Professional Documents
Culture Documents
PTERYGIUM
Oleh:
04084821618217
Pembimbing:
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh:
Galih Nugraha, S.Ked
04054821618217
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 8 Agustus 2016 s.d 13 September 2016
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul Pterygium ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik senior
di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Riani Erna, Sp.M atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan telaah
Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Anatomi Konjungtiva.................................................................................. 2
2. Vaskularisasi Konjungtiva ........................................................................... 4
3. Mata dengan Pterygium ............................................................................... 5
4. Kemungkinan Jalur yang Berperan Dalam Proses Munculnya Pterygium . 9
5. Patogenesis invasif pterygium ................................................................... 10
6. Patogenenis Pterygium .............................................................................. 11
7. Pterygium .................................................................................................. 12
v
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan indra penglihatan yang sangat penting bagi manusia, dimana
didalamnya terkandung berbagai organ yang mempunyai fungsi dan peranan masing-
masing. Salah satu organ didalam mata adalah konjungtiva. Konjungtiva merupakan
membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior
palpebra dan permukaan anterior sklera, serta konjungtiva fornik yang merupakan peralihan
keduanya.1
Konjungtiva merupakan salah satu organ di mata yang sering terkena penyakit
sehingga membuat banyak orang datang ke dokter mata untuk berobat maupun
berkonsultasi. Salah satu penyakit pada konjungtiva adalah pterygium. Pterygium
merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua bola mata.2
Pterygium ini sering dialami oleh penduduk di daerah tropis, pada usia 20-30 tahun,
dimana angka kejadian pterygium pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita.
Penderita kadang tidak mengeluhkan gejala apa-apa, namun kadang ada juga yang mengeluh
terganggu penglihatannya, mata sering merah, terasa mengganjal, atau mengeluh adanya
lamat, oleh karena itu pengobatan pterygium didasarkan atas kondisi subjektif dan objektif
dari pasien, yaitu dari tanpa terapi sampai terapi pembedahan.3
Kecenderungan untuk terulangnya atau kambuhnya pterygium seringkali membuat
penderita khawatir akan adanya suatu proses keganasan, oleh karena itu edukasi yang baik
perlu diberikan kepada pasien agar meminimalisir angka kekambuhan, antara lain dengan
menggunakan topi yang memiliki pinggiran dan kacamata pelindung dari cahaya matahari
sebagai pelindung terhadap radiasi ultraviolet.3
Penulisan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui anatomi, definisi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, tata laksana, dan prognosis dari
pterygium. Diharapkan telaah ilmiah ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi
pterygium dan menjadi salah satu sumber bacaan tentang pterygium.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:4
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata
yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai
padamucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial
dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva
dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari
konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan
translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga
forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,
terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya
dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan
alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat
pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,
konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva
forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator
palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka
konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut
berkontraksi.
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.
3
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang
terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata. 4
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan
konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa
kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius
4
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.5
5
2.3 Etiologi Pterygium
Etiologi pterygium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering terjadi
pada orang yang tinggal di iklim panas. Terdapat pengaruh efek berkepanjangan faktor
lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin, dan debu. Baru-
baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.1-3,7
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea,
yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan
jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV tipeB
menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterygium. Penelitian
terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat
dalam patogenesis pterygium.8
6
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13
Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis,
pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea.
Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang
jelas
Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13
Pterygium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di
depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium)
Pterygium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membrane, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa
dengan slitlamppterygium dibagi 3 yaitu:13
T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.
8
Gambar 4. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterygium
9
Gambar 5. Patogenesis invasif pterygium
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterygium mungkin dapat terjadi pada daerah
yang kekurangan limbal stem cell. 1,6,8 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel
kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini
juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa
pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah
interpalpebra.6,12
10
Gambar 6. A. Patogenesis pterygium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV
memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem cell
menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah
Patogenesis pterygium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah besar
limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria spesimen
pterygium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin dari tipe
hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis pterygium.6,16
11
secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami
penglihatan ganda atau diplopia.2,11
Gambar 7. Pterygium
12
2.8 Diagnosis Banding Pterygium
Pterygium harus dapat dibedakan dari pseudopterygium. Pseudopterygium adalah
lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari
konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar
akibat zat kimia pada mata.2
Selain itu pterygium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang merupakan
lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus.
Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun karena air mata yang kurang
baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid
topikal.12
13
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.12
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,12
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%.
Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,8
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbalconjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue
14
2.11 Prognosis Pterygium
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi membrane
amnion.10
15
BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh
letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar
ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak
diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta
dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik),
bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga
perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal
karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di
Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk
memakai kacamata pelindung sinar matahari.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D.G, Asbury T, Riordan P, 2002, Oftalmologi Umum, Edisi ke-14, Widya
Medika, Jakarta
2. Ilyas S, 2008, Ilmu Penyakit Mata, edisi ke-3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York :
Thieme. 2000
5. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of
pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-
13.
6. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive
Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.
7. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142
8. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala
Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.
9. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The
Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.
10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July 7,2012.
11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D,
Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York:
Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
12. Al-Ghozi M, 2002, Handbook of Ophtalmology ; a Guide to Medical Examination.
FK UMY. Yogyakarta.
13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys General Ophthalmology
17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.
14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins. Can J
Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
17
15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal
Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal
Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.
16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The
Antiseptic. 1998;95(11):1-4.
18