You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di
berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang
dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat
tinggal.
Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah;
Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah;
dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis
yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA
yaitu Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Mengenai Hak Atas Tanah
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
2. Kasus Posisi Mengenai Hukum Agraria

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mengenai Hak Atas Tanah

1. Hak Milik

PENGERTIAN HAK MILIK

Hak milik diatur dalam Pasal 20 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pengertian
hak milik menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah adalah hak yang turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan Pasal 6 UUPA. Hak yang terkuat dan terpenuh yang dimaksud dalam pengertian
tersebut bukan berarti hak milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak terbatas dan
tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana dimaksud dalam hak eigendom, melainkan
untuk menunjukkan bahwa di antara hak-hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang
paling kuat dan paling penuh.
Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun temurun karena hak milik dapat
diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat
berarti hak tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari
pihak lain. Terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas
dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari
hak-hak lainnya, misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada orang lain.
Selama tidak dibatasi oleh penguasa, maka wewenang dari seorang pemegang hak milik
tidak terbatas. Selain bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh, hak milik juga dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

SUBYEK HAK MILIK

Pasal 21 ayat (1) UUPA menentukan bahwa hanya warganegara Indonesia yang
dapat mempunyai hak milik. Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi
badan hukum tertentu untuk mempunyai hak milik. Beberapa badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik adalah bank pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial,

2
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Hak milik tidak dapat dipunyai oleh warganegara asing maupun orang yang
memiliki kewargangeraan ganda (warganegara Indonesia sekaligus warganegara asing).
Bagi warganegara asing atau orang yang berkewarganegaraan ganda yang memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib
untuk melepaskan hak tersebut paling lama satu tahun setelah memperoleh hak milik.
Apabila jangka waktu tersebut berakhir dan hak milik tidak dilepaskan, maka hak milik
menjadi hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan tetap
memperhatikan hak-hak pihak lain yang membebani tanah tersebut.

TERJADINYA HAK MILIK

Terjadinya hak milik dapat disebabkan karena (Pasal 22 UUPA) :

1. Hukum adat, misalnya melalui pembukaan tanah.


2. Penetapan pemerintah, yaitu melalui permohonan yang diajukan kepada instansi yang
mengurus tanah.
3. Ketentuan undang-undang, yaitu atas dasar ketentuan konversi.

BERALIHNYA HAK MILIK

Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar-
menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik.4 Perlu diperhatikan bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada
orang asing atau badan hukum karena orang asing dan badan hukum tidak dapat menjadi
subyek hak milik. Sehingga peralihannya menjadi batal demi hukum dan tanahnya jatuh
kepada negara.

HAPUSNYA HAK MILIK

Menurut ketentuan Pasal 27 UUPA, hak milik hapus karena:

3
1. Tanahnya jatuh kepada negara:
Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
Karena diterlantarkan;
Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

2. Tanahnya musnah.
Selain itu hak milik juga hapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum dan larangan
pemilikan tanah/pertanian secara absentee.

2. Hak Guna Usaha

PENGERTIAN HAK GUNA USAHA

Mengenai hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 34 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUPA kemudian dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996). Menurut ketentuan Pasal 28 ayat
(1) UUPA, hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dalam jangka waktu tertentu untuk usaha pertanian, perikanan atau peternakan.

SUBYEK HAK GUNA USAHA

Pasal 30 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna
usaha adalah:

1. Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

4
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG HAK GUNA USAHA

Pemegang hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan tanah
yang dipunyainya untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan atau peternakan. Untuk mendukung usahanya tersebut, maka pemegang
hak guna usaha berhak untuk menguasai dan menggunakan sumber air dan sumber daya
alam lainnya yang terdapat di atas tanah tersebut dengan memperhatikan ketentuan
yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.

Pemegang hak guna usaha berkewajiban untuk:

1. Membayar uang pemasukan kepada negara;


2. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai
dengan peruntukan dan syarat yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
3. Mengusahakan sendiri tanah tersebut dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha yang
ditetapkan oleh instansi teknis;
4. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada di
lingkungan areal tanah tersebut;
5. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga
kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan tanah
tersebut;
7. Menyerahkan kembali tanah tersebut kepada negara setelah hak guna usahanya hapus;
8. Menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan;

Selain kewajiban-kewajiban tersebut, pemegang hak guna usaha juga dilarang


untuk menyerahkan pengusahaan tanah tersebut kepada pihak lain, kecuali diperbolehkan
menurut ketentuan yang berlaku. Pemegang hak yang tanahnya mengurung atau menutup
pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air juga wajib
memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkurung tersebut.

5
TERJADINYA HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha terjadi karena penetapan pemerintah, yaitu melalui keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pemberian hak guna usaha wajib
didaftarkan di buku tanah pada Kantor Pertanahan dan terjadi sejak didaftarkan. Adapun
tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah tanah negara. Apabila tanah
tersebut berupa kawasan hutan, maka pemberian hak guna usaha dapat dilakukan setelah
tanah tersebut dikeluarkan dari status kawasan hutan. Apabila tanah yang akan diberikan
dengan hak guna usaha sudah dikuasai dengan hak tertentu yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka pemberian hak guna usaha dapat dilaksanakan setelah dilakukan
pelepasan hak atas tanah itu. Demikian pula apabila di atas tanah yang akan diberikan hak
guna usaha terdapat tanaman atau bangunan milik pihak lain yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, maka pemilik tanaman atau bangunan tersebut berhak untuk mendapatkan
ganti rugi dari pemegang hak guna usaha.

JANGKA WAKTU HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha diberikan untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 25 tahun. Setelah jangka waktu dan perpanjangannya berakhir,
kepada pemegang hak dapat diberikan pembaruan hak di atas tanah yang sama (Pasal 8 PP
40/1996 juncto Pasal 29 UUPA). Adapun syarat untuk perpanjangan atau pembaruan hak
guna usaha adalah sebagai berikut:

1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak;
2. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu merupakan
warganegara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia).
Permohonan perpanjangan atau pembaruan hak guna usaha wajib diajukan paling
lambat dua tahun sebelum berakhirnya hak guna usaha. Perpanjangan atau pembaruan
tersebut juga wajib dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.

6
BERALIHNYA HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:

1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.

Peralihan hak guna usaha wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila
peralihan hak guna usaha dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar menurkar,
penyertaan dalam modal dan hibah, maka wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Sedangkan terhadap peralihan hak yang dilakukan melalui jual beli secara
lelang wajib dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan hak guna
usaha terjadi karena pewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat
keterangan waris.

HAPUSNYA HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha hapus karena (Pasal 34 UUPA):

1. Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;


2. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
3. Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya);
4. Diterlantarkan;
5. Tanahnya musnah;
6. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha tidak lagi memenuhi syarat
sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu
tahun).
Terhadap tanah yang hak guna usahanya hapus karena ketentuan tersebut, maka
tanahnya menjadi tanah negara.

7
3. Hak Guna Bangunan

PENGERTIAN HAK GUNA BANGUNAN

Hak guna bangunan diatur dalam Pasal 35 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Pengaturan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan tersebut kemudian diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996). Pasal 35 ayat (1)
UUPA menerangkan pengertian hak guna bangunan sebagai hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri selama jangka
waktu tertentu.

SUBYEK HAK GUNA BANGUNAN

Pasal 36 ayat (1) UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak guna
bangunan adalah:

1. Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN

Pasal 32 PP 40/1996 menentukan bahwa pemegang hak guna bangunan berhak


untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan
selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan
pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan
membebaninya.

Kewajiban-kewajiban pemegang hak guna bangunan menurut ketentuan Pasal 30


PP340/1996 adalah:

1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya;

8
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang ditetapkan
dalam keputusan dan perjanjian pemberian haknya;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada negara,
pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu
hapus;
5. Menyerahkan sertipikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
Bagi pemegang hak guna bangunan yang letak tanahnya mengurung atau menutup
pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, yang bersangkutan
juga wajib untuk memberikan jalan ke luar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung.

TERJADINYA HAK GUNA BANGUNAN

Ada tiga jenis tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan, yaitu tanah
negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Untuk tanah negara, hak guna
bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang
ditunjuk. Untuk tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak
pengelolaan. Sedangkan untuk tanah hak milik, terjadinya hak guna bangunan adalah
melalui pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Setiap pemberian hak guna bangunan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan.

JANGKA WAKTU HAK GUNA BANGUNAN

Hak guna bangunan yang berasal dari tanah negara dan tanah hak pengelolaan
diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, hak
guna bangunan tersebut dapat diperbarui. Adapun syarat untuk perpanjangan dan
pembaruan hak guna bangunan adalah sebagai berikut:

9
1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak tersebut;
2. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, yaitu merupakan
warganegara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan;
5. Untuk hak guna bangunan yang berasal dari tanah hak pengelolaan, diperlukan
persetujuan dari pemegang hak pengelolaan.

Permohonan perpanjangan atau pembaruan hak guna bangunan diajukan selambat-


lambatnya dua tahun sebelum jangka waktunya berakhir dan wajib dicatat dalam buku
tanah pada Kantor Pertanahan.

Untuk hak guna bangunan atas tanah hak milik, jangka waktunya adalah paling
lama tiga puluh tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, maka hak guna bangunan
dapat diperbarui atas kesepakatan antara pemegang hak guna bangunan dengan pemegang
hak milik. Pembaruan tersebut dimuat dalam akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan wajib didaftarkan.

BERALIHNYA HAK GUNA BANGUNAN

Hak guna bangunan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain dengan cara:

1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.

Peralihan hak guna bangunan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Untuk
peralihan hak guna bangunan yang dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar

10
menurkar, penyertaan dalam modal dan hibah, peralihan hak guna bangunan tersebut wajib
dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan terhadap
peralihan hak guna bangunan yang dilakukan melalui jual beli secara lelang cukup dengan
Berita Acara Lelang. Peralihan hak guna bangunan yang terjadi karena pewarisan harus
dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris. Perlu diperhatikan bahwa
peralihan hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik.

HAPUSNYA HAK BANGUNAN

Berikut ini adalah penyebab hapusnya hak guna bangunan:

1. Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;


2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang berwenang,
pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik karena tidak dipenuhinya suatu
syarat:
Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban memegang hak;
Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang disepakati
oleh pemegang hak guna bangunan dengan pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik;
Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4. Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya);
5. Diterlantarkan;
6. Tanahnya musnah;
7. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling
lambat satu tahun).

Hapusnya hak guna bangunan atas tanah negara mengakibatkan tanah tersebut
menjadi tanah negara. Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan
11
mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang hak pengelolaan.
Hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik mengakibatkan tanah tersebut kembali
ke dalam penguasaan pemegang hak milik.

4. Hak Pakai

PENGERTIAN HAK PAKAI

Hak pakai diatur dalam Pasal 41 43 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960


tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Hal-hal yang
ditentukan di dalam UUPA tersebut kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah
(selanjutnya disebut PP 40/1996). Pasal 41 ayat (1) UUPA menentukan sebagai berikut :

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

SUBYEK HAK PAKAI

Salah satu keistimewaan hak pakai terdapat di subyeknya yang jauh lebih beragam
dibanding hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Pasal 42 UUPA menentukan
bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah (Pasal 39 PP40/1996) :
1. Warganegara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
4. Badan-badan keagamaan dan sosial;
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.

12
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG HAK PAKAI

Menurut ketentuan Pasal 52 PP 40/1996, hak dari pemegang hak pakai adalah:

Pemegang hak pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan
dengan hak pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk
memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan
untuk keperluan tertentu.

Pasal 50 PP 40/1996 mengatur kewajiban pemegang hak pakai adalah sebagai berikut:

1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau dalam
perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah hak
pengelolaan atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada negara,
pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak pakai tersebut hapus;
5. Menyerahkan sertipikat hak pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 51 PP40/1996 menentukan kewajiban tambahan bagi pemegang hak yang
tanahnya mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum
atau jalan air juga wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung tersebut.

TERJADINYA HAK PAKAI

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 PP40/1996, ada tiga jenis tanah yang dapat
diberikan dengan hak pakai, yaitu:

1. Tanah negara;
2. Tanah hak pengelolaan;
3. Tanah hak milik.

13
Terjadinya hak pakai atas tanah negara adalah melalui keputusan pemberian hak
oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Terjadinya hak pakai atas hak pengelolaan adalah
melalui keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang hak pengelolaan. Sedangkan untuk hak pakai atas tanah hak milik terjadi melalui
pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Setiap pemberian hak pakai tersebut wajib didaftarkan dalam buku tanah pada
Kantor Pertanahan.

JANGKA WAKTU HAK PAKAI

Hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan diberikan
untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanah tersebut digunakan untuk keperluan tertentu.
Keperluan tertentu yang dimaksud adalah hak pakai yang diberikan kepada:

1. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;


2. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional;
3. Badan keagamaan dan badan sosial.

Setelah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannya berakhir, maka dapat
diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama. Adapun syarat perpanjangan atau
pembaharuan hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan adalah
sebagai berikut:

1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan sifat dan tujuan
pemberian hak;
2. Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
4. Untuk hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas
usul pemegang hak pengelolaan;
5. Permohonan diajukan paling lambat dua tahun sebelum hak pakai berakhir.

14
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh
lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Setelah hak pakai berakhir, hak pakai dapat
diperbaharui atas kesepakatan pemegang hak pakai dan pemegang hak milik melalui
pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Setiap perpanjangan dan pembaharuan hak pakai wajib didaftarkan di buku tanah pada
Kantor Pertanahan.

BERALIHNYA HAK PAKAI

Hak pakai atas tanah negara yang diberikan untuk jangka waktu tertentu dan hak
pakai atas tanah hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sedangkan
hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan apabila hal ini dimungkinkan dalam
perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik tersebut. Adapun cara peralihannya
adalah sebagai berikut:

1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Penyertaan dalam modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.

Peralihan hak pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Apabila peralihan
hak pakai dilakukan melalui jual beli (kecuali lelang), tukar menurkar, penyertaan dalam
modal dan hibah, maka wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sedangkan terhadap peralihan hak yang dilakukan melalui jual beli secara lelang wajib
dibuktikan melalui Berita Acara Lelang. Namun apabila peralihan hak pakai terjadi karena
pewarisan, maka harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris.

Perlu diketahui bahwa peralihan hak pakai atas tanah negara harus mendapatkan
izin dari pejabat yang berwenang. Pengalihan hak pakai atas tnaha hak pengelolaan harus
dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan, sedangkan

15
pengalihan hak pakai atas tanah hak milik harus mendapatkan persetujuan tertulis dari
pemegang hak milik tanah tersebut.

HAPUSNYA HAK PAKAI

Hak pakai hapus karena (Pasal 55 PP40/1996):

1. Jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui;


2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang
hak milik sebelum jangka waktunya berakhir karena:
Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban pemegang hak pakai;
Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang diatur dalam
perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dan pemegang hak
milik atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan;
Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4. Dicabut untuk kepentingan umum (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di
Atasnya);
5. Diterlantarkan;
6. Tanahnya musnah;
7. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak pakai tidak lagi memenuhi syarat
sebagai pemegang hak (wajib melepaskan atau mengalihkan haknya paling lambat satu
tahun).
Terhadap tanah yang hak pakainya hapus karena ketentuan tersebut, maka tanahnya
menjadi tanah negara.

2.2 Kasus Posisi Mengenai Hukum Agraria

Kasus Sengketa Tanah Meruya


Sengketa Tanah Meruya (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya
bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 1973 dan

16
pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah
dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di
meruya yang sudah mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik.
Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR
pun turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya yang menempati tanah
meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga
membeli tanah dari PT Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir
5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA.
Tidak hanya tanah milik warga, tanah milik negara yang diatasnya terdapat fasilitas umum
dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan sengketa yang
terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, di mana warga meruya
sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Di sini terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan
hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang
masih bersengketa.
Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara
PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972
dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak
lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996).
Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun
waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni,
lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah silih
berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah meruya
tersebut. Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas
kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.
Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali dengan
sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-langkah penindakan 30
tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga
banyak yang belum memiliki sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang
memberi kemudahan dalam memperoleh sertifikat tanah.
Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah
daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah
yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa
tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung
17
mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan
eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat
tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.

PENYELESAIAN KASUS

Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik
kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun
1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang menampati tanahnya tahun 1997
keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik
sebelumnya.
Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa
mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana,
sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung hak
kepemilikan tanah ke PT. Portanigra.

ANALISIS KASUS

Proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun lalu tidak
menghasilkan keadilan yang diharapkan, bahkan justru menimbulkan ketidakadilan baru.
Sehingga tidak ada penanggung jawab tunggal untuk disalahkan kecuali berlarut-larutnya
waktu sehingga problema baru bermunculan.
Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara mudah,
sederhana, dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan Indonesia memiliki
asas yang menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai
kredibilitas lembaga peradilan.
Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat tanah
yang asli harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai adanya sengketa)
seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan sampai mereka menjadi korban
atau dikorbankan sebab dapat menimbulkan gejolak serta problem kemasyarakatan yang
sifatnya bukan sekedar keperdataan.
18
Perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat itu telah
sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah sengketa. Juga
dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan dieksekusi apabila ternyata telah
menjadi sarana umum: sekolah, lapangan bola, perkantoran, puskesmas, ataupun
kompleks pertokoan.
Pemerintah daerah dan BPN dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik terutama
pemberian setifikat dalam jumlah massal seharusnya benar benar memperhatikan aspek
aspek apakah orang yang bersangkutan sudah sesuai menerima hak untuk memiliki
sertifikat Hak Milik atau belum. Hal ini berkaitan dengan dampak pemberian sertifikat
Hak Milik kepada orang yang tidak semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA
seharusnya sertifikat Hak Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan
sertifikat Hak Milik tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Pada kasus sengketa tanah meruya ini antara PT. Portanigra dan warga duduk bersama
melalui musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan
penyelesaian yang lebih baik daripada saling menyalahkan secara emosional.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah ada beberapa jalur hukum yang dapat
ditempuh seperti gugatan perlawanan oleh pihak ketiga yang merasa mempunyai hak (telah
dilakukan), mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh para pihak yang
bersengketa seperti antara PT. Portanigra denga hj djuhri cs, mengajukan gugatan baru oleh
para pihak yang merasa dirugikan dalam permasalahan sengketa. Untuk memperjuangkan hak-
haknya seyogianya warga melandasinya dengan surat-surat yang kuat (sertifikat), batas-batas
tanah jelas, asal-usulnya dapat ditelusuri serta tidak terkena sengketa.
Kasus Meruya memberi pembelajaran tentang proses hukum yang tidak boleh berlarut-
larut, pentingnya sertifikat dalam kepemilikan tanah, tentang putusan pengadilan serta
pelaksanaannya yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan
lembaga negara yang menangani masalah pertanahan.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://lawlowlew.blogspot.co.id/2013/07/hukum-agraria-kasus-dan-analisis.html
http://sriandinyr.blogspot.co.id/2016/04/analisis-kasus-agraria-di-indonesia.html
http://www.jurnalhukum.com/hak-hak-atas-tanah/

21

You might also like