You are on page 1of 9

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI DENGAN DERAJAT IKTERIK


PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBIN
DI RUANG PERINATOLOGI RSUD BANGIL

Nama : Dewi Retno Wulandari

NIM : 1401470020

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

JURUSAN KEPERAWATAN

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hiperbilirubinemia atau lebih sering disebut dengan penyakit kuning

pada bayi, merupakan suatu fenomena yang lazim dan sering terjadi pada bayi

baru lahir akibat adaptasi fisiologis bayi dari intrauterin ke ekstrauterin. Kurang

baiknya penanganan bayi baru lahir yang sehat akan menyebabkan kelainan-

kelainan seperti hiperbilirubin, perdarahan, infeksi, hipotermia, syok dan

kelainan-kelainan yang dapat menyebabkan cacat seumur hidup bahkan

menyebabkan kematian (Anggraini, Kebidanan, & Kemenkes, 2013).

Beberapa bayi yang lahir cukup bulan kembali dirawat dalam minggu

pertama kehidupan disebabkan penanganan hiperbilirubinemia yang kurang

tepat dan berubah menjadi hiperbilirubinemia patologik yang menimbulkan

beberapa permasalahan baru dan memerlukan penanganan intensif pada bayi.

Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen

bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit (Ilmu & Anak, 2013).

Di dunia tercatat hampir 4.000.000 Angka kematian bayi (AKB) per

tahunnya. Pada tahun 2007, dinegara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000

per Kelahiran Hidup (KH), Malaysia 5,5/1000 per KH, Thailand 17/1000 per

Klahiran Hidup (KH) dan di Indonesia mencapai 34/1000 Kelahiran Hidup

(KH). Hasil survey tahun 2012, Angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun

2012 sebesar 19/1000 Kelahiran Hidup (KH), menurun dari 20/1000 Kelahiran
Hidup (KH) di tahun 2007 dan 23/1000 Kelahiran Hidup (KH) di tahun 2002

(Daerah, Koja, Tahun, Hidayati, & Rahmaswari, 2016)

Menurut SDKI 2002-2003 skala nasional juga masih terjadi kesenjangan

kematian bayi antar provinsi dengan variasi yang sangat besar yaiu; NTB 103

per 1000 kelahiran hidup(tertinggi), Bali 35,72 per 1000 kelahiran hidup dan

Yogyakarta 23 per 1000 kelahiran hidup (terendah), kematian bayi tersebut

terjadi pada umur di bawah satu bulan dan utamanya disebabkan oleh gangguan

pemberian makanan pada bayi, gangguan perinatal dan BBLR. Menurut

perkiraan setiap tahun nya sekitar 400.000 bayi lahir dengan BBLR disertai

dengan berbagai komplikasinya (Labir, Gumilar, Keperawatan, & Kesehatan,

2003).

Kepustakaan barat dalam 5 tahun terakhir ini menunjukkan frekuensi

terjadinya hiperbilirubinemia yang bermakna bayi yang mendapatkan ASI

(Adams et al., 1985; Johnson et., al 1985; Maisels & Bolus, 1986; Schneider,

1986). Keadaan hiperbilirubinemia ini merupakan kelanjutan ikterus fisiologis

yang terjadi pada bayi baru lahir. Kadar bilirubin sdalam serum yang tinggi

memungkinkan deposisi ke dalam jaringan otak dengan mortalitas yang tinggi

atau bayi hidup dengan gejala sisa neurologis. Penanganannya tergantung pada

derajat ikterus yang terjadi meliputi transfusi tukar, fototerapi atau ASI

dihentikan (Achmad Surjono, 1993).

Berdasarkan Fenomena diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan Pemberian ASI Dengan Derajat Ikterik Pada Bayi
Dengn Hiperbilirubinemia. Dimana peneliti ingin mengetahui adakah hubungan

pemberian ASI dengan derajat ikterik pada bayi dengan hiperbilirubinemia.

Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh

plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir terjai proses pemotongan

plasenta, oleh karena itu tugas dari plasenta untuk mengeluarkan bilirubin dalam

darah langsung diambil alih oleh hati, dan memerlukan waktu sampai beberapa

minggu ntuk penyesuaian. Selama selang waktu tersebut, hati bekerja keras

untuk mengeluarkan bilirubin dari darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin

yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna

kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit,

sklera, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya (Ilmu & Anak, 2013)

Hepar janin pada kehamilan empat bulan mempunyai peranan dalam

metabolisme hidrat arang, dan glikogen mulai disimpan di dalam hepar, setelah

bayi lahir simpanan glikogen cepat tepakai, vitamin A dan D juga sudah

disimpan di dalam hepar. Fungsi hepar janin dalam kandungan dan segera

setelah lahir masih dalam keadaan imatur (belum matang), hal ini dibuktikan

dengan ketidak seimbangan hepar untuk meniadakan bekas penghancuran dalam

peredaran darah. Enzim hepar belum aktif dengan baik pada neonatus, misalnya

enzim UDPG : T (urindin difosat glukorinide transferase) dan enzim G6PD

(Glukose 6 fosat dehidroginase) yang berfungsi dalam sintesis bilirubin, sering

kurang sehingga neonatus memperlihatkan gejala ikterus fisiologis (Marmi &

Raharjo, 2012)
Ikterus merupakan suatu keadaan menyerupai penyakit hati yang terdapat

pada bayi baru lahir akibat terjadinya hiperbilirubinemia. (Vivian Nanny Lia

Dewi, 2010). Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan kadar bilirubin serum

total >10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit,

sklera dan organ lain, keadaan ini mempunyai potensi menimbulkan kern

ikterus. Terjadinya hiperbilirubinemia merupakan salah satu kegawatan pada

bayi baru lahir karena dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang bayi

apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat (H. Nabiel Ridha, 2014)

Dari publikasi akhir-akhir ini didapat kesan adanya kecenderungan

kenaikan frekuensi hiperbiirubinemia pada bayi cukup bulan yang mendapat

ASI (dibanding bayi yang mendapat susu buatan). Kadar bilirubin serum paa

hari 3-4 diatas 12mg% dilaporkan antara 11% sampai 26% (Adams et al., 1985;

Maisels & Gifford, 1986). (Maisels et al. 1988) menemukan proporsi sebesar

6,1% dari 2416 bayi cukup bulan yang mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia

ini kadar bilirubin direk, kadar Hb, jumlah retikulosit, hemogram seluruhnya

dalam batas normal. Juga tidak ditemukan kelainan fisik maupun aktivitas bayi

dan inkompatibilitas golongan darah (Achmad Surjono, 1993).

Beberapa faktor penyebab dinyatakan berhubungan dengan

hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat ASI. Semula didugaoleh aktivitas

senyawa pregnane-3a, 20-b-diol yang ditemukan dalam ASI. Dalam penelitian

selanjutnya tidak dapat dibuktikan karena terdapat kadar yang tinggi dalam ASI

tanpa hiperbilirubinemia (Garter, 1983). Poland et al, (1980) mendapat kadar


lipoprotein lipase yang tinggi pada ASI bayi hiperbilirubinemia, sebagai

penghambat aktivitas konjugasi bilirubin. Amato et al. (1985) menduga adanya

hambatan enzim glukuronil-transferase oleh kandungan asam lemak rantai

panjang non-ester dalam ASI. Pada tikus dibuktikan terjadi absorpsi kembali

bilirubin pada ingesti substart yang mengandung asam lemak rantai panjang

tersebut, berarti siklus enterohepatika tetap aktif. Bebrapa peneliti menyatakan

keadaan kekurangan ciran maupun kalori pada bayi yang mendapat ASI sebagai

faktor penyebab hiperbilirubinemia (Carvalho et al., 1981; Jhonson et al., 1985;

Osborn et al., 1983). Bayi dengan pemberian ASI lebih frekuen, mempunyai

rerata kadar bilirubin serum lebih rendah. Mekanisme yang diajukan adalah

stimulasi mortilitas intestinum akan mengurangi reabsobsi. Penurunan berat

badan, lama menyusui, dan volume masukan cairan dinyatakan tidak

berhubungan dengan kadar bilirubin. Gourley & Arend 1986) menduga

kandungan enzim b-glukuronidase dalam ASI memegang peran terjadinya

hiperbilirubinemia. Enzim ini mengubah bilirubin direk dalam intestinum

menjadi bilirubin direk untuk diabsorpsi kembali (Achmad Surjono, 1993).

1.2 Rumusan Masalah

Adakah hubungan pemberian ASI dengan derajat ikterik pada bayi dengan

hiperbilirubinemia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pemberian ASI dengan derajat ikterik pada bayi dengan

hiperbilirubinemia

Tujuan Khusus

1. Identifikasi derajat iterik pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang diberi ASI

2. Identifikasi derajat ikterik pada bayi dengan hiperbilirubinemia yang diberi susu

formula

3. Identifikasi hubungan pemberian ASI dengan derajat ikterik pada bayi dengan

hiperbilirubinemia

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah sakit

Sebagai masukan kepada pihak rumah sakit tentang pencegahan ikterus pada

bayi baru lahir serta penatalaksanaannya melalui konseling dan penyuluhan-

penyuluhan kepada ibu-ibu hamil tentang manfaat ASI.

2. Bagi Peneliti

Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan untuk menambah informasi tentang

ikterus pada bayi baru lahir dan sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih

lanjut mengenai hubungan pemberian ASI dengan kejadian ikterus.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan sebagai bahan bacaan

diperpustakaan atau referensi untuk mahasiswa.


DAFTAR RUJUKAN

Achmad Surjono. (1993). ikterik.pdf. Air Susu Ibu, Penurunan Berat Badan Dan

Hiperbilirubinemia Pada Bayi Baru Lahir Dalam Minggu Pertama, 4247.

Anggraini, Y., Kebidanan, J., & Kemenkes, P. (2013). Hubungan antara persalinan

prematur dengan hiperbilirubin pada neonatus 1), 109112.

Daerah, U., Koja, R., Tahun, J. U., Hidayati, E., & Rahmaswari, M. (2016).

HUBUNGAN FAKTOR IBU DAN FAKTOR BAYI DENGAN KEJADIAN

HIPERBILIRUBINEMIA PADA BAYI BARU LAHIR ( BBL ) di RUMAH

SAKIT Abstrak PENDAHULUAN Pembangunan Kesehatan masyarakat yang

telah dilaksanakan selama ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan

masya, 9398.

H. Nabiel Ridha. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ilmu, D., & Anak, K. (2013). Hiperbilirubinemia Pada Neonatus Ikterus klinis. Jurnal

Biomedik, 5, S4-10. Retrieved from

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/2599/2142

Labir, K., Gumilar, H., Keperawatan, J., & Kesehatan, P. (2003). Pemberian fototerapi

dengan penurunan kadar bilirubin dalam darah pada bayi bblr dengan

hiperbilirubinemia, 04.

Marmi, S. s., & Raharjo, K. (2012). Asuhan Neonatus Bayi, Balita & Anak Prasekolah.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Vivian Nanny Lia Dewi, S. S. (2010). Asuhan Neonatus Bayi & Anak Balita. Salem

Medika, Jakarta.

You might also like