You are on page 1of 113

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

BERBASIS PERTANIAN BERKELANJUTAN


DI DAS KRUENG PEUTOE KABUPATEN ACEH UTARA

HALIM AKBAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS
PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KRUENG
PEUTOE KABUPATEN ACEH UTARA

HALIM AKBAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : Perencanaan


Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan di DAS Krueng Peutoe
Kabupaten Aceh Utara adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan sebelumnya untuk kepentingan lain. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2006

Halim Akbar
NRP A252030031
ABSTRACT

HALIM AKBAR. Land Use Planning for Sustainable Agriculture in Krueng


Peutoe River Stream Area of North Aceh District. (under academic supervision of
KUKUH MURTILAKSONO, as chairman and ISKANDAR as member of
supervisiory committee).
The Krueng Peutoe is a sub watershed of the Jambo Aye watershed in North
Aceh District of Nanggroe Aceh Darussalam Province. The aims of this research
was to 1) evaluate the appropriateness of land use and land capability on Krue ng
Peutoe watershed, especially in the agricultural land, 2) plan of sustainable
agriculture land use on Krueng Peutoe watershed.
The survey method was applied in this research and consist of 1) map
overlay, 2) field survey, 3) evaluation and land capability classificatio n,
4) evaluation of cropping pattern and agrotechnology, 5) erosion prediction using
USLE method, 6) social economic analysis and 7) recommendation of cropping
pattern agrotechnology.
The result of land use appropriateness obtained the land capability
classification (KKL) II with slope limitation factor on Homogenous Land Unit
(SLH) 15 and 10, KKL III with slope limitation factor and erosion on SLH 16,
slope limitation factor on SLH 1, 5, 9,12, the KKL VI with slope limitation factor
on SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 and KKL VII with slope limitation factor on SLH 17.
The prediction of erosion in mixed garden was obtained 14,56 403,82
ton/ha/year and its value was larger than Tolerable Soil Loss (ETol) value (23,03
39,60 ton/ha/year). Its decreased land productivity and affected to the low
income of farmer (Rp 754.000 Rp 7.434.000/HH/year). After the reconstruction
of cropping pattern, agrotechnology and addition of other side job. Based on
calculation, its expected obtain the erosion value 1,09 30,28 ton/ha/year and
income increasing become Rp10.267.200 Rp12.441.060/ HH/year to fulfill the
basic living standard (> Rp 9.600.000/HH/year).
The recommendation on this research were : KKL II and III with land use for
mixed garden and plantation need a reconstruction of cropping pattern and
agrotechnology. KKL VI with land use for mixed garden and plantation needed
application of agrotechnology that was added with terrace strengthener plants and
planting based on contour. Land use for forest at the same class was recommended
as a forest, and land use for underbrush at the same class was recommended to be
shep herding savannah /shepherding field. KKL VII for mixed garden was
recommended to be agroforestry.

Key word : Land capability, land use, sustainable, watershed, agrotechnology.


ABSTRAK

HALIM AKBAR. Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian


Berkelanjutan Di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara. Dibimbing oleh
KUKUH MURTILAKSONO dan ISKANDAR.
DAS Krueng Peutoe merupakan bagian dari DAS Jambo Aye yang berada
dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tujuan dari penelitian adalah 1) mengevaluasi kesesuaian antara penggunaan
lahan dan kemampuan lahannya pada DAS Krueng Peutoe,
khususnya pada lahan pertanian, 2) menyusun rencana penggunaan lahan
pertanian yang berkelanjutan di DAS Krueng Peutoe.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode surva i, terdiri
atas 1) overley peta, 2) survai lapangan, 3) evaluasi dan klasifikasi kemampuan
lahan, 4) evaluasi pola tanam dan agroteknologi, 5) prediksi erosi dengan metode
USLE, 6) analisis sosial ekonomi, dan 7) rekomendasi pola tanam dan
agroteknologi.
Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan, didapat kelas kemampuan
lahan (KKL) II dengan faktor pembatas lereng pada Satuan Lahan Homogen
(SLH) 15 dan 10, KKL III dengan faktor pembatas lereng dan erosi pada SLH 16,
faktor pembatas lereng pada SLH 1, 5, 9 dan 12, KKL VI dengan faktor pembatas
lereng pada SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14, dan KKL VII dengan faktor pembatas lereng
pada SLH 17.
Hasil prediksi erosi pada kebun campuran didapat 14,56 403,82
ton/ha/tahun dan lebih besar dari ETol (23,03 39,60 ton/ha/tahun). Hal ini
mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas lahan dan dampaknya kepada
rendahnya pendapatan petani (Rp 754.000 Rp 7.434.000 /kk/tahun). Setelah
dilakukan perbaikan pola tanam, agroteknologi dan penambahan usaha sampingan
lainnya berdasarkan perhitungan didapat nilai erosi 1,09-30,28
ton/ha/tahun dan terjadi peningkatan pendapatan menjadi sebesar Rp 10.267.200-
Rp12.441.060/ kk/tahun sehingga dapat memenuhi standar hidup layak (>Rp
9.600.000 / kk/tahun).
Adapun hasil rekomendasi sebagai berikut : KKL II dan III penggunaan
lahan kebun campuran dan perkebunan perlu dilakukan perbaikan pola tanam dan
agroteknologi. KKL VI penggunaan lahan kebun campuran dan perkebunan perlu
dilakukan penerapan agroteknologi yang diikut i dengan penanaman tanaman
penguat teras dan penanaman menurut kontur. Penggunaan lahan untuk hutan
pada kelas yang sama direkomendasikan tetap sebagai hutan, sedangkan
penggunaan lahan untuk semak belukar pada kelas yang sama direkomendasikan
untuk padang penggembalaan. KKL VII untuk kebun campuran direkomendasikan
penggunaan lahannya untuk agroforestry.
Kata Kunci : Kemampuan lahan, penggunaan lahan, berkelanjutan, DAS, agroteknologi
Hak cipta milik Halim Akbar, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan


Di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.
Nama : Halim Akbar
NIM : A252030031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. Iskandar


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Pengelolaan DAS

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 9 Oktober 2006 Tanggal Lulus : 28 Desember 2006


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 6 Juni 1967 dari ayah
H. Abubakar Siddik, BA dan ibu Hj. Halimah, BA. Penulis merupakan putra ke
dua dari lima bersaudara.
Pendidikan dasar penulis selesaikan pada tahun 1980 di SD Negeri 1
Meulaboh - Aceh Barat, pendidikan menengah pertama pada tahun 1983 di SMP
Negeri 1 Meulaboh - Aceh Barat dan pendidikan menengah atas penulis selesaikan
pada tahun 1986 di SMA Negeri 2 Banda Aceh. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, lulus pada tahun
1993.
Penulis pernah bekerja pada perkebunan dan pengolahan kelapa sawit PT.
Woyla Raya Abadi, kebun Alue Gani Aceh Barat mulai tahun 1994 2000 sebagai
staf lapangan.
Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi staf pengajar pada Fakultas
Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, dan tahun 2002 penulis
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Pada tahun 2003 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi
Ilmu Pengelolaan DAS dengan beasiswa dari Direktorat Pendidikan Tinggi
(DIKTI) melalui jalur Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).
PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjud ul
Perencanaan Penggunaan Lahan Berbasis Pertanian Berkelanjutan Di Daerah
Aliran Sungai Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.
Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr. Ir. Iskandar selaku komisi pembimbing
yang telah meluangkan waktu dalam memberikan arahan dan bimbingan serta
saran dalam penulisan tesis.
Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku dosen penguji.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu
Pengelolaan DAS, atas bimbingan, arahan, dorongan semangat dan
bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.
3. Bapak Rektor Universitas Malikussaleh yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar.
4. Teman-teman kuliah, Aidamel Takalapeta, M.Si, Dahlan, M.Si, M.Rusdi,
M.Si, Bukhari, SP atas kerjasama dan bantuannya.
5. Ayahanda H. Abubakar Siddik, BA, Ibunda Hj. Halimah, BA, Mertuaku
Ibunda Henny Djuned dan Kakanda : Ir. Hadimusnamar, Adinda Halizarman,
ST, Halimuddin, A.Md, Arief Hidayat, A.Md atas segala bantuan, dorongan
dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 di IPB.
6. Istri dan Ananda tercinta : Isra Maisarra, A.Md, Muhammad Alif Rachman
dan Muhammad Fabyan Akbar atas izin dan pengorbanan yang tulus selama
penulis mengikuti pendidikan.
Akhir kata semoga tesis ini dapat berguna bagi penulis dan pihak lain.

Bogor, Desember 2006

Halim Akbar
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL....................................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................................xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...... 1
Tujuan Penelitian ...... 3
Kegunaan Penelitian ........ 3

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ....... 4
Penggunaan Lahan ........ 5
Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan..........................................................7
Erosi dan Prediksi erosi ........ 12
Pembangunan dan Pertanian Berkelanjutan ......... 17
Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak...................................19

BAHAN DAN METODE


Tempat dan Waktu.........................................................................................................21
Bahan dan Alat...............................................................................................................21
Metode Penelitian..........................................................................................................21

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN


Letak Geografis..............................................................................................................31
Penggunaan Lahan........................................................................................................31
Topografi..........................................................................................................................32
Jenis Tanah......................................................................................................................32
Iklim..................................................................................................................................33
Kependudukan dan Mata Pencaharian....................................................................36

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penggunaan Lahan........................................................................................................39
Klasifikasi Kemampuan dan Evaluasi Penggunaan Lahan..............................43
Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi...............................................................46
Prediksi Erosi..................................................................................................................49
Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Tani Pilihan............................................52
Rekomendasi Pola Tanam dan Agroteknologi......................................................56
Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan......................................................................................................................60
Saran..................................................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................62
LAMPIRAN..............................................................................................................................66
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan...................................................................25


2 Luas Wilayah Bagian DAS Krueng Peutoe pada Masing - masing
Kecamatan..........................................................................................................................31

3 Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Penggunaan Lahan 31

4 Keadaan Topografi dan Luas Penyebarannya di DAS Krueng Peutoe 32

5 Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Jenis Tanah...........................33

6 Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah
di DAS Krueng Peutoe Periode 1993 2002.........................................................34

7 Rata - rata Temperatur Maksimum dan Minimum di Kabupaten


Aceh Utara........................................................................................................................35

8 Rata - rata Tekanan Udara dan Kelembaban Nisbi di Kabupaten


Aceh Utara.........................................................................................................................36

9 Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Di DAS Krueng Peutoe..........................36

10 Jumlah KK Miskin Di Lokasi Penelitian..................................................................37

11 Jumlah Penduduk di DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Mata


Pencaharian........................................................................................................................38

12 Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi


Pengamatan di DAS Krueng Peutoe..........................................................................42

13 Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing masing Penggunaan


Lahan yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif di DAS
Krueng Peutoe..................................................................................................................42

14 Hasil Evaluasi Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran,


Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan...................................................................45

15 Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan


pada Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng Peutoe..................................48

16 Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan ETol pada Berbagai


Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Aktual di DAS Krueng Petoe .. 51
17 Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Pola Tanam Aktual pada
Kebun Campuran di DAS Krueng Peutoe...............................................................53

18 Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Berbagai Pola Tanam


Alternatif pada Kebun Campuran di DAS Krueng Peutoe................................55

19 Rekomendasi Alternatif Pola Tanam dan Agroteknologi Di Lokasi


DAS Krueng Peutoe......................................................................................................57
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema Hubungan Antara Kelas Kemampuan Laha n dengan


Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan..................................................................9

2 Skematis Klasifikasi Kemampuan Lahan.................................................................12

3 Diagram Alir Tahapan Pelaksanaan Penelitian.......................................................22

4 Batasan nilai D, De, dan Dmin....................................................................................29


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peutoe.................................................66

2 Peta Penggunaan Lahan di DAS Krueng Peutoe...................................................67

3 Peta Kelas Lereng di DAS Krueng Peutoe..............................................................68

4 Peta Jenis Tanah di DAS Krueng Peutoe..................................................................69

5 Peta Satuan Lahan Homogen di DAS Krueng Peutoe..........................................70

6 Kelas dan Kode Struktur Tanah, Kelas dan Kode Permeabilitas


Profil Tanah, Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah.........................................71

7 Nomograf untuk Menentukan Nilai K.......................................................................72

8. Nilai Faktor C dari Berbagai Tanaman dan Pengelolaan atau


Penggunaan Lahan..........................................................................................................73

9 Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Pengelolaan


Tanaman CP.....................................................................................................................75

10 Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub Order Tanah.........................................................76

11 Kedalaman Tanah Minimum yang Dapat Diterima dan Nilai Faktor


Penggunaan Lahan Berbagai Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan.....................77

12 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir (1993 2002) di DAS


Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara......................................................................78

13 Intensitas Faktor-Faktor Penghambat untuk Klasifikasi Kemampuan


Lahan...................................................................................................................................79

14 Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran,


Perkebunan, Hutan dan Semak Belukar..................................................................81

15 Data Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir (1993 2002)


di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara.....................................................82

16 Nilai Erodibilitas Tanah (K) pada Kebun Campuran, Perkebunan,


Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe...............................................83
17 Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Fisik di DAS
Krueng Peutoe..................................................................................................................84

18 Nilai Faktor LS pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak


belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe..............................................................85

19 Nilai Faktor C dan P pada Satuan Lahan Homogen yang


Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng
Peutoe..................................................................................................................................86

20 Hasil Prediksi Erosi pada Lokasi Pengamatan Intensif pada


Kebun Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan...............................87

21 Nilai ETol pada Lokasi Pengamatan Intensif Kebun Campuran,


Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peuto........................88

22 Komposisi Aktual Beberapa Pola Tanam pada Kebun Campuran


dengan Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang
Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng
Peutoe..................................................................................................................................89

23 Contoh perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran 90

24 Analisis Usaha Ternak Ayam yang dilakukan oleh Petani Di DAS


Krueng Peutoe (Perhitungan selama 1 Tahun)........................................................92

25 Komposisi Alternatif beberapa pola tanam pada Kebun Campuran


dengan Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang
Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng
Peutoe..................................................................................................................................93

26 Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran untuk


Pola Tanam dan Agroteknologi Alternatif pada SLH 14 untuk
Luas 1 Ha...........................................................................................................................94

27 Analisis Usaha Ternak Ayam (Perhitungan Selama 1 Tahun)..........................96

28 Analisis Usaha Ternak Kambing (Perhitungan Selama 1 Tahun) . 96

29 Peta Rekomendasi Penggunaan Lahan Di DAS Krueng Peutoe .. 97

30 Nilai Faktor C dan P Alternatif pada Satuan Lahan Homogen


yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS
Krueng Peutoe..................................................................................................................98
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanfaatan sumberdaya alam hutan, tanah dan air merupakan salah satu
modal dasar pembangunan nasional yang harus dilaksanakan berdasarkan asas
kelestarian dan manfaat secara nasional. Setiap pembangunan yang menyangkut
pengelolaan sumberdaya alam perlu direncanakan secara tepat dan terarah dalam
satuan daerah aliran sungai (DAS).
Saat ini di Indonesia hampir di seluruh bagian DAS pemanfaatannya
diperuntukkan untuk lahan pertanian, perkebunan, perikanan, pemukiman, irigasi
dan eksploitasi hasil hutan, sebagian dari pemanfaatan tersebut kurang bahkan
tidak bijaksana sehingga menimbulkan kerusakan lahan (degradasi lahan).
Bila pengelolaan yang tidak sesuai tersebut tidak dibenahi, maka
peningkatan luas lahan kritis akan terus bertambah. Menurut Baharsja (1994
dalam Sinukaban 2001), saat ini luas ahanl tidak produktif diperkirakan sudah
mencapai 38 juta hektar atau 20% dari luas daratan Indonesia. Soenarno (2000)
dan Ditjen RRL (1999 dalam Nugroho et al. 2004) mengemukakan bahwa tahun
1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian
meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas lahan kritis
sebesar 12.517.632 ha dan tahun 2000 jumlah DAS kritis meningkat lagi menjadi
42 DAS kritis dengan luas lahan kritis sekitar 23.714.000 ha. Hal ini akibat
kondisi DAS di berbagai daerah cenderung memburuk dan tatanan keseimbangan-
nya dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Selanjutnya menurut Ditjen
1)
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan bahwa saat ini 59,3 juta ha dari total luas
hutan 120 juta ha dalam kondisi rusak (degradasi), akibat illegal logging, okupasi
lahan dan perambahan hutan.
Pertanian berkelanjutan merupakan sistem pertanian yang tidak merusak,
tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan (Salikin 2003).
Selanjutnya Hadisuparto (1998) mengatakan pengelolaan DAS yang berhasil
secara hidro-pedologis dapat dicirikan dengan terpeliharanya kesuburan tanah,
ketersediaan sumber air dan debit sungai yang cukup pada musim kemarau dan
aliran sungai yang tidak berlebihan (banjir) pada musim hujan.
1)
Harian Kompas 10 Juni 2006, halaman 10 kolom 1-3
DAS Krueng Peutoe dengan luasan 30.258 ha yang berada di Kecamatan
Lhoksukon, Cot Girek dan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara memiliki panjang
3 3
sungai 53 km dengan debit maksimum 7,74 m /det dan debit rata-rata 0,77 m /det
(Dinas Sumber Daya Air NAD 2004).
Penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe terdiri dari pemukiman 729 ha,
kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, hutan primer 11.628 ha dan
semak belukar 1.987 ha (Forum Remote Sensing dan GIS 2005).
Luas lahan kritis di DAS Krueng Peutoe saat ini seluas 2.500 ha (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Aceh Utara 2000). Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan
masyarakat setempat yang masih menggunakan lahannya tidak sesuai dengan
kemampuannya, yaitu masih menggunakan tanah secara terus menerus (tanpa
bera), perladangan berpindah, membiarkan tanah terbuka tanpa vegetasi atau
tanpa menanami tanaman apapun di atasnya dan melakukan penebangan hutan di
daerah hulu. Hal inilah merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan
(pembentukan lahan kritis).
Berdasarkan hasil rekapitulasi keluarga miskin yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara, penduduk di Kabupaten Aceh Utara
memiliki persentase keluarga miskin 44,75 %. (Dinas Infokom Aceh Utara 2005),
sedangkan di lokasi DAS Krueng Peutoe jumlah KK miskin 1.815 KK (27,9%)
(BPS Kabupaten Aceh Utara 2003).
Kemiskinan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang relatif, yang dikaitkan
dengan tingkat pendapatan yang rendah atau tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
bagi kehidupan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan antara
lain disebabkan oleh produktivitas lahan yang rendah, lahan pertanian sempit,
harga hasil pertanian rendah dan kesempatan kerja diluar usaha tani atau
pendapatan di luar usaha tani sangat terbatas (Sinukaban 2001).
Penanggulangan kemiskinan di daerah hulu daerah aliran sungai, dapat
dilakukan dengan beberapa upaya, diantaranya : (1) rehabilitasi lahan yang tidak
produktif agar menjadi lebih produktif, (2) pengembangan kemampuan organisasi
masyarakat agar lebih mampu mengatasi masalah pemeliharaan produktivitas
lahan, (3) pengembangan modal di daerah pedesaan melalui penggunaan bahan
dan tenaga lokal dalam pembangunan sarana penanggulangan erosi dan (4)
peningkatan kemampuan manusia pedesaan melalui penyuluhan dan latihan
(Haeruman 1996).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu disusun perencanaan penggunaan
lahan berdasarkan kemampuan lahan yang berwawasan lingkungan dan
pemerataan pendapatan, agar nantinya sumberdaya alam di DAS Krueng Peutoe
dapat terpelihara secara berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi kesesuaian antara penggunaan lahan dan kemampuan


lahannya pada DAS Krueng Peutoe, khususnya pada lahan pertanian.
2. Menyusun rencana penggunaan lahan pertanian yang berkelanjutan di DAS
Krueng Peutoe.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
pengguna lahan dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan lahan, khususnya di
wilayah DAS Krueng Peutoe.
TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh
pembatas topografi berupa punggung-punggung bukit atau gunung yang
menampung air hujan yang jatuh di atasnya dan kemudian mengalirkannya
melalui sungai utama (outlet) ke laut atau ke danau (Sinukaban 1995). Selanjutnya
Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di
dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling
berhubungan erat membentuk keseimbangan.
Pengelolaan DAS pada prinsipnya merupakan suatu proses formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan
tanah (Asdak 1995).
Adapun tujuan pengelolaan daerah aliran sungai : (1) mengkonservasi tanah
pada lahan pertanian, (2) memanen/menyimpan kelebihan air pada musim hujan
dan memanfaatkannya pada musim kemarau, (3) memacu usahatani berkelanjutan
dan menstabilkan hasil panen melalui perbaikan pengelolaan sistem pertanian dan
(4) memperbaiki keseimbangan ekologi (hubungan tata air hulu dengan hilir,
kualitas air, kualitas dan kemampuan lahan dan keanekaragaman hayati) (ICRAF
2005).
Menurut Nugroho, Priyono dan Cahyono (2004) pengelolaan DAS
merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai
unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia
untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan
manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya
alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Terdapat tiga aspek yang selalu menjadi perhatian dalam pengelolaan DAS,
yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan air (water regime) dan sedimen.
Ketiga aspek tersebut dapat memberikan gambaran tentang kualitas sistem DAS
(Sing 1992).
Untuk mengetahui kemampuan DAS dalam merespon curah hujan yang
jatuh di atasnya adalah dengan mengamati perubahan koefisien alirannya. Besar
kecilnya perubahan koefisien aliran (run off coefficient) menunjukkan perubahan
kemampuan DAS dalam menerima dan melepaskan air sehingga dapat menjadi
gambaran keadaan vegetasi di atasnya. Berdasarkan selang waktu, dikenal tiga
macam koefisien aliran yaitu (1) koefisien aliran tahunan (annual yield
coefficient), (2) koefisien aliran sesaat (stromflow response) dan (3) koefisien laju
aliran (Todd 1980 dalam Baco 1997).
Menurut Sinukaban (1995) suatu pengelolaan DAS yang lestari memiliki
minimal tiga indikator utama, yaitu (1) pendapatan dan produktifitas masyarakat
di dalam DAS yang relatif tinggi, sehingga dapat mendisain kehidupan
keluarganya dengan layak, (2) erosi yang terjadi harus lebih kecil dari erosi
yang dapat ditolerir, serta (3) agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan
dikembangkan oleh petani dengan sumberdaya lokal yang tersedia. Selain itu
juga, kelestarian suatu ekosistem DAS dicirikan oleh kemapuan DAS untuk
mempertahankan produktivitasnya dari berbagai macam gangguan dan tekanan
yang masuk ke dalam ekosistem DAS tersebut baik secara alami ataupun dibuat
oleh manusia.
Secara garis besar ada tiga sasaran umum yang ingin dicapai dalam
pengelolaan DAS, yaitu (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan yang masih
produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
konservasi tanah dan air, (2) perlindungan terhadap lahan- lahan yang umumnya
sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor dan (3) peningkatan atau
pengembangan sumber daya air dengan cara manipulasi satu atau lebih komponen
penyusun sistem DAS yang diharapkan mempunyai pengaruh terhadap proses-
proses hidrologi atau kualitas air (Asdak 1995).

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik


sementara maupun terus menerus terhadap lingkungannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan suatu wilayah bersifat dinamis, mengikuti
waktu dan jumlah serta profesi penduduk dalam wilayah tersebut (Arsyad 2000).
Dengan adanya teknologi tepat guna dan makin langkanya lahan yang sesuai
untuk usaha pertanian, maka beberapa faktor penghambat seperti kekedapan air
dan drainase, kemasaman dan keracunan alumunium dan ketidak suburan mulai
kurang diperha tikan. Pada saat ini orang lebih memperhatikan masalah
kemiringan yang erat hubungannya dengan bahaya erosi yang dapat menurunkan
kelestarian lahan tersebut (Soepardi 1983). Selanjutnya (Diwiryo et al. 1977
dalam Soepardi 1983) mengemukakan bahwa hal lain yang menjadi perhatian
orang adalah eksesibilitas lahan yaitu apakah pengusahaan lahan dapat
menciptakan tumbuhnya perkembangan ekonomi yang sifatnya timbal balik.
Secara umum tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila
persyaratan tumbuhnya seperti faktor tanah, iklim dan pengelolaan yang memadai
dipenuhi. Tidak terpenuhinya satu atau lebih persyaratan tersebut secara optimal
menyebabkan tanaman tidak mampu memberikan hasil sesuai dengan kemampuan
genetisnya.
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) tipe penggunaan lahan (land
utilization type) adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan
syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi
tertentu. Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan atas 2
macam, yaitu : (1) multiple land utilization type yaitu tipe penggunaan lahan
terdiri dari lebih satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara
serentak pada suatu areal yang sama pada sebidang lahan dan (2) compound land
utilization type yaitu tipe penggunaan terdiri lebih dari satu jenis penggunaan
(komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang lahan yang untuk
tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal.
Pengetahuan tentang penggunaan lahan sangat penting untuk melakukan
suatu perencanaan dan pengelolaan DAS. Penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kapasitas atau kemampuannya dapat menimbulkan masalah, diantaranya
exploitasi sumberdaya alam yang tidak efisien, perusakan sumberdaya alam,
kemiskinan dan berbagai problem sosial lainnya dan bahkan terjadi destruksi
peradaban.
Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap hasil air yang
keluar melalui outlet DAS, dimana hubungan antara perubahan penggunaan lahan
dan hasil air dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan
lahan di dalam DAS tersebut.
Pola penggunaan lahan mencerminkan jenis kegiatan manusia yang ada di
atasnya, lahan pertanian menunjukkan adanya usaha dibidang pertanian. Makin
tinggi tingkat kegiatan manusia, makin tinggi pula kebutuhan manusia akan lahan.

Agar penggunaan lahan dapat dilakukan sesuai dengan potensi yang ada,
maka sebelumnya harus dilakukan evaluasi lahan, yaitu suatu proses yang
berhubungan dengan penilaian kualitas lahan untuk suatu penggunaan tertentu,
termasuk interpretasi dan pelaksanaan survai dasar mengenai iklim, tanah,
vegetasi dan aspek-aspek lahan lainnya.

Evaluasi dan Klasifikasi Kemampuan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan adalah evaluasi potensi lahan bagi penggunaan


berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan peruntukan jenis
tanaman tertentu atau tindakan-tindakan pengelolaannya. Lahan dengan
kemampuan yang tinggi diharapkan nantinya berpotensi yang tinggi dalam
berbagai penggunaan (Sitorus 1985).
Evaluasi kemampuan lahan merupakan bagian dari proses evaluasi lahan,
yang pada dasarnya merupakan evaluasi potensi lahan bagi penggunaan sistem
pertanian secara luas, oleh karena itu sifatnya lebih umum dibandingkan dengan
evaluasi kesesuaian lahan .
Sistem evaluasi kemampuan lahan mengelompokkan lahan ke dalam
sejumlah kecil kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen. Sistem
ini dilakukan dengan cara menguji nilai- nilai dari sifat tanah dan lokasi melalui
proses penyaringan. Nilai yang pertama diuji terhadap kriteria untuk kelas lahan
yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara
otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah hingga kelasnya ditemukan dan
semua kriteria dipenuhi.
Klasifikasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian
antara penggunaan lahan dengan kemampun tanah, karena bila suatu penggunaan
lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan.
Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan
tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan
erosi pada lahan pertanian tersebut (Kahirun 2000).
Sistem klasifikasi kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan
oleh USDA (Klingebiel dan Montgomery 1973 dalam Arsyad 2000) me mbagi
lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori menurut faktor penghambat terhadap
pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Dent dan Young (1981) mengemukakan
bahwa klasifikasi kemampuan lahan merupakan proses pengelompokkan lahan ke
dalam kelas-kelas tertentu, terutama didasarkan atas faktor- faktor pembatas
permanen. Ada tiga kategori yang digunakan, yaitu kelas, sub kelas dan unit.
Penggolongan ke dalam tiga katagori tersebut berdasarkan atas kemampuan
lahannya untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan
dalam jangka panjang (Arsyad 2000).
Pengelompokan lahan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor
penghambat dari kekas I sampai dengan kelas VIII, dimana resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat bertambah semakin tinggi kelasnya (Hardjowigeno
2003). Tanah kelas I IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan
dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman
pertanian (tanaman semusim dan tanaman tahunan), rumput untuk makanan
ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk
padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal
tanah kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa
jenis tanaman tertentu seperti buah-buah-buahan, tanaman hias atau bunga-
bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan
tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya
dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad 2000).

Kelas

Kelas merupakan tingkat yang ertinggi dan bersifat luas dalam struktur
klasifikasi. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor
penghambat, dimana tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII.
Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, resiko kerusakan dan
besarnya faktor penghambat semakin besar sehingga pilihan penggunaan lahan
yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah kelas I sampai IV merupakan
lahan yang sesuai untuk usaha pertanian, sedangkan tanah kelas V sampai VIII
tidak sesuai untuk usaha pertanian dan bila diperuntukan untuk usaha pertanian
diperlukan biaya yang sangat tinggi dalam pengelolaannya.
Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan
tanah disajikan pada Gambar 1.
Kelas Intensitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat
Kemampuan
Lahan
Cagar Hutan Penggembalaan Garapan
Alam Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Sangat
Intensif
I

Hambatan II
meningkat, III
kesesuaian
dan pilihan IV
penggunaan
lahan V
berkurang VI
VII
VIII

Gambar 1. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan


Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan (Klingebiel dan
Montgomery 1973 dalam Arsyad 2000).
Kelas I

Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa


memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Terletak pada lereng yang
datar (0 3%), tanahnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik,
mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak memerlukan
tindakan konservasi khusus, namun upaya memelihara kesuburan tanah seperti
pemupukan dan penambahan bahan organik ke dalam tanah secara teratur
diperlukan.

Kelas II

Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan


sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Terletak pada lereng yang landai
sampai berombak (3 8%) dan atau telah mengalami erosi ringan (<25 % lapisan
atas telah hilang), kedalaman sedang ( > 50 cm 90 cm), agak peka terhadap erosi
dan bertekstur halus sampai agak kasar. Tanah kelas II sesuai untuk berbagai
macam keperluan manusia, termasuk untuk tanaman semusim, tanaman tahunan,
padang rumput, hutan produksi dan sebagainya Bila digarap untuk usaha pertanian
semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti
pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah
atau pupuk hijau atau guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan seperti
pada kelas I.

Kelas III

Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan
hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari tanah kelas II, sehingga
memerlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng
agak miring atau bergelombang (8 15%) berdrainase buruk, kedalaman sedang,
atau permeabilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti
penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup
tanah disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau meningkatkan
kesuburan tanah.

Kelas IV

Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan


hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besar dari kelas III, sehingga
memerlukan tindakan khusus pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih
terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak
pada lereng yang miring atau berbukit (15 30%), berdrainase buruk atau
kedalaman tanah yang dangkal (< 50 25 cm).

Kelas V

Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih
sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan.
Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu
tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya, atau terdapat liat
masam di dekat atau pada daerah perakarannya.

Kelas VI

Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim,
dikarenakan terletak pada lereng agak curam (30 45%). Tanah ini lebih sesuai
untuk padang rumput atau dihutankan. Jika profil tanahnya dalam dapat
digunakan untuk produksi pertanian (tanaman semusim atau tahunan) dengan
metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan
kombinasi metode vegetatif.

Kelas VII

Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani
tanaman semusim, tetapi lebih baik untuk ditanami vegetasi permanen. Tanah ini
terletak pada lereng yang curam (45 65%) dan tanahnya dangkal, atau telah
mengalami erosi yang sangat berat. Namun dapat digunakan untuk padang
pengembalaan (rumput) terbatas, hutan produksi dengan upaya pencegahan erosi,
dan terbaik adalah untuk hutan lindung/suaka alam.

Kelas VIII

Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian, terletak pada
lereng sangat curam (> 65 %) sebaiknya Tanah kelas VIII dibiarkan pada keadaan
alami, dan diperuntukkan sebagai hutan lindung atau suaka alam atau areal
rekreasi.

Sub Kelas

Pengelompokkan di dalam sub kelas didasarkan atas jenis faktor


penghambat. Terdapat delapan jenis faktor penghambat, yaitu (1) tekstur tanah,
(2) permeabilitas, (3) kedalaman efektif (4) lereng, (5) drainase, (6) erosi, (7)
bahaya banjir/genangan dan (8) batu-batuan.

Satuan Kemampuan (Capability Unit)

Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan lahan memberi keterangan


yang lebih spesifik dan terinci untuk setiap bidang lahan dari pada sub kelas
(Arsyad 2000). Satuan kemampuan merupakan pengelompokkan lahan yang sama
atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang
sama. Lahan ini mempunyai sifat yang sama dalam hal (a) kemampuan
memproduksi tanaman pertanian atau tanaman rumput untuk makanan ternak, (b)
memerlukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama di bawah vegetasi
penutup yang sama, dan (c) untuk jenis tanaman yang sama akan memberi hasil
kurang lebih sama (produksi rata-rata dengan sistem pengelolaan yang sama tidak
akan berbeda lebih dari 25 %) (Suripin 2001).

Secara skematis klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :

Kelas I II III IV V VI VII VIII

Sub Kelas e w s c g
Unit

IVs1 IVs2 IVs3 IVs4

Gambar 2. Skematis Klasifikasi Kemampuan Lahan

Erosi dan Prediksi erosi

Istilah erosi tanah umumnya diartikan sebagai kerusakan tanah oleh


perbuatan air atau angin. Menurut Arsyad (2000), erosi adalah peristiwa
terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh
media alami. Menurut media pengangkutannya dikenal dua jenis erosi, yaitu erosi
air dan erosi angin.
Pada dasarnya erosi terjadi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan
dan aliran permukaan atau karena kekuatan angin. Pada sebagian besar daerah
tropika basah seperti Indonesia, erosi disebabkan oleh kekuatan jatuh butir hujan
dan aliran permukaan (Sinukaban 1989).
Selanjutnya Ellison (1947 dalam Sinukaban 1989) menyatakan bahwa erosi
merupakan proses pelepasan (detachment) dan pengangkutan (transportation)
bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi, dimana peristiwa pelepasan (detachment)
dan pengangkutan (transportation) merupakan komponen-komponen erosi tanah
yang penting, dimana di dalam proses terjadinya erosi, peristiwa pelepasan butir
tanah mendahului peristiwa pengangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan
merupakan variabel yang penting yang berdiri sendiri, tetapi pengangkutan
tergantung dari pelepasan.
Menurut Arsyad (2000), besarnya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim,
topografi, vegetasi, tanah dan manusia. Faktor-faktor tersebut bila dinyatakan
dengan persamaan deskripsi sebagai berikut :

A = f ( C, T, V, S, H)

dimana :
C = iklim
T = topografi
V = vegetasi S
= tanah
H = manusia.

Prediksi erosi dari sebidang tanah merupakan cara untuk memperkirakan


laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan
lahan dan pengelolaan tertentu.
Erosi sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pengelolaan lahan. Oleh
karena itu erosi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan
penggunaan lahan dan pengelolaannya, dimana salah satu alat bantu yang dapat
digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model prediksi erosi
(Arsyad 2000).
Perkembangan persamaan untuk menghitung kehilangan tanah di lapangan
dimulai sejak tahun 1936 oleh Cook yang me ngembangkan tiga faktor yang tidak
saling berkaitan, tetapi mempengaruhi erosi yaitu erodibilitas, erosivitas dan
tanaman penutup tanah.
Sementara itu Wischmeier dan Smith (1978) telah merangkum data dari
ribuan plot dan daerah aliran sungai dengan mempertimbangkan persamaan
kehilangan tanah karena hujan. Untuk itu mereka sepakat mengemukakan bentuk
akhir persamaan kehilangan tanah dengan menggunakan persamaan USLE
(universal soil loss equation) yang mengkombinasikan faktor-faktor utama
penyebab erosi dan hubungan kuantitatifnya untuk memprediksi besarnya erosi
lembar dan alur akibat air hujan dan aliran permukaan pada suatu daerah tertentu.
Model persamaan yang digunakan adalah :

A= Rx Kx Lx S xC xP
dimana :
A = besarnya erosi (ton/ ha/tahun)
R = indeks erosivitas hujan
K = faktor erodibilitas tanah L
= faktor panjang lereng
S = faktor kemiringan lereng
C = faktor pengelolaan tanaman P
= faktor tindakan konservasi

Penggunaan USLE tidak dibatasi oleh batas-batas geografi tetapi dalam


menggunakannya dibutuhkan pengetahuan tentang nilai lokal dari setiap faktor
erosi (Sinukaban 1989).
Menurut Vadari, Subagyono dan Sutrisno (2004), model erosi tanah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) model empiris, (2) model fisik dan (3)
model konseptual.
Model empiris didasarkan pada variabel- variabel penting yang didapat dari
penelitian dan pengamatan selama proses erosi terjadi. Salah satu contoh model
empiris adalah USLE (universal soil loss equation). Model ini sangat luas
penggunaannya untuk memprediksi erosi lembar dan alur.
Model fisik merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum
kekekalan massa dan energi. Model ini dikenal juga sebagai model input-output
dalam kondisi yang homogen, dan tidak berlaku bila kondisinya tidak homogen
(Rose et al. 1983 dalam Vadari et al. 2004).
Model konseptual merupakan suatu model yang dirancang untuk mengetahui
proses internal dalam sistem dan mekanisme fisik yang selalu berkaitan dengan
hukum fisika dalam bentuk sederhana. Umumnya model ini tidak linier, bervariasi
dalam waktu dan parameternya mutlak diukur. Menurut Vadari et al. (2004),
meskipun model ini mengabaikan aspek spasial dalam proses hujan dan aliran
permukaan, tetapi kaitannya dengan proses yang tidak linier menyebabkan model
ini layak untuk dipertimbangkan.
Beberapa model erosi yang telah dikembangkan dimulai dengan USLE dan
beberapa model empiris lainnya, diantaranya RUSLE (revised universal soil loss
equation), MUSLE (modified universal soil loss equation) yang dikembangkan
tetap berpatokan pada USLE (Vadari et al. 2004). Sedangkan model fisik lain
yang dikembangkan setelah generasi USLE adalah model GUEST (griffith
university erosion system template) (Rose et al. 1997). Selanjutnya Sinukaban
(1997) mengemukakan bahwa beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan
dengan hidrologi dan juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS
(areal non-point sources watershed environment response simulation) yang
diperbaiki dengan model AGNPS (agricultural non-point source pollution model).
Adapun kelebihan dari model USLE adalah : sederhana, nilai- nilai
parameter sudah tersedia pada beberapa tempat (Sinukaban 1997). Selanjutnya
Schmidtz dan Tameling (2000) mengemuk akan kelebihan dari model USLE
adalah mudah dikelola, relatif sederhana dan jumlah masukan atau parameter yang
dibutuhkan relatif sedikit. USLE juga berguna untuk menentukan kelayakan
tindakan konservasi tanah dalam perencanaan lahan dan untuk memprediksi non-
point sediment losses dalam hubungannya dengan program pengendalian polusi
(Lal 1994 dalam Vadari et al. 2004). Pada tingkat lapangan (field scale) USLE
sangat berguna untuk merumuskan rekomendasi atau perencanaan yang berkaitan
dengan bidang agronomi karena dapat digunakan sebagai dasar untuk pemilihan
land use dan tindakan konservasi tanah yang ditujukan untuk menurunkan on-site
effect dari erosi (ICRAF 2001).
Sedangkan kekurangan dari model USLE adalah (a) tidak akurat untuk
prediksi per kejadian hujan (single storm event) karena nilai R merupakan rata-
rata tahunan, (b) model erosi untuk agriculture field-scale kurang mengakomodasi
deposisi dan produksi sedimen untuk catchment scale, dan (c) tidak
memperhitungkan erosi dari hot spots seperti erosi parit, channel erosion, longsor
dll (Sinukaban 1997). Adaptasi model tersebut pada lingkungan yang baru
memerlukan investasi sumber daya dan waktu untuk mengembangkan database
yang dibutuhkan untuk menjalankannya (Nearing et al. 1994 dalam Vadari et al.
2004). Over estimasi yang bisa terjadi dengan penggunaan USLE dapat mencapai
2000%, penyebabnya adalah adanya subjektivitas penggunaan data atau karena
penggunaan peta skala kecil (Van der Poel dan Subagyono 1998).
Hasil prediksi erosi di atas akan dibandingkan dengan erosi yang dapat
ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) berdasarkan pendekatan (Hammer 1981
dalam Arsyad 2000) dalam jangka waktu yang lama untuk menentukan apakah
tanah yang digunakan tersebut lestari atau tidak. Dalam pendekatan ini turut
diperhitungkan ketebalan tanah minimum dan jangka waktu penggunaan tanah
yang diinginkan (resource life). Konsep ini menggunakan kedalaman tanah
ekivalen dan umur guna tanah untuk menetapkan erosi yang dapat ditoleransikan.
Erosi yang dapat ditoleransikan bukan saja ditujukan untuk mempertahankan
produktivitas tanah, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan laju pendangkalan
waduk, ataupun untuk mengantisipasi pencemaran kualitas air sungai yang sering
digunakan sebagai bahan baku air minum. Besaran erosi yang dapat ditoleransikan
untuk keperluan ke dua hal di atas lebih ketat dibandingkan untuk memperbaiki
produktivitas tanah pertanian (Vadari et al. 2004).
Selanjutnya Vadari et al. (2004) mengemukakan di Indonesia ada beberapa
cara penetapan batas laju erosi yang dapat ditoleransikan yang umum digunakan,
diantaranya Thompson (1957), Wood dan Dent (1983) dan Hammer (1981).
Thompson (1957) menyarankan agar laju erosi yang dapat ditoleransikan
didasarkan pada kedalaman solum tanah, permeabilitas tanah lapisan bawah dan
kondisi substratum. Sedangkan Hammer (1981) dan Hammer dalam Wood dan
Dent (1983) mengatakan turut memperhitungkan ketebalan tanah minimum dan
jangka waktu penggunaan tanah yang diinginkan (resource life), dimana konsep
ini menggunakan kedalaman tanah ekivalen dan umur guna tanah untuk
menetapkan erosi yang dapat ditoleransikan.
Adapun persamaan yang digunakan Hammer (1981) untuk penentuan erosi
yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss) adalah :

DE - Dmin
ETol = + LPT
UGT
dimana :
ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)
DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd
De = kedalaman efektif tanah (mm)
fd = faktor kedalaman tanah menurut Sub Ordo Tanah
Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm)
UGT = umur guna tanah (tahun)
LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn)

Pembangunan dan Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan strategi pembangunan


pertanian jangka panjang yang dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang menjadi daya dukung proses
produksi pertanian sekaligus mempertahankan kapasitas produksi/daya dukung
dari sumberdaya itu sendiri (Pakpahan et al. 1992).
Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan
implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam
hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan (Salikin 2003).
Selanjutnya Salikin (2003) mengatakan sistem pertanian berkelanjutan juga
berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya
alam dengan mempertimbangkan 3 (tiga) aspek berikut :
(1) Kesadaran lingkungan
Sistem budi daya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis
yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari
sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam.
Misalnya, perburuan ular sawah untuk diambil kulitnya akan
mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan ketegangan ekologis
berupa timbulnya ledakan populasi tikus sawah, sehingga berubah
menjadi hama yang sangat merugikan.
(2) Bernilai ekonomis
Sistem budi daya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung
rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan
jangka panjang serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun
diluar sistem ekologi.
Misalnya, kasus penyewaan lahan dataran tinggi oleh para petani berdasi
yang datang dari luar daerah untuk bercocok tanam kentang dengan
teknik yang menyimpang dari kaidah ekologis yaitu memotong kontur
gunung. Dalam jangka pendek, teknik tersebut memang mampu
mendongkrak produktivitas kentang sehingga secara ekonomis sangat
menguntungkan. Namun dalam jangka panjang dampak ekonomis dan
ekologis yang ditimbulkan sangat merugikan terutama bagi generasi
yang akan datang, yaitu proses pemiskinan hara tanah, tingkat erosi yang
relatif tinggi dan pendangkalan sungai serta waduk menjadi ancaman
serius bagi keberlanjutan sistem usaha pertanian dimasa depan.
(3) Berwatak sosial atau kemasyarakatan
Sistem pertanian harus selaras dengan norma-norma sosial dan budaya
yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya.
Misalnya, seorang petani akan mengusahakan peternakan ayam
dipekarangan milik sendiri. Mungkin secara ekonomis dan ekologis
menjanjikan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial
dapat memberikan dampak yang kurang baik seperti pencemaran udara.

Kajian tentang pertanian berkelanjutan di Indonesia lebih banyak


berkonsentrasi pada masalah- masalah spesifik kajian, yaitu pada sistem pertanian
dataran tinggi yang rawan terhadap perusakan sumber daya lingkungan, misalnya
daerah aliran sungai (DAS), daerah tangkapan air dan kawasan usaha tani di
dataran tinggi. Untuk itu dimasa mendatang kajian tersebut perlu diperluas dan
diperdalam. Secara umum pertanian berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan (quality of life) (Manguiat 1995).
Analisis Finansial Usahatani dan Standar Hidup Layak

Menurut Soekartawi (2002), ada tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam
analisis finansial usahatani dan standar hidup layak, yaitu (1) penerimaan
usahatani, (2) biaya usahatani dan (3) pendapatan usahatani.
Penerimaan Usahatani, merupakan perkalian antara produksi yang
diperoleh dengan harga jual, persamaannya sebagai berikut :

TR = Yi.Pyi

dimana : TR = total penerimaan ; Yi = produksi yang diperoleh dalam satu


musim tanam ke- i (kg) ; Pyi = harga komoditas ke i (Rp)

Biaya Usahatani, merupakan nilai semua masukan atau keluaran yang


dipakai dalam satu musim tanam selama proses produksi, baik langsung
maupun tidak, dengan persamaan sebagai berikut :

TC = S Xi.Pxi

dimana : TC = biaya tetap ; Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk


biaya tetap ; Pxi = harga input ke- i (Rp) dan i = macam
komoditas yang dikembangkan dalam suatu usaha tani

Pendapatan Usahatani, merupakan selisih dari total penerimaan terhadap


total pengeluaran.
PU= TR TC

dimana : PU = pendapatan usahatani ; TR = total penerimaan ; dan TC =


total biaya

Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan


kebutuhan beras per kepala keluarga (KK) dan harga beras yang berlaku disuatu
daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990), nilai ambang kecukupan pangan
(beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di pedesaan berkisar antara 240
320 kg/orang/tahun. Sedangkan untuk di perkotaan berkisar antara 360 480
kg/orang/tahun.
Adapun perhitungan untuk kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup
layak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :
1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) = kebutuhan beras satu rumah tangga
x 100% x jumlah anggota keluarga x harga beras.
2. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) = pendidikan dan sosial + kesehatan
dan rekreasi + asuransi dan tabungan.
- Kebutuhan untuk pendidikan dan kegiatan sosial = 50% KFM;
- Kebutuhan untuk kesehatan dan rekreasi = 50% KFM; dan
- Kebutuhan untuk asuransi dan tabungan = 50% KFM.
3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) = KFM + KHT = kebutuhan equivalen
beras satu rumah tangga x 250% x jumlah anggota keluarga x harga
beras.
Jika setiap rumah tangga diasumsikan terdiri dari 5 orang, dengan harga
beras Rp 2.400/kg (harga di lokasi), maka kebutuhan hidup layak (KHL) = 320
kg/orang/tahun x 250% x 5 orang/kk x Rp 2.400 = Rp 9.600.000/kk/tahun. Agar
usahatani tersebut dapat berlangsung terus, maka pendapatan bersih petani harus >
Rp 9.600.000/kk/thn.
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di DAS Krueng Peutoe, Kabupaten Aceh Utara,


Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang secara geografis terletak pada
o o o o
96 5200 97 3100 Bujur Timur dan 04 4600 05 0040 Lintang Utara.
Penelitian lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2005 sampai Februari
2006. Lebih jelasnya gambar lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan adalah data fisik hasil pengukuran di
lapangan dan data sosial ekonomi. Data sekunder yang digunakan adalah data
curah hujan 10 tahunan dari stasiun Meteorologi Malikussaleh, data kabupaten
Aceh Utara dalam angka, peta rupa bumi skala 1 : 50.000 lembar 0521-31, 0521-
32, 0520-63, 0520-64 (Bakosurtanal 1978), peta jenis tanah (Ditjen RLPS -
Departemen Kehutanan 2003), peta Land Use-Landsat 7 (Forum Remote Sensing
dan GIS 2005).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kerja (peta hasil
overlay), bor tanah, Abney level, kompas, ring sampel, pisau, cangkul, meteran,
kantong plastik, alat tulis menulis, kertas label, alat dokumentasi, GPS dan
seperangkat komputer PC.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai
yang terdiri atas empat tahap (Gambar 3), yaitu : (1) tahap persiapan yang
meliputi pengumpulan data sekunder dan pembuatan peta satuan lahan homogen,
(2) tahap survai pendahuluan, yaitu melakukan pengecekan lapanga n untuk
mengetahui keadaan lokasi penelitian, khususnya dalam penentuan plot
pengamatan pada satuan lahan homogen pewakil, (3) tahap survai utama meliputi
pengumpulan data biofisik dan data sosial ekonomi, dan (4) tahap analisis data
dan penyajian hasil.
Peta Jenis Tanah Peta Topografi / Kelas Lereng Peta Penggunaan Tanah

Tahap persiapan
Overlay Peta

Peta Satuan Lahan Homogen

Penentuan Plot Pengamatan Intensif


pada Satuan Lahan Homogen Pewakil

---------------------------------------------------------------------------------------------------
Survai Pendahuluan

Studi Lapang Survai Utama

Pengamatan , Pengukuran dan Data Skunder


Pengambilan Data Bio Fisik Sosial Ekonomi (Wawancara)

Klas Kemampuan Lahan

---------------------------------------------------------------------------------------------------
Evaluasi Penggunanan Lahan

Sesuai Tidak Alternatif Penggunaan Lahan

Ya

Evaluasi Pola Tanam

Analisis Data Alternatif Agroteknologi

Prediksi Erosi

Tidak Perubahan Pola Tanam dan


A<ETol
Agroteknologi

Ya Analisis Sosial Ekonomi


Tidak

Pendapatan bersih>standar hidup layak

Ya

Rekomendasi Penggunaan Lahan

Gambar 3. Diagram Alir Tahapan Pelaksanaan Penelitian


Tahap Persiapan.

Tahap ini merupakan tahap studi kepustakaan, yaitu meneliti dan mengkaji
pustaka yang telah ada tentang keadaan lahan di lokasi penelitian serta data
sekunder lainnya.
Salah satu sarana yang sangat penting untuk tahap ini adalah peta dasar,
yaitu peta hasil tumpang tindih (overlay) dari peta penggunaan lahan (Lampiran 2)
peta topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4). Peta ini digunakan
sebagai dasar untuk melakukan pengamatan di lapangan, dan penetapan faktor K,
LS, C dan P.

Survai Pendahuluan

Survai pendahuluan bertujuan untuk mempersiapkan pelaksanaan survai


utama yang akan dilakukan kemudian. Sela in menyiapkan urusan administrasi,
survai pendahuluan juga bertujuan untuk melakukan orientasi didaerah penelitian
untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan dan
mengidentifikasikan permasalahan yang mungkin didapat di lapangan.
Dalam survai ini juga perlu dilakukan beberapa pengamatan pendahuluan
tentang jenis tanah, penggunaan tanah serta keadaan penduduk dan lingkungan
serta pencocokan peta satuan lahan homogen.

Peta Satuan Lahan Homogen

Penentuan peta satuan lahan homogen adalah hasil tumpang tindih (overlay)
dari peta topografi (kelas lereng), peta jenis tanah dan peta penggunaan tanah,
sehingga didapat 17 satuan lahan homogen (Lampiran 5). Peta ini digunakan
sebagai peta dasar (peta kerja) untuk melakukan pengamatan di lapangan pada
plot pengamatan intensif pada satuan lahan homogen pewakil yang berjumlah 14
satuan lahan homogen.

Survai Utama

Survai utama merupakan kegiatan utama di lapangan. Dalam survai ini


dilakukan pengamatan langsung di lapangan seperti pengukuran kemiringan
lereng dengan alat abney level, pengamatan tekstur tanah, struktur tanah, keadaan
batuan, kedalaman efektif, kejadian erosi, melakukan pengamatan vegetasi yang
ada dan agroteknologi yang ada pada plot pengamatan intensif.
Pengambilan sampel tanah di lapangan dilakukan setelah penentuan plot
sampel pada peta kerja untuk tiap luasan satuan lahan homogen pewakil.
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul/skop untuk
tanah sub soil yang kemudian dimasukkan ke dalam plastik untuk dianalisis di
laboratorium. Sedangkan pengambilan sampel tanah untuk penetapan
permeabilitas tanah digunakan ring sampel.
Penentuan jenis tanah didasarkan atas pengamatan profil tanah di lapangan
dibantu dengan hasil analisis tanah di laboratorium. Batas-batas penyebaran jenis
tanah ditentukan dengan pemboran secara taktis dengan mempelajari faktor-faktor
pembentuk tanah.
Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan secara purposif berdasarkan
titik contoh pengambilan data fisik, dimana petani yang lahannya dijadikan titik
contoh merupakan petani responden yang selanjutnya dilakukan wawancara
dengan menggunakan kuisioner.

Analisis Data dan Penyajian Hasil


Data fisik lahan yang telah diperoleh digunakan untuk menentukan kelas
kemampuan lahan dan prediksi erosi. Sedangkan data sosial ekonomi digunakan
untuk analisis biaya dan pendapatan petani, dan sebagai bahan pertimbangan
dalam penentuan alternatif agroteknologi dan usahatani di DAS Krueng Peutoe.
Tahapan analisis untuk menyusun perencanaan penggunaan lahan dilakukan
dengan langkah- langkah sebagai berikut : (1) evaluasi kemampuan lahan
berdasarkan potensi lahan, (2) prediksi erosi dan penentuan ETol, (3) analisis
usaha tani dan (4) perencanaan penggunaan lahan alternatif.

Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan.

Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dilakukan berdasarkan kriteria


klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Klingebiel dan
Montgomery (1973) yang dimodifikasikan oleh Arsyad (2000) (Tabel 1), dimana
pada penelitian ini hanya ditekankan pada 4 (empat) faktor penghambat, yaitu :
(1) lereng permukaan, (2) tingkat erosi, (3) kedalaman tanah dan (4) drainase.
Penentuan klas kemampuan lahan ditentukan dengan memasukkan ke empat
faktor penghambat di atas yang didapat dari hasil pengamatan di lapangan yang
selanjutnya dicocokkan ke dalam kriteria klasifikasi kemampuan lahan dengan
berpedoman kepada skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan
intensitas dan macam penggunaan lahan (Gambar 1) untuk didapat kelas
kemampuan lahan yang sesuai.

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan

No Faktor Penghambat Kelas Kemampuan Lahan


I II III IV V VI VII VIII
1 Lereng permukaan (l) A B C D A E F G
2 Kepekaan erosi (ke) 1-2 3 4-5 6 (*) (*) (*) (*)
3 Tingkat Erosi (e) 0 1 2 3 (**) 4 5 (*)
4 Kedalaman tanah (k) 0 1 2 2 (*) 3 (*) (*)
5 Tekstur lapisan atas (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5
6 Tekstur lapisan bawah (t) 1-3 1-3 1-4 1-4 (*) 1-4 1-4 5
7 Permeabilitas (p) 2-3 2-3 2-4 2-4 1 (*) (*) 5
8 Drainase (d) 1 2 3 4 5 (**) (**) 0
9 Kerikil/batuan (b) 0 0 1 2 3 (*) (*) 4
10 Ancaman banjir (0) 0 1 2 3 4 (**) (**) (*)
11 Salinitas (g) (***) 0 1 2 3 (**) 3 (*) (*)
Keterangan : (A-G) : intensitas faktor penghambat untuk klasifikasi kemampuan lahan
( : dapat mempunyai sebaran sifat faktor penghambat
( : tidak berlaku
(***) : umumnya terdapat di daerah beriklim kering

Prediksi Erosi dan Penentuan ETol.

Prediksi erosi dilakukan pada satuan lahan homogen pewakil di lokasi


penelitian pada lahan pertanian (kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan
hutan) untuk menentukan kelayakan setiap jenis pengelolaan pertanian pada
masing- masing unit kemampuan lahannya.
Prediksi erosi dihitung dengan persamaan USLE (universal soil loss
equation) menurut Wischmeier dan Smith (1978) sebagai berikut :
A= Rx Kx Lx S xC xP
dimana :
A = Besarnya erosi (ton/ha/tahun)
R = Indeks erosivitas hujan
K = Faktor erodibilitas tanah L
= Faktor panjang lereng (m)
S = Faktor kemiringan lereng (%)
C = Faktor pengelolaan tanaman P
= Faktor tindakan konservasi

Penentuan Nilai Erosivitas Hujan (R)

Erosivitas hujan adalah kemampuan hujan untuk mengerosi tanah yang


dicerminkan oleh kombinasi energi kinetik hujan denga n intensitas hujan
maksimum 30 menit yang dihitung selama 1 tahun.
Dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar otomatik, maka
nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan persamaan Lenvain (1975 dalam
Asdak 1995) :
1,36
EI30 = 2,21 (CHm)
dimana :
EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit
(CHm) = Curah hujan bulanan

sehingga besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai
indeks erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :
12
R = S (EI30) i
i=1
dimana : R = faktor erosivitas hujan

Penentuan Nilai Erodibilitas Tanah (K)


Faktor erodibilitas tanah merupakan daya tahan tanah baik terhadap
penglepasan maupun pengangkutan. Kepekaan erosi tanah ini sangat dipengaruhi
oleh tekstur, kandungan bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur
tanah. Komponen-komponen yang ditentukan adalah tekstur tanah (persen pasir
halus dan kasar, persen debu dan liat). Kode struktur tanah ditentukan mengacu
pada ukuran diameter dan kelas struktur tanah (Lampiran 6a). Kode permeabilitas
tanah ditentukan berdasarkan kecepatan atau laju permeabilitas (Lampiran 6b).
Nilai kepekaan erosi tanah dapat dihitung dengan menggunakan nomograf
Wischmeier dalam sistem metrik (Lampiran 7) atau dengan menggunakan
persamaan Wischmeier dan Smith (1978):
1,14 4
100K = 1,292 {2,1 M (10 ) (12 a) + 3,25 (b 2) + 2,5 (c 3)}

dimana :
K = erodibilitas tanah
M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + debu)(100 - % liat)
a= % bahan organik
b= kode struktur tanah
c= kode permeabilitas profil tanah

Penentuan Nilai Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)


Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung
secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Faktor LS didefinisikan
sebagai nisbah antara besarnya erosi dari sebidang tanah dengan panjang lereng
dan kemiringan lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari sebidang tanah yang
terletak pada lereng dengan panjang lereng 22 m dan kecuraman 9 %.
Faktor LS dihitung dengan menggunakan rumus:

LS = X (0,0138 + 0,00965 S + 0,00138 S 2

dimana :
X = panjang lereng (m) dan S = kecuraman lereng (%)

Penentuan Nilai Pengelolaan Lahan dan Tanaman (C)

Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) merupakan nisbah antara tanah yang
hilang pada pengelolaan tanaman tertentu dengan tanah yang hilang tanpa
tanaman. Nilai C ditentukan berdasarkan pengamatan lapangan dan wawancara
yang meliputi : sistem pertanaman, pemupukan, pemanfaatan sisa tanaman, cara
penanaman dan teknik perlakuan terhadap tanah serta penggunaan mulsa dan
kompos dengan mengacu pada nilai C hasil- hasil penelitian terdahulu. Daftar
nilai C tersebut disajikan pada Lampiran 8.
Penentuan Nilai Teknik Konservasi Tanah (P)

Nilai P merupakan nisbah besarnya erosi dari petak lahan dengan tindakan
konservasi tertentu (misalnya teras) terhadap besarnya erosi dari petak standar
tanpa penerapan tindakan konservasi. Nilai faktor P ditentukan berdasarkan
kondisi lapang dimana tidak saja tindakan konservasi tanah secara mekanik tetapi
juga berbagai usaha yang bertujuan mengurangi erosi tanah. Indeks konservasi
tanah ditentukan berdasarkan Lampiran 9.

Erosi yang dapat ditoleransikan (Tolerable Soil Loss)

Erosi yang dapat ditoleransikan dihitung berdasarkan pendekatan Hammer


(1981, dalam Arsyad, 2000) dengan menggunakan konsep kedalaman ekuivalen
(equivalent depth) dan umur guna tanah (resources life). Erosi yang dapat
ditoleransikan (ETol) dihitung dengan rumus :

DE - Dmin
ETol = + LPT
UGT
dimana :
ETol = erosi yang dapat ditoleransikan (mm/thn)
DE = kedalaman ekivalen (equivalent depth) = De x fd
De = kedalaman efektif tanah (mm)
fd = faktor kedalaman tanah menurut sub ordo tanah
Dmin = kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk tanaman (mm)
UGT = umur guna tanah (tahun)
LPT = laju pembentukan tanah (mm/thn)
(Hammer 1981)

Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan yang
menghambat pertumbuhan akar tanaman. Kedalaman ekivalen adalah kedalaman
tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang dengan 60% dari
produktivitas tanah yang tidak tererosi (Hammer 1981).
Nilai faktor kedalaman beberapa sub order tanah disajikan pada Lampian
10. Kedalaman tanah minimum yang sesuai untuk beberapa jenis tanaman dan
pola tanam disajikan pada Lampiran 11. Adapun hubungan antara kedalaman
efektif tanah (D), kedalaman ekivalen (De) dan kedalaman minimum tanah yang

sesuai (Dmin ) disajikan pada Gambar 4.


D
DE Dmin

Batas pertumbuhan akar

Gambar 4. Batasan nilai D, De, dan Dmin (Sinukaban 1999)

Analisis Usahatani

Pada analisis usahatani, data tentang penerimaan, biaya dan pendapatan


usaha tani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga variabel ini disebut dengan
analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 1986).
Ketiga variabel analisis usahatani tersebut adalah penerimaan usahatani,
biaya usahatani dan pendapatan usahatani
Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan
kebutuhan beras per kepala keluarga (KK) dan harga beras yang berlaku disuatu
daerah. Nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah
tangga di pedesaan berkisar antara 240 320 kg/orang/tahun. Sedangkan untuk di
perkotaan berkisar antara 360 480 kg/orang/tahun (Sajogyo dan Sajogyo, 1990).

Perencanaan Penggunaan Lahan Alternatif

Perencanaan penggunaan lahan ditentukan untuk setiap unit kemampuan


lahan dengan menggunakan dasar nilai CP (faktor tanaman dan pengelolaan
tanah) yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis pengelolaan lahan melalui
simulasi.
Kriteria untuk menetapkan CP maksimum yang akan direkomendasikan
dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :

A < ETol RKLSCP < ETol


ETol
CP < CPrek < CP max
RKLS
Dalam hal ini ditentukan nilai CP untuk setiap jenis penggunaan dan unit
kemampuan lahan, nilai RKLS pada setiap satuan lahan homogen dianggap
konstan, maka besarnya prediksi erosi selanjutnya sebanding dengan nilai CP
yang dipilih selama simulasi.
Jika nilai CP yang diperoleh telah maksimal tetapi belum memenuhi syarat
untuk standar hidup layak, maka harus ada penyempurnaan usahatani, seperti
usaha ternak ataupun usaha keterampilan/kerajinan lainnya untuk memanfaatkan
hasil pertanian, sehingga kebutuhan hidup petani dan keluarganya dapat terpenuhi
atau standar hidup layak dapat tercapai.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis

DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha merupakan bagian dari DAS
Jambo Aye. DAS ini berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara, Propinsi
o o
Nanggroe Aceh Darussalam, terletak pada 96 5200 97 3100 Bujur Timur
o o
dan 04 4600 05 0040 Lintang Utara dan secara administrasi pemerintahan
meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Lhoksukon, Kecamatan Cot Girek dan
Kecamatan Matang Kuli. Luas masing- masing kecamatan disajikan pada Tabel 2
dan Peta Lampiran 1.

Tabel 2. Luas Wilayah Bagian DAS Krueng Peutoe pada Masing- masing
Kecamatan

No. Kecamatan Luas


Ha %
1. Lhoksukon 8.808 29,1
2. Cot Girek 20.954 69,3
3. Matang Kuli 496 1,6
Jumlah 30.258 100,0
Sumber : Hasil Analisis Peta

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan pada DAS Krueng Peutoe meliputi : pemukiman 729 ha,
kebun campuran 11.620 ha, perkebunan 4.294 ha, semak belukar 1.987 ha dan
hutan primer 11.628 ha (Tabel 3 dan Peta Lampiran 2).

Tabel 3. Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Penggunaan Lahan.

No. Jenis Penggunaan Luas


Ha %
1. Pemukiman 729 2,4
2. Kebun campuran 11.620 38,4
3. Perkebunan 4.294 14,2
4. Semak belukar 1.987 6,6
5. Hutan primer 11.628 38,4
Jumlah 30.258 100,0
Sumber : Hasil Analisis Peta
Topografi

Bentuk wilayah pada dasarnya ada yang landai, berombak, bergelombang,


berbukit, bergunung dan curam. Perbedaan dalam bentuk wilayah suatu daerah
akan menyebabkan perbedaan dalam gerak air tanah bebas dan jenis-jenis vegetasi
yang tumbuh di permukaan tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan pengaruh yang
berbeda dalam proses pembentukan tanah.
Selanjutnya Hakim et al. (1986) mengatakan topografi mempengaruhi
perkembangan dan pembentukan profil tanah atas 3 hal yaitu : (1) mempengaruhi
jumlah curah hujan teradsorbsi dan penyimpanannya di dalam tanah, (2)
mempengaruhi tingkat perpindahan tanah atas oleh erosi dan (3) mempengaruhi
arah gerakan bahan dalam suspensi atau larutan dari suatu tempat ke tempat yang
lain.
Keadaan topografi di lokasi penelitian sangat bervariasi, yaitu datar sampai
sangat curam. Untuk lebih jelasnya keadaan topografi di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Tabel 4 dan Peta Lampiran 3.

Tabel 4. Keadaan Topografi dan Luas Penyebarannya Di DAS Krueng Peutoe.

Kelas Lereng Kemiringan (%) Luas


Ha %
Datar 0- 8 6.304 20,8
Landai 8 - 15 7.369 24,4
Curam 25 - 45 6.325 20,9
Sangat Curam > 45 10.260 33,9
Jumlah 30.258 100,0
Sumber : Departemen Kehutanan (RLPS), 2006

Jenis Tanah

Berdasarkan peta jenis tanah, di lokasi penelitian dijumpai 5 (lima) jenis


tanah, yaitu Dystropepts, Paleudults, Rendolls, Tropaquepts dan Tropudults. Jenis
tanah Dystropepts dengan luasan 4.338 hektar (14,3%) terletak di tengah-
tengah dari DAS Krueng Peutoe dengan kemiringan 25-45% dan membentang
dari Timur ke Barat, jenis tanah Paleudults dengan luasan 1.691 hektar (5,6%)
terletak di bagian Timur dan sebagian lagi di bagian barat dari DAS Krueng
Peutoe, jenis tanah Rendolls terletak pada bagian hulu dari DAS Krueng Peutoe
dengan luasan 647 hektar (2,1%), jenis tanah Tropaquepts terletak pada bagian
Utara dengan luasan 6.304 hektar (20,9%) dan jenis tanah Tropudults dengan
luasan 17.277 hektar (57,1%) terletak pada bagian Selatan dan sebagian lagi di
bagian Utara. Lebih jelasnya jenis tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel
5 dan Peta Lampiran 4.

Tabel 5. Luas Wilayah DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Jenis Tanah.

No. Jenis Tanah Luas


Ha %

1. Dystropepts 4.338 14,3


2. Paleudults 1.691 5,6
3. Rendolls 647 2,1
4. Tropaquepts 6.304 20,9
5. Tropudults 17.277 57,1
Jumlah 30.258 100,0
Sumber : Departemen Kehutanan (RLPS), 2006

Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses
pembentukan tanah disamping menentukan pertumbuhan dan produksi suatu
tanaman. Unsur iklim yang paling penting adalah suhu, curah hujan, kelembaban
udara, kecapatan angin, penyinaran matahari dan tekanan udara.
Kondisi iklim di lokasi penelitian didekati dari hasil pencatatan data iklim
selama 10 tahun (1993-2002) dari pantauan stasiun Meteorologi dan Geofisika
Malikussaleh, Kabupaten Aceh Utara (Lampiran 12). Analisis data klimatologi
dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya erosi dan potensi lahan
dalam pengembangan tanaman. Rata-rata curah hujan, hari hujan, bulan kering
dan bulan basah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata curah hujan tahunan selama 10
tahun di lokasi penelitian adalah sebesar 1.354,9 mm/tahun, dengan curah hujan
tertinggi terjadi pada Tahun 1993, yaitu 1.713 mm/tahun dan curah hujan terendah
terjadi pada Tahun 2002 yaitu, 853 mm/tahun.
Tabel 6. Rata-rata Curah Hujan, Hari Hujan, Bulan Kering dan Bulan Basah Di
DAS Krueng Peutoe Periode 1993 - 2002.
Tahun Curah Hujan Hari Hujan Bulan Kering Bulan Basah
(mm) (hari) (bulan) (bulan)
1993 1.713 111 - 8
1994 1.534 74 3 6
1995 1.527 95 5 4
1996 1.328 80 1 8
1997 1.102 75 3 3
1998 1.389 82 4 6
1999 1.149 95 3 6
2000 1.380 99 4 5
2001 1.574 113 4 5
2002 853 102 9 3

Jumlah 13.549 926 39 54


Rata-rata 1.355 93 4 5
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006 (diolah)

Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidth dan Ferguson (1951 dalam


Handoko 1993) yang merupakan modifikasi dari sistem Mohr, maka untuk
mengetahui tipe iklim di lokasi penelitian adalah dengan menentukan nilai Q,
yaitu perbandingan rata-rata bulan kering (BK) dengan rata-rata bulan basah
(BB) dikalikan 100%. Bulan kering (BK) adalah bulan dengan hujan lebih kecil
60 mm, bulan lembab (BL) adalah bulan dengan hujan antara 60 100 mm dan
bulan basah (BB) adalah bulan dengan hujan lebih besar dari 100 mm. Dari hasil
perhitungan didapat nilai Q = 80,0 % (tipe iklim D), yaitu daerah sedang dengan
vegetasi hutan musim.

Suhu Udara
o
Suhu rata-rata di lokasi penelitian adalah 32,7 C, bulan dengan suhu udara
o
tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 34 C dan suhu udara terendah terjadi
o
pada bulan Januari dan Oktober sebesar 32 C. Dengan demikian suhu udara di
lokasi penelitian relatif sama pada setiap bulannya. Hasil analisis suhu udara
harian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata Temperatur Maksimum dan Minimum Di Kabupaten
Aceh Utara
No. Bulan o
Temperatur ( C)
07.00 13.00 18.00 Max Min
1. Januari 23,5 30,1 28,2 32,0 21,2
2. Februari 22,9 29,2 27,6 32,8 20,1
3. Maret 23,9 30,3 28,2 32,6 22,0
4. April 23,7 31,2 28,8 33,0 21,2
5. Mei 23,9 31,1 29,0 34,0 21,6
6. Juni 23,6 31,7 29,9 33,2 21,0
7. Juli 23,6 30,0 26,4 32,4 22,0
8. Agustus 23,4 31,6 29,2 33,8 21,8
9. September 23,5 29,9 28,2 32,2 22,0
10. Oktober 23,4 29,9 28,6 32,0 21,6
11. Nopember 23,3 29,6 27,9 32,2 21,0
12. Desember 22,8 29,4 27,7 32,2 21,0
Rata-rata 23,5 30,3 28,3 32,7 21,4

Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofosika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006

Kecepatan Angin

Kecepatan angin rata-rata di lokasi penelitian berdasarkan pengamatan


tahun 2004 adalah 6,9 km/jam. Bulan dengan rata-rata kecepatan angin terbesar
terjadi pada bulan Mei, sebesar 7,9 km/jam, dan terendah bulan Agustus sebesar
6,0 km/jam. Dengan demikian kecepatan angin di lokasi penelitian relatif tidak
berbeda pada tiap bulan.

Kelembaban Udara

Kelembaban nisbi udara rata-rata di lokasi penelitian adalah 73,7 %. Bulan


dengan kelembaban udara terendah adalah bulan Juni, yaitu sebesar 69 % dan
tertinggi bulan Nopember, sebesar 78 %. Dengan melihat kelembaban udara
tertinggi dan terendah dapat diketahui bahwa di lokasi penelitian memiliki
kelembaban udara relatif sama pada tiap bulannya. Hasil analisis kelembaban
udara harian di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata - rata Tekanan Udara dan Kelembaban Nisbi Di Kabupaten Aceh
Utara

No. Bulan Kelembaban Nisbi (%) Tekanan Udara (mb)


07.00 13.00 18.00
1. Januari 92 64 73 1.011,5
2. Februari 91 64 75 1.011,5
3. Maret 91 67 73 1.010,9
4. April 92 66 75 1.010,4
5. Mei 92 63 74 1.010,0
6. Juni 91 60 69 1.010,1
7. Juli 92 64 74 1.010,5
8. Agustus 92 56 69 1.010,9
9. September 93 65 75 1.011,4
10. Oktober 93 66 74 1.011,2
11. Nopember 93 70 78 1.010,4
12. Desember 94 66 75 1.010,9
Rata-rata 92,2 64,3 73,7 1.010,8
Sumber : Stasiun Meteorologi dan Geofisika Malikussaleh Kab. Aceh Utara, 2006

Kependudukan dan Mata Pencaharian

Menurut data statistika desa, jumlah penduduk yang berada dalam wilayah
DAS Krueng Peutoe secara keseluruhan adalah 32.637 jiwa dengan kepadatan
2
penduduk 134,04 jiwa/km yang tersebar pada tiga kecamatan di DAS Krueng
Peutoe. Kecamatan Lhoksukon dengan jumlah penduduk 12.639 jiwa terdiri dari
2.523 kepala keluarga, kecamatan Cot Girek dengan jumlah penduduk 19.169
jiwa terdiri dari 3.834 kepala keluarga dan kecamatan Matang Kuli dengan jumlah
penduduk 829 jiwa terdiri dari 152 kepala keluarga. Secara rinci data jumlah dan
kepadatan penduduk per kecamatan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Di DAS Krueng Peutoe

No. Kecamatan Luas Wilayah Jumlah Kependudukan


2 Penduduk (jiwa) 2
(Km ) (jiwa/Km )
1. Lhoksukon 88,07 12.639 143,50
2. Cot Girek 209,54 19.169 91,48
3. Matang Kuli 4,96 829 167,14
Jumlah 302,57 32.637
Rata-rata 134,04
Sumber : Monografi Desa, 2006 (diolah)
Menurut data yang ada (Dinas Infokom Kab. Aceh Utara, 2005) di Aceh
Utara pada saat ini terdapat sekitar 44,75% warga masyarakat yang miskin.
Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi dan multisektoral
dengan beragam karakteristiknya sesuai dengan spesifik wilayah. Masalah
kemiskinan juga menjadi sangat penting didahulukan penanggulangannya dalam
setiap derap langkah pembangunan, karena bila tidak ditanggulangi secara
sungguh-sungguh selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, politik, juga dapat
menghambat laju pertumbuhan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Berdasarkan data survai lapangan, di lokasi penelitian terdapat 27,9% KK
miskin. Hal ini bisa disebabkan karena produktivitas lahan yang rendah, lahan
pertanian sempit, harga hasil pertanian rendah dan kesempatan kerja diluar
usahatani atau pendapatan diluar usahatani sangat terbatas. Jumlah kepala
keluarga (KK) miskin dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah KK Miskin Di Lokasi Penelitian

No. Kecamatan Jumlah KK Jumlah KK Miskin Persentase


(jiwa) (jiwa) KK Miskin (%)
1. Lhoksukon 2.523 1.000 55,1
2. Cot Girek 3.834 714 39,3
3. Matang Kuli 152 101 5,6
Jumlah 6.509 1.815 100,0

Sumber : BPS Kabupaten Aceh Utara, 2003 (Diolah)

Mata Pencaharian

Dilihat dari mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian, sekitar 60%


penduduknya bekerja di sektor pertanian, sehingga kegiatan usaha taninya sangat
berkaitan dengan kepemilikan dan penggunaan lahannya. Lebih jelasnya jumlah
pendduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Penduduk Di Lokasi DAS Krueng Peutoe Berdasarkan Mata
Pencaharian

No. Tingkat Pendidikan Jumlah


Jiwa %

1. Petani 19.637 60,18


2. Tukang 680 2,08
3. BUMN 582 1,78
4. Buruh 2.468 7,56
5. PNS 1.066 3,27
6. Pensiunan 706 2,16
7. Pengrajin 340 1,04
8. Peternak 236 0,72
9. Lain- lain 6.922 21,21
Jumlah 32.637 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Utara, 2003 (Diolah)
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Lahan

DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha terdiri atas lima jenis
penggunaan lahan, yaitu pemukiman, kebun campuran, perkebunan, semak
belukar dan hutan primer. Dari ke lima penggunaan lahan tersebut, ha nya empat
penggunaan lahan saja yang dilakukan pengamatan (tidak termasuk penggunaan
lahan untuk pemukiman), dan dari ke empat penggunaan lahan tersebut
penggunaan lahan yang dominan adalah hutan primer.
Berdasarkan survai dan pengamatan pada lokasi pene litian dapat dilihat
bahwa penggunaan lahan umumnya hampir seragam, yaitu tanaman tahunan yang
ditumpangsari dengan tanaman pangan dan tanaman hortikultura, terkecuali
penggunaan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit) yang ditanam secara
monokultur oleh perkebunan kelapa sawit PTP-Nusantara I.
Dilihat dari pola tanam yang ada saat ini beberapa petani setempat belum
maksimal memanfaatkan lahan pertanian yang ada. Hal ini dikaitkan dengan curah
hujan dan meningkatnya hama di lokasi penelitian. Dari data curah hujan yang
ada, dari bulan September sampai dengan Desember petani setempat melakukan
penanaman padi tadah hujan, selanjutnya pada bulan Januari sampai dengan
Agustus yang seharusnya petani melakukan penanaman tanaman pangan dan
hortikultura akan tetapi karena meningkatnya hama, maka lahan dibiarkan
terlantar begitu saja.
Di Kabupaten Aceh Utara pembangunan pertanian tanaman pangan selain
diarahkan pada peningkatan produksi, juga ditekankan pada upaya meningkatkan
pendapatan dan hasil petani, menciptakan kesempatan kerja produktif/padat karya
dan kesempatan berusaha di pedesaan serta usaha untuk meningkatkan ekspor.
Penggunaan lahan untuk kebun campuran di DAS Krueng Peutoe umumnya
ditanami tanaman pinang, kelapa, kakao yang ditumpang sari dengan tana man
kacang kedelai, jagung, kacang panjang, cabe dan kacang tanah.
Tanaman kedelai yang merupakan tanaman sub tropis dan telah beradaptasi
dengan daerah tropis untuk saat ini merupakan tanaman andalan di Aceh Utara
(termasuk di lokasi penelitian) karena tanaman ini dapat ditanam pada lahan
kering dan terbuka.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal sebaiknya kedelai ditanam
pada bulan-bulan yang agak kering, tetapi air masih cukup tersedia. Air diperlukan
pada awal pertumbuhan sampai masa pengisian polong. Kekeringan pada waktu
pertumbuhan vegetatif dapat menyebabkan tanaman akan tumbuh kerdil,
sedangkan kekeringan pada saat berbunga dan saat pengisian polong dapat
menurunkan hasil (Sumarno 1984).
Penggunaan lahan untuk perkebunan pada DAS Krueng Peutoe umumnya
ditanami dengan jenis tanaman : pinang, kakao, sebagian kopi dan karet dan
kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan PTPN- I kebun Cot
Girek.
Potensi perkebunan di Aceh Utara cukup menggembirakan terutama yang
berada di wilayah pedalaman dan wilayah pengembangan. Permasalahan yang
dihadapi saat ini justru sumber daya manusia petani, serta terbatasnya sarana dan
prasarana yang dimiliki sebagai penunjang pembinaan operasional lapangan.
Dalam rangka mendorong ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam
negeri, pengembangan komoditas perkebunan ke depan khususnya di kabupaten
Aceh Utara terus ditingkatkan dengan mengarahkan kepada pemanfaatan lahan
marginal, seperti lahan kering yang memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Kendala yang dihadapi
pada lahan marginal, yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas fisik yang
berkaitan dengan bentuk wilayah dan karakteristik tanah dan faktor kimia yang
cukup berat bagi pertumbuhan kelapa sawit. Pelaksanaannya dapat ditempuh
melalui upaya peningkatan produksi dengan (1) membuka areal baru dan
memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, (2) peremajaan, yaitu pergantian
tanaman tua, rusak dan tidak produktif dengan tanaman baru yang memiliki
potensi produksi lebih tinggi, (3) rehabilitasi tanaman, yaitu yang mengarah
kepada upaya pemulihan kemampuan produksi agar tanaman mampu
menghasilkan sesuai dengan standar produksi pada umur tertentu, (4) perbaikan
mutu hasil dan (5) penganekaragaman serta pemanfaatan lahan transmigrasi pola
perkebunan. Ini semua harus diikuti dengan tindakan konservasi tanah agar
mendapatkan produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Perkebunan Kelapa Sawit Cot Girek, yang berlokasi di Kecamatan Cot
Girek, merupakan unit usaha dari kebun PTP Nusantara I memiliki HGU 7.500
ha. Dari luasan tersebut areal yang efektif berproduksi hanya seluas 5.663 ha,
yaitu pada areal kebun plasma (PIR lokal). Pada awal dibukanya perkebunan
PTPN- I Cot Girek kebun ini ditanami dengan tanaman tebu, dan pada saat ini
tanamannya sudah dialihkan ke tanaman kelapa sawit. Peralihan tanaman tebu ke
tanaman kelapa sawit dimulai pada tahun 1986 dengan penanaman awal seluas
500 ha dan penanam terakhir pada tahun 1991 seluas 1.000 ha, dan direncanakan
untuk tahun 2006 akan dilakukan penanaman kelapa sawit seluas 1.000 ha.
Tanaman pinang hampir dijumpai di seluruh kecamatan. Hampir semua
kepala keluarga menanam tanaman pinang. Saat ini di Aceh Utara luas areal yang
ditanami pinang adalah 12.639 ha, dimana tanaman yang telah menghasilkan
9.152 ha, dan tanaman yang belum menghasilkan adalah 3.457 ha. Produksi
tanaman pinang tahun 2003 adalah 7.158 ton (Dinas Infokom Kabupaten Aceh
Utara 2005).
Tanaman kakao saat ini mulai banyak ditana mi, termasuk di Kecamatan Cot
Girek, Matang Kuli dan Lhoksukon. Hal ini terkait dengan salah satu program
terpadu pemerintah kabupaten Aceh Utara tahun 2005 yaitu program Massal
Coklatisasi. Program ini diterapkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) produksi migas
di Aceh Utara yang semakin hari semakin berkurang, (2) mata pencaharian
masyarakat Aceh Utara yang bersumber pada sektor pertanian (dalam arti luas),
(3) tersedianya sumber daya alam dalam bentuk lahan- lahan yang subur yang
belum dimanfaatkan secara optimal (4) memanfaatkan sumberdaya manusia yang
potensial melalui penciptaan lapangan kerja terutama para pemuda di pedesaan
yang nantinya dapat menekan angka pengangguran di pedesaan serta (5) komoditi
kakao merupakan komoditi ekspor yang cepat mengha silkan (2-3 tahun) dan
dapat dikembangkan pada semua jenis lahan.
Penggunaan lahan untuk semak belukar didominasi oleh alang-alang dan
tegakan pohon. Lahan ini berkembang pada lahan yang ditelantarkan akibat
penebangan hutan, perladangan berpindah dan sebab-sebab lainnya. Areal ini
cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala yang
dihadapi adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sedangkan penggunaan
lahan untuk hutan masih berupa hutan alami yang tertutup oleh berbagai jenis
semak dan serasah. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan dan jenis tutupan
lahan secara keseluruhan di DAS Krueng Petutoe dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Di
DAS Krueng Peuto
No. Penggunaan Jenis Jenis Tanaman
Lahan Tutupan Lahan
1. Kebun Campuran Tanaman semusim Jagung, kc.kedelai, cabe, kc. tanah,
dan tahunan kc.panjang, kakao, pinang.
2. Perkebunan Tanaman tahunan Kelapa sawit, kakao, dan Pinang
3. Semak belukar Semak belukar Alang-alang dan tegakan Pohon
campuran
4. Hutan Hutan alami Hutan alami

Hasil tumpang tindih (overlay) peta penggunaan tanah (Lampiran 2), peta
topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4) diperoleh 17 satuan
lahan homogen (SLH) (Lampiran 5). Sebanyak 14 SLH dijadikan sebagai lokasi
pengamatan intensif, yaitu kebun campuran SLH 14, 15, 16, 17 seluas 11.620 Ha
(56,5%), perkebunan SLH 8, 9, 10, 12 seluas 4.294 Ha (20, 9%), semak belukar
SLH 6, 7 seluas 1.987 Ha (9,7%) dan hutan SLH 1, 3, 4, 5 seluas 2.653 Ha
(12,9%). Luasan satuan lahan homogen untuk masing- masing penggunaan lahan
tersebut disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing- masing Penggunaan Lahan
yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe

No. Penggunaan Lahan Satuan Lahan Homogen Luas

(SLH) Ha %
1. Kebun Campuran 14, 15, 16, 17 11.620 56,5
2. Perkebunan 08, 09, 10, 12 4.294 20,9
3. Semak Belukar 06, 07 1.987 9,7
4. Hutan 01, 03, 04, 05 2.653 12,9
Jumlah 20.554 100,0
Sumber : Hasil Analisis Peta

Berdasarkan pengamatan di lapang, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh


petani di lokasi penelitian umumnya belum menerapkan teknik konservasi tanah.
Hal ini dapat dilihat dari penanaman yang terus menerus tanpa dibera, penanaman
yang tidak diikuti dengan/tanpa dilakukan pemupukan dan juga dijumpai lahan
yang tidak diusahakan (diterlantarkan). Areal ini tadinya diusahakan untuk
tanaman padi dengan mengandalkan airnya dari curah hujan dan lahan ini sudah
dibiarkan begitu saja sejak bulan april 2005. Lahan yang dibiarkan terbuka tanpa
ditanami dengan tanaman penutup tanah bisa mengakibatkan terjadinya erosi,
karena tumbukan dari butir-butir hujan akan menghanyutkan partikel-partikel
tanah.
Erosi tanah merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan sulit
untuk dicegah secara keseluruhan yang mengakibatkan semakin tipisnya lapisan
tanah bagian atas yang nantinya dapat menurunkan kesuburan tanah. Perubahan
yang terjadi dengan terjadinya erosi tanah adalah : menurunnya sifat kimia tanah
seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi
dan kemampuan tanah menahan air dan akhirnya terjadinya penurunan produksi.

Klasifikasi Kemampuan dan Evaluasi Penggunaan Lahan

Evaluasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian


antara penggunaan lahan dengan kemampuan tanah, karena bila suatu penggunaan
lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan.
Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan
tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan
erosi pada lahan pertanian tersebut.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah yang
dikeluarkan oleh USDA yang membagi lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori
menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman, terutama faktor-
faktor pembatas permanen : kedalaman efektif, lereng, drainase dan erosi
(Lampiran 13) yang selanjutnya akan dikelompokkan kedalam kelas-kelas
tertentu.
Penentuan kelas lahan dengan menggunakan sistem klasifikasi kemampuan
lahan, ditentukan dari penilaian kelas lahan terburuk dan penghambat terberat.
Sebagai contoh bila seluruh parameter menunjukkan kelas II tetapi salah satu
parameter menunjukkan kelas V, maka areal tersebut termasuk dalam kelas V.
Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya merupakan salah satu
tindakan konservasi yang akan menjamin kelestarian sumberdaya lahan,
sebaliknya jika penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya
maka akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya lahan
akan semakin kritis.
Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan di DAS Krueng
Peutoe untuk berbagai penggunaan lahan dengan berpedoman pada kelas
kemampuan lahan menurut Klingebiel dan Montgomery (1973 dalam Arsyad
2000), maka di lokasi penelitian didapat kelas kemampuan lahan II, III, VI dan
VII dengan faktor pembatas utama berupa lereng (l), dan erosi (e). Kelas
kemampuan lahan untuk penggunanan lahan kebun campuran dijumpai pada kelas
II, III, VI dan VII, untuk penggunaan lahan perkebunan dijumpai pada kelas II, III
dan VI, untuk penggunaan lahan semak belukar dijumpai pada kelas VI dan untuk
penggunaan lahan hutan dijumpai pada kelas III dan VI. Untuk lebih jelasnya
hasil evaluasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 14.
Dilihat dari kriteria kemampuan lahan, bahwa lahan yang termasuk kedalam
kelas II (SLH 10, 15) sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai
dengan intensif. Faktor penghambat yang dijumpai pada kelas ini adalah lereng.
Dilihat dari faktor penghambat yang masih ringan, maka agar lahan ini dapat
digunakan secara lestari, diperlukan tindakan konservasi sedang, seperti
pengolahan tanah menurut kontur, pergiliran tanaman dengan penutup tanah,
pembuatan guludan dan pemupukan.
Lahan yang masuk ke dalam kelas III (SLH 1, 5, 9, 12 dan 16) sesuai untuk
lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan sedang, dengan faktor pembatas
lereng dan erosi. Penggunaan lahan pada kelas III masih dapat dipertahankan
untuk pertanian sedang. Tindakan konservasi yang perlu dilakukan adalah dengan
pembuatan teras, penanaman dalam strip dan pergiliran tanaman dengan tanaman
penutup tanah agar nantinya dapat menjaga kelestarian penggunaan lahan untuk
menunjang kehidupan dan kesejahteraan masa depan petani dan keluarganya.
Tabel 14. Hasil Evaluasi Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan.

KKL FPPL Sub SLH Penggunaan Lahan EPL LUAS Arahan Penggunaan Lahan
Kelas Ha % Menurut Kelas Kemampuan
II L1 II L1 15 Kebun campuran sesuai 3.951 19,2 Lahan garapan pertanian intensif untuk
kebun campuran
10 Perkebunan sesuai 1.709 8,3 Lahan garapan pertanian intensif untuk
perkebunan
III L2, e2 III L2,e2 16 Kebun campuran sesuai 4.350 21,1 Lahan garapan pertanian sedang untuk

kebun campuran
III L2 9, 12 Perkebunan sesuai 2.521 12,3 Lahan garapan pertanian sedang untuk
perkebunan
1, 5 Hutan sesuai 414 2,0 Lahan garapan pertanian sedang untuk
hutan
VI L4 VI L4 14 Kebun campuran tdk sesuai 2.634 12,8 Lahan penggembalaan sedang untuk

agroforestry
8 Perkebunan tdk sesuai 64 0,3 Lahan penggembalaan sedang untuk
agroforestry
3, 4 Hutan sesuai 2.239 10,9 Lahan penggembalaan sedang untuk
hutan
6, 7 Semak Belukar tdk sesuai 1.987 9,7 Lahan penggembalaan sedang untuk
padang pengembalaan
VII L5 VII L5 17 Kebun campuran tdk sesuai 685 3,3 Lahan penggembalaan terbatas untuk

agroforestry
Keterangan : KKL = Kelas Kemampuan Lahan, L = Lereng, e = Tingkat Erosi, FPPL = Faktor Penghambat Pengelolaan Lahan, EPL = Evaluasi Penggunaan Lahan
Lahan yang masuk ke dalam kelas VI (SLH 3, 4, 6. 7, 8, 14 ) memiliki
faktor pembatas lereng yang agak curam. Tanah kelas ini menurut kriteria
kemampuan lahan lebih sesuai untuk penggembalaan terbatas sampai dengan
sedang. Akan tetapi bila digunakan untuk lahan pertanian (SLH 8 dan 14)
diperlukan tindakan konservasi dengan metode pencegahan erosi yang berat
seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.
Lahan yang masuk ke dalam kelas VII (SLH 17) dengan kelerengan yang
curam memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Lahan kelas ini lebih sesuai
digunakan untuk penggembalaan terbatas, agroforestry, hutan produksi untuk
pencegahan erosi atau untuk hutan lindung.
Hasil penilaian penggunaan lahan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan lahan di lokasi penelitian yang sesuai digunakan untuk lahan garapan
pertanian adalah pada SLH 10, 15 yang memiliki topografi datar (lereng 0 8%)
dan pada SLH 1, 5, 9, 12, 16 dengan topografi bergelombang (lereng 8 15%).
Untuk SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 dengan topografi berbukit (lereng 25 45%)
berdasarkan kriteria klasifikasi kemampuan lahan sebaiknya digunakan untuk
penggembalaan dan bila digunakan untuk lahan garapan pertanian (SLH 8 dan
14), maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah dengan metode pencegahan
erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif.
Pada SLH 17 yang mempunyai topografi curam (lereng > 45%) disarankan
untuk digunakan sebagai padang penggembalaan terbatas, termasuk agroforestry
sesuai dengan kelas kemampuan lahannya.

Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi

Penerapan evaluasi pola tanam dan agroteknologi pada satuan lahan


homogen pewakil yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif perlu
dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya dalam penggunaan lahan, pengelolaan
tanaman dan teknik konservasi yang akan diterapkan. Persyaratan penggunaan
lahan dan persyaratan tumbuh bagi tanaman menjadi penting karena penggunaan
dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya dukungnya agar
dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Usahatani dikatakan
berkelanjutan bila penggunaan lahannya telah sesuai dengan kemampuan lahan,
nilai prediksi erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang
dapat ditoleransikan (ETol) dan usahatani yang diterapkan memberikan hasil yang
menguntungkan bagi petani.
Hasil pengamatan di lapangan, pola tanam yang diterapkan oleh petani
selama ini adalah pola tanam yang berubah-ubah, karena petani setempat selalu
mengikuti pola curah hujan.
Pola tanam yang diterapkan oleh petani untuk kebun campuran dan
perkebunan (diluar perkebunan PTPN-I Cot Girek) yang diterapkan pada DAS
Krueng Peutoe adalah pola tanam yang tetap, dan hanya sebagian dari petani yang
telah melakukan perubahan pola tanam dengan memperhatikan kondisi pasar.
Penanaman tanaman semusim yang biasa dilakukan oleh petani yaitu kacang
kedelai, jagung, cabai, kacang tanah dan kacang panjang. Sedangkan tanaman
tahunan yang umumnya dibudidayakan oleh petani adalah tanaman pinang,
kelapa, kelapa sawit dan kakao (baru tahap awal penanaman, diluar dari areal
perkebunan).
Penanaman tanaman musiman yang seharusnya ditanam dua kali dalam
setahun, ternyata petani setempat hanya melakukan penanamannya satu kali
dalam setahun. Lahan yang ada sering diterlantarkan begitu saja, karena petani
setempat selalu mengikuti pola curah hujan dalam penentuan pola tanamnya dan
banyaknya hama yang tidak dapat dijangkau oleh petani setempat.
Program pembangunan irigasi merupakan program yang sangat mendukung
pembangunan pertanian secara menyeluruh, karena dengan berfungsinya sarana
irigasi, petani setempat dapat melakukan penanaman padi dua kali dalam satu
tahun sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dilihat dari luasan areal
persawahan, saat ini di Aceh Utara terdapat lebih kurang 40.000 ha sawah yang
diterlantarkan akibat tidak berfungsinya sarana irigasi, sedangkan di lokasi
penelitian terdapat lebih kurang 850 ha lahan persawahan yang tidak diusahakan.
Penerapan pola tanam pada kebun campuran umumnya juga tidak teratur,
dimana penanaman tanaman sampingan disisipkan diantara tanaman utama. Pola
tanam aktual untuk kebun campuran dan perkebunan yang diterapkan di DAS
Krueng Peutoe dapat dilihat pada Tabel 15. Pola tanam ini merupakan pola tanam
yang diterapkan langsung oleh petani setempat dan hanya sebagian dari petani
yang melakukan perubahan pola tanam dengan melihat kondisi pasar dan
kebutuhan petani itu sendiri, walaupun perubahan pola tanam ini tidak mungkin
dilakukan (hama yang begitu besar).

Tabel 15. Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan pada Lokasi
Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe.

No. SLH Pola Tanam KPT


Kebun Campuran
1. 14, 15 dan 17 Tanaman tahunan dan tanaman pangan A
2. 16 Padi dan tanaman pangan B
Perkebunan
3. 8, 9, 10, 12 Tanaman tahunan C

Semak Belukar

4. 6, 7 Anakan dan tegakan pohon D

Hutan
5. 1, 3, 4, 5 Hutan Alami E

Keterangan : KPT = Kode Pola Tanam; SLH = Satuan Lahan Homogen

Melihat dari keberadaan perkebunan kelapa sawit PTPN-I yang berada


disekitar lokasi, maka pada umumnya petani setempat lebih memilih untuk
bekerja sebagai tenaga harian di perkebunan PTPN-I dengan upah harian rata-rata
Rp 12.000 per hari nya.
Pemilihan agroteknologi untuk setiap satuan lahan homogen diperoleh
melalui simulasi dengan menggunakan model USLE (Wischmeier dan Smith
1978). Nilai A (prediksi erosi) didapat berdasarkan nilai faktor R, K, L dan S yang
diukur di lapang pada setiap satuan lahan homogen sedangkan agroteknologi
dapat ditentukan dengan mensimulasi nilai faktor C (pengelolaan tanaman) dan
nilai faktor P (tindakan konservasi) saja.
Pemilihan agroteknologi didahului dengan inventarisasi agroteknologi yang
sudah ada dan agroteknologi lain yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan
masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe. Adapun kriteria yang digunakan untuk
menetapkan nilai CP maksimum yang akan dijadikan alternatif agroteknologi
adalah nilai CP yang me ngakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi
yang dapat ditoleransikan (ETol).
Prediksi Erosi

Pendugaan erosi di DAS Krueng Peutoe dianalisis pada setiap titik contoh
yang terdapat pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) yang
menggunakan beberapa nilai parameter dengan menggunakan persamaan USLE.
Parameter-parameter yang ditentukan dalam perhitungan erosi adalah
erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), lereng (LS), pengelolaan tanaman (C)
dan pengelolaan tanah (P). Hasil perhitungan dan pengamatan menunjukkan
bahwa nilai parameter setiap titik contoh pada masing- masing satuan lahan
homogen menunjukkan bahwa nilai erosi yang sangat bervariasi.
Produksi pertanian yang cukup tinggi secara terus menerus dapat
dipertahankan apabila erosi pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH)
tersebut lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), dan bila erosi
lebih besar dari ETol maka produktivitas lahan akan segera menurun, sehingga
produksi yang tinggi hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja yang
akhirnya lahan pertanian tersebut menjadi tidak produktif atau bahkan menjadi
lahan kritis.
Faktor iklim terpenting yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah,
aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Air hujan yang jatuh menimpa tanah-
tanah yang terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi dan sebagian dari air
hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Nilai erosivitas
hujan (R) dihitung berdasarkan data curah hujan sepuluh tahunan di DAS Krueng
Peutoe (Lampiran 15), dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar
otomatik maka untuk menghitung nilai erosivitas hujan ditentukan berdasarkan
persamaan Lenvain (1975 dalam Asdak 1995) :
1,36
EI30 = 2,21 (CHm)

dimana :
EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit
(CHm) = Curah hujan bulanan

Besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai indeks
erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :
12
R = S EI30 i R = faktor erosivitas hujan
i=1

dari hasil perhitungan didapat nilai erosivitas hujan sebesar 756,56 cm.
Erodibilitas tanah (K) merupakan ukuran kepekaan tanah tererosi oleh air.
Nilai erodibilitas tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan organik,
permeabilitas dan kemantapan struktur tanah (Lampiran 16). Hasil perhitungan
untuk masing- masing unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan
disajikan pada Lampiran 17.
Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung
secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Kedua unsur topografi
tersebut (nilai LS) sangat mempengaruhi erosi dan aliran permukaan. Panjang
lereng (L) merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada
pengedapan atau aliran permukaan masuk ke saluran. Makin panjang lereng
permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran
permukaan semakin tinggi. Kemiringan lereng (S) sangat berpengaruh terhadap
aliran permukaan, dimana makin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan
semakin besar, dan jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan
butiran hujan juga semakin banyak. Hasil perhitungan nilai LS untuk masing-
masing unit lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Lampiran 18.
Nilai C dan P ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola tanam
dan tindakan konservasi dalam mengelola lahannya yang diterapkan oleh petani di
lapangan dengan berpedoman pada hasil penelitian nilai C dan CP yang telah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu (Lampiran 8 dan 9). Faktor C dan P
merupakan bagian dari penyebab erosi yang sangat dekat dengan aktifitas manusia
dan faktor inilah yang mungkin dapat dirubah ataupun diperbaiki.
Nilai C merupakan besaran yang menunjukkan perbandingan antara tanah
yang hilang akibat erosi per satuan luas dari lahan yang ditanamai dengan sistem
pengelolaan tertentu dengan tanah yang hilang. Efektifitas tanaman penutup tanah
dalam mengurangi laju erosi tergantung pada ketinggian, kerapatan tanaman
penutup tanah dan kerapatan perakaran.
Nilai P (teknik konservasi) merupakan besaran yang menunjukkan
perbandingan antara tanah yang hilang akibat erosi per satuan luas (ton/ha) pada
daerah yang menggunakan teknik konservasi. Nilai faktor P adalah satu bila lahan
tersebut tanpa tindakan konservasi (Lampiran 19).
Berdasarkan hasil perhitungan beberapa parameter dalam menghitung erosi
untuk tiap lokasi penelitian (kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan
hutan) maka didapat nilai erosi di tiap lokasi pengamatan intensif (Lampiran 20).
Perhitungan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (Lampiran 21) ditentukan
berdasarkan kedalaman efektif tanah, nilai faktor kedalaman sub order tanah,
kedalaman tanah minimum, bobot isi tanah, laju pembentukan tanah dan masa
pakai tanah. Perbandingan nilai prediksi erosi (A) dan ETol pada berbagai jenis
penggunaan lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan Etol pada Berbagai Penggunaan
Lahan dan Pola Tanam Aktual Di DAS Krueng Peutoe

No. SLH Pola Tanam KPT A ETol


(ton/ha/thn) (ton/ha/thn)
Kebun Campuran
1. 14, 15 dan 17 Tanaman tahunan dan A 14,56-403,82 23,03-39,60
tanaman pangan
2. 16 Padi dan tanaman pangan B 99,88 36,31

Perkebunan
3. 8, 9, 10, 12 Tanaman tahunan C 2,91-315,37 26,26-38,15

Semak Belukar
4. 6, 7 Anakan dan tegakan pohon D 137,63-180,76 29,38-43,63

Hutan
5. 1, 3, 4, 5 Hutan Alami E 0,54-1,47 13,87-32,00

Tabel 16 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai prediksi erosi (A) di


lapangan lebih besar dari nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETo l). Untuk
penggunaan lahan kebun campuran (SLH 14, 15, 16 dan 17) didapat nilai erosi
berkisar 14,56 403,82 ton/ha/tahun sedangkan nilai ETol berkisar 23,03 39,60
ton/ha/tahun. Penggunaan lahan untuk perkebunan (SLH 8, 9, 10 dan 12) didapat
nilai erosi berkisar 2,91 315,37 ton/ha/tahun dan nilai ETol berkisar 26,26
38,15 ton/ha/tahun. Penggunaan lahan untuk semak belukar (SLH 6 dan 7)
didapat nilai erosi berkisar 137,63 180,76 ton/ha/tahun dan nilai ETol 29,38
43,63 ton/ha/tahun, sedangkan penggunaan lahan untuk hutan (SLH 1, 3, 4 dan 5)
didapat nilai erosi 0,54 1,47 ton/ha/tahun dan nilai ETol 13,87 32,00 ton/ha/
tahun.
Nilai prediksi erosi yang didapat lebih besar dari nilai ETol dikarenakan oleh
faktor lereng yaitu lereng yang curam. Semakin curamnya lereng mengakibatkan
kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut partikel-
partikel tanah juga akan meningkat. Faktor lain yang mengakibatkan nilai prediksi
erosi aktual lebih lebih besar dari nilai ETol adalah penggunaan lahan yang tidak
disertai dengan teknik konservasi tanah seperti pergiliran tanaman, pemakaian
tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, pengolahan tanah minimum,
penggunaan mulsa atau kombinasi dari teknik-teknik konservasi tersebut. Untuk
itu diperlukan perubahan pola tanam dan penerapan agroteknologi alternatif untuk
memperkecil nilai prediksi erosi yang akan terjadi.

Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Tani Pilihan

Analisis biaya dan pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah
pada pola tanam kebun campuran yang meliputi beberapa komponen diantaranya
tenaga kerja, bibit/benih, peralatan, pupuk dan pestisida. Sedangkan komponen
pendapatan meliputi produksi, total penerimaan dan pendapatan. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pendapatan petani yang bersumber dari usahatani dan
agroteknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kehidupan petani yang layak
dan berkelanjutan.
Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan
kebutuhan beras per kepala keluarga dan harga beras yang berlaku disuatu daerah.
Kehidupan layak bagi masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe yang masing-
masing keluarga terdiri dari 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dapat terpenuhi
jika memiliki pendapatan bersih setara dengan Rp 9.600.000 /kk/tahun (320
kg/orang/tahun x 2,5 (nilai indeks faktor pengali) x 5 orang x Rp 2.400 (harga
beras saat sekarang di lokasi penelitian) = Rp 9.600.000/kk/tahun). Nilai indeks
ini ditentukan oleh berbagai kebutuhan hidup petani dan keluarganya yaitu: biaya
konsumsi sehari- hari, perumahan, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan
tabungan.
Salah satu indikator untuk menilai tingkat produktivitas lahan dan tingkat
kesejahteraan bagi petani di suatu wilayah adalah berdasarkan pendapatan petani.
Semakin tinggi pendapatan petani maka semakin sejahtera petani tersebut. Untuk
itu perlu direkomendasikan pola tanam yang telah memberikan keuntungan dan
kesejahteraan bagi petani dan keluarganya.
Analisis finansial pada kebun campuran dilakukan untuk setiap satu siklus (1
tahun) pada masing- masing pola tanam yang diterapkan oleh petani. Pendapatan
yang diperoleh dari hasil usaha tani merupakan pendapatan kotor yang dikurangi
dengan biaya produksi (termasuk upah tenaga kerja dalam keluarga), sedangkan
pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan hasil penjualan yang didapat dari
semua sumber dalam usahatani.
Berdasarkan pola tanam aktual (Lampiran 22) yang diterapkan oleh petani
setempat, maka perlu dilakukan analisis finansial untuk mengetahui pendapatan
yang diperoleh petani dalam satu tahun. Hasil analisis biaya dan pendapatan
petani untuk pola tanam aktual pada kebun campuran disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Pola Tanam Aktual pada
Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe
Pendapatan Kotor (Rp/KK/Tahun) Total Pendapatan
SLH KKL KPT Biaya Dikeluarkan Bersih
Usahatani Usaha Lain -lain (Rp/KK/ha/thn) (Rp/KK/ha/thn)
Ternak
14 VI A1 5.775.000 2.962.000 1.350.000 4.949.000 5.138.000
15 II A2 7.925.000 3.137.000 1.650.000 5.073.000 7.639.000
17 VII A3 5.450.000 - - 3.349.000 2.101.000
16 III B1 3.150.000 - 1.450.000 3.846.000 754.000

Keterangan : SLH : Satuan Lahan Homogen

KKL : Kelas Kemampuan Lahan


KPT : Kode Pola Tanam
A1 : Pinang + cabe- kacang kedelai + usaha ternak ayam + usaha lain
A2 : Kakao + kacang kedelai - cabe + usaha ternak ayam+ usaha lain
A3 : Pinang + kakao + kacang tanah
B1 : Padi + jagung - kacang kedelai / kacang panjang + usaha lain
(+) Tumpang sari, (/) Tumpang sisip, (-) Tumpang gilir

Rata-rata pendapatan bersih petani untuk pengelolaan kebun campuran dengan


luasan satu hektar adalah Rp 754.000 sampai dengan Rp 7.639.000 /kk/ha/tahun.
Sedangkan rata-rata biaya yang dikeluarkan petani setiap tahunnya adalah Rp
3.349.000 sampai dengan Rp 5.073.000 kk/ha/tahun.
Pendapatan bersih tertinggi yang didapat oleh petani adalah pada satuan

lahan ho mogen 15 dengan pola tanam A2 (kakao+kacang kedelai-cabe) sebesar


Rp 7.639.000 dengan usaha sampingan lainnya adalah usaha ternak ayam
ditambah dengan usaha- usaha lain. Sedangkan pendapatan petani terendah

didapat pada satuan lahan homogen 16 denga n pola tanam B1 (Padi+Jagung-


kacang kedelai / kacang panjang) sebesar Rp 754.000 yang ditambah dengan
masukan dari usaha lain sebesar Rp 1.450.000. Contoh perhitungan analisis biaya
dan pendapatan disajikan pada Lampiran 23 dan perhitungan analisis usaha ternak
disajikan pada Lampiran 24.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua pola tanam aktual yang
dianalisis memberikan pendapatan yang relatif rendah bagi petani. Untuk itu
berdasarkan pertimbangan aspek keberlanjutan, maka pola tanam di atas belum
bisa direkomendasikan.
Rendahnya pendapatan petani bila dilihat dari standar kehidupan layak di
lokasi penelitian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah terjadinya
penurunan kualitas lahan akibat erosi yang berdampak langsung pada hasil panen
yang rendah akibat hilangnya kandungan hara terutama pada tanah-tanah bagian
top soil. Keuntungan yang didapat sangat kecil bila dibandingkan dengan biaya
yang telah mereka keluarkan untuk mengelola usaha taninya. Untuk itu hampir
sebagian masyarakat di lokasi penelitian beralih sebagai pekerja harian pada
perkebunan PTPN I. Hal ini menunjukkan bahwa standar hidup layak di lokasi
penelitian belum terpenuhi melainkan hanya untuk memenuhi kriteria nilai
ambang kecukupan pangan. Untuk itu diperlukan perbaikan pola tanam dan
agroteknologi pada kebun campuran untuk masing- masing satuan lahan homogen.
Pola tanam dan agroteknologi yang diterapkan harus dapat menekan laju erosi,
sehingga akan didapat nilai erosi yang lebih kecil dari ETol agar produktivitas
lahan dapat dipertahankan yang nantinya akan terjadi peningkatan produksi pada
berbagai pola tanam dimasing- masing satuan lahan homogen. Disamping itu
usaha di atas perlu dikombinasikan dengan usaha ternak (ternak ayam dan
kambing), atau usaha- usaha lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan petani
sehingga kehidupan layak bagi petani di lokasi penelitian dapat terpenuhi.
Hasil analisis finansial untuk pola tanam dan agroteknologi alternatif yang
sebaiknya diterapkan pada kebun campuran agar pendapatan petani di lokasi
penelitian meningkat dapat dilihat pada Tabel 18. Komposisi pola tanam alternatif
disajikan pada Lampiran 25, contoh perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola
tanam alternatif disajikan pada Lampiran 26 dan contoh perhitungan analisis
usaha ternak disajikan pada Lampiran 27.

Tabel 18. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Berbagai Pola Tanam
Alternatif pada Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe

Pendapatan Kotor (Rp/KK/Tahun) Total Pendapatan


SLH KKL KPT Biaya Dikeluarkan Bersih
Usahatani Usaha Lain -lain (Rp/KK/ha/thn) (Rp/KK/ha/thn)
Ternak
14 VI A1 13.100.000 3.137.000 1.350.000 5.145.940 12.441.060
15 II A2 9.730.000 8.112.000 3.954.000 8.735.800 13.060.200
17 VII A3 9.480.000 5.749.000 4.104.000 7.068.280 12.264.720
16 III B1 6.125.000 8.412.000 4.054.000

8.323.800 10.267.200
Keterangan :
A1 : Pinang + Kedelai Kc.Tanah + Jagung/Cabe+usaha ternak ayam
+usaha lain
A2 : Kakao + Kc.Hijau Kedelai +Cabe+usaha ternak ayam+
kambing+usaha lain
A3 : Pinang + Kakao + Kedelai - Kc.Hijau+ternak ayam+ usaha lain
B1 : Padi Gogo + Jagung Jagung + Terong + Kedelai/Cabe+ternak
ayam+kambing+
usaha lain
(+) Tumpang sari, (/) Tumpang sisip, (-) Tumpang gilir

Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan untuk berbagai pola tanam
alternatif pada kebun campuran terlihat bahwa pendapatan petani meningkat bila
dilakukan dengan penerapan beberapa pola tanam seperti tumpang sari, tumpang
gilir atau tupang sisip yang disertai dengan penerapan agroteknologi yaitu
penerapan teknik konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud, penaman
menurut kontur serta pemberian mulsa. Sedangkan usaha tambahan yang perlu
dilakukan untuk peningkatan pendapatan adalah melalui usaha ternak (ternak
ayam dan kambing) dan pengolahan hasil pertanian seperti pembuatan keripik
pisang, kacang goreng, pisang goreng yang nantinya usaha tambahan ini dapat
mendukung keberhasilan usahataninya.

Rekomendasi Pola Tanam dan Agroteknologi

Berdasarkan informasi data yang telah di uraikan di atas, maka disusun suatu
pola tanam alternatif dan agroteknologi yang nantinya dapat diterapkan pada
lokasi penelitian.
Alternatif agroteknologi ditentukan dengan cara membandingkan besarnya
erosi yang terjadi (prediksi) dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol).
Diupayakan hasil prediksi erosi lebih kecil dari ETol dengan cara mensimulasikan
nilai C, P atau CP sehingga diperoleh alternatif agroteknologi atau pengelolaan
tanah dan tanaman yang terbaik.
Selain itu pemilihan alternatif pengelolaan tanah dan tanaman (penerapan
agroteknologi) di dasarkan atas pertimbangan keefektifannya dalam menekan
erosi dan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi petani. Teknologi yang
direkomendasikan harus dapat dilakukan petani dengan kondisi sumberdaya lokal,
dapat diterapkan dan diterima secara sosial budaya.
Jenis dan pola tanam yang direkomendasikan disesuaikan dengan kondisi
biofisik (aspek kesesuaian lahan), permintaan pasar dan dapat diterima oleh
petani. Oleh karena itu jenis tanaman yang direkomendasikan adalah jenis
tanaman yang sudah biasa diusahakan di lokasi tersebut. Lebih jelasnya pola
tanam dan agroteknologi yang direkomendasikan dapat di lihat pada Tabel 19 dan
Lampiran 29 dan 30.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan adalah
dengan membandingkan besarnya nilai erosi yang terjadi di lapangan dengan erosi
yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Apabila erosi yang terjadi lebih besar dari
nilai ETol maka dilakukan tindakan konservasi ya ng sesuai pada lahan tersebut
agar nantinya dapat mengurangi atau memperkecil erosi .
Penentuan teknik konservasi dilakukan dengan mengevaluasi nilai faktor
erosi yaitu nilai C (tindakan pengelolaan tanaman) dan nilai P (tindakan
konservasi). Dengan adanya perubahan pola tanam dan penerapan teknik
konservasi tanah diharapkan nilai erosi tidak melebihi nilai ETol. Teknik
konservasi yang akan diterapkan oleh petani juga harus berdasarkan kemampuan
dan kesesuaian lahan, terutama pada lahan- lahan yang memiliki lereng yang
curam sehingga didapat nilai erosi (A) yang tidak melebihi nilai ETol.
Tabel 19. Rekomendasi Alternatif Pola Tanam dan Agroteknologi Di Lokasi
DAS Krueng Peutoe
SLH Pola Tanam CP RKLS A ETol A vs ETol
dan Agroteknologi (ton/ha/thn) (ton/ha/thn)

Kebun Campuran
14 PN+Kedelai - KT+JG/Cabe+M+TG 0,012 310,79 3,73 28,28 <
15 KK+KH - Kedelai+Cabe+JG+M+TG 0,015 72,78 1,09 39,60 <
16 PG+JG - JG+TR+Kedelai/Cabe+M+TG 0,021 499,41 10,48 36,31 <
17 PN+KK+Kedelai-KH+M+TG+PMK 0,015 2.019,11 30,28 23,03 >
Perkebunan
8 PN+KK+NG+KLP+M+TG 0,015 630,74 9,46 26,26 <
9 KK+KP+NG+KLP+M+TG 0,015 346,88 5,20 26,40 <
10 KS+M+TB 0,13 29,05 3,78 38,15 <
12 KK+M+TB 0,08 265,55 21,24 29,60 <
Semak Belukar
6 Padang Pengembalaan 0,0025 602,52 1,51 43,63 <
7 Padang Pengembalaan 0,0025 458,78 1,15 29,38 <
Hutan
1 Agroforestry+TG 0,0021 171,59 0,36 13,87 <
3 Hutan dengan kerapatan tinggi 0,0012 1466,89 1,76 22,64 <
4 Hutan atau Padang Penggembalaan 0,0023 537,46 1,24 32,00 <
5 Agroforestry+TG 0,0021 138,45 0,29 17,14 <
Keterangan : PN = Pinang, KK = Kakao, NG = Nangka, KLP = Kelapa, KP = Kopi, JG = Jagung,
KT = Kc.Tanah, KH = Kc.Hijau, TR = Terong, PG = Padi Gogo, KS = Kelapa sawit,
M = Mulsa, TG = Teras Gulud, TB = Teras bangku, PMK = Penanaman menurut
kontur, (+) :Tumpang sari, (-) : Tumpang gilir, (/) : Tumpang sisip, SLH = Satuan
Lahan Homogen.

Tingkat erosi yang terjadi pada pola tanam aktual (Tabel 16) untuk
penggunaan lahan kebun campuran (SLH 15), penggunaan lahan perkebunan
(SLH 10 dan 12) dan penggunaan lahan hutan (SLH 1, 3, 4 dan 5) masih pada
tingkat ringan. Nilai erosi yang didapat (A) lebih kecil dari ETol, untuk itu teknik
konservasi yang disarankan adalah dengan pembuatan teras gulud, penanaman
menurut kontur, dan agroforestry (wanatani).
Salah satu fungsi dari pembuatan teras gulud adalah untuk mengurangi
panjang lereng, menahan air hingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah disamping itu
tenaga kerja yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan tipe teras lainnya.
Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran
permukaan serta agar guludan tidak mudah rus ak sebaiknya guludan diperkuat
dengan tanaman penguat teras.
Penanaman menurut kontur bertujuan untuk menghambat aliran permukaan,
yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah oleh
aliran permukaan. Penanaman menurut kontur akan lebih efektif bila diikuti
dengan penanaman tanaman penutup tanah atau tanaman pupuk hijau.
Sistem wanatani (agroforestry) merupakan sistem penggunaan lahan yang
mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus
menerus ataupun periodik yang secara sosial dan ekologis layak dikerjakan oleh
petani untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan
teknologi yang rendah.
Selanjutnya pada penggunaan lahan kebun campuran (SLH 14, 16), dan
penggunaan lahan untuk perkebunan ( SLH 8 dan 9) dikarenakan tingkat erosi
yang terjadi lebih besar dari erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk
itu disarankan untuk menerapkan teknik konservasi seperti pembuatan teras gulud,
penanaman menurut kontur, agroforestry (wanatani) dan pemberian mulsa,
sehingga di dapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (Tabel 19).
Pemberian mulsa merupakan salah satu teknik konservasi tanah yang cukup
efektif untuk melindungi tanah dari tumbukan energi kinetik hujan dan
mengurangi laju aliran permukaan sehingga laju infiltrasi akan meningkat.
Pemberian mulsa secara teratur dapat menjadikan struktur tanah yang gembur,
sehingga memungkinkan budi daya tanpa olah (no tillage) atau olah tanah
minimum (minimum tillage). Efektifitas mulsa dalan mengendalikan erosi sangat
tergantung kepada jenis mulsa, kuantitas (persentase) penutupan permukaan tanah,
tebal lapisan mulsa dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Sisa tanaman
yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi seperti
jerami padi, sorgum dan batang jagung (Suwardjo 1981).
Penggunaan lahan semak belukar (SLH 6 dan 7) dengan topografi berbukit
(25 45%), dikarenakan tingkat erosi yang terjadi lebih besar dari ETol, maka
penggunaaan lahannya direkomendasikan untuk padang penggembalaan yang
nantinya didapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (1,15 1,51 ton/ha/tahun)
Penggunaan lahan kebun campuran (SLH 17) dengan topografi curam (>
45%) memiliki nilai erosi 403,82 ton/ha/tahun. Setelah direkomendasi untuk pola
tanam alternatif dan agroteknologi, masih memiliki nilai erosi di atas nilai erosi
yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk itu penggunaan lahan kebun
campuran (SLH 17) direkomendasikan untuk penggunaan agroforestry.
Penggunaan lahan hutan (SLH 1 dan 5) dengan topografi bergelombang (9
11%) direkomendasikan untuk hutan atau agroforestry yang disertai dengan
pembuatan teras gulud. Selanjutnya penggunaan lahan hutan (SLH 3 dan 4)
dengan topografi yang curam (27 -43%) direkomendasikan untuk penggunaan
hutan.
Dengan dilakukan arahan penggunaan lahan di atas, diharapkan masyarakat
dilokasi penelitian membuat perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan di
DAS Krueng Peutoe berdasarkan kelas kemampuan lahannya dan tidak lagi
memanfaatkan lahannya diluar dari kelas kemampuan lahan yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di DAS Krueng Peutoe, maka


dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penggunaan lahan pada DAS Krueng Peutoe untuk kebun campuran,


perkebunan, semak belukar dan hutan telah sesuai dengan kelas
kemampuan lahan, meskipun masih terdapat beberapa usahatani yang
dilakukan pada lereng yang curam.

2. Pola tanam dan agroteknologi yang diterapkan oleh masyarakat setempat


masih bersifat tradisional. Hasil prediksi erosi yang terjadi untuk
penggunaan lahan kebun campuran (14,56 403,82 ton/ha/tahun) lebih
besar dari ETol (23,03 39,60 ton/ha/tahun), yang mengakibatkan
terjadinya penurunan produktivitas lahan dan dampaknya kepada
rendahnya pendapatan petani (Rp 754.000 Rp 7.639.000/kk/ha/thn).

3. Penggunaan lahan untuk kebun campuran dan perkebunan pada lahan


kelas II (5.660 ha) dengan nilai erosi (1,09-3,78 ton/ha/thn) dan kelas III
(6.871 ha) dengan nilai erosi (0,29-21,24 ton/ha/thn) tetap dipertahankan,
akan tetapi perlu diikuti dengan perbaikan pola tanam dan agroteknologi
seperti pemilihan jenis tanaman, tumpang sari, tumpang gilir, tumpang
sisip, pemberian mulsa penutup tanah dan teras guludan.

4. Penggunaan lahan untuk kebun campuran dan perkebunan pada lahan


kelas VI (2.698 ha) dengan nilai erosi (3,73-9,46 ton/ha/thn) perlu
dilakukan penerapan agroteknologi seperti pembuatan teras gulud yang
ditambah dengan penanaman tanaman penguat teras, penanaman menurut
kontur. Penggunaan lahan untuk hutan pada kelas yang sama seluas 2.239
ha dengan nilai erosi (1,24-1,76 ton/ha/thn) direkomendasikan tetap untuk
hutan, sedangkan penggunaan lahan untuk semak belukar juga pada kelas
yang sama dengan luasan 1.987 ha dan nilai erosi (1,15-1,51 ton/ha/thn)
direkomendasikan untuk padang penggembalaan.

5. Penggunaan lahan untuk kebun campuran pada lahan kelas VII dengan
luasan 685 ha memiliki nilai erosi 403, 82 ton/ha/tahun, setelah dilakukan
perbaikan pola tanam dan agroteknologi masih memiliki nilai erosi yang
masih lebih tinggi dari ETol (30,28 ton/ha/tahun). Untuk itu lahan kelas
VII direkomendasikan penggunaan lahannya untuk agroforestry.

6. Untuk meningkatkan pendapatan petani perlu adanya penambahan usaha


ternak (ternak ayam dan kambing) dan usaha sampingan lainnya dari
pengolahan hasil pertanian agar pendapatan bersih yang diperoleh petani
dapat memenuhi standar hidup layak (Rp 9.600.000 /kk/tahun) pada lokasi
DAS Krueng Peutoe yaitu dari Rp 754.000 Rp 7.639.000/ kk/ha/thn),
setelah dilakukan perbaikan pola tanam dan agroteknologi serta
penambahan usaha ternak dan usaha sampingan lainnya maka pendapatan
petani meningkat menjadi Rp 10.267.200 Rp 13.060.200/ kk/ha/tahun.

Saran

3. Agar penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe dapat berkelanjutan


(sustainable), maka pengunaan lahannya harus disesuaikan dengan
kemampuan lahannya
4. Untuk mendapatkan hasil pertanian yang maksimum maka perlu adanya
penerapan teknik konservasi tanah berupa pembuatan teras gulud,
pemberian mulsa. Sedangkan pada lahan yang memiliki kemiringan lebih
dari 8% harus dilakukan penanam menurut kontur.
5. Diperlukan dukungan dan kebijakan pemerintah kabupaten Aceh Utara
dalam rangka perencanaan pengelolaan lahan usahatani secara lestari di
daerah aliran sungai Krueng Peutoe.
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Utara. 2003. Rekapitulasi Keluarga
Miskin Kabupaten Aceh Utara Tahun 2003.

Baco, L. 1997. Perencanaan Usahatani Lahan Kering Di Sub DAS Cimanuk Hulu
Kabupaten Garut Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetanaan Nasional. 1978. Peta


Rupabumi Indonesia. Edisi - 1. Cibinong Bogor.

Dent, D. and Young, A. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and
Unwin. London.

Dinas Infokom Kabupaten Aceh Utara. 2005. Data, Informasi dan Promosi Daerah
Aceh Utara.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Aceh Utara. 2000. Hasil Sensus
Pertanian 2000.

Dinas Sumber Daya Air Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2004. Buku Data.

[Ditjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Perhutanan Sosial. 2003.


Peta Jenis Tanah. Departemen Kehutanan.

[RSGIS Forum] Forum Remote Sensing and GIS Indonesia. 2005. Peta Land Use
NAD Landsat 7.
Hadisuparto, H. 1998. Perubahan Faktor Hidrologis Kawasan Hutan dan
Pengaruhnya pada Respon Aliran. Duta Rimba, Jakarta.
Haeruman, H. 1996. Upaya Pengentasan Kemiskinan di DAS Kritis. Prosiding
Kongres ke II dan Seminar Nasional Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia. Yogyakarta.

Hakim, N., Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A.M., Bailey, H.H.
1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.

Hammer, W.I. 1981. Second soil conservation consultant report. Agof/Ins/78/606


note. No.10. Center For Soil Research, Bogor.

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan


Unsur-unsur Iklim.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

_____________ dan Widiatmaka 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan


Tataguna Tanah. Jurusan Tanah. Fakultras Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

[ICRAF] International Center for Research Agroforestry (ICRAF). 2001.


Modelling Erosion at Differrent Scales, Case Study in The Sumber Jaya
Watershed, Lampung, Indonesia. Internal Report (Unpublished). Bogor.

Kahirun. 2000. Kajian Karakteristik Hidrologi DAS Roraya Sulawesi Tenggara


dan Perencanaan Penggunaan Lahan Usahatani. Tesis Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Manan, S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen DAS. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. (diktat kuliah).

Manguiat, I.J. 1995. In Search of Alternative Fertilizers for Sustainable


Agriculture : the Sestania Option. Seameo-Searca College, Los Banos,
Philippines.

Nugroho, C., Priyono, S., Cahyono, S.A. 2004. Teknologi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai : Cakupan, Permasalahan, dan Upaya Penerapannya.
Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya
Lahan.

Pakpahan, A., Syafaat, N., Purwoto, A., Saliem, HP. 1992. Kelembagaan Lahan
dan Konservasi Tanah dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.

Salikin, KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius,


Yogyakarta.
Sajogyo dan Sajogyo. P. 1990. Sosiologi Pedesaan. Jilid 2. Universitas Gadjah
Mada Press. Yogyakarta.
Schmitz dan Tameling. 2000. Modelling Erosion at Different Scales, Case Study
in the Sumber Jaya Watershed, Lampung. Indonesia.

Sing, V.P. 1992. Elementary hydrology. Departement of Civil Engineering.


Louisiana State University. Prentice-Hall. Inc. New Jersey, USA.

Sinukaban, N. 1989. Konservasi Tanah dan Air Di Daerah Transmigrasi.


Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

___________. 1995. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bahan Kuliah pada


Program Pascasarjana, Bogor (tidak diterbitkan) IPB.

___________. 1997. Konservasi Tanah dan Air (Materi Kuliah), Bogor, IPB.

___________. 2001. Strategi, Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Lahan


Kritis (Paper). Bogor, IPB.

Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung.

Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor.

Sumarno. 1984. Kedelai dan Cara Budidaya. Yasa Guna, Jakarta.

Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi Yogyakarta,
Yogyakarta.

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air
dalam Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor.

Thompson, L.M. 1957. Soil and Soil Fertility. Second Ed. McGraw-hill Book Co,
Inc, New York.

Vadari, T., Subagyono, K., Sutrisno, N. 2004. Model Prediksi Erosi : Prinsip,
Keunggulan dan Keterbatasan. Prosiding Teknologi Konservasi Tanah Pada
Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.

Van der Poel dan Subagyono. K. 1998. The Use of USLE in The RTL Process.
National Watershed Management and Conservation Project, Bogor.

Wischmeier WH and Smith. DD. 1978. Predicting Rainfall Erosion Loses. A


guide to conservation planning. USDA. Agric. Eng 29 : 458 462.
Wood, S.R. dan F.J. Dent. 1983. A land evaluation computer system methodology.
AGOF/INS/78/006. Manual 5 versi 1. Ministry of Agriculture Govern of
Indonesia in corporation with UNDP and FAO.

LAMPIRAN
MOHON MAAF,

PADA HALAMAN INI SESUAI DENGAN ASLINYA TIDAK ADA.

TERIMA KASIH
Lampiran 6. Kelas dan Kode Struktur Tanah, Kelas dan Kode Permeabilitas Profil
Tanah, Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah.

a. Tabel Kelas dan Kode Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter) Kode Struktur


Granuler sangat halus (< 1 mm) 1
Granuler halus (1 2 mm) 2
Granuler sedang sampai kasar (2-10 mm) 3
Berbentuk blok, Blocky, plat, masif 4

b. Tabel Kelas dan Kode Permeabilitas Profil Tanah

Kelas Permeabilitas Kecepatan Kode


(cm/jam)
Sangat Lambat < 0,5 6
Lambat 0,5 - 2,0 5
Sedang - Lambat 2,0 - 6,3 4
Sedang 6,3 -12,7 3
Sedang - Cepat 12,7 -25,4 2
Cepat 25,4 1

c. Tabel Klasifikasi Nilai Kepekaan erosi Tanah

Nilai K Kelas

0,00 - 0,10 1 (sangat rendah)


0,11 - 0,20 2 (rendah)
0,21 - 0,32 3 (sedang)
0,33 - 0,43 4 (agak tinggi)
0,44 - 0,55 5 (tinggi)
0,56 - 0,64 6 (sangat tinggi)
Lampiran 7. Nomograf untuk Menentukan Nilai K
Lampiran 8. Nilai Faktor C dari Berbagai Tanaman dan Pengelolaan atau
Penggunaan Lahan

No Jenis Tanaman dan Pengelolaannya / Nilai Sumber


Type Penggunaan Lahan Faktor C
1 Tanah bera tanpa tanaman, diolah 1,00 1
2 Sawah beririgasi 0,01 1,2
3 Sawah tadah hujan 0,05 1
4 Tegalan, tanaman tidak spesifik 0,05 1
5 Rumput brachiaria
- tahun pertama 0,3 1,2
- tahun kedua 0,02 1
- tahun seterusnya 0,002 2
6 Ubi kayu 0,363 1
Ubi kayu 0,7 1
7 Jagung 0,7 1
Jagung 0,637 2
8 Padi gogo, tegalan, lahan kering 0,5 1
Padi gogo 0,565 2
9 Kacang-kacangan, tidak spesifik 0,6 1
10 Kacang jogo 0,161 2
11 Kacang tanah 0,452 2
12 Kedelai 0,399 2
13 Sorghum 0,242 2
14 Sereh wangi (citronella) 0,434 1,2
15 Kentang 0,4 1
16 Tebu 0,2 1
17 Pisang (jarang, sebagai tanaman monokultur) 0,6 1
18 Talas 0,85 1
19 Kebun campuran, tajuk bertingkat, penutup tanah bervariasi 0,452 2
Kerapatan tinggi 0,1 1
Ubi kayu / kedelai 0,2 2
Kerapatan sedang 0,3 1
Kerapatan rendah (cayamus sp, kacang tanah) 0,5 2
20 Tanaman perkebunan dengan tanaman penutup tanah
(permanen)
Kerapatan tinggi 0,1 1
Kerapatan rendah 0,5 1
21 Reboisasi dengan penutup tanah, tahun pertama 0,3 1
22 Kopi dengan penutup tanah 0,2 1
23 Tanaman bumbu (cabe, jahe) 0,9 1
24 Perladangan berpindah 0,4 1
25 Hutan, hutan alami (primer) berkembang baik :
Serasah tinggi 0,001 1,2
Serasah sedang 0,005 1
26 Hutan produksi :
Tebang habis 0,5 1
Tebang pilih 0,2 1
27 Kebun produksi (penutup tanah jelek)
Karet 0,8 1
Teh 0,5 1
Kelapa sawit 0,5 1
Kelapa 0,5 1
Lampiran 8. Lanjutan
No Jenis Tanaman dan Pengelolaannya / Nilai Sumber
Type Penggunaan Lahan Faktor C
28 Kolam ikan 0,001 1
29 Lahan Kritis , tanpa vegetasi 0,95 1
30 Semak, belukar 0,3 1
31 Sorgum sorgum (terus menerus) 0,341 3
32 Padi gogo jagung (dalam rotasi) 0,209 3
33 Padi gogo jagung (dalam rotasi ) + muls a jagung 0,083 3
34 Padi gogo jagung (dalam rotasi) + mulsa jerami 2 ton/ha 0,030 3
dan 10 20 ton pupuk kandang
35 Padi gogo tumpangsari jagung + ubi kayu dirotasikan dengan 0,421 3
kedelai atau kacang tanah
36 Jagung dan kacang tanah, sisa tanaman jadi mulsa 0,014 3
37 Alang-alang permanen 0,021 3
38 Alang-alang dibakar satu kali 0,20 3
39 Semak, lamtoro 0,51 5
40 Albisia dengan semak campuran 0,012 3
41 Albisia tanpa tanaman bawah 1,0 3
42 Kentang ditanam mengikuti arah lereng 1,0 3
43 Kentang penanaman mengikuti kontur 0,35 3
44 Bawang, penanaman dalam kontur 0,08 3
45 Pohon tanpa semak 0,32 3
46 Ubi kayu tumpangsari dengan kedelai 0,181 2
47 Ubi kayu tumpangsari dengan kacang tanah 0,195 2
48 Ubi kayu + sorgum (tumpangsari) 0,345 2
49 Padi gogo + sorgum (tumpangsari) 0,417 2
50 Kacang tanah + kacang gude (tumpangsari) 0,495 2
51 Kacang tanah + kacang panjang (tumpangsari) 0,571 2
52 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0,049 2
53 Kacang tanah + mulsa batang jagung 4 ton/ha 0,196 2
54 Kacang tanah + mulsa clotolaria 3 ton/ha 0,128 2
55 Kacang tanah + mulsa kacang panjang 0,259 2
56 Kacang tanah + mulsa jerami padi 0,377 2
57 Padi gogo, mulsa clotolaria 3 ton/ha 0,387 2
58 Padi gogo + jagung + ubi kayu, mulsa jerami 6 ton/ha
setelah padi ditanami kacang tanah 0,079 2
59 Padi gogo jagung kacang tanah, dalam rotasi, dengan 0, 347 2
sisa tanaman jadi mulsa 0,496 2
60 Padi gogo jagung kacang tanah, dalam rotasi 0,357 2
61 Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari) dengan
mulsa sisa tanaman
62 Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari) 0,568 2

Sumber :
1. Hammer (1981 dalam Sinukaban, 1989)
2. Abdulrachman, Sofiyah dan Kurnia, U (1984 dalam Sinukaban, 1989)
3. Pusat Penelitian Tanah (1984 dalam Sinukaban, 1989)
Lampiran 9. Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Tanaman CP
No Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Tanaman P dan CP Sumber

1 Teras bangku 0,037 2


Teras bangku :
Konstruksi baik 0,04 1
Konstruksi sedang 0,15 1
Konstruksi buruk 0,35 1
2 Teras tradisional 0,35 1
3 Teras koluvial ditanami strip rumput/bambu atau rumput permanen
seperti rumput bahia
Disain baik, tahun pertama 0,04 1
Disain buruk, tahun pertama 0,40 1
4 Rorak (split pits) 0,60 1
5 Mulsa penahan air :
Serasah atau jerami 6 ton/tahun 0,30 1
Serasah atau jerami 3 ton/tahun 0,50 1
Serasah atau jerami 1 ton/tahun 0,80 1
6 Penanaman menurut kontur :
Pada lereng 0 8 % 0,50 1
Pada lereng 8 20 % 0,75 1
Pada lereng > 20 % 0,90 1
7 Teras bangku ditanami kacang tanah - kacang tanah 0,009 2
8 Teras bangku ditanami jagung + mulsa jerami 4 ton/ha 0,006 2
9 Teras bangku ditanami sorgum sorgum 0,012 2
10 Teras bangku ditanami jagung 0,048 2
11 Penanaman strip rumput bahia (1 thn) dalam tanaman kedelai 0,02 2
12 Penanaman strip crotalaria dalam pertanaman padi gogo 0,340 2
13 Penanaman strip crotalaria dalam kedelai 0,111 2
14 Penanaman strip crotalaria dalam kacang tanah 0,389 2
15 Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung, mengguna-
kan sisa tanaman sebagai mulsa 0,05 2
16 Teras guludan dengan rumput penguat 0,50 3
17 Teras guludan ditanami padi gogo dan jagung dalam rotasi 0,015 3
18 Teras guludan pada pertanaman sorgum sorgum 0,041 3
19 Teras guludan pada pertanaman ubi kayu 0,063 3
20 Teras guludan pada pertanaman jagung kacang tanah dalam rotasi,
menggunakan mulsa sisa tanaman 0,006 3
21 Teras guludan, pada kacang tanah kedelai dalam rotasi 0,105 3
22 Teras guludan , padi gogo jagung kacang panjang dalam rotasi
dengan 2 ton/ha kapur 0,012 3
23 Teras bangku , ditanami jagung ubi kayu/kedelai dalam rotasi 0,015 3
24 Teras bangku, ditanami sorgum-sorgum 0,041 3
25 Teras bangku, kacang tanah tanah 0,009 3
26 Teras bangku tanpa tanaman 0,039 3
27 Penanaman strip crotalaria dalam sorgum sorgum 0,264 3
28 Penanaman strip crotalaria dalam kacang tanah ubi kayu 0,405 3
29 Penanaman strip crotalaria dalam pertanaman padi gogo ubi kayu 0,193 3
30 Penanaman strip rumput dalam padi gogo 0,841 3

Sumber :
1. Hammer (1981 dalam Sinukaban, 1989)
2. Abdulrachman, Sofiyah dan Kurnia, U (1984 dalam Sinukaban, 1989)
3. Pusat Penelitian Tanah (1973 - 1981 dalam Sinukaban, 1989)
Lampiran 10. Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub Order Tanah

No Katagori Sub Order Nilai Faktor Kedalaman

1. Aqualf 0,9
2. Udalf 0,9
3. Ustalf 0,9
4. Aquent 0,9
5. Arent 1,0
6. Fluvent 1,0
7. Orthent 1,0
8. Psamment 1,0
9. Andept 1,0
10. Aquept 0,95
11. Tropept 1,0
12. Alboll 0,75
13. Aquall 0,9
14. Rendoll 0,9
15. Udoll 1,0
16. Ustoll 1,0
17. Aquox 0,9
18. Hamox 1,0
19. Orthox 0,9
20. Ustox 0,9
21. Aquod 0,9
22. Ferrod 0,95
23. Hummod 1,0
24. Orthod 0,95
25. Aquult 0,8
26. Hummult 1,0
27. Udult 0,8
28. Ustult 0,8
29. Udert 1,0
30. Ustert 1,0

Sumber : Hammer (1981, dalam Arsyad, 2000)


Lampiran 11. Kedalaman Tanah Minimum yang Dapat Diterima dan Nilai Faktor
Penggunaan Lahan Berbagai Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan

No Jenis Tanaman / Penggunaan Lahan Faktor C Kedalaman Tanah


Minimum (cm)
1 Padi sawah dengan pemindahan Tanaman 0,01 20
2 Padi gogo 0,56 20
3 Padi sawah, langsung tanam biji 0,01 20
4 Jagung 0,64 20
5 Sorgum 0,24 20
5 Kentang 0,45 20
6 Ubi jalar 0,40 20
7 Ubi kayu 0,65 20
8 Yams 0,70 25
9 Talas 0,70 25
10 Kacang hijau, Mung bean 0,35 15
11 Tebu (rakyat) 0,30 30
12 Tebu (perkebunan) 0,20 30
13 Kacang tanah 0,45 15
14 Kedelai 0,40 15
15 Kapas 0,85 35
16 Tembakau (rakyat) 0,16 99
17 Tembakau (perkebunan) 0,16 99
18 Cabai 0,80 99
19 Penggembalaan (padang rumput) 0,01 15
20 Pisang 0,99 35
21 Nenas 0,40 99
22 Jambu mete 0,50 99
23 Kopi (rakyat) 0,60 30
24 Kopi (perkebunan) 0,60 30
25 Kakao (rakyat) 0,80 60
26 Kakao (perkebunan) 0,80 60
27 Teh (rakyat) 0,35 40
28 Teh (perkebunan) 0,35 40
29 Kelapa 0,70 40
30 Kelapa sawit (rakyat) 0,55 30
31 Kelapa sawit (perkebunan) 0,55 30
32 Cengkeh 0,50 99
33 Kapuk 0,70 99
34 Karet 0,85 50
35 Kina 0,90 99
36 Padi sawah + ubi kayu ditanam dalam batas usaha tani 0,01 30
37 Padi gogo + jagung 0,50 20
38 Jagung + ubi jalar 0,45 20
39 Jagung + kacang-kacangan 0,45 20
40 Jagung + kacang tanah 0,35 20
41 Jagung + kedelai 0,45 20
42 Jagung + ubi kayu 0,55 30
43 Padi gogo + ubi kayu 0,50 30
44 Kacang tanah + ubi kayu 0,20 30
45 Kedelai + ubi kayu 0,18 30
46 Padi gogo + kacang-kacangan 0,45 20
47 Padi gogo + kacang tanah 0,45 20
48 Padi gogo + kedelai 0,42 20

Sumber : Hammer, 1981


Lampiran 12. Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir (1993 2002) di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara

No. B u l a n 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH

1. Januari 131 7 45 4 57 4 85 4 78 5 64 6 144 10 189 11 17 4 125 13


2. Februari 90 5 233 9 5 3 150 6 13 3 41 1 100 6 15 3 21 3 161 4
3. Maret 111 6 64 3 129 3 17 2 0 0 27 1 18 2 93 8 62 9 51 5
4. April 162 6 101 7 78 6 118 5 70 5 40 2 2 3 0 0 90 12 49 7
5. Mei 118 7 141 5 92 11 130 6 83 3 105 7 43 11 62 6 52 11 58 8
6. Juni 154 10 46 3 30 7 121 5 53 5 126 5 0 0 184 14 69 12 56 12
7. Juli 68 9 62 3 6 3 138 8 70 7 111 10 157 9 52 7 100 8 45 7
8. Agustus 95 15 94 6 250 16 135 8 44 4 157 15 90 10 55 7 50 3 31 7
9. September 86 13 149 8 90 10 86 5 208 10 21 3 80 18 263 13 222 8 43 11
10. Oktober 112 8 262 11 145 7 64 9 165 8 77 7 304 17 228 12 266 18 59 9
11. Nopember 146 8 287 12 334 11 124 11 91 11 247 12 110 6 192 9 274 11 120 11
12. Desember 440 17 50 3 411 14 160 11 227 14 373 13 101 3 47 9 371 13 55 8

Keterangan : CH = Curah Hujan; HH = Hari Hujan


Lampiran 13. Intensitas Faktor-Faktor Penghambat untuk Klasifikasi Kemampuan
Lahan (Arsyad 2000)

No Jenis Faktor Intensitas Faktor Penghambat


Penghambat
t1 = halus (liat berpasir, liat berdebu dan liat)
t2 = agak halus (lempung liat berdebu, lempung berliat,
lempung liat berpasir)
1. Tekstur tanah (t) t3 = sedang (lempung, debu, lempung berdebu)
t4 = agak kasar (lempung berpasir, lempung berpasir halus,
lempung berpasir sangat halus)
t5 = kasar (pasir berlempung dan pasir)

p1 = lambat (< 0,5 cm/jam)


p2 = agak lambat (0,5 - 2,0 cm/jam)
2. Permeabilitas (p) p3 = sedang (2,0 - 6,25 cm/jam)
p4 = agak cepat (6,25 - 12,5 cm/jam)
p5 = cepat ( > 12,5 cm/jam)
k0 = dalam ( > 90 cm)
3. Kedalaman efektif (k) k1 = sedang (50 - 90 cm)
k2 = dangkal (25 -50 cm)
k3 = sangat dangkal (< 25 cm)
l0 = datar (0 3%)
l1 = landai/berombak (3 8%)
l2 = agak miring/bergelombang (8 15%)
4. Lereng (l) l3 = miring/berbukit (15 30%)
l4 = agak curam (30 45%)
l5 = curam (45 65%)
l6 = sangat curam ( > 65%)
d0 = berlebihan (excessively drained), air lebih segera keluar
dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah
sehingga tanaman akan sgra mengalami kekurangan air.
d1 = baik, tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh
profil tanah dari atas sampai ke bawah (150cm) berwarna
terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak
kuning, coklat atau kelabu.
d 2 = agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di
daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak kuning,
coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas
lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan
tanah).
Drainase (d) d3 = agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik, tidak
terdapat bercak-bercak kuning, kelabu atau coklat. Bercak-bercak terdapat pada seluruh
lapisan bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah).

d 4 = buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) ter-


dapat warna atau bercak-bercak kelabu, coklat atau ke
kuningan.
d 5 = sangat buruk, seluruh lapisan samp ai permukaan tanah
berwarna kelabu, tanah lapisan bawah berwarna kelabu
atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau
ter-dapat air yang menggenang dipermukaan tanah
dalam waktu yang lama sehingga menghambat
pertumbuhan tanaman.
Lampiran 13. Lanjutan

No Jenis Faktor Intensitas Faktor Penghambat


Penghambat

e0 = tidak ada erosi


e1 = ringan (< 25 % lapisan atas hilang)
6. Erosi (e) e2 = sedang (25 - 75 % lapisan atas hilang)
e3 = berat ( > 75 % lapisan atas hilang, 25 % lapisan bawah
hilang)
e4 = sangat berat ( > 25 % lapisan bawah hilang)
g0 = tidak pernah (selama 1 tahun tidak pernah tertutup banjir
untuk waktu > 24 jam)
g1 = kadang-kadang (banjir yang menutupi tanah > 24 jam,
terjadinya tidak teratur dalam periode < 1 bulan)
7. Bahaya banjir/genangan g2 = selama 1 bulan atau lebih setahun, tanah secara teratur
(g) tertutup banjir untuk waktu > 24 jam)
g3 = selama 2 - 5 bulan dalam setahun secara teratur dilanda
banjir yang lamanya > 24 jam
g4 = selama 6 bulan atau lebih tanah dilanda banjir secara
teratur yang lamanya > 24 jam
8. Batu-batuan (b)
Kerikil b0 = tidak ada atau sedikit ( 0 -15 % volume tanah)
b1 = sedang ( 15 - 50 % volume tanah)
b2 = banyak ( 50 - 90 % volume tanah)
b3 = sangat banyak ( > 90 % volume tanah)
Batuan kecil b0 = tidak ada atau sedikit ( 0 -15 % volume tanah)
b1 = sedang ( 15 - 50 % volume tanah)
b2 = banyak ( 50 - 90 % volume tanah)
b3 = sangat banyak ( > 90 % volume tanah)
b0 = tidak ada ( < 2 % luas permukaan tertutup)
b1 = sedikit (0,001 - 3 % luas permukaan tertutup)
9. Batuan lepas b2 = sedang (3 - 15 % luas permukaan tertutup)
b3 = banyak (15 - 90 % luas permukaan tertutup
b4 = sangat banyak ( > 90 % luas permukaan tertutup)
b0 = tidak ada ( < 2 % luas permukaan tertutup)
10. Batuan tersingkap (rock) b1 = sedikit (2 - 10 % luas permukaan tertutup)
b2 = sedang (10 - 50 % luas permukaan tertutup)
b3 = banyak (50 - 90 % luas permukaan tertutup
b4 = sangat banyak ( > 90 % luas permukaan tertutup)
Keterangan :
- Kerikil : bahan kasar bentuk bulat diameter > 2 - 7,5 mm atau bentuk gepeng dengan
sumbu yang panjangnya s ampai 15 cm pada lapisan 20 cm dari permukaan.
- Batuan kecil : bahan kasar atau batuan diameter 7,5 - 25 % jika bulat atau jika
berbentuk gepeng sumbu yang panjang 15 - 40 cm.
- Batuan lepas : batuan yang tersebar di atas permukaan tanah, diameter > 25 cm (bulat
atau sumbu panjang > 40 cm (gepeng).
Lampiran 14. Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran, Perkebunan, Hutan dan Semak Belukar.

No. SLH Faktor Penghambat Kelas Kemampuan Sub Kelas


Tekstur Kedalaman Lereng Drainase Permeabilitas Erosi Batuan Banjir Lahan
(t) Efektif (k) (L) (d) (p) (e) (b) (b)

Kebun Campuran
1. 14 t1 k1 L4 d1 p3 e2 b0 g0 VI VIL4
2. 15 t2 k0 L1 d1 p3 e0 b0 g0 II IIL1
3. 16 t2 k1 L2 d1 p3 e2 b0 g0 III IIIL2e2
4. 17 t1 k1 L5 d1 p2 e2 b0 g0 VII VIIL5
Perkebunan
5. 8 t1 k1 L4 d1 p3 e1 b0 g0 VI VIL4
6. 9 t1 k0 L2 d1 p1 e1 b0 g0 III IIIL2
7. 10 t1 k0 L1 d1 p3 e0 b0 g0 II IIL1
8. 12 t2 k0 L2 d1 p2 e1 b0 g0 III IIIL2
Semak Belukar
9. 6 t1 k0 L4 d1 p2 e2 b0 g0 VI VIL4
10. 7 t1 k1 L4 d1 p2 e2 b0 g0 VI VIL4
Hutan
11. 1 t1 k1 L2 d1 p3 e0 b0 g0 III IIIL2
13. 3 t1 k1 L4 d1 p2 e1 b0 g0 VI VIL4
14. 4 t1 k0 L4 d1 p3 e1 b0 g0 VI VIL4
15. 5 t1 k1 L2 d1 p3 e1 b0 g0 III IIIL2
Lampiran 15. Data Curah Hujan Bulanan 10 Tahun Terakhir (1993 2002) di DAS Krueng Peutoe Kabupaten Aceh Utara

Tahun B u l a n (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
1993 131 90 111 162 118 154 68 95 86 112 146 440
1994 45 233 64 101 141 46 62 94 149 262 287 50
1995 57 5 129 78 92 30 6 250 90 145 334 411
1996 85 150 17 118 130 121 138 135 86 64 124 160
1997 78 13 0 70 83 53 70 44 208 165 91 227
1998 64 41 27 40 105 126 111 157 21 77 247 373
1999 144 100 18 2 43 0 157 90 80 304 110 101
2000 189 15 93 0 62 184 52 55 263 228 192 47
2001 7 11 62 90 52 69 100 50 222 266 274 371
2002 125 161 51 49 58 56 45 31 43 59 120 55
Jumlah (mm) 925 819 572 710 884 839 809 1001 1248 1682 1925 2235
Rata-rata (cm) 9.25 8.19 5.72 7.1 8.84 8.39 8.09 10.01 12.48 16.82 19.25 22.35
EI30 (cm) 45.53 38.59 23.68 31.78 42.81 39.88 37.95 50.70 68.43 102.69 123.37 151.15
12
R = S EI30 i R = faktor erosivitas hujan
i=1

Nilai R = 45,53+38,59+23,68+31,78+42,81+39,88+37,95+50,70+68,43+102,69+123,37+151,15
= 756.56
Lampiran 16 Nilai Erodibilitas Tanah (K) pada Kebun Campuran, Perkebunan,
Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe

Pasir Debu Liat Bahan Kode Kode Nilai Nilai


No. SLH Halus (%) (%) Organik Struktur Permeabilitas M K
(%) (%) Tanah Tanah

Kebun Campuran
1. 14 1,46 25,81 72,73 3,02 4 3 704,60 0,13
2. 15 4,55 57,52 37,93 3,72 4 4 3575,73 0,37
3. 16 5,00 56,96 38,04 2,12 4 4 3535,25 0,41
4. 17 3,44 36,00 60,56 3,00 4 5 1422,48 0,24

Perkebunan
5. 8 4,38 38,08 57,54 4,24 4 4 1620,48 0,21
6. 9 11,00 40,92 48,08 1,90 4 6 2135,68 0,35
7. 10 1,08 27,13 71,79 2,76 4 4 765,93 0,16
8. 12 5,27 53,18 41,55 2,66 4 5 3114,33 0,39

Semak Belukar
9. 6 9,49 36,09 54,42 6,39 4 5 1653,41 0,22
10 7 0,47 14,88 84,65 1,33 4 5 228,55 0,16
.

Hutan
11. 1 3,32 27,79 68,89 2,19 4 4 866,54 0,18
12. 3 1,52 35,35 63,13 3,68 4 5 1304,42 0,23
13. 4 1,22 33,25 65,53 3,31 4 3 1146,92 0,16
14. 5 1,00 32,13 66,79 3,95 4 3 1067,67 0,15

Keterangan : SLH = Satuan Lahan Homogen


Lampiran 17. Hasil Pengamatan dan Pengukuran Parameter Fisik di DAS Krueng Peutoe

No. SLH Kemiringan Panjang Lereng Kedalaman Tingkat Tekstur Permeabilitas Drainase Batuan Banjir
Lereng (%) (m) Tanah (k) (cm) Erosi (e) (t) (p) (cm/jam) (d) (b) (g)

Kebun Campuran
1. 14 25 8 85 Sedang L 6,15 Baik Tidak ada Tidak ada
2. 15 2 45 120 Tidak Ada LLB 3,41 Baik Tidak ada Tidak ada
3. 16 10 42 130 Tidak Ada LLB 3,51 Baik Tidak ada Tidak ada
4. 17 47 10 90 Sedang L 0,98 Baik Tidak ada Tidak ada

Perkebunan
5. 8 26 11 95 Ringan L 6,21 Baik Tidak ada Tidak ada
6. 9 11 21 120 Ringan LB 0,31 Baik Tidak ada Tidak ada
7. 10 2 40 130 Tidak Ada L 2,17 Baik Tidak ada Tidak ada
8. 12 8 25 130 Ringan LLB 1,12 Baik Tidak ada Tidak ada

Semak Belukar
9. 6 27 8 120 Sedang L 1,16 Baik Tidak ada Tidak ada
10. 7 26 10 90 Sedang L 0,62 Baik Tidak ada Tidak ada

Hutan

11. 1 9 35 80 Tidak Ada L 4,32 Baik Tidak ada Tidak ada


12. 3 43 8 95 Ringan L 1,57 Baik Tidak ada Tidak ada
13. 4 27 12 110 Ringan L 6,34 Baik Tidak ada Tidak ada
14. 5 11 18 90 Ringan L 7,97 Baik Tidak ada Tidak ada

Keterangan : LLB = Lempung Liat Berdebu,; L = Liat; LB = Liat Berdebu


Lampiran 18. Nilai Faktor LS pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak
belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe

No. SLH Kemiringan Panjang Lereng Faktor LS


Lereng (%) (m)
Kebun Campuran

1. 14 25 8 3,16
2. 15 2 45 0,26
3. 16 10 42 1,61
4. 17 47 10 11,12

Perkebunan

5. 8 26 11 3,97
6. 9 11 21 1,31
7. 10 2 40 0,24
8. 12 8 25 0,90

Semak Belukar

9. 6 27 8 3,62
10. 7 26 10 3,79

Hutan

11. 1 9 35 1,26
12. 3 43 8 8,43
13. 4 27 12 4,44
14. 5 11 18 1,22
Keterangan : SLH = Satuan Lahan Homogen
Lampiran 19. Nilai Faktor C dan P pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng
Peutoe

Kelas
SLH Kemampuan Pola Tanam dan Penutupan Lahan Aktual C P Penampakan pada permukaan
Lahan
Kebun Campuran

14 VI Pinang + Cabe + Kc.Kedelai (A) 0,20 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang


15 II Kakao + Kc.Kedelai + Cabe (B) 0,20 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang
16 III Padi + Jagung + Kc.Kedelai / Kc.Panjang (C) 0,20 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang
17 VII Pinang + Kakao + Kc.Kedelai (D) 0,20 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang
Perkebunan
8 VI Pinang + Kakao (E) 0,50 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang
9 III Kakao + Kelapa (F) 0,50 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan sedang
10 II Kelapa Sawit (G) 0,10 1 Permukaan tertutup kacangan,kerapatan tinggi
12 III Kakao (H) 0,10 1 Permukaan tertutup rumput,kerapatan tinggi
Semak Belukar

6 VI Semak Belukar 0,30 1 Tegakan pohon


7 VI Semak belukar 0,30 1 Tegakan pohon
Hutan
1 III Hutan Primer 0,005 1 Kerapatan sedang, permukaan agak terbuka
3 VI Hutan Primer 0,001 1 Kerapatan tinggi, permukaan ttutup serasah
4 VI Hutan Primer 0,001 1 Kerapatan tinggi, permukaan ttutup serasah
5 III Hutan Primer 0,005 1 Kerapatan sedang, permukaan agak terbuka
Lampiran 20. Hasil Prediksi Erosi pada Lokasi Pengamatan Intensif pada Kebun
Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan

No. SLH Nilai Faktor A

R K LS C P (ton/ha/thn)
Kebun Campuran

1. 14 756,56 0,13 3,16 0,20 1,00 62,16


2. 15 756,56 0,37 0,26 0,20 1,00 14,56
3. 16 756,56 0,41 1,61 0,20 1,00 99,88
4. 17 756,56 0,24 11,12 0,20 1,00 403,82

Perkebunan

5. 8 756,56 0,21 3,97 0,5 1,00 315,37


6. 9 756,56 0,35 1,31 0,5 1,00 173,44
7. 10 756,56 0,16 0,24 0,1 1,00 2,91
8. 12 756,56 0,39 0,90 0,1 1,00 26,56

Semak Belukar
9. 6 756,56 0,22 3,62 0,3 1,00 180,76
10. 7 756,56 0,16 3,79 0,3 1,00 137,63
Hutan

11. 1 756,56 0,18 1,26 0,005 1,00 0,86


12. 3 756,56 0,23 8,43 0,001 1,00 1,47
13. 4 756,56 0,16 4,44 0,001 1,00 0,54
14. 5 756,56 0,15 1,22 0,005 1,00 0,69
Lampiran 21. Nilai ETol pada Lokasi Pengamatan Intensif pada Kebun Campuran,
Perkebunan , Semak Belukar dan Hutan di DAS Krueng Peutoe

No. SLH D NFK De Dmin LPT BI Etol A


(mm) (mm) (mm) (mm/thn) (ton/ha/thn) (ton/ha/thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kebun Campuran
1. 14 850 1,00 850 450 1,2 1,01 28,28 66,16
2. 15 1200 0,95 1140 450 1,2 1,00 39,60 14,56
3. 16 1300 0,80 1040 450 1,2 1,02 36,31 99,88
4. 17 900 0,80 720 450 1,2 1,01 23,03 403,82

Perkebunan
5. 8 950 1,00 950 600 1,2 1,01 26,26 315,37
6. 9 1200 0,80 960 600 1,2 1,00 26,40 173,44
7. 10 1300 0,95 1235 600 1,2 1,02 38,15 2,91
8. 12 1300 0,80 1040 600 1,2 1,00 29,60 26,56
Semak Belukar
9. 6 1200 0,90 1080 300 1,2 1,01 43,63 180,76
10. 7 900 0,80 720 300 1,2 1,02 29,38 137,63
Hutan
11. 1 800 0,80 640 600 1,2 1,02 13,87 0,86
12. 3 950 0,90 855 600 1,2 1,02 22,64 1,47
13. 4 1100 1,00 1100 600 1,2 1,00 32,00 0,54
14. 5 900 0,80 720 600 1,2 1,02 17,14 0,69
Keterangan : D : Kedalaman efektif tanah
De : Kedalaman ekivalen (kolom 3 x kolom 4)
Dmin : Kedalaman minimum tanah
LPT : Laju pembentukan tanah
NFK : Nilai faktor kedalaman
BI : Bobot isi
MPT : Masa pakai tanah (250 tahun)
Lampiran 22. Komposisi Aktual Beberapa Pola Tanam pada Kebun Campuran dengan
Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai
Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng Peutoe

1. Pola Tanam (A1) : Pinang + Cabe - Kacang Kedelai


Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi
Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Pinang 40 500 x 500 1 160 btg 1,60
Cabe 20 50 x 50 2 6 kemasan 0,15
Kacang Kedelai 40 40 x 10 2 25 kg 0,50

2. Pola Tanam (A2) : Kakao + Kacang Kedelai - Cabe

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktua l
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Kakao 60 300 x 300 1 650 btg 1,60
Kacang kedelai 20 40 x 10 2 15 kg 0,40
Cabe 20 50 x 50 2 6 kemasan 0,15

3. Pola Tanam (A3) : Pinang + Kakao + Kacang Tanah

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Pinang 40 500 x 500 1 160 btg 0,80
Kakao 20 300 x 300 1 220 btg 0,30
Kacang Tanah 40 40 x 10 2 20 kg 0,50

4. Pola Tanam (B1) : Padi + Jagung - Kacang Kedelai/ Kacang Panjang

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Padi 30 40 x 10 5 30 0,63
Jagung 20 100 x 75 2 6 kg 0,15
Kacang Panjang 20 100 x 60 2 10 kg 0,15
Kacang kedelai 30 40 x 10 2 25 kg 0,50
Keterangan : ( + ) : Tumpang sari, ( - ) : Tumpang gilir, ( / ) : Tumpang sisip
Lampiran 23. Contoh Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran (A2)

No. Uraian Perhitungan Jumlah (Rp)


1 2 3 4
1. Biaya
a. Tenaga Kerja (7 jam/hari)
- Persiapan lahan 10 HK; laki - laki (6/7x10x2)+(6/7x10x1)
dewasa 2 orang, perempuan dewasa +(6/7x10x0,5)
1 orang dan anak-anak 1 orang = 30 HK 360.000
- Pengolahan tanah 12 HK; laki - laki (6/7x12x2)+(6/7x12x1)
dewasa 2 orang, perempuan dewasa 1 +(6/7x12x0,5)
orang dan anak-anak 1 orang = 36HK 432.000
- Penanaman dan penyulaman 7 HK (6/7x7x2)+(6/7x7x1)
laki-laki dewasa 2 orang, perempuan +(6/7x7x0,5)
dewasa 1 orang, anak-anak 1 orang = 21HK 252.000
- Pemeliharaan tanaman 12 HK ; laki- (6/7x12x2)+(6/7x12x1)
laki dewasa 2 orang, perempuan +(6/7x12x0,5)
dewasa 1 orang, anak - anak 1 orang = 36 HK 432.000
- Panen 6 HK; laki - laki dewasa 2 (6/7x6x2)+(6/7x6x1)
orang, perempuan dewasa 1 orang +(6/7x6x0,5)
dan anak-anak 1 orang. = 18 HK 216.000
- Pasca panen 6 Hk; laki-laki dewasa (6/7x6x2)+(6/7x6x1)
2 orang, perempuan dewasa 1 orang +(6/7x6x0,5)
dan anak-anak 1 orang = 18HK 216.000
Ket : 1 HK = Rp 12.000
Total (a) 1.908.000
b. Sarana Produksi :
- Bibit / Benih
1. Kacang kedelai 15 kg x 3 Rp 5000/kg 225.000
2. Cabe 6 x Rp12.500/kemasan 75.000
3. Kakao 650 x Rp 1000/pk 650.000
- Pupuk 700.000
- Pestisida 175.000
- Peralatan usahatani (cangkul, parang,
arit, hand sprayer) 250.000
Usaha ternak :
- Bibit ayam 50.000
- Pakan dll 320.000
- Kandang 45.000
- Tenaga kerja Rp 50.000 x 12 600.000
- Transpot 75.000
Total (b) 3.165.000
Total I (a + b) 5.073.000
Lampiran 23- A2 Lanjutan

No. Uraian Perhitungan Jumlah (Rp)


1 2 3 4
2. Pendapatan
1. Kacang kedelai Rp 2500 x 400 kg 1.000.000
2. Cabe Rp 3500 x 150 kg 525.000
3. Kakao Rp 4000 x 1600 kg 6.400.000
4. Ternak ayam 3.137.000
5. Lain-lain 1.650.000

Total 2 12.712.000
Pendapatan bersih (Total 2 Total 1) 7.639.000
Lampiran 24. Analisis Usaha Ternak Ayam yang Dilakukan Oleh Petani Di DAS Krueng
Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)

No. Uraian Perhitungan Total (Rp)


A. Ternak Ayam Kampung
1. Biaya
Bibit 20 ekor Rp. 2.500 x 20 ekor 50.000
Pakan (dedak) Rp. 32.000 x 10 karung 320.000
Biaya Kandang 45.000
Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000
2. Pendapatan 1.015.000

Ayam dewasa Rp. 35.000/ekor x 45 ekor 1.575.000


Telur ayam (95%x20 ekor)x(25%x365hari)x Rp800 1.387.000
3. Pendapatan bersih 2.962.000

(pendapatan biaya) (2.962.000 - 1.015.000) 1.947.000


Lampiran 25. Komposisi Alternatif Beberapa Pola Tanam pada Kebun Campuran
dengan Luas Lahan 1 Ha pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan
Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS Krueng Peutoe

1. Pola Tanam (A1) : Pinang+Kedelai - Kc.Tanah+Jagung/Cabe


Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi
Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Pinang 30 500 x 300 1 220 btg 1,40
Cabe 15 40 x 60 2 6 kemasan 0,25
Kacang Kedelai 20 20 x 30 2 5 kg 0,15
Kacang Tanah 20 50 x 20 2 5 kg 0,35
Jagung 20 75 x 25 2 10 kg 0,70
2. Pola Tanam (A2) : Kakao+Kc.Hijau - Kedelai+Cabe+Jagung

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Kakao 30 300 x 300 1 330 btg 0,82
Kacang kedelai 20 20 x 30 2 5 kg 0,15
Cabe 15 40 x 60 2 6 kemasan 0,25
Kacang Hijau 20 20 x 50 2 10 kg 0,15
Jagung 20 75 x 25 2 10 kg 0,70

3. Pola Tanam (A3) : Pinang+Kakao+Kedelai+Kacang Hijau

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Pinang 30 500 x 300 1 220 btg 1,40
Kakao 30 300 x 300 1 330 btg 0,82
Kacang Kedelai 20 20 x 30 2 5 kg 0,15
Kacang Hijau 20 20 x 50 2 10 kg 0,15
4. Pola Tanam (B1) : Padi Gogo + Jagung - Jagung+Terong+Kedelai/Cabe

Aktual Jumlah Kebutuhan Produksi


Jenis Tanaman Jarak Tanam Tanaman/ Benih/Musim Aktual
% Lahan (cm x cm) Lubang Tanam (ton/ha)
Padi Gogo 30 40 x 10 5 30 0,63
Jagung 20 75 x 25 2 10 kg 0,70
Terong 15 70 x 70 2 8 kemasan 0,90
Kacang kedelai 20 20 x 30 2 5 kg 0,15
Cabe 20 40 x 60 2 6 kemasan 0,30
Lampiran 26. Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran Untuk Pola
Tanam dan Agroteknologi Alternatif pada SLH 14 untuk Luas 1 Ha

No. Uraian Perhitungan Jumlah (Rp)


1 2 3 4
1. Biaya
a. Tenaga Kerja (7 jam/hari)
- Persiapan lahan 10 HK; laki - laki (6/7x10x2)+(6/7x10x1)
dewasa 2 orang, perempuan dewasa = 25,71 HK 308.520
1 orang.
- Pengolahan tanah 14 HK; laki - laki (6/7x14x2)+(6/7x14x1)
dewasa 2 orang, perempuan dewasa 1 = 41,14 HK 493.680
orang
- Penanaman dan penyulaman 7 HK (6/7x7x2)+(6/7x7x1)
laki-laki dewasa 2 orang perempuan = 18 HK 216.000
dewasa 1 orang
- Pemeliharaan tanaman 10 HK ; laki- (6/7x10x2)+(6/7x10x1)
laki dewasa 2 orang, perempuan = 36 HK 432.000
dewasa 1 orang
- Panen 6 HK; laki - laki dewasa 2 (6/7x6x2)+(6/7x6x1)
orang, perempuan dewasa 1 orang = 15,43 HK 185.160
- Pasca panen 6 Hk; laki-laki dewasa (6/7x6x2)+(6/7x6x1)
2 orang, perempuan dewasa 1 orang = 15,43 HK 185.160
Ket : 1 HK = Rp 12.000

Total (a) 1.820.520


b. Pelaksanaan Konservasi
- Pembuatan teras gulud, 6 HK; Laki (6/7x6x3)
laki dewasa 3 orang = 15,43 HK 185.160
- Pemberian Mulsa 4 HK; laki - laki (6/7x4x3)
dewasa 3 orang = 10,29 HK 123.480
- Mulsa jerami 2 ton/ha = 2000 x Rp 1000 2.000.000
Total (b) 2.308.640
c. Sarana Produksi
- Bibit / Benih
1. Kacang kedelai 5 kg x 3 x 5000/kg 75.000
2. Cabe 6 x 12.500/kemasan 75.000
3. Pinang 220 x 1000/btng 220.000
4. Kacang Tanah 5 kg x 3 x 5000/kg 75.000
5. Jagung 10kg x 3 x 4500/kg 135.000
- Pupuk 750.000
- Pestisida 125.000
- Peralatan usahatani (cangkul, parang,
arit, hand sprayer) 225.000
- Transpot 100.000
Lampiran 26. Lanjutan

1 2 3 4
Total (c) 1.780.000
Total I (a + b + c) 4.130.940
2. Pendapatan
1. Kacang kedelai Rp 2.500/kg x 150kg x 3 1.125.000
2. Cabe Rp 100.000/kg x 2 x 3 600.000
3. Pinang Rp 2.500/kg x 1400 kg 3.500.000
4. Kacang Tanah Rp 4.500/kg x 350 kg x 3 4.725.000
5. Jagung Rp 1.500/kg x 700 x 3 3.150.000
Kios Rp 115.000/bln x 12 1.380.000
Total 2 14.480.000
Pendapatan bersih (Total 2 Total 1) 10.349.060
Lampiran 27. Analisis Usaha Ternak Ayam yang Dilakukan Oleh Petani pada DAS
Krueng Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)

No. Uraian Perhitungan Total (Rp)

1. Biaya
Bibit 20 ekor Rp. 2.500 x 20 ekor 50.000
Pakan (dedak) 300.000
Biaya Kandang 45.000
Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000
2. Pendapatan 995.000

Ayam dewasa Rp. 35.000/ekor x 55 ekor 1.925.000


Telur ayam (95%x20 ekor)x(25%x365hari)x Rp800 1.387.000
3. Pendapatan bersih 3.312.000

(pendapatan biaya) (3.312.000 - 995.000) 2.317.000


Lampiran 28. Analisis Usaha Ternak Kambing yang Dilakukan Oleh Petani pada DAS
Krueng Peutoe (perhitungan selama 1 tahun)

No. Uraian Perhitungan Total (Rp)

1. Biaya
Bibit 4 ekor Rp. 200.000 x 4 ekor 800.000
Pakan Rp. 250.000 250.000
Biaya Kandang 75.000
Tali Rp. 2.500 x 40 m. 100.000
Upah kerja Rp. 50.000 x 12 bulan 600.000
2. Pendapatan 1.825.000

Produksi Rp. 800.000/ekor x 6 ekor 4.800.000


3. Pendapatan bersih

(pendapatan biaya) (4.800.000 - 1.825.000) 2.975.000


MOHON MAAF,

PADA HALAMAN INI SESUAI DENGAN ASLINYA TIDAK ADA.

TERIMA KASIH
Lampiran 30. Nilai Faktor C dan P Alternatif pada Satuan Lahan Homogen yang Dijadikan Sebagai Lokasi Pengamatan Intensif di DAS
Krueng Peutoe

SLH Pola Tanam dan CP RKLS A ETol Pendapatan Bersih Keterangan


Penutupan Lahan Alternatif (ton/ha/tahun) (ton/ha/tahun) (Rp/KK/Thn) A vs ETol
Kebun Campuran
14 PN+Kedela i - KT+JG/Cabe+M+TG 0,012 310,79 3,73 28,28 12.441.060 <
15 KK+KH - Kedelai+Cabe+JG+M+TG 0,015 72,78 1,09 39,60 13.060.200 <
16 PG+JG - JG+TR+Kedelai/Cabe+M+TG 0,021 499,41 10,48 36,31 10.267.200 <
17 PN+KK+Kedelai+KH+M+TG+PMK 0,015 2.019,11 30,28 23,03 12.264.720 >
Perkebunan
8 PN+KK+NG+KLP+M+TG 0,015 630,74 9,46 26,26 tidak dianalisis <
9 KK+KP+NG+KLP+M+TG 0,015 346,88 5,20 26,40 tidak dianalisis <
10 KS+M+TB 0,13 29,05 3,78 38,15 tidak dianalisis <
12 KK+M+TB 0,08 265,55 21,24 29,60 tidak dianalisis <
Semak Belukar
6 Padang Pengembalaan 0,0025 602,52 1,51 43,63 tidak dianalisis <
7 Padang Pengembalaan 0,0025 458,78 1,15 29,38 tidak dianalisis <
Hutan
1 Agroforestry+TG 0,0021 171,59 0,36 13,87 tidak dianalisis <
3 Hutan dengan kerapatan tinggi 0,0012 1.466,89 1,76 22,64 tidak dianalisis <
4 Hutan atau Padang Penggembalaan 0,0023 537,46 1,24 32,00 tidak diana lisis <
5 Agroforestry+TG 0,0021 138,45 0,29 17,14 tidak dianalisis <
Keterangan : PN = Pinang, KK = Kakao, NG = Nangka, KLP = Kelapa, KP = Kopi , KT = Kc.Tanah, JG = Jagung, KH = Kc.Hijau,
TR = Terong, PG = Padi Gogo, KS = Kelapa sawit, M = Mulsa, TG = Teras Gulud, TB, Teras bangku,
PMK = Penanaman menurut kontur, (+) :Tumpang sari, (-) : Tumpang gilir, (/) : Tumpang sisip, SLH = Satuan Lahan
Homogen

You might also like