Professional Documents
Culture Documents
Dosen : M Darwin N
SISTEM INFORMASI
STMIK STI&K
2017
Pendidikan Agama
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang
senantiasa mencurahkan bimbingan, ilmu, rahmat dan hidayahnya kepada
hambanya yang tidak pernah putus, senantiasa memberkahi segala aktifitas dalam
keseharian kita, tanpa semua itu segalanya tidak pernah terlaksana.
Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah materi
pendidikan Pendidikan Agama Semester I STMIK JAKARTA STI&K, dan
dengan diadakannya makalah ini gunakan sebagai pengasah otak dan penambah
pengalaman.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan didalamnya untuk itu kami mohon saran
dan segala bentuk kritikan lainya yang mengarah kepada kelengkapan.
Terakhir kalinya kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
pihak yang memberikan sumbangan fikirannya untuk kesempurnaan makalah ini
semoga bermanfaat bagi kita semua amin.
Penyusun
i
Pendidikan Agama
Daftar Isi
ii
Pendidikan Agama
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang keberadaan tasawuf itu
sendiri.
B. Identifikasi Masalah
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari Shafa kata ini
berbentuk Fiil Mabni Majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf
Ya Nisbah, yang berarti sebagai nama bagi orang orang yang bersih atau
suci. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan
Tuhan-Nya
1
Rosihan Anwar , Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 9
2
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 86
3
Moch. Djamaludin Ahmad, Dua Figur Tokoh Agung, Pustaka Al-Muhibbin, Hal : 99
4
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2004, Hal : 12
5
Rasihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Hal : 13
6
Ahmad, Op. At.Him.96-98
7
Ibrahim Basuni, nas-ah Al Tasawuf Al Islam, Per Al-Maarif, Kairo, 1969 ; 17-27
8
A Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke ne-Sufisme, PT. Raja Grafinda Persada, 2002,
Hlm 35
getaran jiwa sehingga ia bebas dari pengaruh yang datang dariluar hakikat
dirinya.
9
Al-Qusyairi, Op Cit ; 138
1. Hasan Al-Bashri
a) Riwayat Hidup
10
Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani, Op Cit, 80-82
11
A. Rivary Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2002, hlm : 37-38
b) Ajaran-Ajaran Tasawufnya
12
Hamka, Tasawuf : PErkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1986, hlm :
76
13
Ibid
14
Umar Farukh, Tarikh Al Fikr Al-Arabi. Dar Al-Ilm li Al-Malayin, Bairut, 1983, hlm 216
15
Hamka, op Cit, hlm 77
1. 17
Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik
dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut
2. Dunia adalah negeri tempat beramal, barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan benci dan zuhud, akan berbahafia dan
memperoleh faedah darinya. Namun, barangsiapa bertemu dunia
dengan perasaan rindu dan hatinya terlambat dengan dunia, ia akan
sengasara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak
dapat ditanggungnya
3. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakanya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita
bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi, sesuatu yang fana
betatapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa
betapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang
dan pergi serta penuh tipuan.
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan
beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
5. Orang yang beriman senantiasa berduka cita pada pagi dan sore
hari karena berada diantara dua perasaan takut : takut mengenang
dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih
tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya dan juga takut akan kiamat yuang hendak menagih
janjinya
7. Banyak duka cita didunia memperteguh semangyat amal shaleh
16
Ibid, hlm 77-78
17
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 100
2. Rabiah Al-Adawiah
a) Riwayat hidup
Nama lengkap Rabiah adalah Rabiah bin Ismail Al-
Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, ia diperkirakan lahir pada tahun
95 H / 713 M / 99 H / 717 M disuatu perkampungan dekat Kota
Bashrah (Irak) dan wafat dikota itu pada tahun 185 H / 801 M. ia
dilahirkan sebagai putrid keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Itulah sebabnya, orang tuanya menamakanya Rabiah kedua
orantuannya meninggal ketika ia masih kecil. Konon pada saat
terjadinya bencana perang diBashrah, ia dilahirkan penjahat dan dijual
kepada Keluarga Atik dari Suku Qais banu Adwah. Dari sini ia dikenal
dengan Al-Qoisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja
keras, namun kemudian dibebaskan karena tuannya melihat cahaya
yang memancar diatas kepala Rabiah dan menerangi seluruh ruangan
rumah pada saat ia sedang beribadah. 19
18
Ibid, hlm 79
19
Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung , 2004, hlm : 119-120
b) Ajaran Tasawufnya
20
Badawi, Op Cit, hlm 20-21
21
Abu Bakar Muhammad Al-Kalabzi, At-Taarruf li Madzhab Ahl At-Tashawwuf, Isa Al Bab Al
Halabi, 1960, Hlm 131
layak dicintai yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan
mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.
22
Al-Ghazali, Ihya, Ulum ad Dhin. Musthafa bab Al-Halab, Kairo, 1334, hlm, juid 111
23
R.A. Micho Ison, Cit ; 4
24
Fazlur Rahman, Islam. Tej. Ahsin Muhammad, Bandung, 1984 185
kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para
Zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas,
sehingga memacu pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf.
Doktrin Al-Zuhd misalya, yang tadinya sebagai dorongan untuk
meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka,
bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah agar selalu
dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan
kepada pengingkaran kehidupan yang profanistik disatu pihak dan konsep
sentral tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian populer
dnegan doktrin Al-Hubb. Doktrin AL-Hubb adalah tingkat konsep sentral
tentang hubungan Marifat yang berarti mengenal Allah secara langsung
melalui pandangan batin. Menurut sebagian sufi, Marifat Allah adalah
tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagiaan paripurna yang
mungkin dicapai oleh manusia didunia ini. Kondisi yang demikian dapat
dicapai hanya sesudah mencitau (Al-Hubb) Allah dengan segenap
ekspresinya. Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan
ini dikatakan sebagai gerakan gnotisisme (ilmu ladunni, Al Marifat) atau
baangkali dapat disejajarkan dengan maniplationist dalam filsafat
kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak
dapat diberikan kepada sembarang orang untuk memeiliki kualitas ilmu
yang seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-
tingkat. 25
25
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002. Hlm ; 38-40
untuk menjadi seorang yang alim, baik dalam ilmu syariat maupun
tasawuf. 26
26
Abd. Al-Munin Al Hafani, Al-Mausuah Ash-Shuffiyyah, Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992 : hlm 165
27
Andul Qodir Mahmud, Faisafatu Ash-Shufiyyah fi Al- Islam, 1996 : hlm 306
28
Ibid ; 186
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini
merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur diluar
islam berakulturasi dnegan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodox denan kelompok sufi
berpaham Ittijad dipihak lain. 30
29
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme, Rajawali Pers, Jakartam 2002, hlm
41
30
Moch. Djamaluddin Ahmad, dua figure tokoh agung, Pustaka Al-Muhibbin, hlm : 67 - 70
31
Ibid ; 187
32
Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al islami bain Ad Din Wa Al-Falsasfahm dar Al Nahdhah Al
Arabiyyah, hlm 123-124
33
Moch. Dhamaluddin Ahmad, dua figure tokog Agung, Pustaka Al Muhibbin, hlm 14-15
34
Al-Ghazali, Al Munqidz min al-Dhalal, 1316 H ; 76
35
Ibn. Arabi, Futurat Al Makiyah, Vol. I, 1977 ; 90
Dari uraian ringkas ini terlihat bahwa lima ciri atau karakteristik
tasawuf yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara
utuh pada satu fase dan disemua kawasan barangkali kemunculan tasawuf
yang hamper utuh dengan kelima cirinya itu hanyalah pada abad tiga
Hijriyah, pada periode tasawuf meningkat menjadi ilmu tentang moralitas.
Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung sampai abad ketujuh
hijriyah , sebab sejak abad delapan, nampaknya tasawuf mulai mengalami
kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi
konsep-konsep tasawuf yang baru, yang tertinggal hanyalah sekedar
komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama disisi
lain, para pengikut tasawuf sudah lebih cenderung kepada penakanan
perhatian terhadap berbagai bentuk ritus dan formalisme yang tidak
terdapat dalam substansi ajaran. Kemandikan tasawuf sebagai ilmu
moralitas, nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti
dunia pemikiran islam pada masa itu perkembangan tasawuf selanjutnya
sudah berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih
menonjolkan perkembangan pada aspek ritus dan pengalamanya, bukan
pada aspek subtansi ajarannya. Namun bagaimanapun tasawuf bukanlah
ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam cara-cara tertentu yang
mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim Al-Jilli (W 832 H)
dalam bukunya Al-Insan Al Kamil yang cukup popular, ternyata ajaranya
sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu. Demikian pula dengan
konsep-konsep tasawuf di Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam tasawuf
Al Raruri adalah pemaduan antara tasawuf Al-Ghazali dengan Al
Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transentalisme. Hal
ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya, karena memang ia
bersifat dinamik bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat, bahwa
36
Ibrahim Basuni, Op, Cit : 115
tidak setiap orang yang mengerti tasawuf disebut sufi, karena seseorang
tidak mungkin dapat mengetahui bahwa ia benar-benar memahami dan
merasakan ap ayang dilihat dan dirasakan oleh sufi dalam miraj
Spiritualnya. Menjadi seorang sufi berarti menjadikan ajaran itu sebagai
penggerak hidupnya. It is to become and not to learn second hand.
Manusia sempurna adalah idola Sufi, manusia yang telah dapat
melepaskan ke aku an nya sehingga ia adalah cermin yang
merefleksikan setiap aspek realitas Absolut. 37
Dasar dasar Tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini
dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, cara hidup
beliau yang kemudiaan diteladani dan diteruskan oleh para sahabat
selama periode makiyah, kesadaran spiritual Rasulullah SAW. Adalah
berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti,
sebagaimana dilukiskan dalam Al-Quran surat An Najm : 11 -13,
surat At Takwir, 22-23. Kemudian ayat-ayat yang menyangkut aspek
moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsip dalam
tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Quran sebagai landasan utama
karena manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana
dinyatakan38 Allah mengilhami (jiwa manusia) kejahatan dan
kebaikan : maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek
dan pengembangan sifat-sifat yang baik. Dalam tasawuf dikonsepkan
untuk penyucian jiwa. Proses penyucian jiwa itu melalui dua tahap,
yakni pembersihan jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli.
Tahap awal dimulai dari pengendalian dan penguasaan hawa nafsu.
Sesuai dengan firman Allah ...sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi oleh Tuhanmu
39 dan Adapaun orang-orang yang takut pada kebesaran tuhannya
dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat
tinggalnya. Sedangkan tasawuf memiliki kedudukan yang tinggi
dalam islam ajaran pokok dalam tasawuf adalah konsel Al-Hubb dan
Marifat yang merupakan perintah Allah melalui firman-Nya : kami
lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya sendiri 40
37
Rivay Siregar, tasawuf dari sufisme klasik ke Neo-sufisme, rajawali per, hlm : 45-46
38
Al-Quran, Surat Al-Syams ; 8
39
Al-Quran, Surat Yusuf, 53
40
Al-Quran, Surat Al-Qaff ; 16
41
Said Agil Husin al-Munawwar, Op.Cit., h. 388.
Dalam kaitan antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf keduanya mempunyai
fungsi sebagai berikut:
42
M.Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), cet. I, h. 96-97.
43
Ibid., h. 99-100.
44
K. Permadi, Op.Cit., h.111-112.
45
Ibid., h. 5-6.
46
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1993), cet. XVIII, h. 83-84.
47
Ibid., h. 85.
rakaatnya tertentu. Tetapi kaum sufi ada yang sholat sunnatnya yang
mencapai 100 rakaat sehari semalam. Junaid al-Baghdadi mewirid-kan
sholat sunnat 400 rakaat sehari semalam.48 Dalam hal ini masing-masing
pihak harus ada tasamuh (saling menghargai dan menghormati).
48
Ibid.
49
Guru tarekat disebut mursyid atau syaikh, wakilnya disebut khalifah, dan pengikutnya
disebut murid. Tempatnya dikenal dengan ribath/zawiyah/taqiyah. sumber:
http://blog.uin-malang.ac.id/sarkowi/2010/06/28/akhlak-tasawuf/ (diakses 9 Juli 2012)
50
Sri Mulyati, et. Al., Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), tertulis dalam kata pengantar Dr. Hj. Sri Mulyati, MA
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ahmad asy-Syirbasyi, Al-Ghazali wa Tasawwuf al-Islamy, (Beirut: Dar al-Hilal, tt.), h. 153.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Slihin, 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka
Setia
Siregar, A. Rivay. 2002. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke NCO. Sufisme. Jakarta :
Rajawali Pers
Djamaluddin Ahmad, Moch. 2013. Dua figur tokoh agung, Jombang : Pustaka Al-
Muhibbin
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo : Tiga Serangkai
Qoyyinm Al Jauziyah, Ibn dan Haris bin Asad Al-Muhasibi. 1990. Tasawuf
Murni. Surabaya : Al-Ihsan
Abdul Khaliq, Dr. Abdurrahman dan Ihsan Ilahi Zhahir. 2001
Abdirrahman Al-Sulami, Abu. 2007. Tasawuf. Jakarta : Erlangga
AL-Ghazali. 1961. Ihya Ulum Ad-Din, Dar Tsawafah Islamiyah, Kairo. Mesir
Umari, Barmawi. 1966. Systematika Tasawuf , Solo : Penerbit Siti Syamsiyah
Hamka. 1986. Tasawuf : Perkembangan dan pemurniannya Jakarta : Pustaka
Panjimas
Nasution, Harun. 1978. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Jakarta : Bulan
Bintang
Al-Hafani, Abd. Al-Munin, 1992. Al Mausuah Ash-Shufiyah. Kairo. Dar Ar-
Rasyad
Mahmud, Abdul Qodir. 1966. Falsasafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam. Kairo : Dar
Al-Fikr Al-Arab
Said Agil Husin al-Munawwar
Sholihin, M. dan Rosihon Anwar, 2008. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia,
Bandung. Cet. I.
Permadi, K., 2004, Pengantar Ilmu Tasawwuf. Rineka Cipta, Jakarta. Cet. II.