Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak
secara fokal maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang
menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO
1983). Stroke masih merupakan penyebab utama kecacatan sehingga
orang yang mengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain-pada
kelompok usia 45 tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatkannya cukup
tinggi.
. Stroke menurut patologi anatomi dan penyebabnya terbagi dua, yaitu stroke
non hemoragik atau iskemik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik
didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab
vaskular. Sekitar 85% terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah
di otak pada daerah tertentu. Mayoritas stroke adalah hemoragik. Perdarahan
intraserebral terhitung 10-15 % dari seluruh stroke dan memiliki mortalitas yang
lebih tinggi dari keseluruhan stroke yang bersifat hemoragik.
Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data
sporadis di rumah sakit terlihat adanya pola kenaikan angka morbiditas stroke yang
seiring dengan makin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah.
Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat
ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker, 51,58% akibat stroke
hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan
subaraknoid. D e n g a n k o m b i n a s i seluruh tipe stroke secara keseluruhan, stroke
menempati urutan ketiga penyebab utama kematian dan urutan pertama penyebab
utama disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi
terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.
Dalam SKDI tahun 2014, kompetensi seorang dokter layanan primer adalah
dapat mendiagnosis jenis-jenis stroke dan memberi tata laksana awal. Oleh karena
itu case ini dibuat untuk lebih mengetahui dasar diagnosis dan memberikan terapi
awal yang adekuat.
1
2
BAB II
STATUS PASIEN
IDENTIFIKASI
Nama : Ny. SA
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kota Palembang
Agama : Islam
MRS Tanggal : 03 Maret 2016
3
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Status Internus
Kesadaran : GCS (E: 4, M: 5, V: Afasia global)
Gizi : Sedang
Suhu Badan : 37,4C Jantung : HR 87x/m m(-) g(-)
Nadi : 87x/menit Paru-paru : ves (+) N R(-) W(-)
Pernapasan : 22x/menit Hepar : tidak teraba
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Lien : tidak teraba
Berat Badan : 55 kg Anggota Gerak: tidak ada oedema
Tinggi Badan : 154 cm Genitalia : tidak diperiksa
Status Psikiatrikus
Sikap : wajar, koperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada kelainan
LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada kelainan
4
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hyposmia tidak ada tidak ada
Parosmia tidak ada tidak ada
5
Pupil
- Bentuknya bulat bulat
- Besanya 3 mm 3 mm
- Isokori/anisokor isokor isokor
- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada
- Refleks cahaya
- Langsung ada ada
- Konsensuil ada ada
- Akomodasi ada ada
- Argyl Robertson tidak ada tidak ada
N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit normal normal
- Trismus tidak ada tidak ada
- Refleks kornea ada ada
Sensorik
- Dahi normal normal
- Pipi normal normal
- Dagu normal normal
Bentuk Muka
- Istirahat normal, tidak ada kelainan
- Berbicara/bersiul belum dapat dinilai
6
Sensorik
2/3 depan lidah tidak ada kelainan
Otonom
- Salivasi tidak ada kelainan
- Lakrimasi tidak ada kelainan
- Chovsteks sign tidak ada kelainan
N. Statoacusticus
N. Cochlearis Kanan Kiri
Suara bisikan tidak ada kelainan
Detik arloji tidak ada kelainan
Tes Weber tidak ada kelainan
Tes Rinne tidak ada kelainan
N. Vestibularis
Nistagmus tidak ada
Vertigo tidak ada
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
Kanan Kiri
Arcus pharingeus simetris
Uvula di tengah
Gangguan menelan tidak ada
Suara serak/sengau tidak ada
Denyut jantung normal
Refleks
- Muntah tidak ada kelainan
- Batuk tidak ada kelainan
- Okulokardiak tidak ada kelainan
- Sinus karotikus tidak ada kelainan
Sensorik
- 1/3 belakang lidah tidak ada kelainan
7
N. Accessorius Kanan Kiri
Mengangkat bahu simetris
Memutar kepala tidak ada hambatan
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan lateralisasi ke kanan
Kekuatan lateralisasi ke kanan
Tonus meningkat normal
Refleks fisiologis
- Biceps meningkat normal
- Triceps meningkat normal
- Radius meningkat normal
- Ulna meningkat normal
Refleks patologis
- Hoffman Tromner tidak ada
- Leri tidak ada kelainan
- Meyer tidak ada kelainan
8
Refleks fisiologis
- KPR meningkat normal
- APR meningkat normal
Refleks patologis
- Babinsky ada tidak ada
- Chaddock ada tidak ada
- Oppenheim ada tidak ada
- Gordon tidak ada tidak ada
- Schaeffer ada tidak ada
- Rossolimo tidak ada tidak ada
- Mendel Bechterew tidak ada tidak ada
Refleks kulit perut
- Atas tidak dilakukan
- Tengah tidak dilakukan
- Bawah tidak dilakukan
Refleks cremaster tidak dilakukan
SENSORIK
Belum dapat dinilai
9
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : tidak ada kelainan
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada
10
Brudzinsky
- Neck tidak ada
- Cheek tidak ada
- Symphisis tidak ada
- Leg I tidak ada tidak ada
- Leg II tidak ada tidak ada
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : afasia global
Afasia sensorik : afasia global
Apraksia : bdd
Agrafia : bdd
Alexia : bdd
11
Afasia nominal : bdd
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia Klinik Darah Rutin
BSS : 110 mg/dl Hb : 11,9 g/dl
Kolesterol total : 307 mg/dl Eritrosit : 4,16x106/mm3
Kolesterol HDL : 54 mg/dl Ht : 37%
Kolesterol LDL : 228 mg/dl Leukosit : 14,8x103/mm3
Trigliserid : 104 mg/dl Trombosit : 292.000/ul
Protein total : - Diff count : 0/3/81/10/6
Albumin : -
Globulin : -
Ureum : -
Asam Urat : -
Kreatinin : -
Kalsium : 8,9 mg/dl
Phospor : 4,3 mg/dl
Magnesium : 1,95 mEq/L
Natrium : 143 mEq/L
Kalium : 4 mEq/L
Klorida : 114
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIK:
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese nervus VII dextra tipe central
Parese nervus XII dextra tipe central
Afasia global
DIAGNOSIS TOPIK:
- Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
DIAGNOSIS ETIOLOGI: CVD Non Hemoragik et causa emboli cerebri
12
PENGOBATAN
Mobilisasi pasif
Fisioterapi
Diberikan IVFD NaCl 0,9 % gtt XX/m
Aspilet 1x80 mg PO
Amlodipin 1x10 mg PO
Omeprazole 1x20 mg PO
Neurodex 1x1 tab PO
OBH 3x1 sirup PO
Loratadine 1x10 mg PO
Lotioncalamine 2x/hari
Antorvastatin 1x10 mg PO malam
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
13
CT-Scan Kepala:
Kesan:
- Infark serebri iskemik pada daerah oksipital kiri
14
Rontgen Thorax:
Kesan:
- Kardiomegali
- Suspek struma intrathorakal
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO), diperkenalkan
tahun 1970 dan masih digunakan sampai sekarang, adalah tanda-tanda klinis dari
gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat atau tiba-
tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan tidak
tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular.1 Stroke dapat
dikarakteristikkan sebagai suatu defisit neurologis yang terjadi akibat trauma fokal
maupun global yang terjadi secara akut pada sistem saraf pusat yang disebabkan
oleh gangguan pada sistem vaskular, termasuk infark serebri, perdarahan
intraserebri, dan perdarahan subaraknoid, dan merupakan penyebab terbesar dari
disabilitas dan kematian di seluruh dunia.2
3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi
stroke belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren
kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life
expentancy dan gaya hidup yang berubah. Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner
dan kanker, 51,58% akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan
1,05% akibat perdarahan subaraknoid.3,4
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan
jenis kelamin. Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia,
terlihat hal yang sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke
dengan pertambahan umur. Untuk jenis kelamin, kejadian stroke lebih sering pada
pria dibandingkan wanita di usia kurang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir
sama di usia lebih dari 60 tahun. Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah sakit di
Yogyakarta, angka kematian tercatat sebesar 28.3%; sedangkan pada 780 kasus
stroke iskemik adalah 20,4%, lebih banyak pada laki-laki.3,4
16
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari
28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek
dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Terdapat peningkatan insidensi stroke
per tahun, khususnya pada RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2004-2009 (tabel 2).4
Stroke mempunyai multifaktor risiko. Faktor risiko tersebut ada yang mayor
dan minor, serta ada yang bersifat modifiable atau nonmodifiable. Faktor-faktor
risiko tersebut adalah hipetensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi dan penyakit katup
jantung, hematokrit, fibrinogen, polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi,
merokok, alkohol, obesitas dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA)
baik untuk pasien ataupun keluarga.3
Data epidemiologi lain selain usia, faktor risiko, yang perlu untuk
memperbaiki tatalaksana adalah tipe stroke (iskemik atau hemoragik), lokasi lesi,
gejala klinis, terapi (obat dan operasi) yang dipakai/dilakukan serta hasil keluaran
setelah perawatan di rumah sakit (outcome dan output).3
Tabel 3.1 Insidensi stroke per tahun (2004-2009) di RSUP Dr. Sardjito4
No Tahun Jenis Patologi Stroke Jumlah
Iskemik % Pendarahan %
1 2004 229 78,97 61 21,03 290
2 2005 291 78,44 80 21,56 371
3 2006 307 72,38 117 27,59 424
4 2007 305 74,93 102 25,07 407
5 2008 355 70,61 149 29,39 507
6 2009 358 70,00 152 30,00 507
3.4 Klasifikasi
Klasifikasi modifikasi Marshall, yaitu:3
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke Iskemik
- Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA)
- Trombosis serebri
- Emboli serebri
B. Stroke Hemoragik
18
1. Perdarahan intra serebral
2. Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
TIA
Stroke-in-evolution
Completed stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah
Sistem karotis
Sistem vertebro-basilar
Stroke mempunyai tanda klinik spesifik, tergantung daerah otak yang
mengalami iskemia atau infark. Serangan pada beberapa arteri akan memberikan
kombinasi gejala yang lebih banyak pula.
Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan
percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan arteri
serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik atau
pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi
sistematik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan
tambahan dilakukan seperti pada TACI.
Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct) yang
lebih sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak.
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :
Pure motor stroke (PMS)
Pure sensory stroke (PSS)
Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral,
dysarthria-hand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.
Sindrom Pedunkularis
Disebut juga hemiplegia okulomotorik alternan dan sindrom weber di otak
tengah bagian basal, melibatkan saraf III dan bagian-bagian dari pedunkulus
serebralis
Sindrom Benedikt
22
Terletak didalam tegmentum dari otak tengah, mungkin merusak lemnikus
medialis, nukleus ruber, dan saraf III dan nukleusnya dan traktus-traktus yang
berhubungan.
24
alternans sudah jelas harus menduduki kawasan piramis sesisi dan harus dilintasi
oleh radiks nervus hipoglosus. Maka dari itu kelumpuhan UMN yang terjadi
melanda belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat leher dan diiringi
oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah ipsilateral. Itulah sindrom hemiplegia
alternans nervus hipoglosus atau Sindrom Medular Medial. Dejerine telah melukis
sindrom tersebut berikut dengan sindrom kuadriplegia UMN, yang disertai oleh
kelumpuhan LMN bilateral pada lidah. Sindrom itu disebabkan oleh lesi median
yang bilateral. Di samping sindrom medular medial, di klinik juga dikenal Sindrom
medular lateral, yang di kalangan kedokteran kontinental dikenal sebagai Sindrom
Wallenberg.
3.5 Patofisiologi3
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease/CVD) atau stroke
adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak.
Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh
25
darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas
maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah serta komponen
lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau
sekunder akibat proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis, hipertensi dan
diabetes mellitus.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan
akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow/CBF) turun
sampai ke tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang
aktivitas fungsi otak (threshold of brain functional activity).. Keadaan ini
menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik
ataupun perdarahan.
26
Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya:
trombosis arteri arteri, emboli jantung, dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka
terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di
tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan
pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir
dengan kematian neuron.
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler,
karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat
neurotransmiter (glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai
kerusakan sawar darah otak. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi
pada stroke iskemik.
27
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat
karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran
pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini
tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih
lebih tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak
sampai mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada
daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja
terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat
bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat.
Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih
mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut
sebagai daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).
Konsep penumbra iskemia merupakan sandaran dasar pada pengobatan
stroke, karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang
masih hidup dan mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang
cepat. Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus
tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat,
sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic
window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan
melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu
diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme
oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal mengalami proses
depolarisasi neuronal.
28
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen
atau karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah,
berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi
hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping
itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami
proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada
sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area)
Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut
diaskisis (Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak,
dimana seluruh aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama
lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan).
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus
pembuluh darah di oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan
atau pecahnya salah satu pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh
mekanisme neurotransmiter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan
keseimbangan mendadak sejak saat stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu)
tergantung luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global
dan pengaturan neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara
eksperimental maupun dengan pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada
29
manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah
hemisfer kontralateral.
2. Eksitatorik neurotransmitter
Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi
iskemik. Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam
terminal saraf dan di dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik.
Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di ambil
kembali (reuptake) ke dalam oleh sel.
Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa
ekses dari glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel
neuron yang berisi glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi
kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta
apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan
neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses
eksitotoksisitas glutamat.
33
Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti
pada penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini
belum meyakinkan.
Reperfusi
Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark
otak, pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan
bahwa pada infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu
memberikan manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total.
Selain faktor lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus
diperhitungkan dalam proses pengobatan infark otak.
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada
penutupan/penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi
kompleks di tingkat mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme
kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran
kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat
demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat
munculnya gejala neurologik yang relatif menetap.
Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan
iskemia otak, yaitu:
a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh
melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada
+20 menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama
pada iskemia global otak.
b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya.
Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan),
naiknya produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini
yang akhirnya menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh
munculnya gejala neurologik.
Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak
tidak sesederhana yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang
memang hasil akhirnya adalah kematian sel. Jadi, pada infark otak terjadi proses
sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya terhentinya aliran darah otak.
34
Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai perubahan patologik
mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan pengobatan.
3.6 Diagnosis
Diagnosis stroke dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,
36
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (faktor risiko stroke
lainnya), lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis: kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi, RR,
Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis: ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu atau
lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis, fungsi
motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal, gerakan
abnormal, gait dan keseimbangan. Penentuan stroke dapat dilakukan dengan
menggunakan Skor Stroke Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (tabel 3.3 dan
tabel 3.4)
JIKA HASILNYA :
0 : Lihat hasil CT Scan
- 1 : Infark / Iskemi / Non hemoragik
1 : Hemoragik
37
Hanya penurunan kesadaran Pendarahan intraserebri
Hanya nyeri kepala Pendarahan intraserebri
Hanya refleks babinski Infark
Tidak ada gejala apapun Infark
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal (Ureum, Kreatinin,
Asam urat), fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati (SGOT,
SGPT), Profil lipid (Kolesteroltotal, LDL, HDL, Trigliserida),
elektrolit, analisa gas darah (AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography (TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Diagnosis banding:
1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
38
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple
3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum stroke akut:
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
b. Stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan cairan kristaloid
intravena
c. Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan menggunakan obat
antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker secara intravena (Nicardipin atau
Diltiazem dengan dosis 5 mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15 menit sampai 15 mg/jam)
dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pada stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan 15% (sistolik maupun
diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah
sistolik >220 mmHg atau tekanan darah diastolik >120 mmHg (AHA/ASA
Class I, Level of evidence B)
- Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik
>200 mmHg atau MAP>150 mmHg, tekanan darah diturunkan sampai
tekanan darah sistolik 140 mmHg. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence
B)
d. Penatalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila tekanan darah sistolik <100
mmHg atau tekanan darah diastolik <70 mmHg dengan pemberian obat vasopressor
intravena (Norepinefrin dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e. Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) dengan cara :
- Elevasi kepala 30 derajat
- Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
- Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia
39
- Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol intravena dengan dosis 0,25-
0,5 g/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
f. Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan
diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan 50
mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g. Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650 mg jika suhu
>38,5C dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
h. Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut dengan titrasi
insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Hipoglikemia berat
(<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena atau infus glukosa 10-20%.
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
i. Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa proton
(Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus jika terjadi stress ulcer
(Class I, Level of evidence A)
j. Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
k. Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg intravena
selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu (ICTUS).
B. Perdarahan subarachnoid:
- Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian Nimodipine dimulai
dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6
jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading dose 1 g intravena
kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72 jam untuk mencegah
perdarahan ulang (rebleeding)
C. Perdarahan Intraserebral :
41
Konservatif:
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)
- Operatif: Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan: volume
perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3cm pada fossa posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK akut dan
ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS >7
Edukasi:
Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan ulang stroke) dengan
memberikan konseling kepada penderita dan keluarganya, diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah lemak jenuh dan
kolesterol, tinggi serat, tinggi protein, mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif bertujuan respon relaksasi yang
menurunkan denyut jantung dan tekanan darah
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah diketahui dengan obat-obat yang
telah diberikan selama dirawat dan rutin kontrol berobat pasca dirawat
42
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok, tidak mengkonsumsi
alkohol, penurunan berat badan pada obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan
Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut
terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek
tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke (Asmedi & Lamsudin, 1998). Asmedi & Lamsudin (1998)
mengatakan prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup baik karena
tingkat ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan
pertama dan meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Bermawi, et al.,
(2000) mengatakan bahwa sekitar 30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup
menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari
berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-
hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan
perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu
ketiga sampai 6 bulan pasca stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan
yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok
ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas,
quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang
setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi
oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang
menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini
sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.
43
BAB IV
RESUME
Status Internus
Kesadaran : GCS (E: 4, M: 5, V: Afasia global)
Gizi : Sedang
Suhu Badan : 37,4C Jantung : HR 87x/m m(-) g(-)
Nadi : 87x/menit Paru-paru : ves (+) N R(-) W(-)
Pernapasan : 22x/menit Hepar : tidak teraba
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Lien : tidak teraba
Berat Badan : 55 kg Anggota Gerak: tidak ada oedema
Tinggi Badan : 154 cm Genitalia : tidak diperiksa
Status Psikiatrikus
Sikap : wajar, koperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada
44
Status Neurologikus
Nervus craniales:
N. III : pupil bulat, isokor, 3 mm/3mm, refleks cahaya +/+
N. VII : plika nasolabialis kanan datar, sudut mulut kanan tertinggal
N. XII : deviasi lidah ke kanan, disartria tidak ada
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIK:
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese nervus VII dextra tipe central
Parese nervus XII dextra tipe central
Afasia global
DIAGNOSIS TOPIK:
45
- Lesi di Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
DIAGNOSIS ETIOLOGI: CVD Non Hemoragik et causa emboli serebri
PENGOBATAN:
Mobilisasi pasif
Fisioterapi
Diberikan IVFD NaCl 0,9 % gtt XX/m
Aspilet 1x80 mg PO
Amlodipin 1x10 mg PO
Omeprazole 1x20 mg PO
Neurodex 1x1 tab PO
OBH 3x1 sirup PO
Loratadine 1x10 mg PO
Lotioncalamine 2x/hari
Antorvastatin 1x10 mg PO malam
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
BAB V
46
ANALISA KASUS
47
Diagnosis Klinis
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese N. VII sinistra tipe sentral
Parese N. XII sinistra tipe sentral
Afasia global
48
3. Lesi di Subkorteks Hemisferium Cerebri Sinistra
No. Gejala pada lesi di subkorteks cerebri Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi spastik
2 Afasia motorik murni Afasia global
Kesimpulan: kemungkinan lesi di subkorteks hemisferium cerebri sinistra dapat
disingkirkan
4. Lesi di Mesencephalon
No. Gejala pada lesi di mesensefalon Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi (hemiparese alternans) spastik
2 Parese N. III ipsilateral lesi Tidak ada parese N. III
Kesimpulan: kemungkinan lesi di mesensefalon dapat disingkirkan
5. Lesi di Pons
No. Gejala pada lesi di pons Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi (hemiparese alternans) spastik
2 Parese N. IV, V, VI, VII, VIII Parese N.VII
Kesimpulan: kemungkinan lesi di pons dapat disingkirkan
49
No. Gejala pada lesi TACI Gejala pada pasien
1 Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik Hemiparese dextra tipe
(kontralateral sisi lesi) spastik, tidak ada hemianopia,
2 Hemianopia (kontralateral sisi lesi) ada gangguan fungsi luhur
3 Gangguan fungsi luhur: disfasia, gangguan visuospasial, berupa afasia global
hemineglect, agnosia, apraxia
Kesimpulan: kemungkinan lesi TACI dapat disingkirkan
50
No. Gejala pada lesi POCI Gejala pada pasien
1 Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan Defisit motorik berupa
gangguan motorik/sensorik kontralateral. hemiparese dextra tipe
2 Gangguan motorik/ sensorik bilateral spastik, tidak ada gangguan
3 Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau konjugat mata, tidak ada
vertikal) hemianopia
4 Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract
ipsilateral
5 Isolated hemianopia atau buta kortikal.
Kesimpulan:
Diagnosis topik:
- Lesi di Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
JIKA HASILNYA :
0 : Lihat hasil CT Scan
- 1 : Infark / Iskemi / Non hemoragik
1 : Hemoragik
51
SSS = (2,5 0) + (2 0) + (2 0) + (0,1 90) (3 1) 12
= -6
Kesimpulan: Infark/Iskemi/Non hemoragik
2. Emboli cerebri
52
Emboli cerebri Gejala pada pasien
Kehilangan lesadaran <30 menit Kehilangan kesadaran selama 20
Ada atrial fibrilasi menit
Terjadi saat istirahat Ada tanda atrial fibrilasi
Terjadi tiba-tiba saat istirahat
Kesimpulan: kemungkinan etiologi emboli cerebri belum dapat disingkirkan
3. Trombosis cerebri
Trombosis cerebri Gejala pada pasien
Tidak ada kehilangan kesadaran Ada kehilangan kesadaran selama 20
Terjadi saat istirahat menit
Terjadi tiba-tiba saat istirahat
Kesimpulan: kemungkinan etiologi trombosis cerebri dapat disingkirkan
DAFTAR PUSTAKA
53
1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980;58:113130.
2. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al.
An Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A Statement for
Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2013;44:2064-2089.
3. Kolegium Neurologi Indonesia. Buku Acuan Modul Neurovaskular.
PERDOSSI. 2009.
4. Setyopranoto I. Stroke: gejala dan penatalaksanaan. CDK 185. 2011; 38(4):
247-250.
5. WHO. The Atlas of Heart Disease and Stroke: risk factors.
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/atlas/en/.
6. Mahoney FI, Barthel D. Functional evaluation: the Barthel Index. Maryland
State Med Journal 1965;14:56-61.
54