You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia menunjukkan masalah kesehatan publik yang dijumpai di seluruh dunia, serta
memiliki dampak yang signifikan pada bidang sosial dan ekonomi. Anemia adalah suatu kondisi
di mana jumlah sel darah merah dengan kapasitasnya dalam mengikat oksigen, tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis seseorang bervariasi sesuai
dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan air laut, merokok, dan
berbagai tahap kehamilan. (WHO 2015)
Anemia bukanlah suatu penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala
berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia
tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia, tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar
yang menyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut
tersembunyi, sehingga apabila diungkap akan menuntun para klinisi kearah suatu penyakit yang
mungkin berbahaya dan berguna dalam pengelolaan dan manjemennya. (PAPDI 2014)
Kekurangan zat besi adalah kontributor penyebab anemia yang paling signifikan. Sekitar
50% kasus anemia adalah dianggap karena kekurangan zat besi, tetapi proporsinya mungkin
bervariasi antara kelompok populasi dan di daerah yang berbeda, sesuai dengan kondisi lokal.
Penyebab lain anemia termasuk defisiensi mikronutrien (seperti asam folat, riboflavin, vitamin A
dan B12), infeksi akut dan kronis (malaria, kanker, TBC dan HIV), dan keturunan atau didapat
berupa gangguan yang mempengaruhi sintesis hemoglobin, produksi sel darah merah atau
kelangsungan hidup sel darah merah (misalnya hemoglobinopati).
Dalam perkembangannya, terjadi 3 juta kematian ibu dan neonatal pada tahun 2013 akibat
anemia defisiensi besi di seluruh dunia dan merupakan kontributor penting untuk kematian
global secara keseluruhan. Selanjutnya telah diperkirakan bahwa 90.000 kematian pada kedua
jenis kelamin dan semua kelompok usia adalah karena anemia kekurangan zat besi saja. Setiap
strategi dilaksanakan untuk mencegah atau mengobati anemia, harus disesuaikan dengan kondisi
setempat dengan mempertimbangkan etiologi spesifik dan prevalensi anemia dalam pengaturan
dan populasi kelompok tertentu. Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa

1
prevalensi anemia defisiensi besi di Asia >75%, di Indonesia kasus anemia gizi mencapai 63,5%.
Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2010, angka anemia pada ibu hamil sebesar 40,1 %.
Hal ini menunjukkan bahwa angka anemia cukup tinggi di Indonesia.
Mengurangi anemia diakui sebagai komponen penting dari kesehatan perempuan dan anak-
anak. Target nutrisi global kedua untuk 2025 adalah untuk menurunkan 50% dari anemia pada
wanita berusia produktif. Di negara-negara berpenghasilan rendah , prevalensi anemia masih
tinggi dan merupakan daerah prioritas. Jika tren saat ini dipertahankan, ada kemungkinan kurang
dari 25% di seluruh wilayah dapat mencapai target global tersebut. (WHO 2015)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia adalah kurangnya hemoglobin di dalam darah, yang dapat disebabkan oleh jumlah
sel darah merah yang terlalu sedikit atau jumlah hemoglobin dalam sel yang terlalu sedikit (Hall,
2008). Anemia merupakan penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(PAPDI,2014).
Meskipun nilai hemoglobin rata berbeda dari laboratorium ke laboratorium, menurut WHO
definisi kerja anemia pada orang dewasa adalah tingkat hemoglobin kurang dari rata-rata yang
normal dikurangi dua standar deviasi. Pada tahun 1968 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
kriteria hemoglobin a (Hb) <13 g / dL (<130 g / L) pada pria dan <12 g / dL (<120 g / L) pada
wanita telah digunakan untuk mendefinisikan anemia. Namun, kriteria tersebut berdasarkan data
pada populasi tidak termasuk individu >65 tahun, dan mungkin tidak berlaku untuk yang lebih
tua. Kriteria anemia menurut WHO menurut umur dan jenis kelamin, dapat terlihat dalam tabel I
berikut ini (Marhaeni, 2008).

Tabel 1. Kriteria Kadar Haemoglobin Normal

Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dL)


Anak 6 bulan s/d 6 tahun 11 11
6 tahun s/d 14 tahun 12 12
Dewasa Laki-laki 13
Wanita 12
Wanita Hamil 11

Sumber : WHO, Nutritional Anaemias. Tec. Rep. Ser. No.503, 1972.

3
2.2 Patofisiologi Anemia
a. Produksi sel darah merah
Sel darah merah berasal dari sel progenitor yang tidak berdiferensiasi pada
sumsum tulanng yang disebut sel induk pluripoten. Sel induk adalah sel yang mampu
untuk memperbaharui diri sendiri dan berdiferensiasi. Sel induk akan menghasilkan
eritrosit, granulosit, monosit, trombosit dan limfosit (Harrison, 2014).
Eritropoitin adalah sebuah hormon glikoprotein yang memiliki berat molekul
30.400 eritropoietin diproduksi terutama oleh ginjal dan diekskresikan ke dalam plasma.
Pada pasien anemis terjadi peningkatan kadar plasma namun hemoglobin menurun,
sedangkan pada pasien dengan uremia biasanya memiliki kelainan produksi eritropoietin
yang nyata karena kadar plasma relatif rendah (Harrison, 2014).
Eritropoietin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada permukaan sel induk
eritroid yang terikat, menginduksi sel tersebut untuk berdiferensiasi menjadi
proeritroblas. Proeritroblas merupakan sel darah merah yang paling awal dapat dikenali
pada pemeriksaan sumsum tulang. Transisi dari proeritroblast ke normoblast dewasa
terjadi selama 3 atau 4 pembelahan sel selama periode 4 hari. Selama waktu tersebut
nukleus menjadi lebih kecil dan peningkatan jumlah hemoglobin yang diproduksi di
dalam sitoplasma. Pembelahan terakhir adalah nukleus piknotik dilepaskan dari
normoblast, yang tersisa adalah retikulosit. Retikulosit berada di sumsum tulang selama
2,5 sampai 3 hari. Retikulosit kemudian dilepaskan kedalam sirkulasi umum, dan tinggal
disana selama 24 jam berikutnya sebelum kehilangan mitokondria dan ribosomnya terjadi
permunculan sel darah merah yang matur (Harrison, 2014).
Sel prekursor eritroid terdiri dari pronormoblast sampai retikulosit yang memiliki
reseptor permukaan spesifik untuk kompleks zat besi transferin, sehingga memungkinkan
sel untuk bersatu dengan zat besi yang cukup untuk memproduksi hemoglobin.
Penggunaan label zat besi radioaktif seperti 59Fe memungkinkan penilaian kuantitatif
eritropoiesis. Umumnya sekitar 80 persen 59Fe yang terikat dengan transferin akan pidah
ke sel eritroid di sumsum tulang. Setelah 4 sampai 6 hari, zat besi yang berlabel muncul
kembali dalam sirkulasi eritrosit (Harrison, 2014).

4
Sumsum tulang normal mampu meningkatkan produksi sel darah merah 3 sampai
5 kali rata-rata normal dalam seminggu atau 2 minggu setelah stimulasi dengan kadar
eritropoietin tinggi (Harrison, 2014).

b. Pengaruh anemia terhadap fungsi sistem sirkulasi


Pada anemia berat, viskositas darah dapat turun hingga 1,5 kali viskositas air.
Keadaan ini akan mengurangi tahanan terhadap aliran darah dalam pembuluh darah
perifer, sehingga jumlah darah yang mengalir melalui jaringan dan kemudian kembali ke
jantung jauh melebihi normal. Hal tersebut akan meningkatkan curah jantung. Selain itu,
hipoksia yang terjadi akibat penurunan transport oksigen oleh darah akan menyebabkan
pembuluh darah jaringan perifer berdilatasi, yang selanjutnya meningkatkan jumlah darah
yang kembali ke jantung dan meningkatkan curah jantung sampai nilai yang lebih tinggi,
kadang- kadang tiga sampai empat kali nilai normal. Jadi, salah satu efek utama dari
anemia adalah peningkatan curah jantung dan peningkatan beban kerja pemompaan
jantung.
Peningkatan curah jantung pada anemia secara parsial mengimbangi efek- efek
pengurangan hantaran oksigen akibat anemia, karena walaupun tiap unit sejumlah darah
hanya mengangkut sejumlah kecil oksigen, namun kecepatan aliran darah dapat cukup
meningkat, sehingga julah oksigen yang dialirkan ke jaringan sebenarnya hamper
mendekati normal. Namun, bila pasien anemia mulai berolah raga, jantung tidak dapat
memompa jumlah darah lebih banyak dari julamh yang dipompakan sebelumnya.
Akibatnya, selama berolah raga, saat terjadi peningkatan kebutuhan jaringan akan
oksigen, dapat timbul hipoksia jaringan yang serius dan timbul gagal jantung akut
(Hall,2008).

c. Biosintesis hemoglobin
Hemoglobin adalah tetrameter yang terdiri dari 2 pasang polipeptida misalnya
22. Subunit globin, , , dan masing-masing terikat secara konvalen pada kelompok
heme (Harrison, 2014).
Sekitar 98 persen protein dalam sitoplasma sel darah merah yang bersirkulasi
adalah hemoglobin. Pada sel darah orang dewasa normal, hemogonin A (22).

5
Komponen ini meningkat pada pasien dengan thalasemia . Hemoglobin fetus (HbF atau
22)biasanya kurang dari 1 persen total hemoglobin pada sel darah merah orang dewasa
normal. HbF terbatas hanya 1 sampai 7 persen dari sel darah merah (Harrison, 2014).
Sintesis heme pada prekursor sel darah merah berhubungan erat dengan produksi
rantai globin. Sintesis heme terjadi di sitosol. Dua molekul asam-aminolevulinat
bergambung membentuk struktur cincin, porfobilinogen. Pirol yang tidak berwarna ini
meningkat pada porfiria intermiten akut dan dapat dideteksi dalam urine dengan tes
Watson-Schwartz (Harrison, 2014).

d. Struktur dan fungsi hemoglobin


Fungsi utama sel darah merah adalah mengangkut oksigen dari paru ke jaringan
dan mengangkut CO2 dalam arah yang berlawanan. Kedua fungsi tersebut dipikul oleh
hemoglobin (Harrison, 2014).
Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dimodifikasi oleh ketiga kofaktor
intraseluler yaitu ion hidrogen, karbondioksida dan 2,3 bifosfogliserat. Peningkatan
konsentrasi masing-masing dari ketiga faktor ini mengakibatkan pergeseran ke kanan
pada kurva disosiasi oksigen. Pada sel darah merah manusia, 2,3 bifosfogliserat
merupakan regulator penting untuk fungsi hemoglobin. Satu molekul 2,3 bifosfogliserat
terikat pada rantai deoksihemoglobin, sehingga menurunkan afinitas oksigen.
Peningkatan kadar 2,3 bifosfogliserat terlihat pada berbagai keadaan hipoksia. Hasil
penurunan afinitas oksigen memungkinkan pelepasan oksigen. Oksigenasi dari organ atau
jaringan tertentu tergantng dari tiga faktor utama yaitu aliran darah, kapasitas pembawa
oksigen oleh darah (konsentrasi hemoglobin), afinitas hemoglobin untuk oksigen
(Harrison, 2014).

e. Metabolisme sel darah merah


Sel darah merah muncul dari sumsum tulang, sel ini kehilangan nukleus, ribosom
dan mitokondrianya karena pembelahan sel, sintesis protein dan fosforilasi oksidatif.
Glukosa merupakan satu-satunya bahan bakar yang digunakan ole sel darah merah.
Glukosa masuk kedalam sel darah merah melalui difusi terfasilitasi dan kemudian diubah

6
menjadi glukos 6 fosfat. Glukosa 6 fosfat diubah menjadi laktat saat melalui jalur
glikolisis (Harrison, 2014).
Kelangsungan hidup sel darah merah selama 120 hari. Membran sel darah merah
terdiri dari 50% protein, 40% lipid, dan 10% karbohidrat. Membran tersebut merupakan
lapisan ganda yang terdiri dari molekul fosfolipid dan kolesterol dengan perbandingan
1,2 : 1 yang tersusun dalam tumpukan lapisan sehingga bagian hidrofobik molekul
tersebut ditunjukkan ke arah dalam sementara kelompok sisi polar terdapat dipermukaan
luar sel (membran plasma) atau di permukaan dalam sitoplasma (Harrison, 2014).
Permukaan luar relatif kaya akan lesitin dan sfingomielin, sementara permukaan
dalam memiliki relatif lebih banyak fosfatidil serin dan fosfatidil etanolamin. Membrana
sel darah merah mengandung protein mayor dalam jumlah terbatas dan sejumlah besar
komponen minor. Protein ini dapat dibagi dalam 2 kelompok. Diantara kelompok
tersebut yang menghubungkan lipid lapisan ganda yakni glikoforin, yang mengandung
kelompok antigen darah polisakarida, dan ikatan 3 yang berfungsi sebagai saluran untuk
aliran anion masuk dan keluar sel darah merah. Protein ini seperti protein termasuk
protein struktural seperti spektrin dan aktin, interaksi untuk membentuk anyaman yang
melapisi permukaan sitoplasma dari membran (Harrison, 2014).
Kemungkinan besar penghancuran fisiologi eritrosit yang berumur 120 hari
adalah akibat hilangnya fleksibilitas membrana, yang mencegah sel untuk berrnegosiasi
dengan saluran lubang yang kecil dan sirkulasi makro, termasuk sinusoid pada limpa
(Harrison, 2014).
Setelah sel darah merah yang bertambah tua, hemoglobin siap untuk dikatabolis.
Asam amino dilepaskan oleh digesti proteolitik dan selanjutnya digunakan kembali atau
dimetabolisme. Kelompok heme dikatabolis oleh sistem oksidasi mikrosomal. Cincin
porfirin diubah menjadi pigmen empedu yang diekskresikan hampir secara kuantitati oleh
hati. Satu mol CO2 dibentuk dari stiap mol heme yang dihancurkan . Produksi
karbonmonoksida endogen secara langsung berkorelasi dengan penghancuran sel eritroid.
Besi yang dilepaskan selam katabolisme heme pada awalnya tergabung dalam cadangan
feritin protein, tetapi besi tersebut kemungkinan besar ditrasportasi ke prekursor eritroid
sumsum tulang oleh transferin, protein pengikat besi plasma (Harrison, 2014).

7
Jika produksi sel darah merah terganggu, mungkin terdapat penghancuran sel
eritroid yang bermakna dalam sumsum tulang. Sejumlah anemia ditandai oleh eritropoisis
yang inefektif, khususnya anemia yang pematangan eritroidnya abnormal secara
morfologis dan sel darah merah yang bersirkulasi dalam ukuran yang normal (Harrison,
2014).

2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab.
Berdasarkan etiopatogenesisnya, anemia dapat disebabkan oleh karena (PAPDI, 2014) :
a. Gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang.
1. Kekurangan bahan pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloptisik
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia diseritropoetik
- Anemia pada sindroma mielodiplastik
b. Kehilangan darah keluar tubuh (pendarahan)
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
c. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
- Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
- Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
- Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)

8
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
- Anemia hemolilitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopatik
- Lain-lain
d. Penyebab lain yang tidak diketahui atau dengan pathogenesis kompleks

Berdasarkan gambaran morfologinya, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis


anemia (PAPDI, 2014) :
a. Anemia normokromik normositer
Anemia normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis, dan
penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah
eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin, bentuk dan ukuran
eritrosit. Indeks eritrosit MCV 80-95 fl, MCH 27-34 pg. Yang termasuk di dalamnya
adalah :
- Anemia pasca perdarahan akut
- Anemia aplastik
- Anemia hemolitik didapat
- Anemia akibat kerja keras
- Anemia pada gagal ginjal kronik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
- Anemia pada keganasan hematologic

b. Anemia Makrositer
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. Ditemukan pada anemia megaloblastik,
serta anemia makrositik non-megaloblastik. Indeks eritrosit MCV > 95 fl.
- Bentuk megaloblastik seperti pada anemia defisiensi asam folat dan anemia
defisiensi vitamin B12.
- Bentukan non megaloblastik seperti pada anemia pada penyakit hati kronik, anemia
pada hipertiroidisme, dan anemia pada sindroma mielodisplastik.

9
c. Anemia Hipokromik Mikrositer
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. Indeks eritrosit MCV < 80fl, MCH <
27 pg. Yang termasuk disini adalah :
- Anemia defisiensi besi
- Thalasemia major
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik

Anemia berdasarkan morfologi eritrositnya adalah sebagai berikut.


1. ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER

A. ANEMIA APLASTIK
1. Definisi
Anemia aplastik atau hipoplastik terjadi karena cedera atau destruksi sel tunas
(stem cells) di dalam sumsum tulang atau matriks sumsum tulang sehingga terjadi
pansitopenia (anemia, leukopenia, serta trombositopenia) karena hipoplasia sumsum
tulang dan terpenuhi oleh jaringan lemak. Anemia aplastik adalah keadaan pansitopenia
yang disertai hiposelularitas sumsum tulang. (Kapita Selekta UI, 2014).
Terdapat kelompok anemia penting yang disebabkan oleh kelainan primer
sumsum tulang yang ditandai dengan gangguan pembentukan prekrusor eritopoitik.
Istilah anemia aplastik harus dibatasi untuk keadaan adanya hiposeluleritas susum tulang
yang berat ehingga terjadi pansitopenia. Walaupun jarang, pasien dapat mengalami
aplasia selektif hanya pada sel eritroid (Aplasia sel darah merah murni). Pada Anemia
mieloftisik, eritropoesis tertekan karena sumsum disebuk oleh tumor, granuloma, atau
fibrosis. Anemia dismielopoitik atau mielodisplastik berkaitan dengan neutropenia dan
trombositopenia dengan derajat berfariasi yang terjadi akibat gangguan didapat (Sel
induk) pluripoen hematopoitik (Harrison,2014).

10
2. Etiologi
Sebagian besar bersifat idiopatik. Anemia aplastik diperkirakan disebabkan oleh
cedera atau kerusakan sel induk pluripoten umum yang mengenai semua populasi sel
selanjutnya. Penyebab tersering yaitu (Harrison,2014) :
a. Kongenital (anemia idiopatik)
Anemia Fancocini, anemia aplastik konstitusional yang paling sering
ditemukan, merupkan penyakit yang paling sering diteukan, merupakan
penyakit yang diwariskan secara resesif autosom dan biasanya pada masa
kanak- kanan. Kelainan ini sering berkaitan dengan anomali kongenital
multipel, termasuk postur pendek, malformasi ginjal, hiperpigmentasi kulit,
dan kelainan tulang, terutama jempol tangan atau radus yang hipoplastik atau
tidak ada. Sebagian besar pasien memiliki kelainan kromosom yang
disebabkan oleh gangguan perbaikan DNA. Pasien yang dapat bertahan dari
penyulit gagal sumsum tulang progresif memiliki resiko tinggi mengalami
leukimia atau keganasan lain. Penyakit kongenital lain pernah dikaitkan dengan
kegagalan sumsum tulang, termasuk diskeratosis kongenital.
b. Imunologi (hipersensitivitas)
Sejumlah pengamatan klinis sampai pada konesp bahwa sejemlah kasus anemia
aplastik mungkin diperantarai oleh mekanisme imunologik. Pengamatan
tersebut adalah perbaikan setelah pemberian preparat immunosupresif untuk
tandur sumsum tulang autolog dan pada pasien perlunya pemberian preparat
imunosupresif untuk rekonstitusi hematopitik setelah transplantasi sumsum
tulang dari donor kembar identik. Berbagai teknik iakakn in vitro juga
menyongkong adanya proses imun seluler atau humoral pada bebearapa pasien
anemia aplastik. Namun identifikasi mekanisme imun pada suatu kasus
mungkin sulit dilakukan.
c. Obat dan toksin (benzen, klorampenikol)
Berbagai obat dan bahan kimia yan tampak tidak saling berkaitan diduga
penyebab kelainan anemia aplastik. Keterkaitan obat atau bahan terebut
bervariasi dari aplasia yanbg berkaitan dengan dosis sampai reaksi idiosinkratik
yang tidak berhubungan dengan dosis.

11
Obat yang pada dosis tertentu diperkirakan menimbulkan depresi sumsum
tulang adalah obat neoplastik dan imunosuprsifbersama dengan radiasi ionisasi.
Obat ini mencakup antagonnis asam folat, obat alkilasi, antrasiklin, dan
nitroseurea, serta analog purin dan pirimidin. Derajat aplasia berhubungan
dengan dosis tetapi dapat bervariasi dari individu ke individu. Efek kombinasi
kemoterapi dapat bersifat aditif . Penghentian obat biasanya memungkinkan
pemulihan sumsum tulang, walaupun kadang kadang aplasia yang terjadi
bersifat ireversibel.Aplasia sumsum tulang juga dapat disebabkan oleh karena
terapi sinar x, sinar x dosis rendah dengan paparan kronik, atau pajanan akut
dari kecelakaan laboraturium atau industri. Keparahan aplasia bergantung pada
dosis dan tingkat pajanan serta luasnya sumsum tulang yang teradiasi.
d. Infeksi (virus Ebstein-Barr, sitomegalovirus, parvovirus)
Sejumlah kasus anemia aplastik pernah dilaporkan timbul setelah hepatitis
infeksiosa. Hepatitis yang terjadi tidak dibedakan berdasarkan keparanhan nya,
dan anemia aplastik sering timbul setelah hepatitis mereda. Aplasia cenderung
berat dan sering menimbulkan kematian. Virus lain termasuk Ebstain-Barr,
diduga dapat menimbulkan anemia aplastik.Banyak kasus anemia aplastik yang
dikatakan idiopatik yang terjadi setelah mengalami infeksi saluran nafas virus
yang tampak ringan. Parvovirus secara selektif menginfeksi eritroblast
sehingga secara akut memperoleh anemia pada pasien hemolisis.
Beberapa pasien yang mengalami infeksi oleh HIV akan mengalami
pansitopenia dan sumsum tulang hipoplastik. Factor yang berperan adalah
penekanan langsung sel hematopoetik oleh virus, infeksi oportunistik misalnya
Sitomegalovirusdan obat Mielotokoksik misalnya trimetroprim-
sulfametoksazol dan azitdotimidn.
e. Radiasi kemoterapi

3. Patofisiologi
Anemia aplastik terjadi ketika sel-sel tunas (stem cell) yang rusak atau hancur
menghambat produksi sel darah. Yang lebih jarang terjadi, penyakit ini timbul ketika

12
mikrovaskular sumsum tulang yang rusak menciptakan lingkungan yang tidak
menguntungkan bagi pertumbuhan dan maturasi sel (Kowalak dkk, 2014).

4. Manifestasi Klinis
Awitan anemia aplastik biasanya pelan-pelan. Gejala awal adalah rasa lemah dan
kelelahan yang progresif karena anemia dan pendarahan dari kulit, hidung, gusi, vagina,
atau saluran cerna akibat trombositopenia. Pendarahan biasanya ringan, tetapi kadang-
kadang pendarahan retina atau susunan saraf pusat merupakan gejala awal. Walaupun
mengalami neutropenia berat, tetapi infeksi bakteri jarang merupakan gejala awal
penyakit (Harrison, 2014).
Pemeriksaan fisik memperlihatkan pasien tampak pucat. Petekie atau ekimosis
mungkin ditemukan di kulit, membrana mukosa, konjungtiva, dan fundus. Limfadenopati
dan hepatosplenomegali tidak ditemukan. Mungkin terdapat demam, tetapi walaupun
terdapat infeksi, tanda-tanda peradangan yang biasa mungkin tidak ditemukan karena
neutropenia(Harrison, 2014).

5. Klasifikasi
Perjalanan penyakit biasanya lebih ditentukan oleh keparahan aplasia dari pada
oleh etiologi. Derajat aplasia harus di perkirakan dengan cermat. Klasifikasi dan
karakteristik anemia aplastik adalah sebagai berikut (Harrison, 2014):
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastik berat Selularitas sumsum tulang < 25%
Sitopenia minimal dua dari :
Hitung neutrofil < 500/L
Hitung trombosit < 20.000/L
Hitung retikulosit absolute < 60.000/L
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti diatas, kecuali
Hitung neutrofil < 200/L
Anemia aplastik tidak berat Sumsum tulang hiposelular, namun sitopenia tidak
memenuhi kriteria berat

13
Bila dengan penyakit parah memiliki resiko tinggi untuk meninggal akibat pendarahan
atau infeksi dalam beberapa bulan, sedangkan yang dengan penyakit yang lebih ringan
mungkin dapat bertahan hidup bertahun-tahun. Pasien yang dapat bertahan jangka panjang
memiliki resiko menderita leukimia akut, sindroma mielodisplastik, atau paroxysmal
nocturnal hemoglobinuria (Harrison, 2014).

6. Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik dan penilaian keparahan relatifnya berbagantung pada evaluasi
laboraturium menyeluruh.
1. Darah tepi. Ditemukan anemia normokromik normositer, kadang makrositik yang
memperlihatkan eritropesis stress, anisositosis, poikilositosis, granulosit dan trombosit
ditemukan dalam jumlah rendah, limfositosis relative, retikulosit rendah atau normal.
Karena perdarahan serius dan atau infeksi, maka nilai trombosit dan neutrofil harus
ditentukan sejak awal dan diikuti secara berkala.
2. Laju endap darah (LED) selalu meningkat ( 89%kasus LED > 10mm/jam dalam jam
pertama)
3. Faal hemostasis, waktu perdarahan memanjang karena trombositopenia
4. Sumsum tulang, hiposelular atau aplastik yang terisi lemak, kepadatan sampai <25%.
Biasanya terdapat penekanan megakariosit dan sel sel myeloid dan menekanan mencolok
tetapi lebih ringan prekrusoro eritroid.

7. Penatalaksanaan
Penanganan yang efektif harus menyisihkan terlebih dahulu penyebab yang dapat
diidentifikasi dan melaksanakan tindakan suportif secara intensif, yang meliputi
(Harrison, 2014):
a. Tata laksana definitif. Transplantasi sumsum tulang (terapi pilihan bagi keadaan
anemia yang disebabkan oleh aplasia berat dan bagi yang memerlukan transfusi sel
darah merah secara terus-menerus). Pasien muda mentoleransi transplantasi sumsum
tulang lebih baik. Apabila berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200-
500/mm3 lebih mendapat manfaat dengan terapi imunosupresif.

14
b. Terapi suportif. Transfusi packed red cell (PRC) hingga kadar Hb 7-8 g/dL atau
plasma yang kaya akan trombosit, transfusi leukosit yang cocok antigennya dan
memiliki lokasi histokompabilitas.
c. Obat yang merangsang sumsum tulang : walau pun pasien dengan aplasia ringan
kadang- kadang berespon terhadap androgen, dan beberapa diantaranya tampaknya
memang dependen androgen, para pasien dengan aplasia berat biasanya tidak
responsive. Pasien aplasia ringan harus diobati dengan androgen dosis adekuat sebagai
terapi awal. Obat yang paling luas digunakan saat ini adalah oksimetolon,
fluoksimesteron dan nandrolon dekanoat. Reson dapat terjadi 3 sampai 6 bulan setelah
permulaan terapi. Pemberian factor pertumbuhan hematopoitik rekombinan, sendiri
atau dalam kombinasi, sedang dalam penelitian intensid. Saat ini, Granulosteo
macrophage colony stimulating factor sedikit banyak efektif meningkatkan jumlah
neutrofil, eusinofi dan monosit tetapi hanya berefek minimal pada pembentukan
trombosit atau sel darah merah.
d. Obat Imunosupresif: makin banyak bukti klinis dan laboraturium yang mengisyaratkan
bahwa 40-50 persen pasien akan memperlihatkan respon sempurna atau yang lebih
sering parsial terhadap berbagai obat imunosupresif. Spesifisitas dan mekanisme terapi
ini masih belum diketahui. Terapi yang paling sering diberikan adalah antiserum
hewan yang ditunjukan kepada limfosit dan monosit manusia. Efektivitas, serta dosis
dan lama pemberian, serum heterogen ini bervariasi danro nomor produksi kenomor
produksi. Efek samping serius dapat menyertai pemberian, serum heteroantiserum ini.
Obat imunosupresif siklosporin atau glukokortikoid dosis sangat tinggi dapat
memberikan hasil serupa.
e. Bagi pasien yang menderita leukopenia, tindakan khusus untuk mencegah infeksi
(menghindari pajanan penyakit menular, rajin mencuci tangan dan sebagainya).
f. Antibiotik yang spesifik untuk mengatasi infeksi, pemberian antibiotik tidak boleh
dilakukan sebagai terapi profilaksis karena dapat menimbulkan jalur mikroorganisme
yang persisten. Antibiotik spektrum luas diberikan melalui jalur parentral berupa
seftazidim atau kombinasi amionoglikosida, sefalosporin, dan penisilin.
g. Dukungan respiratorik melalui pemberian oksigen pada saat transfusi darah (bagi
pasien dengan hemoglobin rendah).

15
h. Kortikosteroid untuk menstimulasi eritropoisis, marrow stimulating agents, seperti
hormon androgen, preparat globulin antilimfosit, preparat imunosupresan (jika tidak
responsif terhadap terapi lain. Dan colony-stimulating factor untuk mendorong
pertumbuhan komponen sel yang spesifik.

8. Komplikasi
Komplikai anemia aplastik yang mungkin terjadi adalah pendarahan dari membran
mukosa yang dapat membawa kematian (Kowalak dkk, 2014).

A. ANEMIA HEMOLITIK
1. Definisi
Anemia yang disebabkan oleh lisis atau rusaknya eritrosit melalui berbagai
mekanisme dan faktor penyebab. Anemoia hemolitik secara umum dikenal berdasarkan
kelainan yang menyebabkan destruksi dini sel darah merah (Harrison, 2014). Di dalam
sirkulasi, sel darah merah secara normal dapat bertahan 90 sampai 120 hari. Masa hidup
sel darah merah dapat memendek pada sejumlah kelainan, yang sering menimbulkan
anemia karena sumsum tulang tidak mampu secara adekuat mengganti sel darah merah
yang rusak secara prematur.
Sel darah merah dapat mengalami lisis akibat pengeluarannya dari sirkulasi oleh
makrofag, terutama sel di limpa dan hati (lisis ektravaskuler), atau akibat kerusakan
membran selama bersirkulasi (hemolisis intravaskuler). Pada hemolisis intravaskuler,
pelepasan hemoglobin dapat menimbulkan hemoglobinuria. Kedua mekanisme tersebut
menyebabkan peningkatan katabolisme heme dan meningkatkan pembentukan bilirubin
tidak terkonjugasi tetrapirol, yang secara normal dimetabolisme oleh hati dengan
konjugasi dan kemudian diekskresi. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma
mungkin cukup tinggi sehingga menimbulkan ikterus. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi
(indirek)dapat semakin meningkat akibat gangguan transpor bilirubin yang sering
ditemukan (sindroma Gilbert). Pada pasien hemolisis, kadar bilirubin tidak terkonjugasi
tidak pernah melebihi 70 sampai 85 mmol/L (4 sampai 5 mg/dL), kecuali bila fungsi hati
terganggu (Harrison, 2014).
Pemeriksaan serum lain juga berguna dalam penilaian hemolisis. Haptoglobin
adalah globulin alfa yang terdapat dalam konsentrasi tinggi (kira-kira 1,0 gr/L) dalam

16
plasma dan serum. Zat ini berikatan secara spesifik dan kuat dengan protein (globin) di
hemoglobin. Kompleks hemoglobin-haptoglobin dibersihkan oleh sistem fagosit
mononukleus dalam beberapa menit. Dengan demikian kadar haptoglobin serum yang
mengalami hemolisis bermakna, baik intravaskuler maupun ekstravaskuler, menurun atau
hilang. Sintesi haptoglobin menurun pada pasien dengan riwayat penyakit hepatoseluler.
Sebaliknya sintesis meningkat pada keadaan peradangan. Hemoglobin plasma meningkat
sesuai dengan derajat hemolisis tetapi mungkin meningkat palsu akibat lisis sel darah
merah in vitro. Bila kapasitas plasma meningkat haptoglobin ada yang terlewati, maka
hemoglobin bebas akan menembus glomerulus ginjal. Hemoglobin yang tersaring ini
diserap kembali oleh tubulus proksimal, tempat zat tersebut mengalami katabolisme in
situ, dan besi heme bergabung ke dalam protein penyimpanan (ferritin dan hemosiderin).
Adanya hemosiderin dalam urin yang dideteksi dengan mewarnai sedimen dengan
Prussian-blue, mengisyaratkan bahwa telah terjadi filtrasi hemoglobin bebas dalam darah
oleh ginjal. Bila kapasitas absorbsi sel tubulus melampaui maka akan terjadi
hemoglobinuria. Adanya hemoglobinuria menandakan hemolisis intravasuler yang parah.
Untuk membedakan apakah hemoglobin atau mioglobin yang berada di dalam urin maka
dapat dilakukan pemeriksaan spesimen darah yang ditambahkan antikoagulan dan
dipusing. Plasma pasien hemoglobinuria berwarna coklat kemerahan. Sebaliknya plasma
mioglobinuria tampak normal. Karena berat molekulnya lebih tinggi, maka hemoglobin
memiliki permeabilitas glomerulus yang lebih rendah dari pada mioglobin dan lebih sulit
dibersihkan oleh ginjal (Harrison, 2014).

2. Patofisiologi
Antibodi IgG menyebabkan kerusakan sel melalui dua mekanisme, yaitu
perlekatan sel darah merah secara imunologik ke sel perusak sistem imun yang
diperantarai oleh antibodi itu sendiri atau komponen komplemen, yang menyebabkan
rupturnya membran. Pada perlekatan imun yang diperantarai oleh IgG, antibodi yang
terikat bereaksi dengan reseptor Fc pada makrofag, hal ini menyebabkan target (sel darah
merah) terikat ke perusak (retikuloendotel) dan mengaktifasi proses fagositik sehingga
terjadi internalisasi dan kerusakan target. Perlekatan imun yang diperantarai oleh
komplemen diperantarai oleh C3b dan C4b yang berinteraksi dengan serangkaian

17
reseptor pada makrofag, mekanisme ini lebih kecil kemungkinannya menyebabkan
destruksi target tetapi sangat meningkatkan perlekatan imun akibat IgG. Perlekatan imun
juga ditingkatkan oleh sirkulasi limpa yang khas, yang menyebabkan sel berkontak erat
dengan sel fagositik. Bila internalisasi terjadi hanya parsial, yang dihilangkan terutama
adalah membrana, hal ini menyebabkan terbentuknya sferosit. Sferosit ini tidak mampu
melewati fenestrasi di dinding sinus limpa sehingga menumpuk di dalam limpa yang
dihancurkan (Harrison, 2014).
Lisis oleh efek lisis komplemen secara langsung jarang terjadi karena mekanisme
yang menekan aktivitas ini bekerja sedemikian efektif sehingga hanya sedikit yang
terselesaikan untuk merusak membrana sel (Harrison, 2014).

3. Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia seperti lemah, pusing, mudah lelah, dan sesak. Gejala
kuning dan urin kecoklatan jarang dilaporkan. Kulit dan mukosa ikterik pada
pemeriksaan fisik disertai splenomegali. Anamnesis mengenai riwayat pemakaian obat
sangat penting. Riwayat keluarga terutama bermanfaat dalam jenis anemia hemolitik
yang diturunkan. Pemeriksaan jasmani pasien jugga memberikan keterangan sama
baiknya. Ikterus dan splenomegali dijumpai pada berbagai jenis anemia hemolitik
(Harrison, 2014).

4 . Klasifikasi dan Diagnosis


Berdasarkan keterlibatan immunoglobulin anemia hemolitik dibedakan menjadi anemia
hemolitik imun dan non imun.
Anemia Hemolitik Imun Anemia Hemolitik Non Imun
Definisi : suatu kelainan akibat adanya Definisi : anemia akibat kerusakan eritrosit
antibodi terhadap sel sel eritrosit sehingga yang lebih cepat daripada kemampuan
umur eritrosit memendek. Diakibatkan oleh eritropoisis sumsum tulang dan terjadi tanpa
aktivasi sistem komplemen yang melibatkan immunoglobulin
menyebabkan hemolisis intravaskular,
aktivasi mekanisme selular yang
menyebabkan hemolisis ekstravaskular atau

18
kombinasi keduanya
Etiologi dan Klasifikasi Etiologi dan Klasifikasi
Antibodi penyebab hemolisis eritrosit belum Berdasarkan etiologi :
diketahui jelas. 1. Herediter
1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) a. Defek enzim
a. AIHA tipe hangat Defek jalur Embden Mayerhoff,
Bereaksi optimal pada suhu 370C. defisiensi piruvat kinase, defisiensi
70% dari kasus AIHA. 50% disertai glukosafosfatisomerase, defisiensi
penyakit lain. fofogliserat-kinase
Gejala : anemia, ikterik, demam, urin b. Defek jalur heksosa monofosfat
gelap, hepatosplenomegali, dan Defisiensi glukosa 6-
limfadenopati. fosfatdehidrogenase (G6PD)
Penunjang : anemia berat, retikulosit c. Hemoglobinopati : talasemia, sickle
200.000-600.000/ L, sferositosis, cell anemia, dan lainnya
dan uji comb direk + (IgG). d. Defek membran : sferositosis
Terapi : prednisone 1-1,5 mg/kgBB herediter
/hari oral, imunosupresan (azatriopin, 2. Aquried/Didapat
siklofosfamid), danazol 600-800 a. Idiopatik, keganasan, obat, infeksi,
mg/hari, dan transfuse (Hb<3g/dL) transfuse
b. AIHA tipe dingin b. Mikroangiopati : trombototik
Bersifat kronis diperantarai trombositopenia purpura (TTP),
agglutinin dingin (IgM) dan antibodi sindrom uremik hemolitik, koagulasi
Donath Landstainer. intravaskular diseminata (DIC),
Gejala : anemia ringan, akrasianosis preeklamsia, eklamsia, hipertensi
(biru keunguan pada ekstremitas, maligna, penggunaan katup prostetik.
hidung, dan telinga saat terpapar c. Infeksi : babesiosis, malaria,
dingin), dan splenomegali. Clostridium sp
Penunjang : anemia ringan,
retikulositosis ringan, sferositosis,
polikromatosis, uji comb direk +
(IgM), antibodi (anti I-/anti-M/anti-

19
Pr/anti-P) positif.
Terapi : hindari dingin, klorambusil
2-4mg/hari, mencari penyebab dapat
berupa keganasan limfoproliferatif.
c. Paroxysmal cold hemoglobinuria
Jarang, sering berkaitan dengan
sifilis. Umumnya prognosis baik dan
berespon dengan pengobtan sifilis.
d. AIHA atipik
Tes immunoglobulin negatif.
Merupakan kombinasi tipe hangat
dan dingin.
2. Anemia hemolitik imun diinduksi obat
Golongan penisilin, kinin, kuinidin,
sulfonamide, sulfonylurea, tiazid,
metildopa, nitrofurantoin, fenazopiridin,
dan aspirin.
3. Anemia hemolitik imun diinduksi
aloantibodi
Reaksi hemolitik akibat transfuse dan
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.

Diagnosis anemia hemolitik ditegakkan berdasarkan :


1. Manifestasi klinis
2. Pemeriksaan darah : penurunan jumlah Hb
3. Pemeriksaan hapusan darah tepi : morfologi eritrosit dan peningkatan retikulosit
4. Tanda hemolisis lainnya :
- Peningkatan bilirubin indirek dan hemoglobinuria
- Kadar LDH-2 dan SGOT meningkat dapat menunjukkan adanya percepatan destruksi
eritrosit jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain

20
- Hiperplasia eritroid di sumsum tulang

5. Penatalaksanaan
Pada kelainan hemolisis bermakna, terapi awal terdiri dari glukokortikoid (mis.
Prednison 1mg/kg per hari) . Peningkatan hemoglobin sering terjadi dalam 3 sampai 4 hari
dan dalam 1 minggu pada sebagian besar pasien. Prednison dilanjutkan sampai kadar
hemoglobin meningkat mencapai kadar normal, kemudian obat diturunkan perlahan-lahan
dalam waktu beberapa bulan. Lebih dari 75 persen pasien akan mengalami pengurangan
hemolisis yang bermakna dan menetap, akan tetapi, pada separuh pasien dengan penyakit ini
akan kambuh ketika periode penurunan dosis prednison atau setelah obat ini dihentikan.
Steroid tampaknya memiliki dua cara kerja yaitu efek segera akibat inhibisi terhadap klirens
sel-sel darah merah (yang dilapisi oleh IgG) oleh sistem fagosit mononukleus dan efek lambat
akibat inhibisi sintesis antibodi oleh steroid (Harrison, 2014).
Pasien dengan anemia berat memerlukan transfusi darah. Karena antibodi pada
penyakit ini adalah panaglutinin, yang bereaksi terhadap hampir semua sel donor normal,
sehingga pencocokan silang yang lazim tidak dapat dilakukan. Tujuan memilih darah untuk
transfusi adalah untuk menghindari pemberian sel darah merah yang memiliki antigen
dikarenakan pasien telah tersensitisasi terhadapnya dan yang diketahui berkaitan dengan lisis
komplemen dan hemolisisi intravaskuler. Selain golongan A dan B, golongan Kell, Kidd dan
Duffy merupakan contoh penyebab sebagian besar hemolisis jenis ini. Tindakan yang sering
dilakukan adalah menyerap panuglutinin yang terdapat di dalam serum pasien dengan sel
darah merah pasien sendiri yang antibodinya telah dihilangkan sebelumnya. Serum yang
telah dibebaskan dari antibodi dengan cara ini kemudian dapat diperiksa ada tidaknya
aloantibodi terhadap golongan darah donor spesifik. Sel darah merah yang cocok ABOnya
dengan cara ini diberikan secara lambat, disertai perhatian terhadap kemungkinan timbulnya
reaksi transfusi tipe cepat (Harrison, 2014).
Splenektomi adalah terapi lini kedua pada anemia hemolitik imunologik akibat IgG.
Tindakan ini dianjurkan untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi atau tidak berespon
terhadap terapi steroid. Untuk mencegah infeksi pneumokokus, risiko pada pasien yang
mengalami splenektomi, pasien harus diimunisasi dengan antiserum pneumokokus polivalen
(Harrison, 2014).

21
Pasien yang refrakter terhadap pengobatan steroid dan splenektomi dapat dicoba terapi
dengan obat imunosupresif (azatioprin dan siklofosfamid). Kedua obat ini dilaporkan
memberikan keberhasilan dengan tingkat yang bervariasi. Globulin gama intravena dapat
digunakan bila diperlukan penghentian hemolisis yang segera. Namun, terapi ini tidak terlalu
efektif bila dibandingkan dengan penggunaannya pada trombositopenia imunologik (Harrison,
2014).
Pada sebagian besar pasien, penyakit ini dapat dikontrol hanya dengan terapi steroid,
splenektomi, atau dengan kombinasi keduanya. Pada sebagian besar sisanya, dapat dicapai
kontrol parsial (Harrison, 2014).

6. Komplikasi
Kematian dapat terjadi pada tiga kategori pasien yaitu, pasien dengan hemolisis berat
yang kematiannya disebabkan oleh anemia, pasien yang mengalami trombosis mayor yang
terjadi bersama dengan hemolisis aktif dan pasien yang daya tahan tubuhnya terganggu
akibat glukokortikoid, splenektomi, dan imunosupresif. Pada pasien lain, prognosis terutama
ditentukan oleh penyakit primernya (Harrison, 2014).

2. ANEMIA HIPERKROMIK MAKROSITER


A. ANEMIA MEGALOBLASTIK
1. Definisi
Anemia megaloblastik merupakan anemia defisiensi asam folat yang sering terjadi dan
berjalan progresif secara lambat. Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA. Sel yang terutama terkena adalah sel prekursor
hematopoitik dan sel epitel gastrointestinal. Pembelahan sel melambat, tetapi perkembangan
sitoplasma normal, sehingga sel megaloblastik cenderung mengalami kerusakan dalam
jumlah besar di sumsum tulang, keadaan ini disebut dengan eritropoisis inefektif (Harrison,
2014). Anemia jenis ini terdapat pada bayi, remaja, ibu hamil dan menyusui, peminum
minuman keras (alkohol), lanjut usia, dan pasien dengan penyakit yang malignan atau
penyakit intestinal (Kowalak dkk, 2014).

22
2. Etiologi
Penyebab dari anemia megaloblastik antara lain (Harrison, 2014):
a. Asupan yang tidak adekuat. Asam folat banyak terdapat pada daging, susu, dan
sayuran hijau. Diet yang buruk yang sering ditemukan pada lansia yang hidup
sendirian, bayi khususnya yang menderita infeksi atau diare, dan pada pecandu
alkohol karena alkohol dapat menekan efek metabolik asam folat.
b. Kerusakan absorbsi akibat disfungsi yang disebabkan oleh reseksi usus dan penyakit,
seperti penyakit seliak, tropical sprue, serta yeyunitis regional.
c. Bakteri yang bersaing untuk mendapatkan asam folat yang ada.
d. Cara memasak yang berlebihan sehingga dapat merusak sejumlah besar asam folat
yang terkandung di dalam makanan.
e. Kemampuan penyimpanan asam folat yang terbatas pada bayi.
f. Terapi obat yang lama (penghambat langsung sintesis DNA, antagonis folat seperti
metotrexat dan pentamidin, obat antikonvulsan serta estrogen yang juga mencakup
pil KB)
g. Peningkatan kebutuhan akan asam folat selama kehamilan, pertumbuhan yang cepat
pada bayi (sering ditemukan akibat peningkatan kebutuhan yang baru saja terjadi
untuk kelangsungan hidup bayi prematur) , selama masa kanak-kank serta remaja
(karena penggunaan susu sapi yang kurang mengandung asam folat) dan pada pasien
yang menderita penyakit keganasan (neoplasma) serta penyakit kulit tertentu
(dermatitis eksfoliatifa kronis).

3. Patofisiologi
Asam folat (asam pteroilglutamat, folasin) bekerja sebagai koenzim pada berbagai proses
metabolisme yang melibatkan pemindahan satu atom karbon. Asam folat merupakan zat gizi
esensial bagi pembentukan serta maturasi sel darah merah dan bagi sintesis asam
deoksiribonukleat. Meskipun simpanannya dalam tubuh relatif kecil, namun vitamin ini
banyak ditemukan pada sebagian besar makanan gizi seimbang (Kowalak dkk, 2014).
Asam folat bersifat larut dalam air dan labil dalam terhadap panas, asam folat mudah
rusak pada saat makanan dimasak, juga terdapat sekitar 20% asupan asam folat yang kurang
setiap hari (kurang dari 50 kg/hari) biasanya akan menimbulkan defisiensi asam folat dalam

23
tempo empat bulan setelah simpanan tubuh di dalam hati habis terpakai. Keadaan defisiensi
ini menghambat pertumbuhan, khususnya sel darah merah, sehingga sel darah merah yang
diproduksi hanya sedikit dan mengalami deformitas. Sel darah berukuran besar yang
merupakan ciri khas anemia megaloblastik memiliki rentang hidup yang pendek, yaitu hanya
beberapa minggu (Kowalak dkk, 2014).

4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari pasien dengan anemia megaloblastik akibat kekurangan vitamin
B12 adalah rasa lemah, kepala terasa ringan, vertigo dan tinitus, serta berdebar-debar,
angina, dan gejala gejala gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan jasmani, pasien yang
mengalami defisiensi berat kobalamin tampak pucat dengan kulit dan mata yang sedikit
ikterik. Nadi cepat, dan jantung mngkin membesar, pada auskultasi biasanya terdengar
murmur aliran sistolik. Pada pasien defisiensi asam folat tidak ditemukan kelainan
neurologis yang membedakan dengan defisiensi vitamin B12. (Harrison, 2014).
Pada saluran cerna mencerminkan efek defisiensi kobalamin pada epitel gastrointestinal
yang cepat berproliferasi. Pasien kadang-kadang mengeluh nyeri lidah, pada inspeksi
tampak licin dan berwarna merah daging. Dapat dijumpai anoreksia dengan penurunan
sedang pada berat badan, disertai diare dan gejala gastrointestinalis. Hal tersebut mungkin
disebabkan oleh megaloblastosis epitel usus halus, yang mengakibatkan malabsorbsi
(Harrison, 2014).

5. Diagnosis
Profil hematologik pada anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat adalah :
1. Pemeriksaan hapusan darah tepi ditemukan anisositosis yang mencolok dan
poikilositosis, serta makroovalosit, yaitu eritrosit yang mengalami
hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik.
Beberapa stippling basofilik ditemui dan kadang-kadang ditemukan pula sel
darah merah berinti. Pada turunan sel darah putih, neutrofil memperlihatkan
hipersegmentasi nukleus. Temuan ini sangat khas sehingga ditemukan sebuah sel
dengan nukleus enam lobus atau lebih megharuskan kita untuk mencurigai

24
adanya anemia megaloblastik. Walaupun jarang mielosit dapat ditemukan.
Trombosit yang berbentuk aneh juga dapat dijumpai.
2. Pemeriksaan Sumsum tulang tampak hiperseluler dengan penurunan rasio
mieloid/eritroid dan peningkatan besi. Prekursor sel darah merah berukuran
besar dan intinya tampak kurang matang dibandingkan dengan perkembangan
sitoplasmanya. Kromatin nukleus lebih tersebar sehingga warnanya kurang pekat
dibandingkan dengan normal. Kromatin memadat dalam pola berpori aneh yang
sangat khas untuk eritropoisis megaloblastik. Mitosisi abnormal dapat
ditemukan. Prekursor granulosit juga terpengaruh, banyak yang berukuran lebih
besar dari pada normal, termasuk adanya pita raksasa dan metamielosit.
Megakariosit menurun dan memperlihatkan morfologi yang abnormal
3. Kadar asam folat serum < 4ng/mL (normal 6-20 ng/mL)
4. Defisiensi vitamin spesifik dengan kadar kobalamin (Rentang normal kobalamin
dalam serum adalah 200 sampai 900 pg/mL). Bila defisiensi kobalamin telah
dipastikan, maka patogenesisnya dapat diketahui dengan melakukan Uji
Schilling. Uji Schilling dapat memberikan keterangan yang cukup handal setelah
pasien mendapat terapi kobalamin parenteral yang adekuat (Harrison, 2014).
5. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase
(isoenzim 1) dalam plasma dan enurunan inkorporasi besi berlabel ke dalam sel
darah merah dalam sirkulasi

Diagnosis banding adalah anemia pernisiosa akibat defisiensi vitamin B12 / cobalamin).
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya faktor intrinsic akibat atrofi mukosa atau destruksi sel
parietal lambung.

6. Penatalaksanaan
Prioritas penanganan yang pertama adalah menentukan penyebab yang melatari
anemia. Hanya dengan tindakan ini, terapi zat besi dapat dimulai. Penanganan yang dapat
dilakukan meliputi (Kowalak dkk, 2014):
a. Pemberian preparat oral zat besi (terapi pilihan) atau kombinasi besi dengan asam
askorbat (yang akan meningkatkan absorbsi besi)

25
b. Penyutikan besi parenteral bagi pasien yang tidak bisa diterapi dengan pemberian
preparat oral dan memerlukan zat besi lebih banyak dari pada jumlah yang bisa
berikan per oral dan bagi pasien dengan malabsorbsi yang menghalangi
penyerapan zat besi yang memadai, atau untuk menghasilkan regenerasi
hemoglobin dengan kecepatan maksimal.
c. Karena pemberian suplemen besi IV tidak menimbulkan rasa nyeri dan
memerlukan suntikan dengan frekuensi lebih sedikit, biasanya cara pemberian ini
lebih disukai dari pada pemberian IM. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
d. Pemberian total besi-dekstran (InFeD) melalui infus dalam larutan normal saline
dilaksanakan selama satu hingga 8 jam (pada pasien hamil dan geriatri dengan
anemia berat).
e. Tes alergi dengan dosis 0,5 ml yang disuntikkan dahulu secara IV untuk
mengurangi resiko alergi.
7. Komplikasi
Anemia megaloblastik tidak menimbulkan komplikasi

3. ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER


a. Anemia Defisiensi Besi
1. Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan gangguan transportasi oksigen yang dikarekan
defisiensi sintesis hemoglobin (Harrison, 2014).

2. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menjadi kausa dari anemia defisiensi besi diantaranya (Bakta
IM,2007; Sacher RA,2000)
1. Kehilangan darah yang bersifat kronis dan patologis:
a. Yang paling sering adalah perdarahan uterus ( menorrhagi, metrorrhagia) pada
wanita, perdarahan gastrointestinal diantaranya adalah ulcus pepticum, varices
esophagus, gastritis, hernia hiatus , diverikulitis, karsinoma lambung, karsinoma
sekum, karsinoma kolon, maupun karsinoma rectum, infestasi cacing tambang,
angiodisplasia. Konsumsi alkohol atau aspirin yang berlebihan dapat

26
menyebabkan gastritis, hal ini tanpa disadari terjadi kehilangan darah sedikit-
sedikit tapi berlangsung terus menerus.
b. Yang jarang adalah perdarahan saluran kemih, yang disebabkan tumor, batu
ataupun infeksi kandung kemih atau perdarahan saluran nafas (hemoptoe).
2. Kebutuhan yang meningkat pada prematuritas, pada masa pertumbuhan [remaja],
kehamilan, wanita menyusui, wanita menstruasi. Pertumbuhan yang sangat cepat
disertai dengan penambahan volume darah yang banyak, tentu akan meningkatkan
kebutuhan besi
3. Malabsorbsi : sering terjadi akibat dari penyakit coeliac, gastritis atropi dan pada
pasien setelah dilakukan gastrektomi.
4. Diet yang buruk/ diet rendah besi Merupakan faktor yang banyak terjadi di negara
yang sedang berkembang dimana faktor ekonomi yang kurang dan latar belakang
pendidikan yang rendah sehingga pengetahuan mereka sangat terbatas mengenai diet/
asupan yang banyak mengandung zat besi. Beberapa makanan yang mengandung besi
tinggi adalah daging, telur, ikan, hati, kacang kedelai, kerang, tahu, gandum. Yang
dapat membantu penyerapan besi adalah vitamin C, cuka, kecap. Dan yang dapat
menghambat penyerapan besi adalah mengkonsumsi banyak serat sayuran, the dan
kopi.

2. Patofisiologi
Anemia defisiensi zat besi terjadi ketika pasokan zat besi tidak mencukupi bagi
pembentukan sel darah merah yang optimal sehingga terbentuk sel-sel yang berukuran
lebih kecil (mikrositik) dengan warna lebih muda (hipokromik) ketika dilakukan
pewarnaan. Simpanan besi di dalam tubuh yang juga mencakup besi plasma akan habis
terpakai dan konsentrasi transferin serum yang mengikat besi untuk transportasinya akan
menurun. Simpanan besi yang kurang akan menimbulkan deplesi massa sel darah merah
disertai konsentrasi hemoglobin dibawah normal, dan selanjutnya kapasitas darah untuk
mengangkut oksigen juga berada di bawah kondisi normal (Kowalak dkk, 2014).

27
3. Manifestasi Klinis
Defisiensi zat besi dapat mengganggu pertumbuhan dan proliferasi sel. Gejala yang
ditimbulkan berupa gejala umum anemia, yaitu rasa lemah, kelelahan, palpitasi, kadang-
kadang dapat terjadi dypsnea akibat kerja. Setelah sel dari sumsum tulang, sel dari saluran
makanan berproliferasi paling aktif. Akibatnya, banyak gejala dan tanda anemia defisiensi
besi yang terlokalisir pada sistem organ sehingga timbul gejala khas anemia desiensi besi
berupa glositis, stomatitis angularis, club finger, koilonikia, dan pica.
Glositis yang ditandai dengan lidah yang kemerahan, bengkak, licin, bersinar dan
lunak muncul secara sporadis. Stomatitis angular melibatkan erosi, kerapuhan dan bengkak
di sudut mulut. Atrofi lambung dengan aklorhidria kadang-kadang muncul. Selaput
pascakrikoid (Sindroma Plummer- Vinson) dapat berkembang akibat defisiensi zat besi yang
lama. Koilonikia atau kuku berbentuk sendok merupakan hasil dari pertumbuhan lambat dari
lapisan kuku akibat hilangnya konveksitas longitudinal dan lateral serta penebalan pada
ujung distal kuku. Pica yaitu pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat
dikendalikan terhadap bahan seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia) dan tanah liat
(geofagia). Bahan-bahan tersebut dapat mengikat zat besi pada saluran makanan, sehingga
dapat memperburuk defisiensi (Harrison, 2014).

4. Klasifikasi dan Diagnosis


Defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Deplesi besi (iron depleted state) : keadaan dimana cadangan besinya menurun,
tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu. Dilakukan aspirasi
sumsum tulang dengan pewarnaan Prussian-Blue yang menunjukkan adanya
penurunan atau tidak zat besi pada makrofag.
2. Eritropoesis Defisiensi Besi (iron deficient erytropoesis) : keadaan dimana
cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis sudah terganggu.
pada stadium ini zat besi berkurang tanpa adanya anemia, TIBC atau kapasitas ikat
besi total meningkat, penurunan mendadak zat besi serum, saturasi fraksional
transferin turun secara mencolok. Hasilnya sel darah merah dalam sirkulasi menjadi
mikrositik dan hipokromik.

28
3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah
tampak gejala anemia defisiensi besi. dimana sel darah merah menjadi sangat
hipokromik dan makrositik. Sering hanya kerangka tipis sitoplasma yang muncul di
tepi sel darah merah. Fragmen kecil dan poikilositosis dapat terlihat. Membran
eritrosit yang mengalami defisiensi zat besi menjadi kaku. Kelangsungan hidup sel
darah merah menjadi pendek di sirkulasi, leukosit normal, trombosit normal atau
meningkat, sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid sedang. Jumlah
reseptor transferin meningkat pada pasien dengan defisiensi zat besi karena reseptor
transferin dilepaskan dari membran plasma sel dan dapat dideteksi dalam plasma.
Sumber utama reseptor transferin adalah sel hematopoetik di sumsum tulang
(Harrison, 2014).

Diagnosis didasarkan atas :


1. Manifestasi klinis Anemia defisiensi besi
2. Profil hematologik Anemia defisiensi besi:
- Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun (laki-
laki kurang dari 12 g/dl, wanita kurang dari 10 g/dl). Nilai hematokrit yang
rendah (laki-laki kurang dari 47, wanita kurang dari 42)
- Apusan darah tepi ditemukan gambaran hipokromik mikrositer, anisositosis,
poikilositosis, sel cincin, sel pensil
- Fe serum (serum besi) < 50L
- Total iron binding capacity (TIBC) meningkat sampai > 30 L/dL
- Saturasi transferin < 15%
- Feritin serum (serum feritin) < 20 mg/L
- Deplesi atau tidak ada simpanan zat besi (dengan pewarnaan khusus) dan
hiperplasia sel-sel prekursor yang normal (dengan pemeriksaan sumsum
tulang).
- Penegakan diagnosis harus meliputi pula penyingkiran kemungkinan
penyebab anemia yang lain seperti thalasemia minor, kanker, dan penyakit
inflamasi kronik, penyakit hepar atau pun renal.

29
5. Penatalaksanaan
1. Terapi kausal. Dengan mengatasi penyebab perdarahan misalnya akibat cacing
tambang.
2. Pemberian preparat besi. Sulfas ferosus yang mengandung 50 mg elemen zat besi
pertablet 325 mg. Diberikan sebanyak tiga kali sehari, selama 3-6 bulan. Paling baik
diabsorbsi bila dikonsumsi di antara waktu makan. Efek samping dari obat ini dapat
menimbulkan kembung, rasa penuh dan rasa sakit di perut. Pilihan lain berupa
Glukonat ferosus dan laktat ferosus mengandung 150 mg elemen besi, paling baik
diabsorbsi bila dikonsumsi di antara waktu makan. Dapat diberikan preparat vitamin
C untuk meningkatkan penyerapan zat besi (Harrison, 2014). Waktu pemberian besi
peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan cadangan besi tubuh kalau
tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi peroral ini
menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu dan
perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4 minggu, dimana akan
terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti
terapi dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi
cadangan besi tubuh. Jika pemberian terapi besi peroral ini responnya kurang baik,
perlu dipikirkan kemungkinan kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat
besi parenteral.
3. Terapi besi parenteral. Iron dextran complex (50 mg/mL) subkutan atau intravena
pelan. Tujuannya untuk mengembalikan kadar Hb dan mengisi besi hingga 50-100
mg. Dosis kebutuhan besi (mg) = [(15-Hb pasien)xBBx2,4] + [500-1000mg]. rute
parenteral hanya diberikan apabila ada indikasi sebagai berikut.
- Intoleransi terhadap pemberian besi oral.
- Kepatuhan terhadap pemberian besi oral yang rendah
- Gangguan pencernaan yg kambuh bila diberi preparat oral seperti colitis
ulseratif
- Penyerapan besi oral terganggu seperti pada pasien gastrektomi
- Kehilangan darah dalam jumlah besar
- Kebutuhan besar dalam waktu singkat seperti persiapan operasi

30
- Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronis.
Pasien yang tidak berespon terhadap penggantian zat besi adalah akibat, diagnosis
yang tidak benar, tidak patuh, kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian,
supresi sumsum tulang oleh tumor atau radang kronik, malabsorbsi (Harrison, 2014).

7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi infeksi dan pneumonia, pika yaitu
dorongan kompulsif untuk memakan bahan-bahan yang bukan makanan seperti tanah
atau tepung/ pati, perdarahan, overdosis suplemen besi oral atau IM (Kowalak dkk,
2014).

b. Anemia Akibat Penyakit Kronik


1. Definisi
Anemia yang dijumpai pada pasien dengan infeksi, inflamasi kronis, maupun
keganasan. Anemia ini umumnya bersifat ringan atau sedang disertai dengan rasa lelah
atau penurunan berat badan.

2. Etiologi
1. Dihubungkan dengan penyakit kronis seperti TB paru, abses paru, endokarditis
bakterialis, osteomielitis, infeksi jamur kronis, HIV/AIDS. Anemia terjadi 1-2 bulan
setelah infeksi.
2. Inflamasi kronis seperti rheumatoid atritis, enteritis, colitis ulceratif. Penyakit kolagen
dan atritis rheumatoid merupakan penyebab tersering.
3. Keganasan (neoplasma) seperti limpoma dan sarcoma. Disebut juga cancer-related
anemia.

3. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis anemia dikaburkan oleh penyakit utamanya. Umumnya terjadi
anemia ringan atau sedang (Hb 7-11 g/dL). Pada pemeriksaan fisik hanya dijumpai
konjungtiva pucat.

31
4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan profil hematologik berikut dengan penyakit kronis
yang menyertai :
1. Morfologi eritrosit normokrimik normositer meskipun banyak juga yang
mengalami gambaran hipokromik mikrositer
2. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat.
3. Kadar besi serum menurun terjadi setelah awitan suatu infeksi atau inflamasi,
mendahului terjadinya anemia. TIBC rendah, kadar besi pada sumsum tulang
normal, kadar feritin normal atau meningkat dan transferin menurun.
5. Penatalaksanaan
Terapi utama adalah mengobati penyakit dasar. Pada kasus yang disertai gangguan
hemodinamik dapat diberikan transfusi sampai kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.
Pemberian preparat besi tidak direkomendasikan. Pemberian eritropoetin diberikan hanya
pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma multiple, atritis rheumatoid,
dan pasien HIV.

c. Anemia Sideroblastik
1. Definisi
Anemia sideroblastik merupakan kelompok gangguan heterogen dengan defek yang
umum, yaitu penyakit ini tidak mampu menggunakan zat besi dalam sintesis hemoglobin
meskipun simpanan besi tersedia dalam jumlah memadai. Anemia ini bersifat akusiter
atau didapat (Harrison, 2014).
Anemia sideroblastik ditandai oleh sideroblas bercincin pada prekursor eritroid yang
ternukleasi di dalam sumsum tulang. Lebih dari 10 persen normoblast mengandung
mitokondria berlapis zat besi yang mengelilingi nukleus dan muncul sebagai cincin yang
patognomonik dengan pewarnaan Prussian-blue. Gambaran lain berupa hiperplasia
eutiroid sumsum tulang dengan penurunan produksi sel darah merah , populasi sel darah
merah mikrositik hipokrom yang merefleksikan sintesis heme yang terganggu, dan
peningkatan nyata zat besi serum dan saturasi transferin (Harrison, 2014)

32
Anemia sideroblastik herediter merpakan kelainan terangkai X yang jarang. Aktivitas
asam levulinat sintetase yang tidak sempurna, enzim inisial dan pembatasan kecepatan
pada biosintesis heme. Obat etanol dan isoniazid dengan defisiensi asam folatdapat
mengganggu heme dan timbal. Sideroblastik bercincin dijumpai pada penyalahgunaan
alkohol, terutama pada keadaan yang bersamaan dan malnutrisi. Anemia sideroblastik
sekunder adalah suatu keadaan tidak dapat disembuhkan keganasan terutama mieloma
multiple dengan obat alkaliasi kemoterapi. Anemia sideroblastik yang di dapat adalah
idiopatik dan muncul secara spontan padaindividu yang lebih tua. Anemia sideroblastik
tidak dapat disembuhkan dari leukemia mielogenosa akut (Harrison, 2014).

2. Etiologi
Anemia sideroblastik herediter tampaknya diturunkan melalui (Kowalak dkk, 2014):
a Pewarisan terkait-X (X-linked) yang teruma terjadi pada laki-laki muda (wanita
yang menjadi karier biasanya tidak menunjukkan tanda klinis)
b Bentuk akuisita dapat terjadi sekunder karena konsumsi atau terkena zat toksik
(sepeti alkohol serta timbal) atau obat (seperti isoniasid serta kloramfenikol)
c Penyakit lain seperti arthritis rematoid, lupus eritematosus, multiple mieloma,
tuberkulosis, dan infeksi yang berat.

3. Patofisiologi
Pada anemia sideroblastik, sel-sel normoblas tidak dapat menggunakan zat besi untuk
mensintesis hemoglobin. Sebagai akibatnya, zat besi akan mengendap dalam mitokondria
sel normoblast yang kemudian dinamakan sideroblast bercincin (ringed sideroblasts).
Intoksikasi besi dapat menyebabkan kerusakan organ, jika tidak ditangani, keadaan ini
dapat merusak nukleus prekursor sel darah merah(Kowalak dkk, 2014).

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin terjadi pada anemia sideroblastik meliputi (Kowalak
dkk, 2014):

33
a. Anoreksia, rasa cepat lelah, kelemahan, pening, kulit serta membran mukosa yang
tampak pucat dan kadang-kadang pembesaran nodus limf yang terjadi karena
intoksikasi besi.
b. Dispnea, serangan angina saat melakukan aktivitas fisik, gejala ikterik yang ringan
dan hepatosplenomegali akibat gagal jantung serta gagal hati yang disebabkan oleh
akumulasi zat besi secara berlebihan dalam organ.
c. Peningkatan absorbsi besi dalam saluran GI yang menimbulkan tanda-tanda
hemosiderosis (anemia sideroblastik herediter).
d. Gejala lain yang bergantung pada penyebab dasar (anemia sideroblastik sekunder)

5. Diagnosis
Diagnosis dipastikan berdasarkan pada (Kowalak dkk, 2014):
a Sel-sel sideroblast bercincin pada pemeriksaan mikroskopik hasil aspirasi sumsum
tulang yang diwarnai dengan zat berwarna biru Prussian atau merah alizarin red.
b Sel darah merah yang hipokromik atau normokromik dan sedikit makrositik pada
pemeriksaan mikroskopik, prekursor sel darah merah dapat berupa sel-sel
megaloblastik dengan anisositosis dan poikilositosis (variasi bentuk yang abnormal).
c Kadar hemoglobin yang rendah dengan kadar zat besi, transferin, urobilinogen dan
bilirubin yang tinggi akibat lisis sel darah merah.
d Jumlah trombosit dan leukosit yang normal (trombositopenia atau leukopenia yang
trjadi kadang-kadang).

6. Penatalaksanaan
Penanganan anemia sideroblastik bergantung pada penyebabnya dan meliputi
(Kowalak dkk, 2014):
a. Terapi pemberian piridoksin dosis tinggi selama beberapa minggu untuk
bentuk herediter.
b. Menyingkirkan obat atau zat toksik yang menyebabkan anemia sideroblastik
atau penanganan kondisi yang menyebabkan anemia tersebut (biasanya gejala
akan mereda pada bentuk sekunder yang di dapat atau akuisita).

34
c. Suplemen asam folat (yang mungkin bermanfaat kalau terdapat pula perubahan
megaloblastik dalam nukleus prekursor sel darah merah).
d. Deferoksamin untuk mengatasi kelebihan muatan besi yang menahun.
e. Transfusi darah atau pemberian androgen dosis tinggi (tindakan paliatif yang
efektif bagi sebagian pasien anemia sideroblastik bentuk primer yang
didapat/akuisita).
f. Flebotomi untuk mencegah hemokromatosis (penumpukan besi dalam jaringan
tubuh) akan mengakibatkan kecepatan eritropoesis dan penggunaan simpanan
besi yang berlebih dengan menurunkan kadar zat besi serum serta kadar total
zat besi di dalam tubuh.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi (Kowalak dkk, 2014):
a Penyakit pada jantung, hati dan pankreas
b Komplikasi pernapasan
c Leukimia mielogenus yang akut

4. KELAINAN DARAH LAINNYA


a. ANEMIA PERNISIOSA
1. Definisi
Anemia pernisiosa merupakan tipe anemia megaloblastik yang paling sering
ditemukan, terjadi karena malabsorbsi vitamin B12. Awitan anemia pernisiosa
biasanya terjadi pada usia antara 30 dan 60 tahun, dan insidensi anemia ini
meningkatkan seiring dengan pertambahan usia (Harrison, 2014).
Jika tidak ditangani, anemia pernisiosa merupakan keadaan yang fatal.
Manifestasi klinis akan mereda setelah pasien mendapat pengobatan, meskipun defisit
neurologi dapat bersifat permanen (Harrison, 2014).

2. Etiologi
Keadaan yang mungkin menyebabkan anemia pernisiosa meliputi (Kowalak
dkk, 2014):
a Predisposisi genetik

35
b Penyakit yang secara imunologis berkaitan, seperti tiroiditis, miksedema
dan penyakit graves.
c Gastrektomi parsial.
d Usia lanjut (gangguan absorbsi vitamin B12 yang berjalan progresif)
Umumnya pasien usia lanjut mengalami defisiensi B12 dalam
makanannya di samping akibat absorbsi vitamin B12 yang buruk, atau
pasien tersebut mengalami defisiensi bukan karena absorbsinya melainkan
karena kekurangan vitamin B12 dalam makanannya (Kowalak dkk, 2014).

3. Patofisiologi
Anemia pernisiosa ditandai oleh penurunan produksi asam hidroklorida dalam
lambung dan defisiensi faktor intrinsik yang pada keadaan normal disekresi oleh sel-
sel parietal pada mukosa lambung, faktor intrinsik ini merupakan unsur esensial untuk
absorbsi vitamin B12 di dalam ileum. Defisiensi vitamin B12 yang ditimbulkan akan
menghambat pertumbuhan sel, khususnya sel darah merah, sehingga sel darah merah
yang dihasilkan berjumlah sedikit dan mengalami deformitas dan kapasitasnya untuk
mengangkut oksigen buruk. Defisiensi tersebut juga menyebabkan kerusakan
neurologi dengan cara merusak pembentukan mielin (Kowalak dkk, 2014).

4. Manifestasi klinis
Secara khas, anemia pernisiosa memiliki awitan yang insidius tetapi pada
akhirnya akan menimbulkan trias keluhan dan gejala yang jelas (Kowalak dkk, 2014):
a Kelemahan akibat hipoksia jaringan.
b Lidah yang terasa perih akibat atrofi papila.
c Patirasa dan kesemutan pada ekstremitas akibat gangguan transmisi
impuls yang disebabkan oleh demielinisasi.
Manifestasi lain yang sering ditemukan meliputi(Kowalak dkk, 2014):
a Penampilan bibir dan gusi yang pucat.
b Sklera yang terlihat agak ikterik dan pucat hingga kulit yang berwarna
kuning cerah akibat hiperbilirubinemia yang diakibatkan hemolisis.

36
c Kerentanan yang tinggi terhadap infeksi, khususnya pada traktus
urogenital.
Anemia pernisiosa dapat pula menimbulkan efek GI, neurologi dan
kardiovaskuler.Gejala GI meliputi (Kowalak dkk, 2014):
a mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, flatulensi, diare, dan
konstipasi akibat gangguancerna yang disebabkan oleh atrofi mukosa
lambung serta penurunan produksi asam hidroklorida.
b Perdarahan ginggiva dan inflamasi lidah (yang membuat pasien tidak
ingin makan dan memperberat keadaan anoreksia).
Gejala neurologis (Kowalak dkk, 2014):
a Neuritis: kelemahan pada ekstremitas.
b Patirasa perifer dan parestesia
c Gangguan sensibilitas terhadap posisi.
d Gangguan koordinasi, ataksia,kerusakan pada gerakan jari-jari tangan.
e Tanda babinski atau romberg yang positif.
f Kepala terasa ringan
g Perubahan pada penglihatan (diplopia, penglihatan yang kabur),
kemampuan kecap, dan pendengaran (tinitus), atrofi muskulus optikus.
h Kehilangan kontrol defekasi serta urinasi, dan pada laki-laki dapat
menyebabkan impotensi, yang semua ini disebabkan oleh demielinisasi
(yang awalnya menyerang saraf perifer, namun secara berangsur meluas
hingga mengenai medula spesialis) akibat defisiensi vitamin B12.
i Iritabilitas, daya ingat yang menurut, sakit kepala, depresi dan delirium
(sebagian gejala bersifat temporer tetapi perubahan yang irreversible pada
sistem saraf pusat mungin sudah terjadi sebelum terapi di mulai)
Gejala kardiovaskuler meliputi (Kowalak dkk, 2014):
a Kadar hemoglobin yang rendah akibat destruksi sel darah merah yang
meluas karena membran sel menjadi semakin rapuh.
b Palpitasi, tekanan nadi yang lebar, dispnea, ortopnea, takikardi, denyut
jantung prematur (VES), dan akhirnya gagal jantung yang disebabkan oleh

37
peningkatan curah jantung sebagai kompensasi terhadap semua keadaan
ini.

5. Diagnosis
Pemeriksaan skrining laboratorium harus menyingkirkan diagnosis anemia
lain dengan gejala serupa tetapi penanganannya berbeda seperti (Kowalak dkk, 2014):
a Anemia defisiensi asam folat.
b Defisiensi vitamin B12 yang terjadi karena malabsorbsi akibat gangguan
GI, pembedahan lambung, terapi radiasi dan obat.
Penurunan kadar hemoglobin sebesar 1 hingga 2 g/dl pada lanjut usia dan
sedikit penurunan nilai hematokrit pada laki-laki maupun wanita mencerminkan
penurunan fungsi sumsum tulang serta hematopoiesis, dan pada laki-laki,
penurunan kadar homon androgen. Semua gejala ini bukan merupakan tanda
yang menunjukkan anemia pernisiosa. Diagnosis anemia pernisioasa ditegakkan
berdasarkan (Kowalak dkk, 2014):
a Riwayat yang positif dalam keluarga
b Kadar hemoglobin 4 hingga 5 g/dl
c Jumlah sel darah merah yang rendah
d Mean corpuscular volume(MCV) yang melebihi 120 l akibat
peningkatan jumlah hemoglobin dalam sel darah merah yang berukuran
lebih besar dari pada ukuran normal.
e Hasil aspirasi sumsum tulang yang memperlihatkan hiperplasia eritroid
disertai peningkatan jumlah sel-sel megaloblast, tetapi hanya sedikit sel
darah merah yang berkembang normal.
f Analisis getah lambung yang menunjukkan tidak ada asam hidroklorida
setelah penyuntikan histamin atau pentagastrin.
g Tes Schilling untuk ekskresi vitamin B12 yang berlabel zat radioaktif (tes
pasti untuk anemia pernisiosa).
h Hasil pemeriksaan serologi yang meliputi antibodi terhadap faktor
intrinsik dan antibodi antisel parietal.

38
6. Penatalaksanaan
Penanganan anemia pernisiosa meliputi (Kowalak dkk, 2014):
a Penyuntikan vitamin B12 sejak dini (dapat memulihkan anemia
pernisiosa, mengurangi komplikasi dan kemungkinan pula mencegah
kerusakan neurologi).
b Pemberian besi dan asam folat bersama dengan vitamin B12 untuk
mencegah anemia defisiensi besi (regenerasi sel yang cepat akan
meningkatkan kebutuhan pasien terhadap asam folat dan zat besi).
c Sesudah respons awal timbul, dosis pemberian vitamin B12 dapat
diturunkan hingga mencapai dosis rumatan yang diberikan sebulan sekali
(harus diberikan seumur hidup).
d Tirah baring untuk keluhan mudah lelah yang ekstream hingga kadar
hemoglobin mengalami kenaikan.
e Transfusi darah untuk kadar hemoglobin rendah yang membahayakan.
f Pemberian digoksin (lanoxin), diuretik, penerapan diet rendah natrium
(jika pasien sudah mengalami gagal jantung).
g Pemberian antibiotik untuk melawan infeksi.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi (Kowalak dkk, 2014):
a Hipokalemia
b Gejala SSP yang permanen
c Polip lambung
d Kanker lambung

39
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke- Lima, Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, 2009.
Kapita Selekta Kedokteran/ editor Chris Tanto et al. Ed 4. Jakarta : Media
Aesculapius,2014
Sant RS, Stephen C, Katrina J, Peter R, Lawrence P, John K, et all. Diagnosis and
management of iron deficiency anaemia : a clinical update. MJA 2010; 193:
525532
WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of
severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World
Health Organization, 2011
WHO. The global prevalence of anaemia in 2011. Geneva: World Health Organization;
2015.

40

You might also like