Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
Puisi yang bagus adalah tidak terlalu banyak menggunakan imbuhan, kata guru terdahulu
atau puisi yang bagus adalah menimbulkan kekayaan kata-kata baru yang tidak biasa. Puisi
sebagai sebuah struktur abstrak dan bagaimana kita dapat memahami keabstrakan itu sendiri
adalah berdasarkan kemampuan kita merasakan dan memahami isi dan makna dari puisi itu
sendiri.
Ketika mengamati satu persatu puisi-puisi Made Wianta, kita akan merasa berlari, kadang
juga berjalan namun tergesa-gesa, gairah yang ada berbeda pada tiap-tiap judulnya. Sederhana
andai kita adalah penikmat puisi sejati namun dari diksi-diksi yang ditampilkan, Nampak bahwa
penyair adalah orang yang berwawasan luas, dan mempunyai banyak pengalaman.
Judul tidak menjadi bagian penting dari setiap penulisan puisinya, tetapi penulisan
tanggal, bulan , dan tahun menjadi begitu penting bagi Wianta sebab itulah sumber inspirasi pada
masing-masing puisi yang dilahirkannya. Peristiwa sehari-hari menjadi tema tulisannya yang
menarik untuk kita konsumsi dalam suasana apapun. Bagi Wianta (Sukarelawanto dalam Wianta,
2003: vii), intensitas menulis seperti itu tak ubahnya orang buang kotoran yang mendapatkan
sesuatu dan sulit menggambarkannya usai berhajat. Dia tidak peduli apakah tulisannya disebut
puisi atau bukan, namun untuk memudahkan berkomunikasi dia menyebutnya puisi saja. Hal ini
berarti bahwa untuk menghadirkan karya, kita tidak perlu menunggu suasana-suasana tertentu
tetapi ciptakan suasana itu agar dapat menghadirkan karya-karya yang dapat dinikmati, minimal
oleh diri kita sendiri.
Persoalan manusia banyak disinggung dalam puisi-puisi Wianta yang merupakan
representasi sikap dan pandangannya. Dari puisi-puisi yang hadir dapat dilihat bahwa penyair
menyukai pemikiran yang terus bergerak dan mempertanyaka berbagai hal, sehingga terlahir
kumpulan puisi ini (2003: 10).
Melihat contoh puisi pada puisi satu dan puisi dua, kita dapat melihat gaya penulisan
yang hampir sama, tanpa bait tanpa tipografi yang berarti. Tapi dapat diamati semua
menggunakan huruf keci, tak ada huruf kaptal kecuali pada penylisan JANUARI dan judul pada
puisi dua. Huruf kecil dapat diartikan bahwa semua adalah rakyat kecil, tak ada yang merasa
menjadi besar kecuali Tuhan. Bisa juga diartikan huruf kecil adalah rumput yang dengan mudah
diinjak-injak dan dengan mudah pula menumbuhkan pupusnya yang hijau keputihan itu, sungguh
warna yang sedap dipandang.
Berikut adalah contoh puisi-puisi yang ditulis Made Wiante dalam antologinya. Beberapa
judul di atas sebagai wakil dari keseluruhan puisi yang berjumlah 252 judul. Diksi yang
dihadirkan oleh penyair sungguh menarik. Dari yang sederhana hingga yang sulit dimengerti,
semua menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap kemasan puisi yang telah dihasilkan.
Puisi 1
25 Januari 1996 (hal: 5)
sekali, dua kali, lima kali, sepuluh tahun terus menerus, jantung mengangkat perjalanan nasib,
telapak tangan menyerah ke meja hijau. ciptakan kedamaian, gurita-gurita menjanjikan
ketulusan, sumpah serapah menangkap bayangan, mengambil tanah dilempar. terjadi begitu
cepat, karena bayangan dekat penguasa. tak kepalang tanggung menolak simpan pinjam dan jual
beli kursi.
Puisi 2
SAMBIL MENDENGAR SUARA ADZAN, JOGJA, 24 Februari 1996 (hal: 7)
tiang telanjang bulat menyaksikan karpet menerbangkan setumpuk jas bekas. memejamkan mata
mengintip jagat raya, kaki terkilir mengukir kaki panjang. mengangguk berarti melamun. jumlah
bilangan tak tertandingi, menjadi pengawas pencopet. dibuat reramuan terapi besi, sampai
meleleh, si Amang menunggu jabatan tangan. bisikan, kekinian, melarang, makian, menggiring,
barang terlarang. punya hajat di batu nisan, suara bising menagih pintu jati. melelapkan tidur
para penyamun di awan yang ketat. rasa terbelah, menjadi rongsokan barang haram menunaikan
ibadah. jilbab ikut bergoyang.
Puisi 3
MENANYAKAN PAMERAN KEPADA SITI ADIATI SUBANGUN, GALERI ALOCITA,
SURABAYA, 25 Januari 1997 (hal: 121)
brengsek!
menawan kalung emas
selembut bau sampah
dialog kewaspadaan
melumat permandian
belulu tangan
meniti kejadian
tak semulus amarah
bertualang
neraca pengatur suhu
sebatas hujatan
menggorok kartu kredit
mencoret kedukaan
berhamburan
bayang bawah sadar
dipacu kemalangan
tak apalah
ciutkan nyali
Puisi 4
MANIS KUNINGAN, 26 April 1998, PEMBUKAAN PAMERAN ULTAH MUSEUM
RUDANA, UBUD (hal: 183)
pita rekaman melebihi ketinggian bulu kuduk, melumpuhkan angan-angan, berbaur di ingatan.
bosan mencari jejak, alam pikiran mencuri darah, nafsu memulihkan keamanan, bertindak apa
adanya. melahirkan ciri-ciri khas, beranjak dari beranda. menciutkan hiasan telapak kaki
membingungkan. olah jati diri sepadan itikad baik, berarti ikut menemukan jalan tengah,
tengadah pada kutub langit. mencerna kebiasaan, lupakan kesempurnaan. marathon penuhi
gengsi dan martabat, mencari tradisi, mensinyalemen anak nakal, meraup untung banyak-banyak.
ucapan membelokkan hasrat, mengambil sidik jari, berdoa rongga langit. sampaikan aba-aba,
dekapan, tercium kembali, kesimpangansiuran, bertanya dekat samurai. endapan nyawa memberi
makna, paru-paru mendenyutkan nadi terluka.
Puisi 5
PENERBANGAN DENPASAR-JOGJA, 5 April 2000 (hal: 200)
kring, kring, kring
embun menganyam pagi
menepuk dada
berjungkir balik
upacara kelimabelas
meludahi getaran tersembunyi
Puisi 6
10 SEPTEMBER 2001 (hal: 222)
Aku tidak makan malam
Tapi aku makan hari
Puisi 7
AMSTERDAM, 16 MEI 2002 (hal: 261)
jurang membagi langit merahasiakan kenyataan, segumpal daging sampaikan kesederhanaan.
pemanas ruangan menyisakan boneka-boneka, menjadi roh kudus. ampun, minyak goreng
tertawakan peti mati ketagihan alcohol.
Puisi 8
AMSTERDAM, 17 MEI 2002 (hal: 263)
Awan tergantung pada kawat duri
Tak ada penghalang
Hanya tawa dengan warna emas berpura-pura
3. Penutup
Puisi-puisi yang menginspirasi kita untuk dapat menulis dengan setiap saat dan jangan
dijadikan sebagai sesuatu yang sulit, khususnya dalam menulis puisi. Gaya apapun dapat menjadi
cirri khas kepengarangan kita nantinya. Dan gaya penulisan Wianta sungguh kuat dalam
pemilihan diksi dan pengolahan kata-kata serta kalimat di dalamnya, ia tidak mementingkan
judul tetapi cenderung kepada data yang menunjukkan waktu penulisan dan itu juga menjadi
bagian di dalamnya. Ketika kita membaca sekilas saja, jeas terlihat bahwa diksi yang
ditampilkan adalah diksi yang berkejar-kejaran, berlari dalam diam. Seperti yang dikatakan
Afrizal Malna (dalam Wianta, 2003: 277), kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta sangat sibuk
sekali. Kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta membuat Malna ikut sibuk, ikut pontang-
panting, membuat kacau prosedur bahasa yang sudah dikenal.
Dari masing-masing contoh puisi yang diambil dari antologi ketiga Made Wianta, terlihat
bahwa gaya menulisnya sungguh gaya yang tidak biasa baik dari diksi, tipografi, dan
enjambemennya. Hal-hal yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit untuk dimaknai, atau hal-
hal yang rumit menjadi semakin berlarian untuk menmahami makna yang tersimpan di
dalamnya. Estetika yang ditampilkan Wianta adalah sesuatu yang tak lazim dari proses
berfikirnya meskipun tidak diragukan lagi kesulitan kita dalam menemukan bagian awal, tengah,
dan akhir dari puisi-puisi yang ada.
Gaya yang sama dari Wianta tetap akan menampilkan makna yang berbeda sebab
pembaca diarahkan oleh system model dan konvensi sastra dan budaya yang ada. Seperti yang
diungkapkan Ratna (2009: 251) bahwa stilistika dalam hal ini gaya enulisan penyair dan estetika
bekerja saling meliputi, stilistika mengimplikasi keindahan, demikian juga sebaliknya, keindahan
melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam tulisan-tulisan Made Wianta kecuali estetika
yang ditampilkan dan sesuatu yang menyenangkan karena membuat kita terengah-engah untuk
sekedar mengikuti diksi yang berlari-larian.
Daftar Pustaka
1. Aminuddin, M. Pd, Drs. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algessindo
2. Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2009. Stilistika kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3. Wianta, Made. 2003. Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York. Jogjakarta:
Bentang.