You are on page 1of 21

Masa pulih asal

Menurut Herberger (1977), setelah latihan dengan stimulus optimal, maka pulih asal
(termasuk tahap overkompensasi) adalah sekitar 24 jam. Akan tetapi variasi mengenai
terjadinya overkompensasi bergantung pula pada tipe dan intensitas latihannya. Contohnya.
setelah latihan untuk daya tahan yang intensitasnya tidak begitu tinggi, overkompensasi bisa
terjadi setelah kira-kira 6 jam. Namun usai latihan dengan intensitas yang tinggi bisa saja
dibutuhkan lebih dari 24 jam. kadang-kadang sampai 36 jam untuk overkompensasi.

Dalam kasusnya dengan atlet-atlet elit (yang terlatih baik), seringkali stimulus latihan berikut
(a second set of stimuli) diberikan kepada mereka sebelum usai 24 jam, atau sebelum
involusi secara penuh menghilangkan (eliminates) manfaat- manfaat dari fase kompensasi.
Dan memang sebenarnyalah, perkembangan prestasi akan lebih cepat kalau atlet diberikan
frekuensi stimulus latihan yang lebih sering. Tentu saja dengan cacatan bahwa frekuensinya
tidak terlalu sering sehingga mengakibatkan mencegah terjadinya fase overkompensasl.

Stimuli berlebihan

Kekuatan berbagai ransang adalah penting karena akan berpengaruh langsung pada reaksi
organisme tubuh kita terhadap latihan. Sebagai konsekuensinya, kalau kita melebih-lebihkan
(overemphasize) pemberian intensitas stimuli maksimal, maka atlet akan mengalami
keadaan lelah yang berlebihan (general exhaustion) sehingga akan mengakibatkan
penurunan prestasinya. Ini adalah cara khas atau kebiasaan seorang pelatih yang
overacting yang ingin memberikan kesan (image atau citra) kepada orang lain bahwa dia
adalah seorang pelatih yang tough" (keras) dan pekerja keras, dan yang percaya bahwa
dalam setiap latihan atlet harus digenjot sampai exhausted (lelah sekali).
Kalau situasi yang demikian yang diciptakan pelatih, yaitu setiap kali berlatih harus
mengalami kelelahan yang berlebihan, maka akibatnya biasanya ialah bahwa masa
pemulihan atau periode regenerasi menjadi sangat singkat, sehingga overkompensasi tidak
akan terjadi. Jadi aplikasi atau pemberian stimulus yang seharusnya diberikan pada fase
overkomoensasi justruf diberikan pada fase kompensasi (yaitu pada waktu lelah belum
hilang dan tubuh sedang berusaha untuk pulih asal dari lelah). Akibatnya, prestasi atlet akan
menurun.

Sistem gelombang ( wave-like system).

Dampak training yang amat berbeda akan terjadi apabila intensitas maksimal diselingi
(altemated) dengan stimulus latihan yang rendah seperti nampak di gambar berikut.

Gambar hal 99

Keterangan gambar: intensitas stimuli yang maksimai dan yang rendah, kalau diberikan
secara bergantian akan menghasilkan suatu kurva perkembangan yang berombak (wave-
like).

Bentuk kurva berombak tersebut. dianjurkan untuk diterapkan dalam latihan, terutama
dalam menghadapi suatu pertandingan yang penting. Sebelum pertandingan demikian, guna
memungkinkan tercapainya prestasi top atau peaking, intensitas latihan harus diturunkan
guna memberikan kesempatan kepada organisme tubuh untuk melakukan regenerasi dan
mencapai kesiapan yang tinggi (Harsono, 2004).
Penurunan Beban (Unloading)

Fase penurunan intensitas latihan (unloading phase atau tapering off) yang direncanakan
secara tepat menjelang suatu pertandingan besar merupakan faktor determinan yang amat
penting guna tercapainya pemuncakan (peaking) yang tepat. Karena itu cara memanipulasi
volume dan intensitas latihan merupakan konsep training yang amat penting dan harus
dirancang secara tepat dan teliti oleh pelatih. Gambar 10 berikut menggambarkan 5 mikro
terakhir sebelum pertandingan. Pada siklus 1 2 -3 beban latihan masih ditingkatkan secara
progresif. Pada siklus 4 dan 5 pelatih menurunkan beban atau intensitas latihan dengan
tujuan agar tercapai overkompensasi yang tepat pada saat pertandingan, yang-berarti pula
tercapainya penampilan yang optimal pada saat yang tepat.

Gambar hal 100

Volume Latihan

Volume latihan merupakan bagian penting dalam latihan. baik untuk latihan fisik, teknik,
maupun taktik. Volume latihan tidak sama dengan lamanya (durasi) latihan. Bisa saja latihan
berlangsung singkat namun materi latihannya banyak. Atau sebaliknya, latihan berlangsung
lama namun hampa dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.

Volume latihan ialah kuantitas (banyaknya) beban latihan dan materi latihan yang
dilaksanakan secara aktif. Contohnya, atlet yang diberi latihan lari interval 10 x 400 m,
dengan istirahat di antara setiap repetisi 3 menit, maka volume latihannya ialah 10 x 400 m =
4000 m. Kalau setiap 400 m-nya ditempuhnya dalam waktu 70 detik, maka volume
latihannya ialah 10 x 70 detik = 700 detik. Jadi lamanya istirahat antara setiap repetisi yang 9
x 3 menit = 27 menit tidak termasuk dalam volume latihan, tetapi termasuk dalam lamanya
latihan. Jadi lama latihan (dalam hitungan waktu) adalah 700 detik ditambah 27 detik; dan
dalam hitungan jarak lari ialah 4000 m..

Volume latihan bisa dinyatakan dalam:

a. total waktu berlangsungnya kegiatan,

b. jarak yang harus ditempuh atau berat beban yang harus diangkat per satuan waktu,

c. jumlah repetisi dalam melakukan suatu aktivitas, atau dalam melatih suatu unsur teknik
atau keterampilan tertentu. Misalnya lari 400 m sebanyak 10 repetisi atau melempar bola
sebanyakbanyaknya dalam waktu satu menit (Bompa, 1994).

Jadi, volume latihan ialah jumlah aktivitas yang dilakukan dalam latihan. Volume juga
mengacu kepada jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu sesi (pertemuan) latihan, atau
dalam suatu tahapan latihan (siklus mikro atau makro). Kalau kita mengacu kepada suatu
tahap latihan, maka jumlah sesi latihan dan jumlah hari dan jam latihan harus dispesifikasi.
Misalnya: latihan dilakukan selama 6 bulan (24 minggu); per minggu 3 hari latihan; setiap
latihan berlangsung selama 3 jam. Jadi volume latihannya selama 6 bulan = 24 x 3 x 3 jam =
216 jam.

1. Jumlah volume latihan

Semakin tinggi tingkat prestasi atlet, semakin banyak pula jumlah volume latihan yang harus
dilakukan. Sebab kata Bompa (1994) " a continuous increase in the volume of training is
probably one of the highest priorities of contemporary training, " Dia juga berpendapat
bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara volume latihan per tahun dengan prestasi yang
ingin dicapai oleh atlet.

2. Adaptasi fisiologis

Adaptasi fisiologis tak mungkin dapat dicapai tanpa volume latihan yang tinggi. Artinya,
kalau volume latihan terlalu sedikit, lagi pula kalau intensitasnya rendah (kurang dari 60%
maksimal), maka proses adaptasi tidak akan terjadi. Atau kalau pun ada, adaptasinya kecil
sekali.

Volume yang tinggi penting untuk semua cabang olahraga, terutama yang memerlukan
unsur aerobik. Demikian pula untuk cabang-cabang olahraga yang menuntut keterampilan
teknik dan taktik karena hanya dengan repetisi yang banyak (jadi volume tinggi), akumulasi
kuantitatif dari skill akan dapat terjamin; yang dengan sendirinya berarti pula menjamin
perkembangan performa secara kuantitatif.
Perkembangan prestasi adalah hasil dari jumlah sesi latihan (training lesson). Menurut
Bompa (1994), atlet klas elit harus berlatih delapan sampai 12 sesi latihan per siklus mikro
(per minggu). Dia perkirakan:

a. Untuk bisa masuk 10 besar dunia: volumenya harus lebih dari 1000 jam per tahun.

b. Untuk bisa menjadi atlet internasional: 800 jam setahun.

c. Untuk menjadi atlet kaliber nasional: 600 jam setahun.

d. Untuk menjadi atlet daerah (misalnya PON): 400 jam setahun.

3. Penambahan volume yang berlebihan

Meskipun volume latihan yang tinggi adalah penting, namun Harre (1982) mengingatkan
bahwa too great an increase of work per training lesson can be harmful to the athlete."
Karena akan bisa " ...leads to fatigue, low efficiency in training, uneconomical muscular
work, and an increase of injuries. Karena itu, menurutnya, kalau volume per sesi latihan
sudah dianggap cukup, maka akan lebih bijaksana untuk menambah jumlah latihan per
siklus mikro (mingguan)
Volume latihan yang cocok untuk cabang olahraga seperti lari. kano, dayung. balap sepeda
ialah jarak yang ditempuh per latihan. Dalam hal ini pelatih memakai dua unit ukuran, yaitu
waktu dan jarak. misalnya lari 12 km ditempuh dalam waktu 20 menit. Untuk cabang-
cabang olahraga yang unsur dominannya kekuatan otot seperti angkat besi, latihan yang
cocok tentu adalah jumlah kg dalam latihan.

4. Dua macam volume

Ada dua macam volume, yaitu (a) volume relatif dan (b) volume absolut. Volume relatif
mengacu kepada jumlah waktu latihan suatu kelompok atlet (tim) selama satu sesi atau
tahapan latihan. Volume relatif tidak bisa menentukan secara akurat volume setiap individu
atlet, meskipun pelatih tahu akan total volume atau lamanya latihan seluruh tim.

Volume absolut ialah jumlah latihan yang dilakukan seorang individu atlet; dan biasanya
dinyatakan dalam menit atau per unit of time. Penentuannya volumenya bisa lebih akurat
ketimbana penentuan untuk tim.

5. Lama latihan

kekeliruan yang umum dilakukan oleh banyak pelatih kita adalah bahwa mereka lebih
menekankan pada lamanya latihan daripada penambahan beban latihan. Waktu latihan
sebaiknya adalah pendek akan tetapi berisi dan padat dengan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat. Kecuali waktunya yang pendek latihan harus juga dilakukan sesering mungkin.
Setiap latihan tersebut harus dilakukan dengan usaha yang sebaik-baiknya dan dengan
kualitas atau mutu yang tinggi. Namun demikian kita harus pula perhatikan bahwa " as
soon as bad features

creep into the performance, that particular practice must stop. (Thomas. 1970).

Artinya. segera nampak bahwa atlet mulai sering melakukan kesalahan-kesalahan. segera
pula latihan harus dihentikan Mengapa? Oleh karena kalau atlet berulang-ulang melakukan
kesalahan yang sama (antara lain misalnya karena sudah mulai telah). maka hal ini akan
mudah membentuk handicaping habits (kebiasaan-kebiasaan yang salah) dari gerakan yang
dipelajari tersebut. (Baca Batasan Training: dengan berulang-ulang melakukan gerakan
tersebut. gerakan itu menjadi otomatis dan reflektit dilakukannya). Dan kita tahu dari
pengalaman bahwa sungguh sukar untuk membetulkan kembali kebiasaan-kebiasaan yang
salah dan buruk yang sudah terpatri pada atlet. Sebagaimana pula kita sukar untuk
membujuk seorang perokok agar berhenti merokok.

Suatu keuntungan dari latihan-latihan yang pendek adalah bahwa hal ini akan terus
membawa atlet dalam alam berfikir tentang latihannya. artinya, segala sesuatu yang
diberikan kepadanya dalam latihan tadi akan dapat terus berdengung dalam alam tikirannya.

Apabila waktu latihan berlangsung terlalu lama dan terlalu melelahkan maka bahayanya
adalah bahwa atlet akan memandang setiap latihan sebagai suatu siksaan. Habis latihan
habis dan putus pula hubungannya dengan halhal yang berhubungan dengan latihan tadi;
dan hari-hari latihan berikutnya ditatapnya dengan perasaan enggan Dan kalau hal ini
terjadi, maka kita
sebagai pelatih sebenarnya telah gagal datam memberikan motivasi kepada atlet dan dalam
menumbuhkan keinginannya untuk berlatih. Oleh karena itu belum tentu seorang atlet
enggan pergi ke lapangan latihan disebabkan karena dia malas. Sebagaimana pula, belum
tentu mahasiswa malas kuliah disebabkan karena dia memang pemalas. Mungkin saja
disebabkan karena kuliah-kuliahnya tidak menarik atau tidak merangsang.

Latihan Rileksasi

Suatu faktor yang juga penting dalam olahraga adalah faktor rileksasi atau relaxation.
Batasan yang umum diberikan untuk relaxation adalah hilangnya atau mengurangnya
tension atau ketegangan. baik ketegangan asik maupun mental.

Rileksasi fisik adalah masalah yang berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat
ketegangan (degree of tension) yang ada dalam otot-otot. Suatu rahasia" dalam olahraga
adalah, untuk jangan memberikan kepada otot-otot yang sedang bekerja ketegangan yang
lebih dari yang dibutuhkan untuk melaksanakan gerakan-gerakan yang dimaksud. dan untuk
mendapatkan tingkat ketegangan yang serendah-rendahnya di dalam otot-otot antagonistik.
agar dengan demikian tidak menghalangi kerja otot-otot yang sedang berkontraksi. Jacobson
menamakan ini differential relaxation", yaitu " . the absence of any undue degree of
contraction in the muscles not involved in an act while other muscles actually perform the
act. (Klafs dan Arnheim, 1963). Artinya, hilangnya setiap kontraksi yang berlebihan di dalam
otot-otot yang tidak dibutuhkan untuk gerakan tersebut pada waktu otot-otot lainnya
sedang bekerja.
Hal ini bukan berarti bahwa di dalam otot-otot yang sedang bekerja sama sekali tidak boleh
ada ketegangan. Tegangan atau tension yang cukup dan wajar di dalam otot-otot yang
sedang bekerja tetap dibutuhkan oleh karena tension ini diperlukan untuk membimbing
gerakan-gerakan, untuk menstabilkan sendi-sendi, untuk mempertahankan sikap, dan untuk
mengarahkan serta membimbing gerakannya (guide the action).

1. Rileksasi mental

Dalam olahraga, rileksasi yang diperlukan bukan hanya rileksasi di dalam otot atau rileksasi
fisik saja, akan tetapi juga rileksasi mental (mental relaxation), yang sering kali malah lebih
penting daripada rileksasi fisik.

Saat-saat kritis dalam pertandingan, pada waktu emosi sukar dikendalikan dan ketegangan
mencapai puncaknya, hal ini seringkali dapat mengakibatkan hilangnya keterampilan gerak
atau skill fisik dari atlet. Hilangnya skill berarti menurunnya teknik, berkurangnya
perhitungan (judgement) dan keseimbangan, timbulnya kebingungan dalam pengaturan
siasat permainan. Akibatnya kemudian semakin meningginya tension, merosotnya kekuatan
dan ketepatan. hilangnya ketelitian, akhirnya hancurnya mental.

Seluruh otot tiba-tiba bekerja melawan otot-otot antagonistik yang terlalu tegang. Gerakan-
gerakan atlet menjadi kaku, lamban. Bola lemparan yang sepele tiba-tiba sukar untuk
ditangkap; lemparan hukuman yang akan dapat menyamakan skor pada saat-saat akhir
pertandingan tidak menemui sasaran; keraguraguan timbul ke mana bola harus dioperkan,
dsb.
Jelas bahwa otot-otot antagonistik yang terlalu tegang yang menghambat gerakan-gerakan
atlet, akan menyebabkan penghamburan atau pembuangan tenaga dengan percuma.

Sedang sebaliknya, tingkat ketegangan yang terlalu rendah di dalam otot-otot yang bekerja
akan berarti berkurangnya tenaga yang diperlukan untuk melakukan gerakan tersebut.

2. Apakah rileksasi bisa dilatih?

Persoalan yang penting bagi pelatih maupun atlet dan yang sering menjadi pertanyaan
adalah, apakah relaxation itu dapat dilatih?" Jawabnya adalah dapat! Lawther
berpendapat bahwa . . . relaxation seems to come under voluntary control, " relaxation
adalah suatu proses conditioned teaming, belajar untuk membiasakan diri untuk rileks
(Lawther, 1959).

Seorang atlet yang telah berpengalaman, yang sebetulnya sangat menyangsikan hasil
prestasinya, mampu untuk membuat penampilan seakan-akan tampak tenang-tenang saja
menghadapi suatu pertandingan. Malah lebih dari itu, dia mampu untuk memaksa otot-
ototnya untuk relax sehingga tidak ada tonus yang berlebihan yang timbul, yang mungkin
akan memengaruhi prestasinya.

Voluntary control atau pengamatan dan kontrole atas ketegangan dapat dilakukan selama
pertandingan berlangsung. Pada waktu lari misalnya, atlet harus secara sadar mencurahkan
konsentrasinya untuk rileks, dan secara sadar pula untuk melakukan pertandingan tersebut
tanpa tahanan dan tegangan, misalnya mengatakan kepada dirinya sendiri rileks, rileks,
rileks. Setiap kali timbul ketegangan, setiap kali pula dia harus memaksakan dirinya untuk
tinggal rileks, tenang. Dan hal ini hanya bisa dilakukannya apabila ia menjalankannya secara
sadar.

Salah satu bentuk relaxation training yang bisa dipraktikkan kepada misalnya pemanah
adalah sebagai berikut: setelah para pemanah berada dalam sikap membidik, mereka
diminta untuk secara sadar berkata dalam hati untuk tetap tinggal relax, sebab dalam sikap
inilah pemanah selalu berada dalam puncak ketegangannya.

Pada permulaan latihan, relaxation control ini dilakukan dengan stimulus dari luar, misalnya
pelatih mengatakan rileks, rileks, rileks. Setelah para pemanah membiasakan diri dengan
kontrol dari luar ini, maka relaxation control ini kemudian harus datang dari dirinya sendiri.
Setiap kali akan melepaskan anak panah, mereka harus secara sadar berusaha untuk
menekan (kalau bisa menghilangkan) segala ketegangan mental hingga sekecil mungkin.
Dengan setiap kali secara sadar berlatih demikian, lama kelamaan diharapkan relaxation
akan tumbuh dalam diri atlet. Hanya dengan demikian kesalahan-kesalahan teknik pada
waktu release (melepaskan anak panah) dapat dihindarkan atau sebanyak mungkin dijauhi.

Jadi rileksasi sebetulnya bisa dilatih. Namanya juga relaxation training. Karena itu
latihannya juga harus mengacu kepada batasan training, yaitu prosesnya harus sistematis,
dilakukan berulang-ulang, dan bebannya kian bertambah berat. Rileksasi tidak mungkin
datang dengan sendirinya. Rileksasi harus dilatih dengan sengaja. Karena itu, salah kalau
pelatih pada waktu pertandingan menuntut atlet untuk rileks, tenang, jangan tegang,
padahal atlet belum pernah dilatih untuk rileks. Banyak pelatih atau penonton atau
pemimpin berteriak relax, relax, relax, atau menyalahkan atlet yang kalah dengan kamu
tidak rileks sih" namun tidak tahu apa atlet sudah dilatih rileksasi atau belum.
Relaxation adalah alat yang penting untuk mengendalikan diri sendiri dan untuk
mempertahankan sikap seimbang (poise) selama pertandingan berlangsung. terutama pada
saat-saat akhir suatu pertandingan, misalnya pada waktu lari menjelang finis, di saat
mempertahankan sikap lari atau form yang baik, adalah sangat penting oleh karena hal ini
biasanya menentukan kalah-menang atlet.

Bilamana kemampuan untuk rileks dalam pertandingan sudah tercapai, maka lama kelamaan
rileksasi akan datang secara otomatis. oleh karena kini sudah menjadi suatu habit. Dengan
demikian atlet dalam setiap pertandingan tidak perlu lagi mengeluarkan terlalu banyak
tenaga dalam usahanya untuk memaksakan diri untuk rileks.

(Lebih luas mengenai latihan Relaksasf' baca Harsono, 1988."Coaching dan Aspek-Aspek
Psikologis dalam Coaching, atau Harsono, 2015. Psikologi Olahraga dalam Pelatihan.")

Tes-Tes Uji Coba

Tes-tes uji-coba atau yang lazim disebut test trials, atau tarung-uji adalah tes-tes atau
pertandingan-pertandingan yang biasanya dijadwalkan sebelum pertandingan besar yang
sebenarnya berlangsung. Misalnya beberapa bulan menjelang berlangsungnya PON. tim
melakukan tarung-uji melawan klub-klub lain; atau bisa juga melawan tim-tim yang kelak
bakal terjun dalam PON dan kemungkinan bakal jadi salah satu lawannya.

Tujuan mengikuti pertandingan uji coba tersebut a.l. adalah guna:


a. memberikan pengalaman kepada atlet dan tim untuk bertanding dalam suasana
pertandingan yang sebenarnya, dengan peraturan-peraturan permainan dan pertandingan
yang resmi, dan ditonton oleh penonton yang masih asing

bagi mereka,

b. mencari atau mengetahui (kalau ada) kekurangan-kekurangan pada atlet atau tim, baik
dalam aspek fisik, teknik, taktik, mental, maupun kerja sama tim.

c. menguji kemampuan taktis regu kita dalam menghadapi berbagai strategi dan taktik lawan
yang mungkin bakal dihadapi dalam pertandingan besar nanti.

d. memberikan pengalaman terlibat dalam situasi-situasi stres fisik dan mental


pertandingan dan berusaha mengatasinya.

e. menguji atlet berada dalam situasi dan kondisi pertandingan yang menegangkan, keras
(severe), rumit, dan kejam.

Pertandingan uji coba mengandung unsur-unsur dan potensi belajar yang sangat penting
bagi atlet. Artinya, atlet akan bisa banyak belajar dari pengalaman-pengalaman dalam
pertandingan uji coba tersebut. Lagi pula, ketangguhan fisik dan mental yang sebenarnya
dari atlet akan nampak dan terungkap jelas dalam situasi-situasi pertandingan tersebut, dan
yang dalam latihan sering kali kurang nampak.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan partisipasi atlet dalam
pertandingan uji coba adalah:

a. Sebaiknya hanya atlet-atlet yang sudah memiliki kondisi fisik dan mental serta
kemampuan teknis dan taktis yang cukup dan memadai saja yang diizinkan terjun dalam
pertandingan uji coba.

b. Jangan ikuti sembarang test-trial.

c. Teliti dan pilihlah pertandingan yang mana yang patut diikuti, karena tes-tes tersebut.
harus berangsur-angsur semakin berat dan semakin sukar dan rumit.

d. Jangan hindari lawan-lawan yang setaraf atau lebih kuat dari regu kita karena
pertandingan yang tidak mengundang tantangan tidak akan banyak manfaatnya.

e. Atlet harus diberi kesempatan untuk ikut dalam banyak pertandingan uji coba (akan tetapi
jangan terlalu banyak). Pertandingan-pertandingan tersebut penting untuk mendorong atau
memaksa atlet untuk tampil secara optimal (yang dalam latihan-latihan biasanya kurang).
Kecuali itu, tes-tes uji coba juga penting untuk menstabilkan penampilannya dalam situasi
pertandingan dan untuk semakin menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi
pertandingan.
Jadwal Uji-Coba Tanding

Hal yang sangat penting, dan yang sering kali lepas dari perhatian pelatih dan manajer tim
adalah, bahwa jadwal pertandingan uji coba harus disusun sedemikian rupa sehingga
menjamin atlet untuk mencapai prestasi puncaknya pada saat yang tepat, yaitu saat
dilaksanakannya pertandingan utama (misalnya PON). Karena itu, jadwal test trials harus
disusun. secara cerdik. Jangan asal mengikuti sembarang pertandingan pada sembarang
waktu. Perencanaan yang kurang cerdik dan kurang inteligen seringkali justru
mengacaukan penampilan optimal atlet pada pertandingan utamanya. Artinya, tahap
overkompensasi tidak akan jatuh tepat pada hari pertandingan utamanya. Setiap
pertandingan uji coba haruslah diarahkan kepada sasaran utama tersebut.

Jadi kesimpulannya adalah bahwa antara jadwal latihan dan pertandingan harus ada
keseimbangan yang wajar. Seorang atlet tidak bisa dilatih sebanyak mungkin dan disuruh
bertanding sebanyak mungkin pula. Sebaliknya, dia tidak bisa dilatih sebanyak mungkin
tanpa sewaktu-waktu diberi kesempatan bertanding untuk mengetes dirinya sendiri dan
untuk mengukur potensi-potensinya yang sebenarnya serta melihat hasil-hasil yang telah
dicapai karena training.

Training yang baik yang dibarengi dengan perencanaan tes trials yang saksama, kecuali dapat
menumbuhkan rasa percaya diri pada atlet. akan pula dapat membantu dia untuk lebih
mengenai tugas yang harus dilakukannya, situasi dan peraturan-peraturan pertandingan
yang sebenarnya, serta tactical sense dalam pertandingan. Tak kurang penting pula adalah
bahwa test trials tersebut akan dapat membuka matanya akan kekurangan-kekurangannya,
baik di bidang teknis, taktis, fisik, maupun mental. sehingga training selanjutnya dapat
ditujukan dan diarahkan untuk memperbaiki dan mengatasi kekurangan-kekurangan serta
kelemahan-kelemahannya.

Hal-hal Lain yang Perlu Diperhatikan Adaptasi Latihan

Prestasi tinggi adalah hasil latihan keras selama bertahuntahun yang direncanakan dengan
betul, sistematis, intensif, metodis. Melalui latihan yang intensif tersebut. atlet akan mampu
untuk mengadaptasi (menyesuaikan) organisme dan fungsi-fungsi tubuhnya terhadap
tuntutan-tuntutan spesifik atau yang khas dari cabang olahraga yang digelutinya. Semakin
tinggi derajat adaptasinya akan semakin baik pula penampilannya.

Perubahan-perubahan struktural dan faaliah ini bisa terjadi karena volume, intensitas, dan
frekuensi yang diberikan dalam latihan, terutama dalam latihan fisik. Latihan fisik hanyalah
akan bermanfaat manakala tubuh kita dirangsang/dipaksa untuk beradaptasi terhadap stres-
stres fisik dan mental. Kalau stres yang diberikan oleh latihan tidak cukup berat guna
menantang tubuh kita, maka adaptasi tidak akan terjadi. Artinya kalau beban latihan yang
dirasakan terlalu ringan oleh atlet, maka proses adaptasi juga tidak akan terjadi. Namun
sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu kalau stres-nya terlalu berat sehingga tubuh dengan usaha
maksimalnya tidak mampu mentoleransinya. adaptasi juga tidak akan terjadi. Malah
mungkin akan bisa terjadi cedera-cedera atau overtraining.

1. Training effect

Karena itu pelatih harus pandai mengira-ngira bahwa beban yang diberikan kepada atlet
tidaklah terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan. Diperkirakan bahwa beban yang kurang
dari 60% dari kemampuan maksimal atlet adalah terlalu ringan untuk mem-fasilitasi
terjadinya adaptasi. Artinya tidak akan nampak dampak atau manfaat latihannya (training
effect-nya), Karena itu diperlukan intensitas yang lebih tinggi agar training

effect-nya terasa.

Sebagai contoh, kalau kita ingin menguatkan otot-otot kita (misalnya otot bahu/pundak),
maka berat beban yang kita angkat haruslah lebih dari 60% dari kemampuan maksimal kita.
Misalkan kemampuan maksimal (hanya bisa mengangkat 1 kali) press kita adalah 40 kg.
maka beban untuk melatih otot bahu sedikitnya adalah 24 kg. (baca masalah Weight
Training), Hal ini juga berlaku bagi latihan daya tahan, kecepatan, dan lain-lain komponen
fisik.

Untuk semakin meningkatkannya, intensitas dan volume latihannya harus secara periodik
ditingkatkan. Ini sesuai dengan prinsip progressive oven'oading.

2. Pengurangan stimulus

Kalau stimulus atau rangsangan dikurangi, maka training effect-nya dengan sendirinya juga
akan mengurang. Malah bisa sampai ke fase involusi (baca Asas Overkompensasi).
Demikian pula kalau istirahat atau interupsi antara rangsangan terlalu lama, maka training
effect atau manfaat latihan juga akan mengurang atau bisa hilang sama sekali. Jadi jelaslah di
sini bahwa latihan harus dilakukan secara kontinu, berkesinambungan tanpa terlalu lama
istirahat di antara setiap stimulus

Kita ambil contoh yang sering terjadi pada atlet-atlet kita. Usai pertandingan besar, misalnya
PON, masa transisinya biasa berlangsung terlalu lama, bisa dua bulan atau kadangkadang
lebih lama. Lagi pula, istirahatnya dilakukan secara pasif, artinya tidak melakukan kegiatan
olahraga sama sekali.

Maka akibatnya apa? Akibatnya ialah semua manfaat latihan yang dilakukan di musim
persiapan dan pertandingan yang lalu akan pudar, menghilang. Akibat lanjutannya ialah,
untuk tahap latihan tahun depan (di TPU) atlet harus mulai lagi latihan dari nol". Inilah
penyebab mengapa prestasi atlet kita jarang perkembang secara progresif. Artinya, prestasi
tahun ini sama dengan prestasi tahun yang lalu.

3. Lama waktu adaptasi

Lamanya waktu untuk adaptasi setinggi mungkin tergantung dari kompleks tidaknya gerakan
atau skill dan sukarnya melakukan olahraga tersebut. Semakin kompleks atau sukar cabang
olahraga tersebut.. semakin lama waktu yang diperlukan untuk adaptasi neuro-muskular dan
fungsionalnya.

Akibat dari latihan fisik, meskipun perubahan-perubahan organik yang paling mencolok
terlihat pada atlet-atlet daya tahan (maraton, renang. dayung. dll.), hampir semua atlet akan
memperlihatkan perubahan dan perbaikan dalam kardio-respiratori, neuro-muskular,
biokemikal. dan juga psikologis.
Pemanasan (Warming-Up)

Sebuah mobil akan lebih kebal terhadap penyakit" apabila sebelum bekerja berat. mesinnya
dipanaskan terlebih dahulu dan tidak begitu saja langsung dilarikan dengan kecepatan tinggi.
Hal yang sama berlaku pula bagi mesin yang ada di dalam tubuh kita.

Warming-up atau memanaskan tubuh adalah suatu proses yang bermaksud untuk
mengadakan perubahan-perubahan fisiologis dalam tubuh kita dan menyiapkan
organismenya dalam menghadapi aktivitas tubuh yang lebih berat nanti di latihan inti atau
pertandingan. Selain fisiologis, pemanasan bermaksud pula untuk mempersiapkan atlet
untuk siap secara mental dalam menghadapi tantangan tugas-tugas latihan yang akan
datang.

Dengan kesiapan fisik dan mental tersebut., atlet diharapkan bisa meningkatkan
keterampilan dan penampilannya dibandingkan kalau dia tidak melakukan pemanasan
sebelumnya. Pemanasan juga bermanfaat untuk menghindari diri dari kemungkinan
terjadinya cedera pada otot, sendi, maupun anggota-anggota tubuh apabila nanti tiba-tiba
harus kerja keras, baik dalam latihan maupun dalam pertandingan. Sebab, kalau otot-otot
dan sendi masih dingin maka peluang kemungkinan cedera akan besar kalau nanti tiba-
tiba harus kerja lebih keras. Dan akibat cedera biasanya beruntun. Atlet harus istirahat. Hasil
latihan yang lalu menjadi mubazir, dan kondisi menurun. Dan untuk mengembalikan kondisi
ke semula akan makan waktu lama lagi (baca prinsip Reversibility).

Karena itu warming-up harus dilakukan dengan benar agar bisa meningkatkan efisiensi
fungsi faaliah tubuh sebelum latihan atau pertandingan dimulai. Gandelsman dan Smirnov
(1971) mengatakan bahwa warming-up harus bisa menaikkan suhu tubuh agar dengan
demikian akan bisa merangsang aktivitas CNS (central nervous system), mempercepat
reaksi-reaksi motorik, dan memperbaiki koordinasi. Karena itu pula performa akan bisa lebih
baik.

Selama pemanasan, dengan dorongan pelatih, atlet diharapkan bisa memotivasi diri untuk
mengatasi segala tantangan dari tugas-tugas latihan yang akan datang sehingga dengan
demikian dia diharapkan secara psikologis juga siap.

You might also like