You are on page 1of 54

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak
secara fokal maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang
menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO
1983). Stroke masih merupakan penyebab utama kecacatan sehingga
orang yang mengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain-pada
kelompok usia 45 tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatkannya cukup
tinggi.
. Stroke menurut patologi anatomi dan penyebabnya terbagi dua, yaitu stroke
non hemoragik atau iskemik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik
didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab
vaskular. Sekitar 85% terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah
di otak pada daerah tertentu. Mayoritas stroke adalah hemoragik. Perdarahan
intraserebral terhitung 10-15 % dari seluruh stroke dan memiliki mortalitas yang
lebih tinggi dari keseluruhan stroke yang bersifat hemoragik.
Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada. Tetapi dari data
sporadis di rumah sakit terlihat adanya pola kenaikan angka morbiditas stroke yang
seiring dengan makin panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah.
Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat
ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker, 51,58% akibat stroke
hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan
subaraknoid. D e n g a n k o m b i n a s i seluruh tipe stroke secara keseluruhan, stroke
menempati urutan ketiga penyebab utama kematian dan urutan pertama penyebab
utama disabilitas. Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi
terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20%
pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya.
Dalam SKDI tahun 2014, kompetensi seorang dokter layanan primer adalah
dapat mendiagnosis jenis-jenis stroke dan memberi tata laksana awal. Oleh karena
itu case ini dibuat untuk lebih mengetahui dasar diagnosis dan memberikan terapi
awal yang adekuat.
1
2
BAB II
STATUS PASIEN

IDENTIFIKASI
Nama : Ny. SA
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kota Palembang
Agama : Islam
MRS Tanggal : 03 Maret 2016

ANAMNESA (Alloanamnesa tanggal 03 Maret 2015)


Penderita dirawat dibagian neurologi RSMH dikarenakan mengalami
kesulitan berjalan akibat kelemahan sesisi tubuh sebelah kanan yang terjadi secara
tiba-tiba.
2 jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami kelemahan sesisi
tubuh sebelah kanan secara tiba-tiba saat sedang beristirahat disertai penurunan
kesadaran selama 20 menit. Saat serangan penderita mengalami bicara pelo,
mulut mengot ke kanan, gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan tidak
ada, sakit kepala tidak ada, mual muntah tidak ada, kejang tidak ada. Penderita biasa
menggunakan tangan kanan. Penderita tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya
secara lisan, tulisan, dan isyarat. Penderita juga tidak dapat mengerti isi pikiran
orang lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan, dan isyarat. Saat serangan,
jantung berdebar dan sesak nafas tidak ada.
Riwayat darah tinggi 5 tahun yang lalu, minum obat tidak teratur. Riwayat
kencing manis tidak ada. Riwayat stroke tidak ada. Riwayat sakit jantung tidak ada.
Penyakit seperti ini diderita untuk pertama kalinya.

3
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENS
Status Internus
Kesadaran : GCS (E: 4, M: 5, V: Afasia global)
Gizi : Sedang
Suhu Badan : 37,4C Jantung : HR 87x/m m(-) g(-)
Nadi : 87x/menit Paru-paru : ves (+) N R(-) W(-)
Pernapasan : 22x/menit Hepar : tidak teraba
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Lien : tidak teraba
Berat Badan : 55 kg Anggota Gerak: tidak ada oedema
Tinggi Badan : 154 cm Genitalia : tidak diperiksa

Status Psikiatrikus
Sikap : wajar, koperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada kelainan

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada kelainan

4
SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Anosmia tidak ada tidak ada
Hyposmia tidak ada tidak ada
Parosmia tidak ada tidak ada

N.Opticus Kanan Kiri

Visus 6/6 6/6


Campus visi V.O.D V.O.S

- Anopsia tidak ada tidak ada


- Hemianopsia tidak ada tidak ada
Fundus Oculi
- Papil edema tidak diperiksa tidak diperiksa
- Papil atrofi tidak diperiksa tidak diperiksa
- Perdarahan retina tidak diperiksa tidak diperiksa

Nn. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens


Kanan Kiri
Diplopia tidak ada tidak ada
Celah mata simetris simetris
Ptosis tidak ada tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus tidak ada tidak ada
- Exophtalmus tidak ada tidak ada
- Enophtalmus tidak ada tidak ada
- Deviation conjugae tidak ada tidak ada
Gerakan bola mata ke segala arah ke segala arah

5
Pupil
- Bentuknya bulat bulat
- Besanya 3 mm 3 mm
- Isokori/anisokor isokor isokor
- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada
- Refleks cahaya
- Langsung ada ada
- Konsensuil ada ada
- Akomodasi ada ada
- Argyl Robertson tidak ada tidak ada

N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit normal normal
- Trismus tidak ada tidak ada
- Refleks kornea ada ada
Sensorik
- Dahi normal normal
- Pipi normal normal
- Dagu normal normal

N.Facialis Kanan Kiri


Motorik
Mengerutkan dahi simetris simetris
Menutup mata lagophtalmus (-) lagophtalmus (-)
Menunjukkan gigi sudut mulut kanan tertinggal tidak ada kelainan
Lipatan nasolabialis datar tidak ada kelainan

Bentuk Muka
- Istirahat normal, tidak ada kelainan
- Berbicara/bersiul belum dapat dinilai

6
Sensorik
2/3 depan lidah tidak ada kelainan
Otonom
- Salivasi tidak ada kelainan
- Lakrimasi tidak ada kelainan
- Chovsteks sign tidak ada kelainan

N. Statoacusticus
N. Cochlearis Kanan Kiri
Suara bisikan tidak ada kelainan
Detik arloji tidak ada kelainan
Tes Weber tidak ada kelainan
Tes Rinne tidak ada kelainan
N. Vestibularis
Nistagmus tidak ada
Vertigo tidak ada
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
Kanan Kiri
Arcus pharingeus simetris
Uvula di tengah
Gangguan menelan tidak ada
Suara serak/sengau tidak ada
Denyut jantung normal
Refleks
- Muntah tidak ada kelainan
- Batuk tidak ada kelainan
- Okulokardiak tidak ada kelainan
- Sinus karotikus tidak ada kelainan
Sensorik
- 1/3 belakang lidah tidak ada kelainan

7
N. Accessorius Kanan Kiri
Mengangkat bahu simetris
Memutar kepala tidak ada hambatan

N. Hypoglossus Kanan Kiri


Mengulur lidah deviasi lidah ke kanan
Fasikulasi tidak ada
Atrofi papil tidak ada
Disartria belum dapat dinilai

MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan lateralisasi ke kanan
Kekuatan lateralisasi ke kanan
Tonus meningkat normal
Refleks fisiologis
- Biceps meningkat normal
- Triceps meningkat normal
- Radius meningkat normal
- Ulna meningkat normal
Refleks patologis
- Hoffman Tromner tidak ada
- Leri tidak ada kelainan
- Meyer tidak ada kelainan

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan lateralisasi ke kanan
Kekuatan lateralisasi ke kanan
Tonus meningkat normal
Klonus
- Paha tidak ada tidak ada
- Kaki tidak ada tidak ada

8
Refleks fisiologis
- KPR meningkat normal
- APR meningkat normal
Refleks patologis
- Babinsky ada tidak ada
- Chaddock ada tidak ada
- Oppenheim ada tidak ada
- Gordon tidak ada tidak ada
- Schaeffer ada tidak ada
- Rossolimo tidak ada tidak ada
- Mendel Bechterew tidak ada tidak ada
Refleks kulit perut
- Atas tidak dilakukan
- Tengah tidak dilakukan
- Bawah tidak dilakukan
Refleks cremaster tidak dilakukan

SENSORIK
Belum dapat dinilai

9
FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : tidak ada kelainan

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kanan Kiri
Kaku kuduk tidak ada
Kernig tidak ada tidak ada
Lasseque tidak ada tidak ada

10
Brudzinsky
- Neck tidak ada
- Cheek tidak ada
- Symphisis tidak ada
- Leg I tidak ada tidak ada
- Leg II tidak ada tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : bdd Romberg : bdd
Hemiplegic : bdd Dysmetri : bdd
Scissor : bdd - jari-jari : bdd
Propulsion : bdd - jari hidung : bdd
Histeric : bdd - tumit-tumit : bdd
Limping : bdd Rebound phenomen: bdd
Steppage : bdd Dysdiadochokinesis: bdd
Astasia-Abasia: bdd Trunk Ataxia : bdd
Limb Ataxia : bdd
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : tidak ada
Chorea : tidak ada
Athetosis : tidak ada
Ballismus : tidak ada
Dystoni : tidak ada
Myocloni : tidak ada

FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : afasia global
Afasia sensorik : afasia global
Apraksia : bdd
Agrafia : bdd
Alexia : bdd

11
Afasia nominal : bdd

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia Klinik Darah Rutin
BSS : 110 mg/dl Hb : 11,9 g/dl
Kolesterol total : 307 mg/dl Eritrosit : 4,16x106/mm3
Kolesterol HDL : 54 mg/dl Ht : 37%
Kolesterol LDL : 228 mg/dl Leukosit : 14,8x103/mm3
Trigliserid : 104 mg/dl Trombosit : 292.000/ul
Protein total : - Diff count : 0/3/81/10/6
Albumin : -
Globulin : -
Ureum : -
Asam Urat : -
Kreatinin : -
Kalsium : 8,9 mg/dl
Phospor : 4,3 mg/dl
Magnesium : 1,95 mEq/L
Natrium : 143 mEq/L
Kalium : 4 mEq/L
Klorida : 114

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIK:
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese nervus VII dextra tipe central
Parese nervus XII dextra tipe central
Afasia global
DIAGNOSIS TOPIK:
- Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
DIAGNOSIS ETIOLOGI: CVD Non Hemoragik et causa emboli cerebri

12
PENGOBATAN
Mobilisasi pasif
Fisioterapi
Diberikan IVFD NaCl 0,9 % gtt XX/m
Aspilet 1x80 mg PO
Amlodipin 1x10 mg PO
Omeprazole 1x20 mg PO
Neurodex 1x1 tab PO
OBH 3x1 sirup PO
Loratadine 1x10 mg PO
Lotioncalamine 2x/hari
Antorvastatin 1x10 mg PO malam

PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam

13
CT-Scan Kepala:

Kesan:
- Infark serebri iskemik pada daerah oksipital kiri

14
Rontgen Thorax:

Kesan:
- Kardiomegali
- Suspek struma intrathorakal

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO), diperkenalkan
tahun 1970 dan masih digunakan sampai sekarang, adalah tanda-tanda klinis dari
gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat atau tiba-
tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan tidak
tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular.1 Stroke dapat
dikarakteristikkan sebagai suatu defisit neurologis yang terjadi akibat trauma fokal
maupun global yang terjadi secara akut pada sistem saraf pusat yang disebabkan
oleh gangguan pada sistem vaskular, termasuk infark serebri, perdarahan
intraserebri, dan perdarahan subaraknoid, dan merupakan penyebab terbesar dari
disabilitas dan kematian di seluruh dunia.2

3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian
setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia, data nasional epidemiologi
stroke belum ada. Tetapi dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren
kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan makin panjangnya life
expentancy dan gaya hidup yang berubah. Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat ketiga setelah penyakit jantung koroner
dan kanker, 51,58% akibat stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan
1,05% akibat perdarahan subaraknoid.3,4
Karakteristik demografik yang umum dianalisa untuk stroke adalah usia dan
jenis kelamin. Dari berbagai studi yang dilakukan di berbagai belahan dunia,
terlihat hal yang sama, yaitu adanya korelasi antara peningkatan kejadian stroke
dengan pertambahan umur. Untuk jenis kelamin, kejadian stroke lebih sering pada
pria dibandingkan wanita di usia kurang dari 60 tahun dan relatif menjadi hampir
sama di usia lebih dari 60 tahun. Pada 1053 kasus stroke di 5 rumah sakit di
Yogyakarta, angka kematian tercatat sebesar 28.3%; sedangkan pada 780 kasus
stroke iskemik adalah 20,4%, lebih banyak pada laki-laki.3,4
16
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien stroke dari
28 rumah sakit di Indonesia. Survei Departemen Kesehatan RI pada 987.205 subjek
dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan bahwa stroke merupakan
penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian).
Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh
Darussalam dan terendah 0,38% di Papua. Terdapat peningkatan insidensi stroke
per tahun, khususnya pada RSUP Dr. Sardjito dari tahun 2004-2009 (tabel 2).4
Stroke mempunyai multifaktor risiko. Faktor risiko tersebut ada yang mayor
dan minor, serta ada yang bersifat modifiable atau nonmodifiable. Faktor-faktor
risiko tersebut adalah hipetensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi dan penyakit katup
jantung, hematokrit, fibrinogen, polisitemia, hiperkolesterolemia, pil kontrasepsi,
merokok, alkohol, obesitas dan riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA)
baik untuk pasien ataupun keluarga.3
Data epidemiologi lain selain usia, faktor risiko, yang perlu untuk
memperbaiki tatalaksana adalah tipe stroke (iskemik atau hemoragik), lokasi lesi,
gejala klinis, terapi (obat dan operasi) yang dipakai/dilakukan serta hasil keluaran
setelah perawatan di rumah sakit (outcome dan output).3

Tabel 3.1 Insidensi stroke per tahun (2004-2009) di RSUP Dr. Sardjito4
No Tahun Jenis Patologi Stroke Jumlah
Iskemik % Pendarahan %
1 2004 229 78,97 61 21,03 290
2 2005 291 78,44 80 21,56 371
3 2006 307 72,38 117 27,59 424
4 2007 305 74,93 102 25,07 407
5 2008 355 70,61 149 29,39 507
6 2009 358 70,00 152 30,00 507

3.3 Faktor Risiko


Faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular tampak signifikan pada semua
populasi. Pada negara maju, 1/3 dari semua penyakit serebrovaskular berkaitan
dengan lima faktor risiko: penggunaan tembakau dan alkohol, tekanan darah tinggi,
17
kolesterol tinggi, dan obesitas. Pada Negara Cina dengan mortalitas rendah, faktor-
faktor risiko penyakit kardiovaskular juga terdapat pada daftar 10 tertinggi,
berhubungan dengan masalah malnutrisi dan penyakit komunitas lain. Faktor risiko
tertinggi terhadap kejadian penyakit kardiovaskular di negara berkembang adalah
tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penggunaan tembakau dan alkohol, dan
rendahnya konsumsi buah dan sayur.5

Tabel 3.2 Faktor-faktor risiko4


Bisa Dikendalikan Potensial Bisa Dikendalikan Tidak Bisa Dikendalikan
Hipertensi Diabetes melitus Umur
Penyakit jantung Hiperhomosisteinemia Jenis kelamin
Fibrilasi atrium Hipertrofi ventrikel kiri Herediter
Endokarditis Ras dan etnis
Stenosis mitralis Geografi
Infark jantung
Merokok
Anemia sel sabit
TIA
Stenosis karotis

Pengendalian faktor-faktor risiko akan mengurangi kerugian dalam beban


negara terhadap pengobatan dan perawatan stroke, dan akibat hilangnya pekerjaan,
serta turunnya kualitas hidup.4

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi modifikasi Marshall, yaitu:3
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
a. Stroke Iskemik
- Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA)
- Trombosis serebri
- Emboli serebri
B. Stroke Hemoragik
18
1. Perdarahan intra serebral
2. Perdarahan subarakhnoid
Berdasarkan stadium/pertimbangan waktu
TIA
Stroke-in-evolution
Completed stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah
Sistem karotis
Sistem vertebro-basilar
Stroke mempunyai tanda klinik spesifik, tergantung daerah otak yang
mengalami iskemia atau infark. Serangan pada beberapa arteri akan memberikan
kombinasi gejala yang lebih banyak pula.

Bamford (1992), mengajukan klasifikasi klinis saja yang dapat dijadikan


pegangan, yaitu:
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
Gambaran klinik :
Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi
lesi)
Hemianopia (kontralateral sisi lesi)
Gangguan fungsi luhur: misalnya, disfasia, gangguan visuo spasial,
hemineglect, agnosia, apraxia.
Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri
ke arteri, maka dengan segera pada penderita ini dilakukan pemeriksaan
fungsi kardiak (anamnesia penyakit jantung, EKG, foto thorax) dan jika
pemeriksan kearah emboli arteri mendapatkan hasil normal (dengan bruit
leher negatif, dupleks karotis normal), maka dipertimbangkan untuk
pemeriksaan echokardiografi.

b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)


Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral pada
sistem karotis, yaitu:
1. Defisit motorik/sensorik dan hemianopia.
19
2. Defisit motorik/sensorik disertai gejala fungsi luhur

3. Gejala fungsi luhur dan hemianopia

4. Defisit motorik/sensorik murni yang kurang extensif dibanding infark


lakunar (hanya monoparesis- monosensorik),

5. Gangguan fungsi luhur saja.

Gambaran klinis PACI terbatas secara anatomik pada daerah tertentu dan
percabangan arteri serebri media bagian kortikal, atau pada percabangan arteri
serebri media pada penderita dengan kolateral kompensasi yang baik atau
pada arteri serebri anterior. Pada keadaan ini kemungkinan embolisasi
sistematik dari jantung menjadi penyebab stroke terbesar dan pemeriksaan
tambahan dilakukan seperti pada TACI.

c. Lacunar Infarct (LACI)

Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct) yang
lebih sensitif dilihat dengan MRI dari pada CT scan otak.
Tanda-tanda klinis :
1) Tidak ada defisit visual
2) Tidak ada gangguan fungsi luhur
3) Tidak ada gangguan fungsi batang otak
4) Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil
5) Gejala :
Pure motor stroke (PMS)
Pure sensory stroke (PSS)
Ataksik hemiparesis (termasuk ataksia dan paresis unilateral,
dysarthria-hand syndrome)
Jenis infark ini bukan disebabkan karena proses emboli karena biasanya
pemeriksaan jantung dan arteri besar normal, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan khusus untuk mencari emboli kardiak.

d. Posterior Circulation Infarct (POCI)


20
Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebabnya
sangat heterogen dibanding dengan 3 tipe terdahulu.
Gejala klinis:
Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan gangguan
motorik/sensorik kontralateral.
Gangguan motorik/ sensorik bilateral.
Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal)
Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral.
Isolated hemianopia atau buta kortikal.
Heterogenitas penyebab POCI menyebabkan pemeriksaan kasus
harus lebih teliti dan lebih mendalam. Salah satu jenis POCI yang sering
disebabkan emboli kardiak adalah gangguan batang otak yang timbulnya
serentak dengan hemianopia homonym (Warlow et. al 1995).

Lesi Batang Otak3


Batang otak merupakan suatu struktur yang secara anatomi kompak, secara
fungsional bermacam-macam, dan secara klinis penting. Bahkan suatu lesi tunggal
yang relatif kecilpun hampir selalu merusak beberapa nukleus, pusat refleks,
traktus, atau jaras. Lesi seperti itu seringkali bersifat vaskular (misalnya,
perdarahan, iskemia oklusif), tumor, trauma, dan proses degeneratif atau
demielinasi dapat juga merusak batang otak.
Di batang otak, daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3,
ke-6, ke-7 dan ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak
sesisi mengakibatkan hemiplegi yang melibatkan saraf otak secara khas dan
dinamakan hemiplegi alternans. Lesi sesisi atau hemilesi yang sering terjadi di
otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di
medula spinalis pada umumnya berupa tetraplegia atau paraplegia. Hemiplegia
alternans akibat hemilesi di batang otak dapat dirinci dalam :
1. Sindrom Hemiplegia alternans di mesencephalon
2. Sindrom Hemiplegia alternans di pons
3. Sindrom Hemiplegia alternans di medula spinalis
Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/kortikospinal di tingkat batang
otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans. Sindrom tersebut terdiri atas
21
kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan tubuh kontralateral yang berada
di bawah tingkat lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang
melanda otot-otot yang disarafi oleh saraf kranial yang terlibat dalam lesi.
Tergantung pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia
alternans di Mesencephalon, Pons dan Medula Oblongata.

Sindrom Hemiplegia Alternans di Mesencephalon


Gambaran penyakit tersebut di atas dijumpai bilamana hemilesi di batang
otak menduduki pedunkulus serebri di tingkat Mesencephalon. Nervus
okulomotorius (N.III) yang hendak meninggalkan Mesencephalon melalui
permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu
fungsinya. Hemiplegia alternans dimana Nervus Okulomotorius ipsilateral ikut
terlibat dikenal sebagai hemiplegia alternans N.Okulomotorius atau Sindroma
Weber.
Adapun manifestasi kelumpuhan N.III itu ialah (a) paralisis M. Rektus
Internus (medialis), M. Rektus Superior, M. Rektus Inferior, M. Oblikus Inferior
dan M. Levator Palpebrae Superioris sehingga terdapat strabismus divergens,
diplopia jika melihat ke seluruh jurusan dan ptosis (b) paralisis M.Sfingter Pupilae
sehingga terdapat pupil yang melebar (midriasis).
Jika salah satu cabang dari rami Perforantes paramedialis A.Basilaris yang
tersumbat, maka infark akan ditemukan di daerah yang mencakup dua per tiga
bagian lateral pedunkulus serebri dan daerah nukleus ruber. Oleh karena itu, maka
hemiparesis alternans yang ringan sekali tidak saja disertai paresis ringan N.III,
akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involuntar pada lengan dan
tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu. Sindrom ini dikenal sebagai
Sindrom Benedikt.

Sindrom Pedunkularis
Disebut juga hemiplegia okulomotorik alternan dan sindrom weber di otak
tengah bagian basal, melibatkan saraf III dan bagian-bagian dari pedunkulus
serebralis
Sindrom Benedikt

22
Terletak didalam tegmentum dari otak tengah, mungkin merusak lemnikus
medialis, nukleus ruber, dan saraf III dan nukleusnya dan traktus-traktus yang
berhubungan.

Sindrom Hemiplegia Alternans di Pons


Disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Selaras dengan pola percabangan
arteri-arteri, maka lesi vaskular di pons dapat dibagi dalam:
1. Lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami
perforantes medialis a. Basilaris
2. Lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan pendarahan cabang sirkumferens
yang pendek
3. Lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan a. serebeli
superior
4. Lesi di tegmentum bagian kaudal pons yang sesuai dengan kawasan
pendarahan cabang sirkumferens yang panjang
Hemiplegia alternans akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan
UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah
tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang
disarafi oleh N. Abdusens (N.VI) atau N. Facialis (N.VII). Jenis-jenis hemiplegia
alternans di pons berbeda karena adanya selisih derajat kelumpuhan UMN yang
melanda lengan dan tungkai berikut dengan gejala pelengkapnya yang terdiri atas
kelumpuhan (LMN) n.VI atau n.VII dan gejala-gejala okular yang akan dibahas di
bawah ini.
Penyumbatan parsial terhadap salah satu cabang dari rami perforantes
medialis a. basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi paramedian. Jika lesi
paramedian itu bersifat unilateral dan luas adanya, maka jaras
kortikobulbar/kortikospinal berikut dengan inti-inti pes pontis serta serabut-serabut
pontoserebelar akan rusak. Tegmentum pontis tidak terlibat dalam lesi tersebut.
Manifestasi lesi semacam itu ialah hemiplegia kontralateral, yang pada lengan lebih
berat ketimbang pada tungkai. Jika lesi paramedian itu terjadi secara bilateral, maka
kelumpuhan terlukis di atas terjadi pada kedua belah tubuh. Jika lesi paramedian
terletak pada bagian kaudal pons, maka akar N. Abdusens tentu terlibat. Maka dari
itu pada sisi lesi terdapat kelumpuhan LMN M. Rektus lateralis, yang
23
membangkitkan strabismus konvergens ipsilateral dan kelumpuhan UMN yang
melanda belahan tubuh kontralateral, yang mencakup lengan tungkai sisi
kontralateral berikut dengan otot-otot yang disarafi oleh n. VII, n. IX, n. X, n. XI
dan n. XII sisi kontralateral. Dapat juga terjadi suatu lesi unilateral di pes pontis
yang meluas ke samping, sehingga melibatkan juga daerah yang dilintasi n. Fasialis.
Sindrom hemiplegia alternans dimana pada sisi ipsilateral terdapat kelumpuhan
LMN, yang melanda otot-otot yang disarafi n. Abdusens dan n. Fasialis dikenal
dengan nama Sindrom Millard Gubler. Jika serabut-serabut kortikobulbar untuk n.
Abdusens ikut terlibat dalam lesi, maka deviation conjugee mengiringi Sindrom
Millard Gubler. Kelumpuhan gerak bola mata yang konyugat itu dikenal sebagai
Sindrom Foville. Sehingga hemiplegia alternans n. Abdusens et fasialis yang
disertai dengan Sindrom Foville itu disebut sindrom Foville-Millard Gubler.

Sindrom Pontin Basalis


Dapat melibatkan baik traktus kortikospinalis maupun saraf kranial (VI,
VII, atau V) dibagian yang terkena, tergantung pada luas dan derajat dari lesi. Jika
lesi besar maka mungkin lemnikus medialis juga terkena.

Sindrom Pons Dorsalis


Mengenai saraf VI atau VII atau nukleusnya masing-masing, dengan atau
tanpa melibatkan lemnikus medialis, traktus spinotalamikus, atau lemnikus
lateralis. pusat tatapan lateral seringkali terkena. Ditingkat yang lebih rostral,
saraf V dan nukleus-nukleusnya mungkin tidak berfungsi lagi. Kelumpuhan
tatapan vertikal (ketidakmampuan menggerakan mata keatas atau kebawah).
Disebut juga sindrom Parinaud, disebabkan oleh kompresi dari tektum dan
bagian-bagian yang berdekatan (misalnya, oleh tumor dari glandula pineal).
Sindrom Hempilegia Alternans akibat lesi di Medula Oblongata
Kawasan-kawasan vaskularisasi di medula oblongata ternyata sesuai
dengan area lesi-lesi yang mendasari sindrom hemiplegia alternans di medula
oblongata. Bagian paramedian medula oblongata diperdarahi oleh cabang A.
Vertebralis. Bagian lateralnya mendapat vaskularisasi dari A. Serebeli Inferior
Posterior, sedangkan bagian dorsalnya diperdarahi oleh A. Spinalis Posterior dan
A. Serebeli Inferior Posterior. Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegia

24
alternans sudah jelas harus menduduki kawasan piramis sesisi dan harus dilintasi
oleh radiks nervus hipoglosus. Maka dari itu kelumpuhan UMN yang terjadi
melanda belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat leher dan diiringi
oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah ipsilateral. Itulah sindrom hemiplegia
alternans nervus hipoglosus atau Sindrom Medular Medial. Dejerine telah melukis
sindrom tersebut berikut dengan sindrom kuadriplegia UMN, yang disertai oleh
kelumpuhan LMN bilateral pada lidah. Sindrom itu disebabkan oleh lesi median
yang bilateral. Di samping sindrom medular medial, di klinik juga dikenal Sindrom
medular lateral, yang di kalangan kedokteran kontinental dikenal sebagai Sindrom
Wallenberg.

Sindrom Medularis Medial (basal)


Biasanya mengenai piramis, sebagian atau seluruh lemnikus medialis, dan
saraf XII. Jika unilateral, maka sindrom ini dikenal juga sebagai hemiplegia
hipoglosus alternan. Istilah ini mengacu pada penemuan bahwa kelemahan saraf
kranial terletak pada sisi yang sama dengan lesi, sedangkan paralisis tubuh adalah
pada sisi yang berlawanan dengan lesi. Lesi dapat juga mengakibatkan defek
bilateral.

Sindrom Medularis Lateral atau Wallenberg


Melibatkan beberapa (atau semua) struktur berikut didalam medula
oblongata yang terbuka pada sisi dorsolateral: pedunkulus serebelaris inverior,
nukleus vestibularis, serabut atau nukleus dari saraf IX dan X, nukleus dan traktus
spinalis dari daraf V, traktus spinotalamikus, dan jaras simpatetik. (terlibatnya jaras
simpatetik mungkin menimbulkan sindrom horner). Bagian yang terkena
diperdarahi oleh cabang-cabang dari arteri vertebralis atau arteri serebelaris inferior
posterior.

3.5 Patofisiologi3
Penyakit serebrovaskuler (cerebrovascular disease/CVD) atau stroke
adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak.
Proses patologi pada sistem pembuluh darah otak ini dapat berupa penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh

25
darah, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas
maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah serta komponen
lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau
sekunder akibat proses lain, seperti peradangan arteriosklerosis, hipertensi dan
diabetes mellitus.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan
akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak (cerebral blood flow/CBF) turun
sampai ke tingkat melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang
aktivitas fungsi otak (threshold of brain functional activity).. Keadaan ini
menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Gejala klinik stroke tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemik
ataupun perdarahan.

Patogenesis infark otak


Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi
keduanya. Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat
tekanan perfusi (syok ireversible karena henti jantung, perdarahan sistemik yang
masif, fibrilasi atrial berat dll). Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya
tekanan perfusi otak karena ada sumbatan atau pecahnya salah satu pembuluh darah
otak yang berakibat lumen pembuluh darah yang terkena akan tertutup sebagian
atau seluruhnya. Tertutupnya lumen pembuluh darah oleh karena iskemik fokal,
disebabkan antara lain :
Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak menimbulkan
trombusis. Adanya trombusis ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di
tempat tersebut. Pada arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis
yang akan menyebabkan stroke iskemik berupa infark lakunar.
Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat
menurun karena sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti
sumbatan arteri karotis atau vertebro-basilar.
Perubahan yang terjadi akibat dari perubahan sifat sel darah, misalnya:
anemia sickle-cell, leukemia akut, polisitemia, hemoglobinopati dan
makroglobulinemia.

26
Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya:
trombosis arteri arteri, emboli jantung, dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka
terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di
tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan
pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir
dengan kematian neuron.
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra seluler,
karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat
neurotransmiter (glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai
kerusakan sawar darah otak. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi
pada stroke iskemik.

Perubahan fisiologi pada aliran darah otak


Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain,
akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul
dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yaitu
selama <24 jam.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF
regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu
memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan
2 minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan.
Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic
Deficit).
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas
sehingga mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya.
Dalam keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut.

27
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat
karena CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran
pembuluh darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini
tinggi dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih
lebih tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak
sampai mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada
daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja
terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat
bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat.
Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih
mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut
sebagai daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).
Konsep penumbra iskemia merupakan sandaran dasar pada pengobatan
stroke, karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang
masih hidup dan mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang
cepat. Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus
tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat,
sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic
window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi dengan
melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan. Perlu
diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme
oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal mengalami proses
depolarisasi neuronal.

28
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen
atau karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah,
berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi
hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping
itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami
proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada
sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area)

Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut
diaskisis (Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak,
dimana seluruh aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer terutama
lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan).
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus
pembuluh darah di oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan
atau pecahnya salah satu pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh
mekanisme neurotransmiter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan
keseimbangan mendadak sejak saat stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu)
tergantung luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global
dan pengaturan neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara
eksperimental maupun dengan pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada
29
manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah
hemisfer kontralateral.

Perubahan pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi


Perubahan yang kompleks terjadi pada tingkat seluler/mikro-sirkulasi yang
saling berkaitan. Secara eksperimental perubahan ini telah banyak diketahui, akan
tetapi pada keadaan sebenarnya pada manusia (in vivo) ketetapan ekstrapolasi sulit
dipastikan.
Astrup dkk (1981) menunjukkan bahwa pengaruh iskemia terhadap
integritas dan struktur otak pada daerah penumbra terletak antara batas kegagalan
elektrik otak (electrical failure) dengan batas bawah kegagalan ionik (ion-pump
failure). Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/100 g
otak/menit, menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan pompa
ion masih berlangsung.
Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron penumbra masih
hidup jika CBF berkurang di bawah 20 cc/ 100 gram otak/ menit dan kematian
neuron akan terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/ 100 gram otak/ menit. Daerah
penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi kembali sebelum
jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat. Sedangkan sebagian
lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam atau hari setelah iskemik
otak temporer.
Dengan kata lain, di daerah ischemic core kematian sudah terjadi sehingga
mengalami nekrosis akibat kegagalan energi (energy failure) yang secara dahsyat
merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis). Sementara
pada daerah penumbra jika terjadi iskemia berkepanjangan sel tidak dapat lagi
mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel, yang secara akut
timbul melalui proses apoptosis, yaitu disintegrasi elemen-elemen seluler secara
bertahap dengan kerusakan dinding sel yang disebut juga programmed cell death.
Kumpulan sel-sel ini disebut sebagai selectively vulnerable neuron, seperti
pertama kali dilaporkan Kirino (1982) & Pulsmelli (1982), dan diuraikan oleh
Kogure & Kato (1992) pada percobaan dengan binatang. Pada neuron-neuron
tersebut terdapat hirarki sensitifitas terhadap iskemia diawali pada daerah
hipokampus CA1 dan sebagian kolikulus inferior, kemudian jika iskemia lebih dari
30
5 menit (10-15 menit) akan diikuti oleh lapis 3 dan 5 neokortex striatum septum,
hipokampus sektor CA 3, thalamus, korpus genikulatum medial, dan substania
nigra.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di
daerah sistem limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap
iskemia. Keadaan ini penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai
dengan demensia. Hal yang juga menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif
terhadap iskemia terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi glutamat.
Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca2+ meningkat hingga peningkatan ini
akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga terjadi
sekresi neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat yang
bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992),
membuktikan bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat yang
dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang
merangsang pembukaan kanal Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan
potensial membran seluler (receptor-operated gate opening), disamping terbukanya
kanal Ca2+ akibat aktivitas NMDA reseptor voltage operated gate opening yang
telah terjadi sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke
dalam ruang intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses
fosforilase dari regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis
yang akan menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel
dapat langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total dari
sel karena berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma dan
disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat lebih
memperburuk keadaan lingkungan seluler.

Edema serebral dan infark otak


Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat kegagalan
energi dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+) dan
31
perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya
pembengkakan sel (cytotoxic edema). Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan
akut seperti hipoksia dan henti jantung. Selain itu edema serebri dapat juga timbul
akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas kapiler rusak,
sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan ekstraseluler
sehingga menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema). (Klatzao 1967, diulas
Bougainas dkk 1995).
Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan
memperburuk iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan
akibat herniasi otak.

Dampak lain stroke iskemik akut


1. Bocornya radikal bebas.
Jenis radikal bebas ini dalam tubuh kita terdiri atas :
Radikal bebas oksigen
Radikal bebas oksida nitrit
Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang
sangat sedikit sebagai bagian produk dari metabolisme oksidatif terutama dalam
mitokondria.Pada keadaan iskemia fokal, peranan peroksidase-lipid sangat penting
karena merupakan bagian dari patofisiologi iskemia fokal maupun global.
Superoksida, radikal bebas oksigen telah ditemukan pada iskemia terutama pada
periode referfusi jaringan, yang berasal dari proses alamiah maupun sebagai
tindakan pengobatan. Radikal bebas oksigen dihasilkan dari proses lipolisis
kaskade arakhidonat dalam sel-sel di daerah penumbra. Sumber lain dari
superoksida ialah aktivitas enzimatik (monoaminoksidase) dalam otooksidase dari
biologiamin (efinefrin, serotonin dan sebagainya).
Pada iskemia fokal, peroksidase lipid ini meningkat aktifitasnya karena:
1) Timbulnya edema otak vasogenik/seluler, telah diketahui bahwa
endothelium memproduksi aksida nitrit (NO) dan pada keadaan patologi
menghasilkan radikal bebas yang akan memperburuk timbulnya edema.
2) Pada proses disintegrasi pompa kalsium dan natrium kalium akibat
kerusakan membrane sel yang berkaitan dengan pompa ion. Gangguan
ini mempercepat masuknya kalsium dan natrium ke dalam sel.
32
3) Peroksida lipid juga terlihat pada mekanisme eksitatorik neurotransmitter
glutamat. Meningkatnya aktifitas superoksida mempercepat dan
memperbesar pengeluaran neurotransmitter eksitatorik glutamat dan
aspartat. Usaha pengobatan dilakukan untuk menghambat akibat dari
ekses superoksida dengan pemberian anti oksidan seperti
glutation,vitamin E, dan L arginin. Meskipun secara eksperimental telah
dibuktikan manfaat dari antioksidan dalam memperkecil daerah iskemik,
tetapi dalam praktek sehari-hari evaluasi hasil terapi anti oksidan pada
penderita stroke masih terus diteliti.

2. Eksitatorik neurotransmitter
Neurontransmitter glutamat banyak diimplikasikan dalam patofisiologi
iskemik. Dalam keadaan normal, neurotransmitter glutamate terkonsentrasi dalam
terminal saraf dan di dalam proses transisi neuronal yang bersifat eksitatorik.
Glutamat diekspresikan di dalam ruangan ekstra seluler dengan cepat akan di ambil
kembali (reuptake) ke dalam oleh sel.
Pada keadaan patologis, dapat terjadi gangguan akibat disfungsi sel berupa
ekses dari glutamat ini baik karena ambilan kembali, atau kerusakan karena sel
neuron yang berisi glutamat juga mengalami gangguan. Selain itu dapat terjadi
kebocoran glutamat akibat kerusakan dinding sel (sitolisis) dan nekrosis, serta
apoptosis yang menimbulkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Penumpukan
neurotransmiter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses
eksitotoksisitas glutamat.

Seluruh keadaan ini mempengaruhi sel-sel neuron SSP yang berbeda


sensitifitasnya. Sebetulnya yang terkena secara mudah adalah neuron hipokampus
CA 3 sel-sel piramida. Selanjutnya akibat dari eksitotoksisitas terhadap neuron
adalah timbilnya edema selular, degenerasi organel intraseluler serta degenerasi
piknotik inti sel yang diikuti kematian sel. Usaha terapi pengobatan akibat stroke
adalah menghambat stimulasi glutamate terhadap reseptor NMDA (N-Metil D
Aspartate), AMPA (d amino 3-hidroksi-5-metil-4-isokasolopropionik acid) dan
kainat yang berperan penting dalam pengaturan masuknya ion kalsium. Obat-obat
tersebut mempunyai peranan untuk mencegah proses disintegrasi sel-sel.

33
Keberhasilan pengobatan NMDA reseptor antagonis saat ini sedang diteliti
pada penderita stroke misalnya: serestat (abtiganel) yang hasilnya sampai saat ini
belum meyakinkan.

Reperfusi
Meskipun aliran darah otak merupakan faktor penentu utama pada infark
otak, pengalaman klinis serta penelitian pada hewan percobaan menunjukkan
bahwa pada infark otak, pulihnya aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu
memberikan manfaat yang diharapkan, yaitu hilangnya gejala klinis secara total.
Selain faktor lamanya iskemia, ada hal-hal mendasar lain yang harus
diperhitungkan dalam proses pengobatan infark otak.
Dari percobaan pada hewan terbukti bahwa resusitasi atau reperfusi pada
penutupan/penghentian aliran darah ke otak mencetuskan beberapa reaksi
kompleks di tingkat mikrosirkulasi, iskemia berupa edema jaringan,vasospasme
kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan, aliran
kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini dapat
demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat
munculnya gejala neurologik yang relatif menetap.
Pada dasarnya terjadi 2 perubahan sekunder pada periode reperfusi jaringan
iskemia otak, yaitu:
a. Hiperemia pasca iskemik atau heperemia reaktif yang disebabkan oleh
melebarnya pembuluh darah di daerah iskemia. Keadaan ini terjadi pada
+20 menit pertama setelah penyumbatan pembuluh darah otak terutama
pada iskemia global otak.
b. Hipoperfusi pasca-iskemik yang berlangsung antara 6-24 jam berikutnya.
Keadaan ini ditandai dengan vasokonstriksi (akibat asidosis jaringan),
naiknya produksi tromboksan A2 dan edema jaringan. Diduga proses ini
yang akhirnya menghasilkan nekrosis dan kerusakan sel yang diikuti oleh
munculnya gejala neurologik.
Ternyata secara eksperimental kerusakan sel-sel saraf dan jaringan otak
tidak sesederhana yang dibayangkan, karena terdapat beberapa rantai proses yang
memang hasil akhirnya adalah kematian sel. Jadi, pada infark otak terjadi proses
sekunder yang jauh lebih kompleks, bukan hanya terhentinya aliran darah otak.
34
Sebagai konsekuensinya, pengetahuan mutakhir mengenai perubahan patologik
mempunyai dampak pencegahan gejala sisa dan lanjutan pengobatan.

Patofisiologi Emboli Kardiak


Penelitian stroke yang berdasarkan populasi (population-based study)
belum ada di Indonesia. Penelitian stroke di negara negara ASEAN, yaitu ASNA
Stroke Epidemiological Study 1996, yang merupakan penelitian prospektif berbasis
rumah sakit menunjukkan bahwa pada 3.723 kasus yang diteliti, pemeriksaan CT
scan dilakukan pada 2.801 kasus (74%), stroke iskemik ditemukan pada 51% kasus,
sedangkan perdarahan 26%, sisanya 8% didapat gambaran CT Scan normal
Dari seluruh penderita yang diteliti, faktor risiko untuk stroke terbanyak
adalah hipertensi pada 71%, riwayat stroke terdahulu/TIA. pada 25% kasus,
merokok 19%, dan diabetes mellitus pada 22% kasus. Sedangkan penyakit jantung
sebagai risiko adalah atrial fibrilasi pada 6% kasus; penyakit jantung iskemik 19%
kasus; penyakit jantung katup mitral 3%, katup aorta 0,6% keduanya (mitral aorta)
pada 0,2%, sedang penyakit jantung kongestif terjadi pada 4% kasus. Secara
keseluruhan total kelainan jantung yang ditemukan pada penelitian ASNA ini
adalah 32,8% atau hampir sepertiga dari total penelitian.
Angka-angka Indonesia merupakan bagian dari penelitian ASNA, penyakit
jantung keseluruhan ditemukan pada 550 kasus dari total 2.065 pasien yang diteliti
(27,5%). Temuan dari 20% penyakit jantung iskemik, didapat 4,5% penyakit katup
jantung dan 4% penyakit jantung kongestif. Stroke iskemik ditemukan pada 42,5%
kasus berdasarkan pemeriksaan CT scan otak. Untuk menentukan secara pasti
apakah suatu stroke iskemik disebabkan akibat emboli kardiak diperlukan
pemeriksaan khusus yang lebih mendalam, yaitu memastikan ada sumber emboli di
jantung dan emboli tersebut menjalar ke otak secara sistemik.
Caplan (1993) meneliti susunan dari trombus yang terdapat pada otopsi
jantung penderita stroke. Ditemukan bahwa susunannya bervariasi, terdiri dari red-
fibrin dependent thrombi, white platelet fibrin particles, combined red and white
plateled-fibrin particles, combined red and white thrombi, fragmen dari non-
infected valve vegetation, elemen kalsifikasi dari calcified valves serta kalsifikasi
annulus mitral, material fibromyzoma dari degenerasi mitral dengan prolaps dan
sel-sel tumor dari tumor kardiak seperti myzoma.
35
Penyebab stroke embolik terbanyak adalah fibrilasi atrial. Yang dapat
disebabkan oleh penyakit reumatik. Mural trombus pada dinding jantung kiri sering
ditemukan pada otopsi penderita MCI (20 60%) dengan 3 10% diantaranya
terjadi emboli sistemik (Castillo dan Bougousslausky,1997).
Protesis mekanik katup jantung merupakan penyebab tersering dari stroke
embolik pasca operatif. Sedangkan prolaps mitrai jarang menyebabkan stroke
emboli serebral, tetapi frekuensinya masih belum jelas (kontroversial) terutama
pada katup yang redunden dan menebal. Pada endokarditis bakterial, 3% terjadi
emboli serebral disebabkan karena lepasnya elemen vegetasi septic katup jantung
(Castillo dan Bougousslausky,1997).
Penyebab lain dari emboli serebral adalah adanya trombosis arteri ke arteri,
yaitu terjadi pelepasan elemen embolik dari pembuluh-pembuluh ekstra/intra
kranial aterosklerotik yang lepas ke distal menutupi pembuluh distal yang lebih
kecil. Lepasnya elemen yang berbentuk mural thrombus dari dinding pembuluh
darah arterio-sklerotik di arteri karotis interna, bifurkasio karotis dan percabangan-
percabangan arteri intrakranial.
Ulcerated plaque arteriosclerotic merupakan sumber emboli dan isinya
juga bervariasi, yaitu red fibrin-dependent thrombi, white plateled-fibrin particles,
kombinasi trombus merah dan putih, debris kristal kolesterol, plak atheroma,
partikel kalsifikasi dari dinding arteri yang terkalsifikasi, dan zat-zat lain sperti
lemak, udara dan tumor. Selama itu yang dapat menjadi sumber emboli adalah
arkus aorta, yaitu atheroma yang menonjol dan bergerak (mobile) karena aliran
darah yang cepat. Frekuensinya mulai sering ditemukan dan frekuensi ini
meningkat dengan usia dan beratnya jantung (heart-weight).

3.6 Diagnosis
Diagnosis stroke dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktifitas/istirahat,
kesadaran baik/terganggu, nyeri kepala/tidak, muntah/tidak, kejang/tidak,
kelemahan sesisi tubuh/ tidak, gangguan sensibilitas/tidak, afasia/tidak,

36
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung (faktor risiko stroke
lainnya), lamanya (onset), serangan pertama/ulang.
2. Pemeriksaan Fisik
Status generalis: kesadaran (Glasgow Coma Scale), vital sign (TD, Nadi, RR,
Temperatur) dan pemeriksaan umum lainnya
Status neurologis: ditemukan adanya defisit neurologis pada salah satu atau
lebih dari pemeriksaan berikut ini: pemeriksaan saraf-saraf kranialis, fungsi
motorik, sensorik, luhur, vegetatif, gejala rangsang meningeal, gerakan
abnormal, gait dan keseimbangan. Penentuan stroke dapat dilakukan dengan
menggunakan Skor Stroke Siriraj dan Algoritma Gajah Mada (tabel 3.3 dan
tabel 3.4)

Tabel 3.3. Skor Stroke Siriraj


A. DERAJAT KESADARAN D. TANDA TANDA ATEROMA
Koma : 2 1. Angina Pectoris
Apatis : 1 (+) : 1
Sadar : 0 (-) : 0
B. MUNTAH 2. Claudicatio Intermitten
(+) : 1 (+) : 1
(-) : 0 (-) : 0
C. SAKIT KEPALA 3. DM
(+) : 1 (+) : 1
(-) : 0 (-) : 0

SSS = (2,5 KESADARAN) + (2 MUNTAH ) + (2 SAKIT KEPALA) + (0,1 TD.


DIASTOLE) (3 ATEROMA) 12

JIKA HASILNYA :
0 : Lihat hasil CT Scan
- 1 : Infark / Iskemi / Non hemoragik
1 : Hemoragik

Tabel 3.4 Algoritma Gajah Mada


3 Gejala Stroke Akut 1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Refleks babinski
Ketiganya atau 2 dari 3 ada Pendarahan intraserebri

37
Hanya penurunan kesadaran Pendarahan intraserebri
Hanya nyeri kepala Pendarahan intraserebri
Hanya refleks babinski Infark
Tidak ada gejala apapun Infark

3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah perifer lengkap, faal hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, INR, D-dimer), BSS, fungsi ginjal (Ureum, Kreatinin,
Asam urat), fungsi jantung (CK-NAK, CK-MB), fungsi hati (SGOT,
SGPT), Profil lipid (Kolesteroltotal, LDL, HDL, Trigliserida),
elektrolit, analisa gas darah (AHA/AS, Class I, Level of evidence B)
EKG (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
Rontgen Thorak (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B)
CT SCAN kepala tanpa kontras sebagai golden standar (AHA/ASA,
Class II, Level of evidence A)
MRI kepala (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
MRA (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
CT Angiografi (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
Pungsi lumbal
Echocardiography (TTE dan atau TEE) (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)

Diagnosis banding:
1. Ensefalopati toksik atau metabolik
2. Kelainan non neurologis / fungsional ( contoh : kelainan jiwa)
3. Bangkitan epilepsi yang disertai paresis Todds
4. Migren hemiplegic
5. Lesi struktural intracranial (hematoma subdural, tumor otak, AVM)
6. Infeksi ensefalitis, abses otak
7. Trauma kepala
38
8. Ensefalopati hipertensif
9. Sklerosis multiple

3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum stroke akut:
a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
b. Stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan cairan kristaloid
intravena
c. Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan menggunakan obat
antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker secara intravena (Nicardipin atau
Diltiazem dengan dosis 5 mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15 menit sampai 15 mg/jam)
dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pada stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan 15% (sistolik maupun
diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah
sistolik >220 mmHg atau tekanan darah diastolik >120 mmHg (AHA/ASA
Class I, Level of evidence B)
- Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik
>200 mmHg atau MAP>150 mmHg, tekanan darah diturunkan sampai
tekanan darah sistolik 140 mmHg. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence
B)
d. Penatalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila tekanan darah sistolik <100
mmHg atau tekanan darah diastolik <70 mmHg dengan pemberian obat vasopressor
intravena (Norepinefrin dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e. Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) dengan cara :
- Elevasi kepala 30 derajat
- Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
- Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia

39
- Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol intravena dengan dosis 0,25-
0,5 g/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
f. Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan
diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan 50
mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g. Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650 mg jika suhu
>38,5C dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
h. Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut dengan titrasi
insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Hipoglikemia berat
(<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena atau infus glukosa 10-20%.
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
i. Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa proton
(Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus jika terjadi stress ulcer
(Class I, Level of evidence A)
j. Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
k. Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg intravena
selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu (ICTUS).

A. Stroke iskemik / infark:


- Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 - 48 jam pada stroke iskemik
akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pasien stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapatkan antikoagulan harus
diberikan antiplatelet Aspirin (80-325 mg) atau Clopidogrel 75 mg, atau
terapi kombinasi Aspirin dosis rendah 25 mg dengan extended release
dipyridamole 200 mg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan aspirin saja
(AHA/ASA, Class II b, Level of evidence B)
- Kombinasi Aspirin dan Clopidogrel tidak direkomendasikan pada pasien
pasien stroke iskemik akut, kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik
(misalnya angina tidak stabil, atau non Q wqve atau recent stenting),
pengobatan diberikan sampai 9 bulan sesudah kejadian (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence A)
40
- Penambahan Aspirin pada terapi Clopidogrel yang diberikan pada populasi
resiko tinggi akan meningkatkan resiko perdarahan bila dibandingkan
dengan pemakaian Clopidogrel saja, sehingga pemakaian rutin seperti ini
tidak direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence A)
- Pada penderita tidak toleran dengan Aspirin, Clopidogrel 75 mg atau
extended release dipyridamole 2x200 mg dapat digunakan (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidence B)
- Pada stroke iskemik aterotrombotik dan arterial stenosis simptomatik
dianjurkan memakai Cilostazol 100 mg 2 kali sehari (AHA/ASA, Class I,
Level of evidence A)
- Trombolitik (harus memenuhi kriteria inklusi): pemberian iv rTPA dosis 0,9
mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis total diberikan sebagai bolus
inisial, dan sisanya sebagai infus selama 60 menit. Direkomendasikan
secepat mungkin dalam rentang waktu 3 jam. (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence A
- Antikoagulan (heparin, LMWH, heparinoid) atau antagonis vitamin K
(warfarin) direkomendasikan untuk stroke iskemik atau TIA yang disertai
denngan fibrilasi atrial intermitten atau permanen yang paroksismal. (target
INR 2,5 dengan rentang 2,0-3,0) (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Pemberian statin dengan efek penurunan lipid direkomendasikan pada
stroke iskemik dan TIA yang disertai aterosklerosis tanpa PJK dengan LDL
100mg/dl (AHA/ASA, Class I, Level evidence B)

B. Perdarahan subarachnoid:
- Untuk mencegah vasospasme dengan pemberian Nimodipine dimulai
dengan dosis 1-2 mg/jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6
jam selama 21 hari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)
- Terapi antifibrinolitik dengan Asam Traneksamat loading dose 1 g intravena
kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam selam 72 jam untuk mencegah
perdarahan ulang (rebleeding)

C. Perdarahan Intraserebral :

41
Konservatif:
- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)
- Operatif: Dilakukan pada kasus yang indikatif /memungkinkan: volume
perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3cm pada fossa posterior
- Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian TIK akut dan
ancaman herniasi otak
- Perdarahan serebellum
- Hidrosefalus akibat perdarahan intraventrikel atau serebellum
- GCS >7

Rehabilitasi untuk stroke :


a. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah kondisi medis
stabil (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
b. Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk melanjutkan
rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A)
c. Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan intensitas rehabilitasi
(AHA/ASA, Class II, Level of evidence B)

Edukasi:
Bertujuan melakukan pencegahan sekunder (serangan ulang stroke) dengan
memberikan konseling kepada penderita dan keluarganya, diantaranya:
a. Pengaturan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah lemak jenuh dan
kolesterol, tinggi serat, tinggi protein, mengandung antioksidan
b. Istirahat yang teratur dan tidur yang cukup
c. Mengendalikan stress dengan berpikir positif bertujuan respon relaksasi yang
menurunkan denyut jantung dan tekanan darah
d. Pengendalian faktor-faktor resiko yang telah diketahui dengan obat-obat yang
telah diberikan selama dirawat dan rutin kontrol berobat pasca dirawat

42
e. Memodifikasi gaya hidup (olahraga, tidak merokok, tidak mengkonsumsi
alkohol, penurunan berat badan pada obesitas)
f. Melanjutkan fisioterapi dengan berobat jalan

Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut
terjadi pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek
tersebut tidak menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus
dimonitor dengan hati-hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi
oksigen, tekanan darah dan suhu tubuh secara terus-menerus selama 24 jam
setelah serangan stroke (Asmedi & Lamsudin, 1998). Asmedi & Lamsudin (1998)
mengatakan prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup baik karena
tingkat ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan
pertama dan meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Bermawi, et al.,
(2000) mengatakan bahwa sekitar 30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup
menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas hidup sehari-hari. Dari
berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas hidup sehari-
hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi. Suatu penelitian mendapatkan
perbaikan fungsi paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu
ketiga sampai 6 bulan pasca stroke.
Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan
yang terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok
ukur diantaranya outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas,
quality of life, serta mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang
setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi
oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang
menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien
dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini
sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

43
BAB IV
RESUME

Penderita dirawat dibagian neurologi RSMH dikarenakan mengalami


kesulitan berjalan akibat kelemahan sesisi tubuh sebelah kanan yang terjadi secara
tiba-tiba.
2 jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengalami kelemahan sesisi
tubuh sebelah kanan secara tiba-tiba saat sedang beristirahat disertai penurunan
kesadaran selama 20 menit. Saat serangan penderita mengalami bicara pelo,
mulut mengot ke kanan, gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan tidak
ada, sakit kepala tidak ada, mual muntah tidak ada, kejang tidak ada. Penderita biasa
menggunakan tangan kanan. Penderita tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya
secara lisan, tulisan, dan isyarat. Penderita juga tidak dapat mengerti isi pikiran
orang lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan, dan isyarat. Saat serangan,
jantung berdebar dan sesak nafas tidak ada.
Riwayat darah tinggi 5 tahun yang lalu, minum obat tidak teratur. Riwayat
kencing manis tidak ada. Riwayat stroke tidak ada. Riwayat sakit jantung tidak ada.
Penyakit seperti ini diderita untuk pertama kalinya.

Status Internus
Kesadaran : GCS (E: 4, M: 5, V: Afasia global)
Gizi : Sedang
Suhu Badan : 37,4C Jantung : HR 87x/m m(-) g(-)
Nadi : 87x/menit Paru-paru : ves (+) N R(-) W(-)
Pernapasan : 22x/menit Hepar : tidak teraba
Tekanan Darah : 130/90 mmHg Lien : tidak teraba
Berat Badan : 55 kg Anggota Gerak: tidak ada oedema
Tinggi Badan : 154 cm Genitalia : tidak diperiksa

Status Psikiatrikus
Sikap : wajar, koperatif Ekspresi Muka : wajar
Perhatian : ada Kontak Psikik : ada
44
Status Neurologikus
Nervus craniales:
N. III : pupil bulat, isokor, 3 mm/3mm, refleks cahaya +/+
N. VII : plika nasolabialis kanan datar, sudut mulut kanan tertinggal
N. XII : deviasi lidah ke kanan, disartria tidak ada

Fungsi motorik Lengan Lengan Kiri Tungkai Tungkai


Kanan Kanan Kiri
Gerakan Lateralisasi ke kanan
Kekuatan
Tonus Meningkat Normal Meningkat Normal
Klonus - -
Refleks Meningkat Normal Meningkat Normal
fisiologis
Refleks - - B,C,O,S + -
Patologis

Fungsi sensorik : belum dapat dinilai


Fungsi vegetatif : terpasang kateter
Fungsi luhur : afasia global
Gerakan abnormal : tidak ada
Gejala rangsang meningeal : kaku kuduk (-), kernigs sign (-), lasseques sign (-)
Gait dan keseimbangan : belum dapat dinilai

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIK:
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese nervus VII dextra tipe central
Parese nervus XII dextra tipe central
Afasia global

DIAGNOSIS TOPIK:
45
- Lesi di Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
DIAGNOSIS ETIOLOGI: CVD Non Hemoragik et causa emboli serebri
PENGOBATAN:
Mobilisasi pasif
Fisioterapi
Diberikan IVFD NaCl 0,9 % gtt XX/m
Aspilet 1x80 mg PO
Amlodipin 1x10 mg PO
Omeprazole 1x20 mg PO
Neurodex 1x1 tab PO
OBH 3x1 sirup PO
Loratadine 1x10 mg PO
Lotioncalamine 2x/hari
Antorvastatin 1x10 mg PO malam

PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam

BAB V

46
ANALISA KASUS

Pada anamnesis didapatkan penderita mengalami kelemahan sesisi tubuh


sebelah kanan disertai penurunan kesadaran selama 20 menit yang terjadi secara
tiba-tiba saat sedang beristirahat. Dari hasil anamnesis pasien mengalami defisit
neurologis yang mendadak dan penurunan kesadaran secara tiba-tiba dengan
dugaan vaskular sehingga memunculkan kecurigaan terjadinya suatu
cerebrovascular disease (stroke) dengan diagnose topik PACI (Partial Anterior
Ciculation Infarct). Dari gejala yang dialami dapat dilakukan penghitungan skor
siriraj dimana didapatkan skor -6 yang mendukung kecurigaan stroke non
hemoragik pada pasien ini. Dari pemeriksaan neurologis didapatkan ada parese
nervus VII dan XII sinistra tipe sentral serta peningkatan tonus dan reflek fisiologis
pada sisi tubuh sebelah kanan. Refleks patologis babinski, chaddock, openheim,
dan schaeffer positif pada kaki sebelah kanan. Untuk menunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala dan rotgen thorax dan didapatkan hasil
infark serebri iskemik pada daerah oksipital kiri dan kardiomegali. Sehingga
dengan demikian dapat ditetapkan diagnosis pasien adalah CVD Non Hemoragik
et causa emboli serebri.
Penderita biasa menggunakan tangan kanan. Penderita tidak bisa
mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan, dan isyarat. Penderita juga
tidak dapat mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan secara lisan, tulisan,
dan isyarat. Dengan demikian dapat disimpulkan penderita mengalami afasia
global.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, makan obat
tidak teratur. Riwayat kencing manis tidak ada. Riwayat stroke tidak ada. Riwayat
sakit jantung tidak ada. Riwayat kolesterol tinggi sejak 5 tahun yang lalu. Dapat
disimpulkan bahwa faktor resiko pada penderita ini adalah penyakit hipertensi dan
hiperkolesterolemia.
Penatalaksaan pada pasien ini adalah mobilisasi pasif, fisioterapi, IVFD NaCl
0,9 % gtt XX/m, aspilet 1x80 mg PO, amlodipin 1x10 mg PO, omeprazole 1x20
mg PO, neurodex 1x1 tab PO, OBH 3x1 sirup PO, loratadine 1x10 mg PO,
lotioncalamine 2x/hari, antovostatin 1x10 mg PO malam.

47
Diagnosis Klinis
Hemiparese dextra tipe spastik
Parese N. VII sinistra tipe sentral
Parese N. XII sinistra tipe sentral
Afasia global

Diagnosis Banding Topik


1. Lesi di Korteks Hemisferium Cerebri Sinistra
No. Gejala pada lesi di korteks cerebri Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi spastik
2 Gejala iritatif berupa kejang pada sisi yang lemah atau Tidak ada kejang
lumpuh
3 Gejala fokal berupa kelumpuhan lengan dan tungkai Kelemahan pada lengan dan
yang tidak sama berat tungkai sama berat
4 Defisit sensorik berupa gangguan pada sisi yang Belum dapat dinilai
lemah/lumpuh
Kesimpulan: kemungkinan lesi di korteks hemisferium cerebri sinistra dapat
disingkirkan.

2. Lesi di Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra


No. Gejala pada lesi di capsula interna Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi spastik
2 Parese N. VII tipe sentral Ada parese N. VII sentral
3 Parese N. XII tipe sentral Ada parese N. XII sentral
4 Kelemahan/kelumpuhan pada lengan dan tungkai sama Kelemahan lengan dan
berat tungkai kanan sama berat
Kesimpulan: kemungkinan lesi di capsula interna hemisferium cerebri sinistra
belum dapat disingkirkan

48
3. Lesi di Subkorteks Hemisferium Cerebri Sinistra
No. Gejala pada lesi di subkorteks cerebri Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi spastik
2 Afasia motorik murni Afasia global
Kesimpulan: kemungkinan lesi di subkorteks hemisferium cerebri sinistra dapat
disingkirkan

4. Lesi di Mesencephalon
No. Gejala pada lesi di mesensefalon Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi (hemiparese alternans) spastik
2 Parese N. III ipsilateral lesi Tidak ada parese N. III
Kesimpulan: kemungkinan lesi di mesensefalon dapat disingkirkan

5. Lesi di Pons
No. Gejala pada lesi di pons Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi (hemiparese alternans) spastik
2 Parese N. IV, V, VI, VII, VIII Parese N.VII
Kesimpulan: kemungkinan lesi di pons dapat disingkirkan

6. Lesi di Medula Oblongata


No. Gejala pada lesi di medula oblongata Gejala pada pasien
1 Defisit motorik berupa hemiparese/hemiplegi Hemiparese dextra tipe
kontralateral lesi (hemiparese alternans) spastik
2 Parese N. IX, X, XI, XII Parese N.XII
Kesimpulan: kemungkinan lesi di medula oblongata dapat disingkirkan

Berdasarkan klasifikasi Bamford


1. Total Anterior Circulation Infarct (TACI)

49
No. Gejala pada lesi TACI Gejala pada pasien
1 Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik Hemiparese dextra tipe
(kontralateral sisi lesi) spastik, tidak ada hemianopia,
2 Hemianopia (kontralateral sisi lesi) ada gangguan fungsi luhur
3 Gangguan fungsi luhur: disfasia, gangguan visuospasial, berupa afasia global
hemineglect, agnosia, apraxia
Kesimpulan: kemungkinan lesi TACI dapat disingkirkan

2. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)


No. Gejala pada lesi PACI Gejala pada pasien
1 Defisit motorik/sensorik dan hemianopia Pada pasien ada defisit
2 Defisit motorik/sensorik disertai gejala fungsi luhur motorik berupa hemiparese
3 Gejala fungsi luhur dan hemianopia dextra tipe spastik dan afasia
4 Defisit motorik/sensorik murni yang kurang ektensif global
dibanding infark lakunar (hanya monoparesis-
mononsensorik)
5 Gangguan fungsi luhur saja
Kesimpulan: kemungkinan lesi PACI belum dapat disingkirkan

3. Lacunar Infarct (LACI)


No. Gejala pada lesi LACI Gejala pada pasien
1 Tidak ada defisit visual Tidak ada defisit visual, ada
2 Tidak ada gangguan fungsi luhur gangguan fungsi luhur berupa
3 Tidak ada gangguan fungsi batang otak afasia global, tidak ada
4 Defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil gangguan fungsi batang otak
5 Gejala:
- Pure motor stroke (PMS)
- Pure sensory stroke (PSS)
- Ataksis hemiparesis
Kesimpulan: kemungkinan lesi LACI dapat disingkirkan
4. Posterior Circulation Infarct (POCI)

50
No. Gejala pada lesi POCI Gejala pada pasien
1 Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral dan Defisit motorik berupa
gangguan motorik/sensorik kontralateral. hemiparese dextra tipe
2 Gangguan motorik/ sensorik bilateral spastik, tidak ada gangguan
3 Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau konjugat mata, tidak ada
vertikal) hemianopia
4 Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract
ipsilateral
5 Isolated hemianopia atau buta kortikal.

Kesimpulan: kemungkinan lesi POCI dapat disingkirkan

Kesimpulan:
Diagnosis topik:
- Lesi di Capsula Interna Hemisferium Cerebri Sinistra
- Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)

Diagnosis Banding Etiologi


Skor Stroke Siriraj
E. DERAJAT KESADARAN H. TANDA TANDA ATEROMA
Koma : 2 4. Angina Pectoris
Apatis : 1 (+) : 1
Sadar : 0 (-) : 0
F. MUNTAH 5. Claudicatio Intermitten
(+) : 1 (+) : 1
(-) : 0 (-) : 0
G. SAKIT KEPALA 6. DM
(+) : 1 (+) : 1
(-) : 0 (-) : 0

SSS = (2,5 KESADARAN) + (2 MUNTAH ) + (2 SAKIT KEPALA) + (0,1 TD.


DIASTOLE) (3 ATEROMA) 12

JIKA HASILNYA :
0 : Lihat hasil CT Scan
- 1 : Infark / Iskemi / Non hemoragik
1 : Hemoragik
51
SSS = (2,5 0) + (2 0) + (2 0) + (0,1 90) (3 1) 12
= -6
Kesimpulan: Infark/Iskemi/Non hemoragik

Algoritma Gajah Mada


3 Gejala Stroke Akut 1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Refleks babinski
Ketiganya atau 2 dari 3 ada Pendarahan intraserebri
Hanya penurunan kesadaran Pendarahan intraserebri
Hanya nyeri kepala Pendarahan intraserebri
Hanya refleks babinski Infark
Tidak ada gejala apapun Infark
Jika berdasarkan skor Gajah Mada maka pada pasien ini ada gejala penurunan
kesadaran selama kurang lebih 20 menit dan refleks babinski positif pada kaki
kanan.
Kesimpulan: berdasarkan algoritma Gajah Mada kemungkinan pendarahan
intraserebri

Diagnosis Banding Etiologi Berdasarkan Anamnesis


1. Hemoragik cerebri
Hemoragik cerebri Gejala pada pasien
Kehilangan kesadaran > 30 menit kehilangan kesadaran 20 menit
Terjadi saat aktivitas Terjadi tiba-tiba saat istirahat
Didahului sakit kepala, mual, dan muntah Tidak ada sakit kepala, mual, dan
Riwayat hipertensi muntah
Ada riwayat hipertensi
Kesimpulan: kemungkinan etiologi hemoragik cerebri dapat disingkirkan

2. Emboli cerebri
52
Emboli cerebri Gejala pada pasien
Kehilangan lesadaran <30 menit Kehilangan kesadaran selama 20
Ada atrial fibrilasi menit
Terjadi saat istirahat Ada tanda atrial fibrilasi
Terjadi tiba-tiba saat istirahat
Kesimpulan: kemungkinan etiologi emboli cerebri belum dapat disingkirkan

3. Trombosis cerebri
Trombosis cerebri Gejala pada pasien
Tidak ada kehilangan kesadaran Ada kehilangan kesadaran selama 20
Terjadi saat istirahat menit
Terjadi tiba-tiba saat istirahat
Kesimpulan: kemungkinan etiologi trombosis cerebri dapat disingkirkan

Diagnosis etiologi berdasarkan anamnesis: Emboli cerebri

DAFTAR PUSTAKA

53
1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.
Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative
study. Bull World Health Organ. 1980;58:113130.
2. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Culebras A, et al.
An Updated Definition of Stroke for the 21st Century: A Statement for
Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2013;44:2064-2089.
3. Kolegium Neurologi Indonesia. Buku Acuan Modul Neurovaskular.
PERDOSSI. 2009.
4. Setyopranoto I. Stroke: gejala dan penatalaksanaan. CDK 185. 2011; 38(4):
247-250.
5. WHO. The Atlas of Heart Disease and Stroke: risk factors.
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/atlas/en/.
6. Mahoney FI, Barthel D. Functional evaluation: the Barthel Index. Maryland
State Med Journal 1965;14:56-61.

54

You might also like