You are on page 1of 2

akta Kerusakan Lingkungan Freeport

Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai
ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988,
Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat
ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas
telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter
2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18
juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana
penutupan tambang pada 2041.

Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan. Entah berapa besar tanah di sekitar
pertambangan yang telah rusak berat selama beroperasinya Freeport. Tentu saja ini
memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan
masyarakat. Bayangkan saja, masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah
sangat tercemar limbah. Sekedar gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu
ton, menghasilkan limbah pasir kimiawi (tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat dibayangkan
bagaimana dahsyat dampak buruknya bagi lingkungan setempat setiap harinya. Bahkan saat
ini salju di puncak gunung Jaya Wijaya pun telah mencair akibat pencemaran limbah
buangan ini.

Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan


pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari
buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika,
lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada
tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan
komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di
Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk. Hampir seluruh penduduk
miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih
dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort.
Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan
tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).

Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor
pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari
pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk
perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan
menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.

Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30
propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua,
yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-
masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong
kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport. Selain itu, situs
tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu terendah
mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan
tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan
tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius.

Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai
tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi
longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan
Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap
lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan
bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan
tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-
kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober
2003.

Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya)
melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Tailing yang dibuang
Freeport ke Sungai Ajkwa melampaui baku mutu total suspend solid (TSS) yang
diperbolehkan menurut hukum Indonesia. Limbah tailing Freeport juga telah mencemari
perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup
serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar.

Dari hasil audit lingkungan yang dilakukan oleh Parametrix, terungkap bahwa bahwa tailing
yang dibuang Freeport merupakan bahan yang mampu menghasilkan cairan asam berbahaya
bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik sensitif di sungai Ajkwa telah
punah akibat tailing Freeport. Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang
dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport
mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$
3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun jika dihitung dari perkiraan biaya
lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31 trilyun.

Beberapa media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa aktivitas
pertambangan Freeport telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang kian parah. Hal ini
telah melanggar UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa
kerusakan lingkungan yang diungkap oleh media dan LSM adalah, Freeport telah mematikan
23.000 ha hutan di wilayah pengendapan tailing. Merubah bentang alam karena erosi maupun
sedimentasi. Meluapnya sungai karena pendangkalan akibat endapan tailing.

Data-data diatas diambil dari laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite
Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam
sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju
Negara Berdaulat'.

You might also like