You are on page 1of 26

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh

dr. JIHAN MAULUDINA

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RSUD ASEMBAGUS
2017
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama penderita : An. SA

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 7 thn

No. Rekam Medis : 3452

Tanggal masuk : 23 September 2017

II. ANAMNESIS

Aloanamnesa dengan : Ayah dan ibu pasien

Tanggal / jam :
4
1. Keluhan utama : Demam

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Asembagus dengan keluhan demam sejak 5

hari yang lalu. Panas dirasakan terus-menerus, meningkat terutama

menjelang sore dan malam hari. Panas mulai turun pada pagi hari; tidak

menggigil, tidak ada gusi berdarah, tidak ada mimisan, tidak ada kejang.

Selain itu pasien mengeluh nyeri perut bagian ulu hati disertai mual dan

muntah. Frekuensi muntah sering yaitu 2-3 kali dalam sehari, yang di

muntahkan berupa makanan dan air. Nafsu makan pasien menurun

semenjak demam. Pasien juga mengeluh batuk berdahak sudah sejak 3 hari

tidak ada darah. BAK normal seperti biasa, warna kuning muda, tidak

3
adanyeri saat BAK, anak tidak mengeluh nyeri otot atau pinggang. Belum

BAB selama 3 hari, dan tidak ada riwayat berpergian keluar kota.

3. Riwayat penyakit dahulu : batuk, pilek

4. Riwayat kehamilan dan persalinan :

Riwayat antenatal : Saat hamil ibu rajin memeriksakan kehamilan di

bidan

Riwayat natal :

Spontan / tidak spontan : Spontan belakang kepala

Berat badan lahir : 2800 gram

Panjang badan lahir : ibu tidak ingat

Lingkar kepala : -

Penolong : Bidan kampung

Tempat : Rumah

Riwayat neonatal : Langsung menangis, badan kemerahan, dan gerak

aktif

5. Riwayat perkembangan :

Tiarap : 6 bulan/tahun

Merangkak : 9 bulan/tahun

Duduk : 9 bulan/tahun

Berdiri : 11 bulan/tahun
6
Berjalan : 13 bulan/tahun

6. Riwayat imunisasi
Nama Dasar Ulangan
(umur dalam hari/bulan) (umur dalam bulan)
BCG 1 bulan
Polio 1 bln 2 bln 3 bln 4 bln
Hepatitis B 2 bln 3 bln 4 bln
DPT 2 bln 3 bln 4 bln
Campak 9 bln

7. Makanan :

Anak mendapat ASI sejak lahir sampai 4 bulan, dilanjutkan bubur saring

sampai 9 bulan, berisi sayuran, serta lauk (hati ayam, ikan, dan lain-lain)

yang dihancurkan. Hingga sekarang, kecuali pada saat sakit, anak makan

nasi ditambah lauk, tidak suka sayur, sebanyak 1 piring dan biasanya

habis.

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : komposmentis

GCS : 456

2. Pengukuran

Tanda vital:Tensi : -

Nadi : 104 X/menit, kualitas: kuat, reguler

Suhu : 38.5 OC

Respirasi : 20 X/menit, reguler

Berat badan : 22 kg

Panjang/tinggi badan : -

Lingkar lengan atas : -

Lingkar kepala : -
3. Kulit : Warna : Sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Hemangioma : Tidak ada


8
Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

Lain-lain : -

4. Kepala : Bentuk : normosefali

UUB : Sudah menutup

UUK : Sudah menutup

Lain-lain : -

Rambut : Warna : Hitam

Tebal / tipis : Tebal

Alopesia : Tidak ada

Lain-lain : -

Mata : Palpebra : Tidak edem, tidak cekung

Konjungtiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm

Simetris : Isokor

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih

Telinga : Bentuk : Simetris


9
Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada Lokasi : -

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernapasan cuping hidung : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

Lain-lain : -

Mulut : Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa kering, warna merah muda

Gusi : - Mudah berdarah : tidak

- Pembengkakan : Tidak ada

Gigi : Lengkap

Lidah : Bentuk : Simetris

Pucat / tidak : Tidak

Tremor / tidak : Tidak

Kotor / tidak : Kotor

Warna : Bagian tengah agak putih, dan tepinya

kemerahan

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edem : Tidak ada

Tonsil : Warna : Merah muda

Pembesaran : Tidak ada


10

Abses / tidak : Tidak ada

Membran / pseudomembran : Tidak ada

5. Leher :

- Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak terlihat

Tekanan : Tidak meningkat

- Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

- Kaku kuduk : Tidak ada

- Masa : Tidak ada

- Tortikolis : Tidak ada

6. Toraks :

a. Dinding dada / paru

Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : Tidak ada Lokasi : -

Dispnea : Tidak ada

Pernapasan : Gerakan simetris

Palpasi : Fremitus fokal : Simetris kanan kiri

Perkusi : Sonor / sonor

Auskultasi : Suara napas dasar : Vesikuler

Suara napas tambahan: Tidak ada ronkhi dan tidak ada

wheezing

b. Jantung :

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Tidak teraba Lokasi : -


11

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra

Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra

Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra

Auskultasi : Frekuensi : 86 X / menit, Irama : Reguler

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal

Bising : Tidak ada Derajat : -

Lokasi : -

Punctum max : -

Penyebaran : -

7. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : Simetris, supel

Lain-lain : -

Palpasi : Hati : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Masa : Tidak teraba

Ukuran : -

Lokasi : -

Permukaan : -

Konsistensi : -

Nyeri : Daerah epigastrika

Perkusi : Timpani / pekak : Timpani


12

Asites : Tidak ada

Auskultasi : Bising usus (+) menurun

8. Ekstremitas :

Umum : Akral atas dan bawah hangat, tidak

ada edem dan tidak ada parese

9. Genitalia : Tidak ada kelainan

10. Anus : Tidak ada kelainan

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA

Hematologi

Hb : 12,9 g/dl (14-18 g/dl)

Leukosit : 6.900 /uL (4.000-11.000 / uL)

Hematokrit : 41,1 % (40-50 %)

Trombosit : 201.000 /uL (150.000-450.000 /uL)

Eritrosit : 5,04 (4.5jt-6jt)

Diff count : lym :22,4 gr:72.6 mid:150

Sero Imunologi

Tes Widal

S.typhi O :1/640

S.typhi H :1/320

S.parathypi AO :negative

S.parathypi BO :negative
V. RESUME

Nama : An. SA
13
Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 7 tahun

Berat badan : 22 kg

Keluhan utama : Demam

Uraian : Pasien datang ke IGD RSUD Asembagus dengan

keluhan demam sejak 5 hari yang lalu. Panas

dirasakan terus-menerus, meningkat terutama

menjelang sore dan malam hari. Panas mulai turun

pada pagi hari; tidak menggigil, tidak ada gusi

berdarah, tidak ada mimisan, tidak ada kejang. Selain

itu pasien mengeluh nyeri perut bagian ulu hati

disertai mual dan muntah. Frekuensi muntah sering

yaitu 2-3 kali dalam sehari, yang di muntahkan

berupa makanan dan air. Nafsu makan pasien

menurun semenjak demam. Pasien juga mengeluh

batuk berdahak sudah sejak 3 hari tidak ada darah

BAK normal seperti biasa, warna kuning muda, tidak

adanyeri saat BAK, anak tidak mengeluh nyeri otot

atau pinggang. Belum BAB selama 3 hari, dan tidak

ada riwayat berpergian keluar kota

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis GCS : 4 5 6

Tensi : - mmHg

Denyut nadi : 104 kali/menit

Pernapasan : 22 kali/menit
14
Suhu : 38,5 OC

Kulit : Turgor cepat kembali, pucat (-)

Kepala : Normosefali , UUB dan UUK sudah menutup

Mata : Isokor, cekung (-), anemis (-), ikterik (-)

Telinga : Simetris, sekret (-)

Mulut : Mukosa bibir keriing dan merah muda,

Toraks / paru : Simetris, sonor, sn. vesikuler, ronkhi (-),wheezing (-)

Jantung : S1 dan S2 tunggal, iktus (-), apeks (-), thrill (-)

Abdomen : Bising usus (+) menurun

Ekstremitas : Akral hangat, edem (-), parese (-)

Genital : Tidak ada kelainan

Anus : Tidak ada kelainan

VI. DIAGNOSA

1. Diagnosa banding : Campak

Demam berdarah dengue derajat I

Malaria

Infeksi Saluran Kemih

2. Diagnosa kerja : Demam tifoid


15

VII. PENATALAKSANAAN

- Istirahat total

- Inf. D5 1/2 NS 2200/24 jam

- Inj. Ranitidine 2x20mg

- Inj. Pamol 3x220

- Inj. Cefotaxim 2x200

- Po. Ambroxol syr 3x1cth

- Diet lunak, rendah serat, tinggi kalori, tinggi protein

VIII. EVALUASI

Keadaan Umum, tanda dan gejala, tanda-tanda vital, hasil terapi, komplikasi

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


16
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

X. PENCEGAHAN

- Menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan

FOLLOW UP

Tanggal 23 september 2017


S : panas+ hari ke 5, muntah+ 1x, mual+, nyeri perut+, batuk+, makan minum +
O :
- A-/I-/C-/D-,
- nadi 100 x/ menit,
- RR 22 x/menit,
- Suhu : 38,9C,
- nyeri tekan epigastrium (+),
- akral hangat
A : Demam tifoid
P :
- Inf. D5 1/2 NS 2200/24 jam

- Inj. Ranitidine 2x20mg

- Inj. Pamol 3x330mg

- Inj. Cefotaxim 2x200mg

- Inj. Ondancentron 3x4mg

- Po. Ambroxol syr 3x1cth

Tanggal 24 september 2017


S : panas+ hari ke 6, mual +, muntah + 1x, nyeri perut +, batuk+, makan minum +
O :
- A-/I-/C-/D-,
- nadi 104 x/ menit,
- RR 24 x/menit,
- Suhu : 38,5C,
- akral hangat
A : Demam tifoid
P :
- Inf. D5 1/2 NS 2200/24 jam

- Inj. Ranitidine 2x20mg

- Inj. Pamol 3x330mg

- Inj. Cefotaxim 2x200mg

- Inj. Ondancentron 3x4mg

- Po. Ambroxol syr 3x1cth

- Po. Apialys syr 1x1cth

PEMBAHASAN

17
Demam tifoid adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh Salmonella

typhi, kuman gram negatif berbentuk batang yang hanya ditemukan pada manusia.7

Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae yang memiliki lebih dari 2300

serotipe. Salmonella typhi merupakan salah satu Salmonellae yang termasuk dalam

jenis gram negatif, memiliki flagel, tidak berkapsul, tidak bersporulasi, termasuk

dalam basil anaerobik fakultatif dalam fermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi
18
nitrit.8

Penularan penyakit demam tifoid adalah secara faeco-oral, dan banyak

terdapat di masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kuman

Salmonella typhi masuk ke tubuh melalui mulut bersama dengan makan atau

minuman yang tercemar. Sesudah melewati asam lambung, kuman menembus

mukosa usus dan masuk peredaran darah melalui aliran limfe. Selanjutnya, kuman

menyebar ke seluruh tubuh. Dalam sistem retikuloendotelial (hati, limpa, dll), kuman

berkembangbiak dan masuk ke dalam peredaran darah kembali (bakteriemia kedua).

Meskipun melalui peredaran darah kuman menyebar ke semua sistem tubuh dan

menimbulkan berbagai gejala, proses utama ialah di ileum terminalis. Bila berat,

seluruh ileum dapat terkena dan mungkin terjadi perforasi atau perdarahan. Kuman

melepaskan endotoksin yang merangsang terbentuknya pirogen endogen. Zat ini

mempengeruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus dan menimbulkan gejala

demam. Walaupun dapat difagositosis, kuman dapat berkembang biak di dalam

makrofag karena adanya hambatan metabolisme oksidatif. Kuman dapat menetap

atau bersembunyi pada satu tempat dalam tubuh penderita, dan hal ini dapat

mengakibatkan terjadinya relaps atau pengidap (pembawa).2


Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis, yaitu anamnesa dan

pemeriksaan fisik. Klinis didapatkan adanya demam, lidah tifoid, meteorismus, dan

hepatomegali serta roseola. Diagnosis ini disokong oleh hasil pemeriksaan serologis,

yaitu titer Widal O positif dengan kenaikan titer 4 kali atau pemeriksaan

bakteriologis didapatkan adanya kuman Salmonella typhi pada biakan darah.3,5,9

Pasien sejak 5 hari sebelum masuk Rumah Sakit didapatkan demam, tidak

mendadak, muncul perlahan, tidak terlalu tinggi, dan pada sore hingga malam hari

demam lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan siang hari, dan berangsur-angsur

meningkat setiap harinya. Tipe demam demikian sesuai dengan gejala yang
19
ditimbulkan akibat infeksi Salmonella typhi.10

Selain demam, pasien juga mengalami mual dan muntah, di mana muntah

terjadi dari 1 hingga 2 kali dalam sehari, isi muntahan berupa air dan kadang-kadang

berupa apa yang dimakan, dan menurunnya nafsu makan. Pada demam tifoid, dalam

minggu pertama perjalanan penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit

infeksi akut pada umumnya, yakni demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan

epistaksis. Dan pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.1

Jika perjalanan penyakit demam tifoid pasien terus dimonitor, maka biasanya

pada minggu kedua didapatkan gejala-gejala yang lebih jelas. Gejala yang timbul

pada minggu kedua berupa demam, bradikardi relarif, lidah yang khas (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus,

gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae

jarang ditemukan pada orang Indonesia.1


Oleh karena dari gejala yang diperoleh pada pasien ini belum terlalu jelas,

maka ada beberapa penyakit infeksi akut lain yang dapat dijadikan sebagai diagnosa

banding, yaitu :

1. Campak

Terdapat gejala demam, batuk, pilek, mata merah (konjungtivitis), anoreksia,

malaise, dan gejala khasnya adalah timbulnya enamtem di mukosa bukal

(bercak koplik) yang merupakan tanda patognomonis untuk campak. 2,6 Dari

pasien hanya ditemukan gejala demam, anoreksia dan malaise, tetapi gejala

khas campak tidak ditemukan.

2. Demam berdarah dengue derajat I

Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum yang

khas, hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari tanpa adanya manifestasi

perdarahan. Akan tetapi, pada uji tourniquet didapatkan hasil yang positif.2

3. Malaria

Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil,

diare, muntah, dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit

malaria.13 Akan tetapi pada pasien ini tidak didapatkan menggigil serta tidak

adanya riwayat keluar kota atau ke hutan.

4. Infeksi saluran kemih

Penyakit ini memiliki beberapa gejala seperti demam tanpa diketahui sebabnya,

nyeri perut atau pinggang, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria,

enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.14 Pada pasien ini tidak
21

ditemukan nyeri perut atau pinggang, serta tidak adanya kelainan dalam buang

air kecil.

Agar semua diagnosa banding tersebut di atas dapat disingkirkan, maka perlu

dilakukan pemeriksaan penunjang guna membuktikan pemeriksaan yang tidak

didapatkan pada anamnesa maupun pemeriksaan fisik.

Biakan darah, pemeriksaan darah rutin, dan tes serologis Widal dilakukan guna

menegakkan diagnosis demam tifoid, pemeriksaan serologis IgM untuk mendeteksi

kemungkinan adanya infeksi campak, tes tourniquet untuk melihat adanya

manifestasi perdarahan pada penderita demam berdarah dengue. Tes Mantoux

digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya infeksi tuberkulose. Pemeriksaan

darah rutin dan hapusan darah tepi berfungsi untuk mendeteksi adanya kemungkinan

terinfeksi malaria.

Dari keseluruhan diagnosa banding yang ada, diagnosa klinis adalah suspect

demam tifoid. Di mana pada periksaan penunjang berupa biakan darah, pemeriksaan

darah rutin dan tes serologis Widal diharapkan dapat menegakkan diagnosa klinis

pasien ini.

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh Samonella typhi atau
Salmonella paratyphi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa
demam, malaise, nyeri perut, dan konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera
ditangani akan memberat dan mengakibatkan delirium, perdarahan intestinal,
perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.4

II. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan,
sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau
sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

III. ETIOLOGI

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara 2 4 x 0,6 mikrometer. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan pH antara 6 8.1

Gambar 1. Salmonella typhi4


Gambar 1. Salmonella typhi (dikutip dari kepustakaan 4)

IV. PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh


manusia dapat melalui transmisi oral melalui makanan yang terkontaminasi kuman
Salmonella typhi, transmisi dari tangan ke mulut, dimana tangan yang tidak higienis
yang terkontaminasi dengan kuman Salmonella typhi langsung bersentuhan dengan
makanan yang dimakan serta melalui transmisi dari kotoran, dimana kotoran individu
yang mempunyai basil Salmonella typhi ke sungai atau dekat dengan sumber air yang
digunakan sebagai air minum yang kemudian langsung diminum tanpa dimasak.
Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung, sebagian lolos dan masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyer ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui
duktus toracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah sehingga mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik dan
menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Diorgan-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit sistemik.1
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagosit kuman Salmonella terjadi
pelepasan berbagai mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.1
Didalam plak peyer makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak peyer yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.1
Endotoksin dapat menempel direseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan
dan gangguan organ lainnya.1

V. GAMBARAN KLINIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada
kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis.1
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis
yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik
hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak
diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan
yang meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (Kotor ditengah, tepid an ujung merah
serta tremor), Hepatosplenomegally, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada
orang Indonesia.1

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan
dari hasil kultur darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada
pasien di awal penyakit dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu
pertama infeksi. Hasil kultur feses kadang-kadang juga positif pada masa
inkubasi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik. Pada pemeriksan darah perifer
lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat pula terjadi leukositosis
atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga dilakukan dalam
membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan dengan
mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun
tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative
dan false-positif terjadi.

Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi.
pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah
dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti
dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara
9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh
dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer
antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat)
lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan
adanya infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu
pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :


1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media
cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody
dalam darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.

VII. PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid sebagai
berikut Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal,
pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran
kuman.1,4
a. Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.


Tirah baring dengan perawatan yang sepenuhnya ditempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan
dan dijaga.1,3
b. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhannya akan semakin lama.1,3
Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
jperforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus d;
iistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini
yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang
berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.1-3

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:

Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid 1


Tabel 2. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid 1
VIII. KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir sama organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
Komplikasi intestinal :
perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis
Komplikasi ekstraintestinal
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis
Komplikasi neuropsikiatri / tifoid toksik.1

IX. PROGNOSIS

Prognosis dari demam tifoid adalah berdasarkan dari cepat atau lambatnya
penanganan serta penggunaan antibiotik yang tepat. Bila penyakit berat, pengobatan
terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat maka prognosis buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru WS, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Edisi 5. Jakarta, 2009. Hal 2797-2805.
2. Aziz R, Sidartawan S, Anna UZ, dkk. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Pusat penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 2. Jakarta,
2006. Hal 139-141.

3. Islam, Butler, Kabir, Alam. Treatment of Typhoid Fever with Ceftriaxone for 5
Days or Chloramphenicol for 14 Days: a Randomized Clinical Trial.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol. 37. No. 8. Hal 1572-1575.
Bangladesh: 1993.

4. John LB. Typhoid Fever. Medscape. 2012. Dapat diakses di


http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview. Diakses 13 februari
2014.

5. Siti FS. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: 2006.

6. Sulistia GG, Rianto S, Frans D, dkk. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Gaya Baru.
Edisi 5. Jakarta, 2007. Hal 238, 524, 643, 864.

7. The American Society of Health System Pharmacists. Ceftriaxone Injection.


Maryland. 2013. Dapat diakses di http://www.nlm.nih.gov/midlineplus/meds.
Diakses 15 Februari 2014.

You might also like