You are on page 1of 23

Telaah Ilmiah

PTERYGIUM

Oleh:

Galih Nugraha, S.Ked

04084821618217

Pembimbing:

dr. Riani Erna, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Pterygium

Oleh:
Galih Nugraha, S.Ked
04054821618217

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 8 Agustus 2016 s.d 13 September 2016

Palembang, Agustus 2016

dr. Riani Erna, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul Pterygium ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior
di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Riani Erna, Sp.M atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Agustus 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Konjuntiva .............................................................. 2
2.2 Definisi Pterygium ....................................................................................... 5
2.3 Etiologi Pterygium ....................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi Pterygium .................................................................................. 6
2.5 Patofisiologi Pterygium ............................................................................... 7
2.6 Gambaran Klinis Pterygium ...................................................................... 11
2.7 Diagnosis Pterygium ................................................................................. 12
2.8 Diagnosis Banding Pterygium....................................................................13
2.9 Penatalaksanaan Pterygium ....................................................................... 13
2.10Komplikasi Pterygium .............................................................................. 14
2.11Prognosis Pterygium..................................................................................15

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 16


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Anatomi Konjungtiva.................................................................................. 2
2. Vaskularisasi Konjungtiva ........................................................................... 4
3. Mata dengan Pterygium ............................................................................... 5
4. Kemungkinan Jalur yang Berperan Dalam Proses Munculnya Pterygium . 9
5. Patogenesis invasif pterygium ................................................................... 10
6. Patogenenis Pterygium .............................................................................. 11
7. Pterygium .................................................................................................. 12

v
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan indra penglihatan yang sangat penting bagi manusia, dimana
didalamnya terkandung berbagai organ yang mempunyai fungsi dan peranan masing-
masing. Salah satu organ didalam mata adalah konjungtiva. Konjungtiva merupakan
membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior
palpebra dan permukaan anterior sklera, serta konjungtiva fornik yang merupakan peralihan
keduanya.1
Konjungtiva merupakan salah satu organ di mata yang sering terkena penyakit
sehingga membuat banyak orang datang ke dokter mata untuk berobat maupun
berkonsultasi. Salah satu penyakit pada konjungtiva adalah pterygium. Pterygium
merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua bola mata.2
Pterygium ini sering dialami oleh penduduk di daerah tropis, pada usia 20-30 tahun,
dimana angka kejadian pterygium pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita.
Penderita kadang tidak mengeluhkan gejala apa-apa, namun kadang ada juga yang mengeluh
terganggu penglihatannya, mata sering merah, terasa mengganjal, atau mengeluh adanya
lamat, oleh karena itu pengobatan pterygium didasarkan atas kondisi subjektif dan objektif
dari pasien, yaitu dari tanpa terapi sampai terapi pembedahan.3
Kecenderungan untuk terulangnya atau kambuhnya pterygium seringkali membuat
penderita khawatir akan adanya suatu proses keganasan, oleh karena itu edukasi yang baik
perlu diberikan kepada pasien agar meminimalisir angka kekambuhan, antara lain dengan
menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan kacamata pelindung dari cahaya matahari
sebagai pelindung terhadap radiasi ultraviolet.3
Penulisan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui anatomi, definisi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, tata laksana, dan prognosis dari
pterygium. Diharapkan telaah ilmiah ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi
pterygium dan menjadi salah satu sumber bacaan tentang pterygium.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak
mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior.
Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari
limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan
inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.4

Gambar 1. Anatomi Konjuntiva: konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,


konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis

2
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:4
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata
yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai
padamucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial
dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva
dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga
forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,
terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya
dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat
pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,
konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva
forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.

3
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang
terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata. 4
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan
konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa
kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius

4
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.5

2.2 Definisi Pterygium


Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan infasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan
puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2 Pterygium merupakan konjungtiva bulbi
patologik yang menunjukkan penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh
menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah
yang menuju ke puncak pterygium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan kerusakan
epitel kornea dan membran bowman.3
Pterygium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk segitiga
berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis bowman kornea
diganti oleh jaringan hialin dan elastis.1 Pterygium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi
melimpah keatas kornea dan biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan
yang tegak lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatannya pada
konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat
flap ke kornea, bentuk seperti pterygium, tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi
sehingga disebut pterygium palsu.6

Gambar 3. Mata dengan pterygium

5
2.3 Etiologi Pterygium
Etiologi pterygium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di iklim panas. Terdapat pengaruh efek berkepanjangan faktor
lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin, dan debu. Baru-
baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.1-3,7
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,
yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan
jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV tipeB
menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterygium. Penelitian
terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat
dalam patogenesis pterygium.8

2.4 Klasifikasi Pterygium


Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 9,13
1. Berdasarkan tipenya pterygium dibagi atas 3:
Tipe I: Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi
kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stockers line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering
asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
Tipe II: disebut juga pterygium tipe primer advanced atau pterygium rekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
Tipe III: pterygium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optic
membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

6
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13
Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis,
pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang
jelas
Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13
Pterygium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di
depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium)
Pterygium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa
dengan slitlamppterygium dibagi 3 yaitu:13
T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

2.5 Patofisiologi Pterygium


Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama, patogenesis
pterygium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling
matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan faktor
angiogenik berbagai semuanya telah terlibat dalam pathogenesis.8,14 Patogenesis pterygium
ditandai dengan degenerasi kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi
epitel.4, 5 Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor
p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterygium.
Temuan ini menunjukkan bahwa pterygium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa
menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase
(MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterygium mungkin
bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang
menjadi ciri pterygium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterygium ke dalam
kornea.1,6,8 Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal
7
limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program
apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan
multistep perkembangan pterygium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel
limbal.12,15
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga menyebabkan
terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu,
pterygium merupakan tumor secreting TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterygium
dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada
pterygium. Pertama, sel pterygium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan
MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan
hemidesmosom. Awalnya, sel pterygium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah
menuju ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena
produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan
tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya,
setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom
lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang
mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman
pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterygium menyebabkan
peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma.
Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di
depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran lapisan
bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk
membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam
penghancuran membran bowman.15 Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 4. 15

8
Gambar 4. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterygium

9
Gambar 5. Patogenesis invasif pterygium

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterygium mungkin dapat terjadi pada daerah
yang kekurangan limbal stem cell. 1,6,8 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel
kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini
juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah
interpalpebra.6,12

10
Gambar 6. A. Patogenesis pterygium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV
memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem cell
menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah

Patogenesis pterygium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah besar
limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria spesimen
pterygium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin dari tipe
hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis pterygium.6,16

2.6 Gambaran Klinis


Pterygium lebih sering terjadi pada pria yang melakukan pekerjaan di luar rumah.
Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan
segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi
di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut
garis Stocker. Pterygium terdiri dari tiga bagian
Apeks (bagian apikal pada kornea),
Collum (bagian limbal), dan
Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus2
Pterygium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah
kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea. Pterygium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat

11
secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami
penglihatan ganda atau diplopia.2,11

Gambar 7. Pterygium

2.7 Diagnosis Pterygium


Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata
sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata
merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar
matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma sebelumnya.12
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan
kojungtiva. Pterygium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterygium yang avaskuler dan flat. Pterygium paling sering ditemukan pada konjungtiva
nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah
temporal. 2,12
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di
sebabkan oleh pterygium. 12

12
2.8 Diagnosis Banding Pterygium
Pterygium harus dapat dibedakan dari pseudopterygium. Pseudopterygium adalah
lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari
konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar
akibat zat kimia pada mata.2
Selain itu pterygium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang merupakan
lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus.
Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun karena air mata yang kurang
baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.12

2.9 Penatalaksanaan Pterygium


Karena kejadian pterygium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan
pterygium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata sinar UV-
blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu
sebisa mungkin. Pengobatan pterygium yang meradang atau iritasi dengan topikal
dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau kortikosteroid topikal ringan empat kali
sehari.5
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat
diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang mengancam
daerah pupil (sekali pterygium telah mencapai daerah pupil, tunggu sampai melintasi di sisi
lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular.2
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterygium dan
untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk
pengelolaan pterygium.4,9,12
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan
sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,12
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik
ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.2,12
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

13
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.12
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,12

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%.
Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbalconjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue

2.10 Komplikasi Pteryium


Komplikasi pterygium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus
dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi
termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan
vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang terjadi. 4,10
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral dan/atau
kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun
setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.10 Komplikasi yang
paling umum dari operasi pterygium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki
tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar
5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran
amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel
yang melapisi sebuah pterygium yang ada dapat terjadi.10

14
2.11 Prognosis Pterygium
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi membrane
amnion.10

15
BAB III
KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh
letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar
ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak
diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta
dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik),
bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga
perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal
karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di
Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk
memakai kacamata pelindung sinar matahari.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya
Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York :
Thieme. 2000
5. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of
pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-
13.
6. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive
Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.
7. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142
8. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala
Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
9. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The
Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July 7,2012.
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D,
Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York:
Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Al-Ghozi M, 2002, Handbook of Ophtalmology ; a Guide to Medical Examination.
FK UMY. Yogyakarta.
13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys General Ophthalmology
17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.
14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins. Can J
Ophthamol. 2009;44(2):138-40.

17
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal
Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal
Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The
Antiseptic. 1998;95(11):1-4.

18

You might also like