penentuan Nilai Teknik Konservasi Tanah (P)
Nilai P merupakan nisbah besarnya erosi dari petak lahan dengan tindakan
konservasi tertentu (misalnya teras) terhadap besarnya erosi dari petak standar
tanpa penerapan tindakan konservasi. Nilai faktor P ditentukan berdasarkan
kondisi lapang dimana tidak saja tindakan konservasi tanah secara mekanik tetapi
juga berbagai usaha yang bertujuan mengurangi erosi tanah. Indeks konservasi
tanah ditentukan berdasarkan Lampiran 9.
DE - Dmin
ETol = + LPT
UGT
dimana :
ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)
DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd
De = kedalaman efektif tanah (mm)
fd = faktor kedalaman tanah menurut sub ordo tanah
Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm)
UGT = umur guna tanah (tahun)
LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn)
(Hammer 1981)
Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan yang
menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman ekivalen adalah kedalaman
tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang dengan 60% dari
produktivitas tanah yang tidak tererosi (Hammer 1981).
Nilai faktor kedalaman beberapa sub order tanah disajikan pada Lampian
10. Kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk beberapa jenis tanaman dan
pola tanam disajikan pada Lampiran 11. Adapun hubungan antara kedalaman
efektif tanah (D), kedalaman ekivalen (De) dan kedalaman minimum tanah yang
Analisis Usahatani
Letak Geografis
DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha merupakan bagian dari DAS
Jambo Aye. DAS ini berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, Propinsi
o o
Nanggroe Aceh Darussalam, terletak pada 96 5200 97 3100 Bujur Timur
o o
dan 04 4600 05 0040 Lintang Utara dan secara administrasi pemerintahan
meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Lhoksukon, Kecamatan Cot Girek dan
Kecamatan Matang Kuli. Luas masing- masing kecamatan disajikan pada Tabel 2
dan Peta Lampiran 1.
Tabel 2. Luas Wilayah Bagian DAS Krueng Peutoe pada Masing- masing
Kecamatan
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada DAS Krueng Peutoe meliputi : pemukiman 729 ha,
kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, semak belukar 1.987 ha dan
hutan primer 11.628 ha (Tabel 3 dan Peta Lampiran 2).
Jenis Tanah
Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses
pembentukan tanah disamping menentukan pertumbuhan dan produksi suatu
tanaman. Unsur iklim yang paling penting adalah suhu, curah hujan, kelembaban
udara, kecapatan angin, penyinaran matahari dan tekanan udara.
Kondisi iklim di lokasi penelitian didekati dari hasil pencatatan data iklim
selama 10 tahun (1993-2002) dari pantauan stasiun Meteorologi dan Geofisika
Malikussaleh, Kabupaten Aceh Utara (Lampiran 12). Analisis data klimatologi
dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya erosi dan potensi lahan
dalam pengembangan tanaman. Rata-rata curah hujan, hari hujan, bulan kering
dan bulan basah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan tahunan selama 10
tahun di lokasi penelitian adalah sebesar 1.354,9 mm/tahun, dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada Tahun 1993, yaitu 1.713 mm/tahun dan curah hujan terendah
terjadi pada Tahun 2002 yaitu, 853 mm/tahun.
Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah Di
DAS Krueng Peutoe Periode 1993 - 2002.
Tahun Curah Hujan Hari Hujan Bulan Kering Bulan Basah
(mm) (hari) (bulan) (bulan)
1993 1.713 111 - 8
1994 1.534 74 3 6
1995 1.527 95 5 4
1996 1.328 80 1 8
1997 1.102 75 3 3
1998 1.389 82 4 6
1999 1.149 95 3 6
2000 1.380 99 4 5
2001 1.574 113 4 5
2002 853 102 9 3
Suhu Udara
o
Suhu rata-rata di lokasi penelitian adalah 32,7 C, bulan dengan suhu udara
o
tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 34 C dan suhu udara terendah terjadi
o
pada bulan Januari dan Oktober sebesar 32 C. Dengan demikian suhu udara di
lokasi penelitian relatif sama pada setiap bulannya. Hasil analisis suhu udara
harian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata Temperatur Maksimum dan Minimum Di Kabupaten
Aceh Utara
No. Bulan o
Temperatur ( C)
07.00 13.00 18.00 Max Min
1. Januari 23,5 30,1 28,2 32,0 21,2
2. Februari 22,9 29,2 27,6 32,8 20,1
3. Maret 23,9 30,3 28,2 32,6 22,0
4. April 23,7 31,2 28,8 33,0 21,2
5. Mei 23,9 31,1 29,0 34,0 21,6
6. Juni 23,6 31,7 29,9 33,2 21,0
7. Juli 23,6 30,0 26,4 32,4 22,0
8. Agustus 23,4 31,6 29,2 33,8 21,8
9. September 23,5 29,9 28,2 32,2 22,0
10. Oktober 23,4 29,9 28,6 32,0 21,6
11. Nopember 23,3 29,6 27,9 32,2 21,0
12. Desember 22,8 29,4 27,7 32,2 21,0
Rata-rata 23,5 30,3 28,3 32,7 21,4
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofosika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006
Kecepatan Angin
Kelembaban Udara
Menurut data statistika desa, jumlah penduduk yang berada dalam wilayah
DAS Krueng Peutoe secara keseluruhan adalah 32.637 jiwa dengan kepadatan
2
penduduk 134,04 jiwa/km yang tersebar pada tiga kecamatan di DAS Krueng
Peutoe. Kecamatan Lhoksukon dengan jumlah penduduk 12.639 jiwa terdiri dari
2.523 kepala keluarga, kecamatan Cot Girek dengan jumlah penduduk 19.169
jiwa terdiri dari 3.834 kepala keluarga dan kecamatan Matang Kuli dengan jumlah
penduduk 829 jiwa terdiri dari 152 kepala keluarga. Secara rinci data jumlah dan
kepadatan penduduk per kecamatan disajikan pada Tabel 9.
Mata Pencaharian
Penggunaan Lahan
DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha terdiri atas lima jenis
penggunaan lahan, yaitu pemukiman, kebun campuran, perkebunan, semak
belukar dan hutan primer. Dari ke lima penggunaan lahan tersebut, ha nya empat
penggunaan lahan saja yang dilakukan pengamatan (tidak termasuk penggunaan
lahan untuk pemukiman), dan dari ke empat penggunaan lahan tersebut
penggunaan lahan yang dominan adalah hutan primer.
Berdasarkan survai dan pengamatan pada lokasi pene litian dapat dilihat
bahwa penggunaan lahan umumnya hampir seragam, yaitu tanaman tahunan yang
ditumpangsari dengan tanaman pangan dan tanaman hortikultura, terkecuali
penggunaan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit) yang ditanam secara
monokultur oleh perkebunan kelapa sawit PTP-Nusantara I.
Dilihat dari pola tanam yang ada saat ini beberapa petani setempat belum
maksimal memanfaatkan lahan pertanian yang ada. Hal ini dikaitkan dengan curah
hujan dan meningkatnya hama di lokasi penelitian. Dari data curah hujan yang
ada, dari bulan September sampai dengan Desember petani setempat melakukan
penanaman padi tadah hujan, selanjutnya pada bulan Januari sampai dengan
Agustus yang seharusnya petani melakukan penanaman tanaman pangan dan
hortikultura akan tetapi karena meningkatnya hama, maka lahan dibiarkan
terlantar begitu saja.
Di Kabupaten Aceh Utara pembangunan pertanian tanaman pangan selain
diarahkan pada peningkatan produksi, juga ditekankan pada upaya meningkatkan
pendapatan dan hasil petani, menciptakan kesempatan kerja produktif/padat karya
dan kesempatan berusaha di pedesaan serta usaha untuk meningkatkan ekspor.
Penggunaan lahan untuk kebun campuran di DAS Krueng Peutoe umumnya
ditanami tanaman pinang, kelapa, kakao yang ditumpang sari dengan tana man
kacang kedelai, jagung, kacang panjang, cabe dan kacang tanah.
Tanaman kedelai yang merupakan tanaman sub tropis dan telah beradaptasi
dengan daerah tropis untuk saat ini merupakan tanaman andalan di Aceh Utara
(termasuk di lokasi penelitian) karena tanaman ini dapat ditanam pada lahan
kering dan terbuka.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal sebaiknya kedelai ditanam
pada bulan-bulan yang agak kering, tetapi air masih cukup tersedia. Air diperlukan
pada awal pertumbuhan sampai masa pengisian polong. Kekeringan pada waktu
pertumbuhan vegetatif dapat menyebabkan tanaman akan tumbuh kerdil,
sedangkan kekeringan pada saat berbunga dan saat pengisian polong dapat
menurunkan hasil (Sumarno 1984).
Penggunaan lahan untuk perkebunan pada DAS Krueng Peutoe umumnya
ditanami dengan jenis tanaman : pinang, kakao, sebagian kopi dan karet dan
kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan PTPN- I kebun Cot
Girek.
Potensi perkebunan di Aceh Utara cukup menggembirakan terutama yang
berada di wilayah pedalaman dan wilayah pengembangan. Permasalahan yang
dihadapi saat ini justru sumber daya manusia petani, serta terbatasnya sarana dan
prasarana yang dimiliki sebagai penunjang pembinaan operasional lapangan.
Dalam rangka mendorong ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam
negeri, pengembangan komoditas perkebunan ke depan khususnya di kabupaten
Aceh Utara terus ditingkatkan dengan mengarahkan kepada pemanfaatan lahan
marginal, seperti lahan kering yang memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Kendala yang dihadapi
pada lahan marginal, yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas fisik yang
berkaitan dengan bentuk wilayah dan karakteristik tanah dan faktor kimia yang
cukup berat bagi pertumbuhan kelapa sawit. Pelaksanaannya dapat ditempuh
melalui upaya peningkatan produksi dengan (1) membuka areal baru dan
memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, (2) peremajaan, yaitu pergantian
tanaman tua, rusak dan tidak produktif dengan tanaman baru yang memiliki
potensi produksi lebih tinggi, (3) rehabilitasi tanaman, yaitu yang mengarah
kepada upaya pemulihan kemampuan produksi agar tanaman mampu
menghasilkan sesuai dengan standar produksi pada umur tertentu, (4) perbaikan
mutu hasil dan (5) penganekaragaman serta pemanfaatan lahan transmigrasi pola
perkebunan. Ini semua harus diikuti dengan tindakan konservasi tanah agar
mendapatkan produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Perkebunan Kelapa Sawit Cot Girek, yang berlokasi di Kecamatan Cot
Girek, merupakan unit usaha dari kebun PTP Nusantara I memiliki HGU 7.500
ha. Dari luasan tersebut areal yang efektif berproduksi hanya seluas 5.663 ha,
yaitu pada areal kebun plasma (PIR lokal). Pada awal dibukanya perkebunan
PTPN- I Cot Girek kebun ini ditanami dengan tanaman tebu, dan pada saat ini
tanamannya sudah dialihkan ke tanaman kelapa sawit. Peralihan tanaman tebu ke
tanaman kelapa sawit dimulai pada tahun 1986 dengan penanaman awal seluas
500 ha dan penanam terakhir pada tahun 1991 seluas 1.000 ha, dan direncanakan
untuk tahun 2006 akan dilakukan penanaman kelapa sawit seluas 1.000 ha.
Tanaman pinang hampir dijumpai di seluruh kecamatan. Hampir semua
kepala keluarga menanam tanaman pinang. Saat ini di Aceh Utara luas areal yang
ditanami pinang adalah 12.639 ha, dimana tanaman yang telah menghasilkan
9.152 ha, dan tanaman yang belum menghasilkan adalah 3.457 ha. Produksi
tanaman pinang tahun 2003 adalah 7.158 ton (Dinas Infokom Kabupaten Aceh
Utara 2005).
Tanaman kakao saat ini mulai banyak ditana mi, termasuk di Kecamatan Cot
Girek, Matang Kuli dan Lhoksukon. Hal ini terkait dengan salah satu program
terpadu pemerintah kabupaten Aceh Utara tahun 2005 yaitu program Massal
Coklatisasi. Program ini diterapkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) produksi migas
di Aceh Utara yang semakin hari semakin berkurang, (2) mata pencaharian
masyarakat Aceh Utara yang bersumber pada sektor pertanian (dalam arti luas),
(3) tersedianya sumber daya alam dalam bentuk lahan- lahan yang subur yang
belum dimanfaatkan secara optimal (4) memanfaatkan sumberdaya manusia yang
potensial melalui penciptaan lapangan kerja terutama para pemuda di pedesaan
yang nantinya dapat menekan angka pengangguran di pedesaan serta (5) komoditi
kakao merupakan komoditi ekspor yang cepat mengha silkan (2-3 tahun) dan
dapat dikembangkan pada semua jenis lahan.
Penggunaan lahan untuk semak belukar didominasi oleh alang-alang dan
tegakan pohon. Lahan ini berkembang pada lahan yang ditelantarkan akibat
penebangan hutan, perladangan berpindah dan sebab-sebab lainnya. Areal ini
cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala yang
dihadapi adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sedangkan penggunaan
lahan untuk hutan masih berupa hutan alami yang tertutup oleh berbagai jenis
semak dan serasah. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan dan jenis tutupan
lahan secara keseluruhan di DAS Krueng Petutoe dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Di
DAS Krueng Peuto
No. Penggunaan Jenis Jenis Tanaman
Lahan Tutupan Lahan
1. Kebun Campuran Tanaman semusim Jagung, kc.kedelai, cabe, kc. tanah,
dan tahunan kc.panjang, kakao, pinang.
2. Perkebunan Tanaman tahunan Kelapa sawit, kakao, dan Pinang
3. Semak belukar Semak belukar Alang-alang dan tegakan Pohon
campuran
4. Hutan Hutan alami Hutan alami
Hasil tumpang tindih (overlay) peta penggunaan tanah (Lampiran 2), peta
topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4) diperoleh 17 satuan
lahan homogen (SLH) (Lampiran 5). Sebanyak 14 SLH dijadikan sebagai lokasi
pengamatan intensif, yaitu kebun campuran SLH 14, 15, 16, 17 seluas 11.620 Ha
(56,5%), perkebunan SLH 8, 9, 10, 12 seluas 4.294 Ha (20, 9%), semak belukar
SLH 6, 7 seluas 1.987 Ha (9,7%) dan hutan SLH 1, 3, 4, 5 seluas 2.653 Ha
(12,9%). Luasan satuan lahan homogen untuk masing- masing penggunaan lahan
tersebut disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing- masing Penggunaan Lahan
yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe
(SLH) Ha %
1. Kebun Campuran 14, 15, 16, 17 11.620 56,5
2. Perkebunan 08, 09, 10, 12 4.294 20,9
3. Semak Belukar 06, 07 1.987 9,7
4. Hutan 01, 03, 04, 05 2.653 12,9
Jumlah 20.554 100,0
Sumber : Hasil Analisis Peta
KKL FPPL Sub SLH Penggunaan Lahan EPL LUAS Arahan Penggunaan Lahan
Kelas Ha % Menurut Kelas Kemampuan
II L1 II L1 15 Kebun campuran sesuai 3.951 19,2 Lahan garapan pertanian intensif untuk
kebun campuran
10 Perkebunan sesuai 1.709 8,3 Lahan garapan pertanian intensif untuk
perkebunan
III L2, e2 III L2,e2 16 Kebun campuran sesuai 4.350 21,1 Lahan garapan pertanian sedang untuk
kebun campuran
III L2 9, 12 Perkebunan sesuai 2.521 12,3 Lahan garapan pertanian sedang untuk
perkebunan
1, 5 Hutan sesuai 414 2,0 Lahan garapan pertanian sedang untuk
hutan
VI L4 VI L4 14 Kebun campuran tdk sesuai 2.634 12,8 Lahan penggembalaan sedang untuk
agroforestry
8 Perkebunan tdk sesuai 64 0,3 Lahan penggembalaan sedang untuk
agroforestry
3, 4 Hutan sesuai 2.239 10,9 Lahan penggembalaan sedang untuk
hutan
6, 7 Semak Belukar tdk sesuai 1.987 9,7 Lahan penggembalaan sedang untuk
padang pengembalaan
VII L5 VII L5 17 Kebun campuran tdk sesuai 685 3,3 Lahan penggembalaan terbatas untuk
agroforestry
Keterangan : KKL = Kelas Kemampuan Lahan, L = Lereng, e = Tingkat Erosi, FPPL = Faktor Penghambat Pengelolaan Lahan, EPL = Evaluasi Penggunaan Lahan
Lahan yang masuk ke dalam kelas VI (SLH 3, 4, 6. 7, 8, 14 ) memiliki
faktor pembatas lereng yang agak curam. Tanah kelas ini menurut kriteria
kemampuan lahan lebih sesuai untuk penggembalaan terbatas sampai dengan
sedang. Akan tetapi bila digunakan untuk lahan pertanian (SLH 8 dan 14)
diperlukan tindakan konservasi dengan metode pencegahan erosi yang berat
seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.
Lahan yang masuk ke dalam kelas VII (SLH 17) dengan kelerengan yang
curam memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Lahan kelas ini lebih sesuai
digunakan untuk penggembalaan terbatas, agroforestry, hutan produksi untuk
pencegahan erosi atau untuk hutan lindung.
Hasil penilaian penggunaan lahan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan lahan di lokasi penelitian yang sesuai digunakan untuk lahan garapan
pertanian adalah pada SLH 10, 15 yang memiliki topografi datar (lereng 0 8%)
dan pada SLH 1, 5, 9, 12, 16 dengan topografi bergelombang (lereng 8 15%).
Untuk SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 dengan topografi berbukit (lereng 25 45%)
berdasarkan kriteria klasifikasi kemampuan lahan sebaiknya digunakan untuk
penggembalaan dan bila digunakan untuk lahan garapan pertanian (SLH 8 dan
14), maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah dengan metode pencegahan
erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.
Pada SLH 17 yang mempunyai topografi curam (lereng > 45%) disarankan
untuk digunakan sebagai padang penggembalaan terbatas, termasuk agroforestry
sesuai dengan kelas kemampuan lahannya.
Tabel 15. Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan pada Lokasi
Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe.
Semak Belukar
Hutan
5. 1, 3, 4, 5 Hutan Alami E
Pendugaan erosi di DAS Krueng Peutoe dianalisis pada setiap titik contoh
yang terdapat pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) yang
menggunakan beberapa nilai parameter dengan menggunakan persamaan USLE.
Parameter-parameter yang ditentukan dalam perhitungan erosi adalah
erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), lereng (LS), pengelolaan tanaman (C)
dan pengelolaan tanah (P). Hasil perhitungan dan pengamatan menunjukkan
bahwa nilai parameter setiap titik contoh pada masing- masing satuan lahan
homogen menunjukkan bahwa nilai erosi yang sangat bervariasi.
Produksi pertanian yang cukup tinggi secara terus menerus dapat
dipertahankan apabila erosi pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH)
tersebut lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), dan bila erosi
lebih besar dari ETol maka produktivitas lahan akan segera menurun, sehingga
produksi yang tinggi hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja yang
akhirnya lahan pertanian tersebut menjadi tidak produktif atau bahkan menjadi
lahan kritis.
Faktor iklim terpenting yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah,
aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Air hujan yang jatuh menimpa tanah-
tanah yang terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi dan sebagian dari air
hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Nilai erosivitas
hujan (R) dihitung berdasarkan data curah hujan sepuluh tahunan di DAS Krueng
Peutoe (Lampiran 15), dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar
otomatik maka untuk menghitung nilai erosivitas hujan ditentukan berdasarkan
persamaan Lenvain (1975 dalam Asdak 1995) :
1,36
EI30 = 2,21 (CHm)
dimana :
EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit
(CHm) = Curah hujan bulanan
Besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai indeks
erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :
12
R = S EI30 i R = faktor erosivitas hujan
i=1
dari hasil perhitungan didapat nilai erosivitas hujan sebesar 756,56 cm.
Erodibilitas tanah (K) merupakan ukuran kepekaan tanah tererosi oleh air.
Nilai erodibilitas tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik,
permeabilitas dan kemantapan struktur tanah (Lampiran 16). Hasil perhitungan
untuk masing- masing unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan
disajikan pada Lampiran 17.
Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung
secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Kedua unsur topografi
tersebut (nilai LS) sangat mempengaruhi erosi dan aliran permukaan. Panjang
lereng (L) merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada
pengedapan atau aliran permukaan masuk ke saluran. Makin panjang lereng
permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran
permukaan semakin tinggi. Kemiringan lereng (S) sangat berpengaruh terhadap
aliran permukaan, dimana makin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan
semakin besar, dan jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan
butiran hujan juga semakin banyak. Hasil perhitungan nilai LS untuk masing-
masing unit lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Lampiran 18.
Nilai C dan P ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola tanam
dan tindakan konservasi dalam mengelola lahannya yang diterapkan oleh petani di
lapangan dengan berpedoman pada hasil penelitian nilai C dan CP yang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu (Lampiran 8 dan 9). Faktor C dan P
merupakan bagian dari penyebab erosi yang sangat dekat dengan aktifitas manusia
dan faktor inilah yang mungkin dapat dirubah ataupun diperbaiki.
Nilai C merupakan besaran yang menunjukkan perbandingan antara tanah
yang hilang akibat erosi per satuan luas dari lahan yang ditanamai dengan sistem
pengelolaan tertentu dengan tanah yang hilang. Efektifitas tanaman penutup tanah
dalam mengurangi laju erosi tergantung pada ketinggian, kerapatan tanaman
penutup tanah dan kerapatan perakaran.
Nilai P (teknik konservasi) merupakan besaran yang menunjukkan
perbandingan antara tanah yang hilang akibat erosi per satuan luas (ton/ha) pada
daerah yang menggunakan teknik konservasi. Nilai faktor P adalah satu bila lahan
tersebut tanpa tindakan konservasi (Lampiran 19).
Berdasarkan hasil perhitungan beberapa parameter dalam menghitung erosi
untuk tiap lokasi penelitian (kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan
hutan) maka didapat nilai erosi di tiap lokasi pengamatan intensif (Lampiran 20).
Perhitungan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (Lampiran 21) ditentukan
berdasarkan kedalaman efektif tanah, nilai faktor kedalaman sub order tanah,
kedalaman tanah minimum, bobot isi tanah, laju pembentukan tanah dan masa
pakai tanah. Perbandingan nilai prediksi erosi (A) dan ETol pada berbagai jenis
penggunaan lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan Etol pada Berbagai Penggunaan
Lahan dan Pola Tanam Aktual Di DAS Krueng Peutoe
Perkebunan
3. 8, 9, 10, 12 Tanaman tahunan C 2,91-315,37 26,26-38,15
Semak Belukar
4. 6, 7 Anakan dan tegakan pohon D 137,63-180,76 29,38-43,63
Hutan
5. 1, 3, 4, 5 Hutan Alami E 0,54-1,47 13,87-32,00
Analisis biaya dan pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah
pada pola tanam kebun campuran yang meliputi beberapa komponen diantaranya
tenaga kerja, bibit/benih, peralatan, pupuk dan pestisida. Sedangkan komponen
pendapatan meliputi produksi, total penerimaan dan pendapatan. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pendapatan petani yang bersumber dari usahatani dan
agroteknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kehidupan petani yang layak
dan berkelanjutan.
Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan
kebutuhan beras per kepala keluarga dan harga beras yang berlaku disuatu daerah.
Kehidupan layak bagi masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe yang masing-
masing keluarga terdiri dari 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dapat terpenuhi
jika memiliki pendapatan bersih setara dengan Rp 9.600.000 /kk/tahun (320
kg/orang/tahun x 2,5 (nilai indeks faktor pengali) x 5 orang x Rp 2.400 (harga
beras saat sekarang di lokasi penelitian) = Rp 9.600.000/kk/tahun). Nilai indeks
ini ditentukan oleh berbagai kebutuhan hidup petani dan keluarganya yaitu: biaya
konsumsi sehari- hari, perumahan, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan
tabungan.
Salah satu indikator untuk menilai tingkat produktivitas lahan dan tingkat
kesejahteraan bagi petani di suatu wilayah adalah berdasarkan pendapatan petani.
Semakin tinggi pendapatan petani maka semakin sejahtera petani tersebut. Untuk
itu perlu direkomendasikan pola tanam yang telah memberikan keuntungan dan
kesejahteraan bagi petani dan keluarganya.
Analisis finansial pada kebun campuran dilakukan untuk setiap satu siklus (1
tahun) pada masing- masing pola tanam yang diterapkan oleh petani. Pendapatan
yang diperoleh dari hasil usaha tani merupakan pendapatan kotor yang dikurangi
dengan biaya produksi (termasuk upah tenaga kerja dalam keluarga), sedangkan
pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan hasil penjualan yang didapat dari
semua sumber dalam usahatani.
Berdasarkan pola tanam aktual (Lampiran 22) yang diterapkan oleh petani
setempat, maka perlu dilakukan analisis finansial untuk mengetahui pendapatan
yang diperoleh petani dalam satu tahun. Hasil analisis biaya dan pendapatan
petani untuk pola tanam aktual pada kebun campuran disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Pola Tanam Aktual pada
Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe
Pendapatan Kotor (Rp/KK/Tahun) Total Pendapatan
SLH KKL KPT Biaya Dikeluarkan Bersih
Usahatani Usaha Lain -lain (Rp/KK/ha/thn) (Rp/KK/ha/thn)
Ternak
14 VI A1 5.775.000 2.962.000 1.350.000 4.949.000 5.138.000
15 II A2 7.925.000 3.137.000 1.650.000 5.073.000 7.639.000
17 VII A3 5.450.000 - - 3.349.000 2.101.000
16 III B1 3.150.000 - 1.450.000 3.846.000 754.000
Tabel 18. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Berbagai Pola Tanam
Alternatif pada Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe
8.323.800 10.267.200
Keterangan :
A1 : Pinang + Kedelai Kc.Tanah + Jagung/Cabe+usaha ternak ayam
+usaha lain
A2 : Kakao + Kc.Hijau Kedelai +Cabe+usaha ternak ayam+
kambing+usaha lain
A3 : Pinang + Kakao + Kedelai - Kc.Hijau+ternak ayam+ usaha lain
B1 : Padi Gogo + Jagung Jagung + Terong + Kedelai/Cabe+ternak
ayam+kambing+
usaha lain
(+) Tumpang sari, (/) Tumpang sisip, (-) Tumpang gilir
Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan untuk berbagai pola tanam
alternatif pada kebun campuran terlihat bahwa pendapatan petani meningkat bila
dilakukan dengan penerapan beberapa pola tanam seperti tumpang sari, tumpang
gilir atau tupang sisip yang disertai dengan penerapan agroteknologi yaitu
penerapan teknik konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud, penaman
menurut kontur serta pemberian mulsa. Sedangkan usaha tambahan yang perlu
dilakukan untuk peningkatan pendapatan adalah melalui usaha ternak (ternak
ayam dan kambing) dan pengolahan hasil pertanian seperti pembuatan keripik
pisang, kacang goreng, pisang goreng yang nantinya usaha tambahan ini dapat
mendukung keberhasilan usahataninya.
Berdasarkan informasi data yang telah di uraikan di atas, maka disusun suatu
pola tanam alternatif dan agroteknologi yang nantinya dapat diterapkan pada
lokasi penelitian.
Alternatif agroteknologi ditentukan dengan cara membandingkan besarnya
erosi yang terjadi (prediksi) dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol).
Diupayakan hasil prediksi erosi lebih kecil dari ETol dengan cara mensimulasikan
nilai C, P atau CP sehingga diperoleh alternatif agroteknologi atau pengelolaan
tanah dan tanaman yang terbaik.
Selain itu pemilihan alternatif pengelolaan tanah dan tanaman (penerapan
agroteknologi) di dasarkan atas pertimbangan keefektifannya dalam menekan
erosi dan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi petani. Teknologi yang
direkomendasikan harus dapat dilakukan petani dengan kondisi sumberdaya lokal,
dapat diterapkan dan diterima secara sosial budaya.
Jenis dan pola tanam yang direkomendasikan disesuaikan dengan kondisi
biofisik (aspek kesesuaian lahan), permintaan pasar dan dapat diterima oleh
petani. Oleh karena itu jenis tanaman yang direkomendasikan adalah jenis
tanaman yang sudah biasa diusahakan di lokasi tersebut. Lebih jelasnya pola
tanam dan agroteknologi yang direkomendasikan dapat di lihat pada Tabel 19 dan
Lampiran 29 dan 30.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan adalah
dengan membandingkan besarnya nilai erosi yang terjadi di lapangan dengan erosi
yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Apabila erosi yang terjadi lebih besar dari
nilai ETol maka dilakukan tindakan konservasi ya ng sesuai pada lahan tersebut
agar nantinya dapat mengurangi atau memperkecil erosi .
Penentuan teknik konservasi dilakukan dengan mengevaluasi nilai faktor
erosi yaitu nilai C (tindakan pengelolaan tanaman) dan nilai P (tindakan
konservasi). Dengan adanya perubahan pola tanam dan penerapan teknik
konservasi tanah diharapkan nilai erosi tidak melebihi nilai ETol. Teknik
konservasi yang akan diterapkan oleh petani juga harus berdasarkan kemampuan
dan kesesuaian lahan, terutama pada lahan- lahan yang memiliki lereng yang
curam sehingga didapat nilai erosi (A) yang tidak melebihi nilai ETol.
Tabel 19. Rekomendasi Alternatif Pola Tanam dan Agroteknologi Di Lokasi
DAS Krueng Peutoe
SLH Pola Tanam CP RKLS A ETol A vs ETol
dan Agroteknologi (ton/ha/thn) (ton/ha/thn)
Kebun Campuran
14 PN+Kedelai - KT+JG/Cabe+M+TG 0,012 310,79 3,73 28,28 <
15 KK+KH - Kedelai+Cabe+JG+M+TG 0,015 72,78 1,09 39,60 <
16 PG+JG - JG+TR+Kedelai/Cabe+M+TG 0,021 499,41 10,48 36,31 <
17 PN+KK+Kedelai-KH+M+TG+PMK 0,015 2.019,11 30,28 23,03 >
Perkebunan
8 PN+KK+NG+KLP+M+TG 0,015 630,74 9,46 26,26 <
9 KK+KP+NG+KLP+M+TG 0,015 346,88 5,20 26,40 <
10 KS+M+TB 0,13 29,05 3,78 38,15 <
12 KK+M+TB 0,08 265,55 21,24 29,60 <
Semak Belukar
6 Padang Pengembalaan 0,0025 602,52 1,51 43,63 <
7 Padang Pengembalaan 0,0025 458,78 1,15 29,38 <
Hutan
1 Agroforestry+TG 0,0021 171,59 0,36 13,87 <
3 Hutan dengan kerapatan tinggi 0,0012 1466,89 1,76 22,64 <
4 Hutan atau Padang Penggembalaan 0,0023 537,46 1,24 32,00 <
5 Agroforestry+TG 0,0021 138,45 0,29 17,14 <
Keterangan : PN = Pinang, KK = Kakao, NG = Nangka, KLP = Kelapa, KP = Kopi, JG = Jagung,
KT = Kc.Tanah, KH = Kc.Hijau, TR = Terong, PG = Padi Gogo, KS = Kelapa sawit,
M = Mulsa, TG = Teras Gulud, TB = Teras bangku, PMK = Penanaman menurut
kontur, (+) :Tumpang sari, (-) : Tumpang gilir, (/) : Tumpang sisip, SLH = Satuan
Lahan Homogen.
Tingkat erosi yang terjadi pada pola tanam aktual (Tabel 16) untuk
penggunaan lahan kebun campuran (SLH 15), penggunaan lahan perkebunan
(SLH 10 dan 12) dan penggunaan lahan hutan (SLH 1, 3, 4 dan 5) masih pada
tingkat ringan. Nilai erosi yang didapat (A) lebih kecil dari ETol, untuk itu teknik
konservasi yang disarankan adalah dengan pembuatan teras gulud, penanaman
menurut kontur, dan agroforestry (wanatani).
Salah satu fungsi dari pembuatan teras gulud adalah untuk mengurangi
panjang lereng, menahan air hingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah disamping itu
tenaga kerja yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan tipe teras lainnya.
Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran
permukaan serta agar guludan tidak mudah rus ak sebaiknya guludan diperkuat
dengan tanaman penguat teras.
Penanaman menurut kontur bertujuan untuk menghambat aliran permukaan,
yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah oleh
aliran permukaan. Penanaman menurut kontur akan lebih efektif bila diikuti
dengan penanaman tanaman penutup tanah atau tanaman pupuk hijau.
Sistem wanatani (agroforestry) merupakan sistem penggunaan lahan yang
mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus
menerus ataupun periodik yang secara sosial dan ekologis layak dikerjakan oleh
petani untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan
teknologi yang rendah.
Selanjutnya pada penggunaan lahan kebun campuran (SLH 14, 16), dan
penggunaan lahan untuk perkebunan ( SLH 8 dan 9) dikarenakan tingkat erosi
yang terjadi lebih besar dari erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk
itu disarankan untuk menerapkan teknik konservasi seperti pembuatan teras gulud,
penanaman menurut kontur, agroforestry (wanatani) dan pemberian mulsa,
sehingga di dapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (Tabel 19).
Pemberian mulsa merupakan salah satu teknik konservasi tanah yang cukup
efektif untuk melindungi tanah dari tumbukan energi kinetik hujan dan
mengurangi laju aliran permukaan sehingga laju infiltrasi akan meningkat.
Pemberian mulsa secara teratur dapat menjadikan struktur tanah yang gembur,
sehingga memungkinkan budi daya tanpa olah (no tillage) atau olah tanah
minimum (minimum tillage). Efektifitas mulsa dalan mengendalikan erosi sangat
tergantung kepada jenis mulsa, kuantitas (persentase) penutupan permukaan tanah,
tebal lapisan mulsa dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Sisa tanaman
yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi seperti
jerami padi, sorgum dan batang jagung (Suwardjo 1981).
Penggunaan lahan semak belukar (SLH 6 dan 7) dengan topografi berbukit
(25 45%), dikarenakan tingkat erosi yang terjadi lebih besar dari ETol, maka
penggunaaan lahannya direkomendasikan untuk padang penggembalaan yang
nantinya didapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (1,15 1,51 ton/ha/tahun)
Penggunaan lahan kebun campuran (SLH 17) dengan topografi curam (>
45%) memiliki nilai erosi 403,82 ton/ha/tahun. Setelah direkomendasi untuk pola
tanam alternatif dan agroteknologi, masih memiliki nilai erosi di atas nilai erosi
yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk itu penggunaan lahan kebun
campuran (SLH 17) direkomendasikan untuk penggunaan agroforestry.
Penggunaan lahan hutan (SLH 1 dan 5) dengan topografi bergelombang (9
11%) direkomendasikan untuk hutan atau agroforestry yang disertai dengan
pembuatan teras gulud. Selanjutnya penggunaan lahan hutan (SLH 3 dan 4)
dengan topografi yang curam (27 -43%) direkomendasikan untuk penggunaan
hutan.
Dengan dilakukan arahan penggunaan lahan di atas, diharapkan masyarakat
dilokasi penelitian membuat perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan di
DAS Krueng Peutoe berdasarkan kelas kemampuan lahannya dan tidak lagi
memanfaatkan lahannya diluar dari kelas kemampuan lahan yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
5. Penggunaan lahan untuk kebun campuran pada lahan kelas VII dengan
luasan 685 ha memiliki nilai erosi 403, 82 ton/ha/tahun, setelah dilakukan
perbaikan pola tanam dan agroteknologi masih memiliki nilai erosi yang
masih lebih tinggi dari ETol (30,28 ton/ha/tahun). Untuk itu lahan kelas
VII direkomendasikan penggunaan lahannya untuk agroforestry.
Saran
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara. 2003. Rekapitulasi Keluarga
Miskin Kabupaten Aceh Utara Tahun 2003.
Baco, L. 1997. Perencanaan Usahatani Lahan Kering Di Sub DAS Cimanuk Hulu
Kabupaten Garut Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Dent, D. and Young, A. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and
Unwin. London.
Dinas Infokom Kabupaten Aceh Utara. 2005. Data, Informasi dan Promosi Daerah
Aceh Utara.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Aceh Utara. 2000. Hasil Sensus
Pertanian 2000.
Dinas Sumber Daya Air Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2004. Buku Data.
[RSGIS Forum] Forum Remote Sensing and GIS Indonesia. 2005. Peta Land Use
NAD Landsat 7.
Hadisuparto, H. 1998. Perubahan Faktor Hidrologis Kawasan Hutan dan
Pengaruhnya pada Respon Aliran. Duta Rimba, Jakarta.
Haeruman, H. 1996. Upaya Pengentasan Kemiskinan di DAS Kritis. Prosiding
Kongres ke II dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia. Yogyakarta.
Hakim, N., Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A.M., Bailey, H.H.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen DAS. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. (diktat kuliah).
Nugroho, C., Priyono, S., Cahyono, S.A. 2004. Teknologi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai : Cakupan, Permasalahan, dan Upaya Penerapannya.
Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya
Lahan.
Pakpahan, A., Syafaat, N., Purwoto, A., Saliem, HP. 1992. Kelembagaan Lahan
dan Konservasi Tanah dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
___________. 1997. Konservasi Tanah dan Air (Materi Kuliah), Bogor, IPB.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta,
Yogyakarta.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air
dalam Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor.
Thompson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Second Ed. McGraw-hill Book Co,
Inc, New York.
Vadari, T., Subagyono, K., Sutrisno, N. 2004. Model Prediksi Erosi : Prinsip,
Keunggulan dan Keterbatasan. Prosiding Teknologi Konservasi Tanah Pada
Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Van der Poel dan Subagyono. K. 1998. The Use of USLE in The RTL Process.
National Watershed Management and Conservation Project, Bogor.
LAMPIRAN
MOHON MAAF,
TERIMA KASIH
Lampiran 6. Kelas dan Kode Struktur Tanah, Kelas dan Kode Permeabilitas Profil
Tanah, Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah.
Nilai K Kelas
Sumber :
1. Hammer (1981 dalam Sinukaban, 1989)
2. Abdulrachman, Sofiyah dan Kurnia, U (1984 dalam Sinukaban, 1989)
3. Pusat Penelitian Tanah (1984 dalam Sinukaban, 1989)
Lampiran 9. Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Tanaman CP
No Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Tanaman P dan CP Sumber
Sumber :
1. Hammer (1981 dalam Sinukaban, 1989)
2. Abdulrachman, Sofiyah dan Kurnia, U (1984 dalam Sinukaban, 1989)
3. Pusat Penelitian Tanah (1973 - 1981 dalam Sinukaban, 1989)
Lampiran 10. Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub Order Tanah
1. Aqualf 0,9
2. Udalf 0,9
3. Ustalf 0,9
4. Aquent 0,9
5. Arent 1,0
6. Fluvent 1,0
7. Orthent 1,0
8. Psamment 1,0
9. Andept 1,0
10. Aquept 0,95
11. Tropept 1,0
12. Alboll 0,75
13. Aquall 0,9
14. Rendoll 0,9
15. Udoll 1,0
16. Ustoll 1,0
17. Aquox 0,9
18. Hamox 1,0
19. Orthox 0,9
20. Ustox 0,9
21. Aquod 0,9
22. Ferrod 0,95
23. Hummod 1,0
24. Orthod 0,95
25. Aquult 0,8
26. Hummult 1,0
27. Udult 0,8
28. Ustult 0,8
29. Udert 1,0
30. Ustert 1,0
No. B u l a n 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH
Kebun Campuran
1. 14 t1 k1 L4 d1 p3 e2 b0 g0 VI VIL4
2. 15 t2 k0 L1 d1 p3 e0 b0 g0 II IIL1
3. 16 t2 k1 L2 d1 p3 e2 b0 g0 III IIIL2e2
4. 17 t1 k1 L5 d1 p2 e2 b0 g0 VII VIIL5
Perkebunan
5. 8 t1 k1 L4 d1 p3 e1 b0 g0 VI VIL4
6. 9 t1 k0 L2 d1 p1 e1 b0 g0 III IIIL2
7. 10 t1 k0 L1 d1 p3 e0 b0 g0 II IIL1
8. 12 t2 k0 L2 d1 p2 e1 b0 g0 III IIIL2
Semak Belukar
9. 6 t1 k0 L4 d1 p2 e2 b0 g0 VI VIL4
10. 7 t1 k1 L4 d1 p2 e2 b0 g0 VI VIL4
Hutan
11. 1 t1 k1 L2 d1 p3 e0 b0 g0 III IIIL2
13. 3 t1 k1 L4 d1 p2 e1 b0 g0 VI VIL4
14. 4 t1 k0 L4 d1 p3 e1 b0 g0 VI VIL4
15. 5 t1 k1 L2 d1 p3 e1 b0 g0 III IIIL2
Lampiran 15. Data Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir (1993 2002) di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara
Tahun B u l a n (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
1993 131 90 111 162 118 154 68 95 86 112 146 440
1994 45 233 64 101 141 46 62 94 149 262 287 50
1995 57 5 129 78 92 30 6 250 90 145 334 411
1996 85 150 17 118 130 121 138 135 86 64 124 160
1997 78 13 0 70 83 53 70 44 208 165 91 227
1998 64 41 27 40 105 126 111 157 21 77 247 373
1999 144 100 18 2 43 0 157 90 80 304 110 101
2000 189 15 93 0 62 184 52 55 263 228 192 47
2001 7 11 62 90 52 69 100 50 222 266 274 371
2002 125 161 51 49 58 56 45 31 43 59 120 55
Jumlah (mm) 925 819 572 710 884 839 809 1001 1248 1682 1925 2235
Rata-rata (cm) 9.25 8.19 5.72 7.1 8.84 8.39 8.09 10.01 12.48 16.82 19.25 22.35
EI30 (cm) 45.53 38.59 23.68 31.78 42.81 39.88 37.95 50.70 68.43 102.69 123.37 151.15
12
R = S EI30 i R = faktor erosivitas hujan
i=1
Nilai R = 45,53+38,59+23,68+31,78+42,81+39,88+37,95+50,70+68,43+102,69+123,37+151,15
= 756.56
Lampiran 16 Nilai Erodibilitas Tanah (K) pada Kebun Campuran, Perkebunan,
Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe
Kebun Campuran
1. 14 1,46 25,81 72,73 3,02 4 3 704,60 0,13
2. 15 4,55 57,52 37,93 3,72 4 4 3575,73 0,37
3. 16 5,00 56,96 38,04 2,12 4 4 3535,25 0,41
4. 17 3,44 36,00 60,56 3,00 4 5 1422,48 0,24
Perkebunan
5. 8 4,38 38,08 57,54 4,24 4 4 1620,48 0,21
6. 9 11,00 40,92 48,08 1,90 4 6 2135,68 0,35
7. 10 1,08 27,13 71,79 2,76 4 4 765,93 0,16
8. 12 5,27 53,18 41,55 2,66 4 5 3114,33 0,39
Semak Belukar
9. 6 9,49 36,09 54,42 6,39 4 5 1653,41 0,22
10 7 0,47 14,88 84,65 1,33 4 5 228,55 0,16
.
Hutan
11. 1 3,32 27,79 68,89 2,19 4 4 866,54 0,18
12. 3 1,52 35,35 63,13 3,68 4 5 1304,42 0,23
13. 4 1,22 33,25 65,53 3,31 4 3 1146,92 0,16
14. 5 1,00 32,13 66,79 3,95 4 3 1067,67 0,15
No. SLH Kemiringan Panjang Lereng Kedalaman Tingkat Tekstur Permeabilitas Drainase Batuan Banjir
Lereng (%) (m) Tanah (k) (cm) Erosi (e) (t) (p) (cm/jam) (d) (b) (g)
Kebun Campuran
1. 14 25 8 85 Sedang L 6,15 Baik Tidak ada Tidak ada
2. 15 2 45 120 Tidak Ada LLB 3,41 Baik Tidak ada Tidak ada
3. 16 10 42 130 Tidak Ada LLB 3,51 Baik Tidak ada Tidak ada
4. 17 47 10 90 Sedang L 0,98 Baik Tidak ada Tidak ada
Perkebunan
5. 8 26 11 95 Ringan L 6,21 Baik Tidak ada Tidak ada
6. 9 11 21 120 Ringan LB 0,31 Baik Tidak ada Tidak ada
7. 10 2 40 130 Tidak Ada L 2,17 Baik Tidak ada Tidak ada
8. 12 8 25 130 Ringan LLB 1,12 Baik Tidak ada Tidak ada
Semak Belukar
9. 6 27 8 120 Sedang L 1,16 Baik Tidak ada Tidak ada
10. 7 26 10 90 Sedang L 0,62 Baik Tidak ada Tidak ada
Hutan
1. 14 25 8 3,16
2. 15 2 45 0,26
3. 16 10 42 1,61
4. 17 47 10 11,12
Perkebunan
5. 8 26 11 3,97
6. 9 11 21 1,31
7. 10 2 40 0,24
8. 12 8 25 0,90
Semak Belukar
9. 6 27 8 3,62
10. 7 26 10 3,79
Hutan
11. 1 9 35 1,26
12. 3 43 8 8,43
13. 4 27 12 4,44
14. 5 11 18 1,22
Keterangan : SLH = Satuan Lahan Homogen
Lampiran 19. Nilai Faktor C dan P pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng
Peutoe
Kelas
SLH Kemampuan Pola Tanam dan Penutupan Lahan Aktual C P Penampakan pada permukaan
Lahan
Kebun Campuran
R K LS C P (ton/ha/thn)
Kebun Campuran
Perkebunan
Semak Belukar
9. 6 756,56 0,22 3,62 0,3 1,00 180,76
10. 7 756,56 0,16 3,79 0,3 1,00 137,63
Hutan
Perkebunan
5. 8 950 1,00 950 600 1,2 1,01 26,26 315,37
6. 9 1200 0,80 960 600 1,2 1,00 26,40 173,44
7. 10 1300 0,95 1235 600 1,2 1,02 38,15 2,91
8. 12 1300 0,80 1040 600 1,2 1,00 29,60 26,56
Semak Belukar
9. 6 1200 0,90 1080 300 1,2 1,01 43,63 180,76
10. 7 900 0,80 720 300 1,2 1,02 29,38 137,63
Hutan
11. 1 800 0,80 640 600 1,2 1,02 13,87 0,86
12. 3 950 0,90 855 600 1,2 1,02 22,64 1,47
13. 4 1100 1,00 1100 600 1,2 1,00 32,00 0,54
14. 5 900 0,80 720 600 1,2 1,02 17,14 0,69
Keterangan : D : Kedalaman efektif tanah
De : Kedalaman ekivalen (kolom 3 x kolom 4)
Dmin : Kedalaman minimum tanah
LPT : Laju pembentukan tanah
NFK : Nilai faktor kedalaman
BI : Bobot isi
MPT : Masa pakai tanah (250 tahun)
Lampiran 22. Komposisi Aktual Beberapa Pola Tanam pada Kebun Campuran dengan
Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai
Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng Peutoe
Total 2 12.712.000
Pendapatan bersih (Total 2 Total 1) 7.639.000
Lampiran 24. Analisis Usaha Ternak Ayam yang Dilakukan Oleh Petani Di DAS Krueng
Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)
1 2 3 4
Total (c) 1.780.000
Total I (a + b + c) 4.130.940
2. Pendapatan
1. Kacang kedelai Rp 2.500/kg x 150kg x 3 1.125.000
2. Cabe Rp 100.000/kg x 2 x 3 600.000
3. Pinang Rp 2.500/kg x 1400 kg 3.500.000
4. Kacang Tanah Rp 4.500/kg x 350 kg x 3 4.725.000
5. Jagung Rp 1.500/kg x 700 x 3 3.150.000
Kios Rp 115.000/bln x 12 1.380.000
Total 2 14.480.000
Pendapatan bersih (Total 2 Total 1) 10.349.060
Lampiran 27. Analisis Usaha Ternak Ayam yang Dilakukan Oleh Petani pada DAS
Krueng Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)
1. Biaya
Bibit 20 ekor Rp. 2.500 x 20 ekor 50.000
Pakan (dedak) 300.000
Biaya Kandang 45.000
Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000
2. Pendapatan 995.000
1. Biaya
Bibit 4 ekor Rp. 200.000 x 4 ekor 800.000
Pakan Rp. 250.000 250.000
Biaya Kandang 75.000
Tali Rp. 2.500 x 40 m. 100.000
Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000
2. Pendapatan 1.825.000
TERIMA KASIH
Lampiran 30. Nilai Faktor C dan P Alternatif pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS
Krueng Peutoe