You are on page 1of 6

Gaya Penulisan Puisi Made Wianta dalam Antologi Puisi Kitab Suci Digantung

di Pinggir Jalan New York karya Made Wianta


(Sebuah Analisis Komparatif)
Anis Choirun Niswah (MAN Lamongan)

1. Pendahuluan
Puisi yang bagus adalah tidak terlalu banyak menggunakan imbuhan, kata guru terdahulu
atau puisi yang bagus adalah menimbulkan kekayaan kata-kata baru yang tidak biasa. Puisi
sebagai sebuah struktur abstrak dan bagaimana kita dapat memahami keabstrakan itu sendiri
adalah berdasarkan kemampuan kita merasakan dan memahami isi dan makna dari puisi itu
sendiri.
Ketika mengamati satu persatu puisi-puisi Made Wianta, kita akan merasa berlari, kadang
juga berjalan namun tergesa-gesa, gairah yang ada berbeda pada tiap-tiap judulnya. Sederhana
andai kita adalah penikmat puisi sejati namun dari diksi-diksi yang ditampilkan, Nampak bahwa
penyair adalah orang yang berwawasan luas, dan mempunyai banyak pengalaman.
Judul tidak menjadi bagian penting dari setiap penulisan puisinya, tetapi penulisan
tanggal, bulan , dan tahun menjadi begitu penting bagi Wianta sebab itulah sumber inspirasi pada
masing-masing puisi yang dilahirkannya. Peristiwa sehari-hari menjadi tema tulisannya yang
menarik untuk kita konsumsi dalam suasana apapun. Bagi Wianta (Sukarelawanto dalam Wianta,
2003: vii), intensitas menulis seperti itu tak ubahnya orang buang kotoran yang mendapatkan
sesuatu dan sulit menggambarkannya usai berhajat. Dia tidak peduli apakah tulisannya disebut
puisi atau bukan, namun untuk memudahkan berkomunikasi dia menyebutnya puisi saja. Hal ini
berarti bahwa untuk menghadirkan karya, kita tidak perlu menunggu suasana-suasana tertentu
tetapi ciptakan suasana itu agar dapat menghadirkan karya-karya yang dapat dinikmati, minimal
oleh diri kita sendiri.
Persoalan manusia banyak disinggung dalam puisi-puisi Wianta yang merupakan
representasi sikap dan pandangannya. Dari puisi-puisi yang hadir dapat dilihat bahwa penyair
menyukai pemikiran yang terus bergerak dan mempertanyaka berbagai hal, sehingga terlahir
kumpulan puisi ini (2003: 10).
Melihat contoh puisi pada puisi satu dan puisi dua, kita dapat melihat gaya penulisan
yang hampir sama, tanpa bait tanpa tipografi yang berarti. Tapi dapat diamati semua
menggunakan huruf keci, tak ada huruf kaptal kecuali pada penylisan JANUARI dan judul pada
puisi dua. Huruf kecil dapat diartikan bahwa semua adalah rakyat kecil, tak ada yang merasa
menjadi besar kecuali Tuhan. Bisa juga diartikan huruf kecil adalah rumput yang dengan mudah
diinjak-injak dan dengan mudah pula menumbuhkan pupusnya yang hijau keputihan itu, sungguh
warna yang sedap dipandang.

Berikut adalah contoh puisi-puisi yang ditulis Made Wiante dalam antologinya. Beberapa
judul di atas sebagai wakil dari keseluruhan puisi yang berjumlah 252 judul. Diksi yang
dihadirkan oleh penyair sungguh menarik. Dari yang sederhana hingga yang sulit dimengerti,
semua menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap kemasan puisi yang telah dihasilkan.
Puisi 1
25 Januari 1996 (hal: 5)
sekali, dua kali, lima kali, sepuluh tahun terus menerus, jantung mengangkat perjalanan nasib,
telapak tangan menyerah ke meja hijau. ciptakan kedamaian, gurita-gurita menjanjikan
ketulusan, sumpah serapah menangkap bayangan, mengambil tanah dilempar. terjadi begitu
cepat, karena bayangan dekat penguasa. tak kepalang tanggung menolak simpan pinjam dan jual
beli kursi.

Puisi 2
SAMBIL MENDENGAR SUARA ADZAN, JOGJA, 24 Februari 1996 (hal: 7)
tiang telanjang bulat menyaksikan karpet menerbangkan setumpuk jas bekas. memejamkan mata
mengintip jagat raya, kaki terkilir mengukir kaki panjang. mengangguk berarti melamun. jumlah
bilangan tak tertandingi, menjadi pengawas pencopet. dibuat reramuan terapi besi, sampai
meleleh, si Amang menunggu jabatan tangan. bisikan, kekinian, melarang, makian, menggiring,
barang terlarang. punya hajat di batu nisan, suara bising menagih pintu jati. melelapkan tidur
para penyamun di awan yang ketat. rasa terbelah, menjadi rongsokan barang haram menunaikan
ibadah. jilbab ikut bergoyang.

Puisi 3
MENANYAKAN PAMERAN KEPADA SITI ADIATI SUBANGUN, GALERI ALOCITA,
SURABAYA, 25 Januari 1997 (hal: 121)
brengsek!
menawan kalung emas
selembut bau sampah
dialog kewaspadaan
melumat permandian
belulu tangan
meniti kejadian
tak semulus amarah
bertualang
neraca pengatur suhu
sebatas hujatan
menggorok kartu kredit
mencoret kedukaan
berhamburan
bayang bawah sadar
dipacu kemalangan
tak apalah
ciutkan nyali

Puisi 4
MANIS KUNINGAN, 26 April 1998, PEMBUKAAN PAMERAN ULTAH MUSEUM
RUDANA, UBUD (hal: 183)
pita rekaman melebihi ketinggian bulu kuduk, melumpuhkan angan-angan, berbaur di ingatan.
bosan mencari jejak, alam pikiran mencuri darah, nafsu memulihkan keamanan, bertindak apa
adanya. melahirkan ciri-ciri khas, beranjak dari beranda. menciutkan hiasan telapak kaki
membingungkan. olah jati diri sepadan itikad baik, berarti ikut menemukan jalan tengah,
tengadah pada kutub langit. mencerna kebiasaan, lupakan kesempurnaan. marathon penuhi
gengsi dan martabat, mencari tradisi, mensinyalemen anak nakal, meraup untung banyak-banyak.
ucapan membelokkan hasrat, mengambil sidik jari, berdoa rongga langit. sampaikan aba-aba,
dekapan, tercium kembali, kesimpangansiuran, bertanya dekat samurai. endapan nyawa memberi
makna, paru-paru mendenyutkan nadi terluka.

Puisi 5
PENERBANGAN DENPASAR-JOGJA, 5 April 2000 (hal: 200)
kring, kring, kring
embun menganyam pagi
menepuk dada
berjungkir balik
upacara kelimabelas
meludahi getaran tersembunyi

kring, kring, kring


memikul paha perawan
tegakkan kekacauan
dikumandangkan kehangatan
berkelok-kelok tergolek
di peta tak terbilang

kring, kring, kring


kacau membuat ludah
dermawan
renungan
menyuruh
terkesima
terdepak
kosa kata

kring, kring, kring


uluran tanganmembasuh laut
menggiring ombak nostalgia
embun tak memperjelas bentuk kicau
tempatkan benda kontras di keputihannya

kring, kring, kring

Puisi 6
10 SEPTEMBER 2001 (hal: 222)
Aku tidak makan malam
Tapi aku makan hari

Puisi 7
AMSTERDAM, 16 MEI 2002 (hal: 261)
jurang membagi langit merahasiakan kenyataan, segumpal daging sampaikan kesederhanaan.
pemanas ruangan menyisakan boneka-boneka, menjadi roh kudus. ampun, minyak goreng
tertawakan peti mati ketagihan alcohol.

Puisi 8
AMSTERDAM, 17 MEI 2002 (hal: 263)
Awan tergantung pada kawat duri
Tak ada penghalang
Hanya tawa dengan warna emas berpura-pura

2. Pembahasan: Terjemah Bebas Puisi-Puisi Karya Made Wianta


Sebuah karya tentu dibuat dengan menyampaikan unsur makna secara sengaja, karena di
dalam suatu karya tersimpan berbagai rahasia atau pesan moral yang hendak disampaikan oleh si
pembuat karya itu sendiri, dalam hal ini penyair. Masing-masing contoh puisi sebagai sampel
analisis komparatif di atas akan diartikan sebagaimana pemahaman makna terhadap puisi rupa
karya Made Wianta.
Puisi satu menceritakan tentang kepemimpinan seseorang yang tak cukup habis dalam
setahun, dua tahun, bahkan habis sepuluh tahun dan masih terus berlangsung dan meninggalkan
jejak-jejak yang menggurita yang menjanjikan kesenangan, kedamaian, ketentraman. Hal
tersebut dapat kita amati pada penggalan /gurita-gurita menjanjikan ketulusan/.
Sedangkan pada puisi dua, dapat dirasakan bahwa ia sedang menuliskan perasaannya
yang tak terjemahkan begitu saja, ketika terdengar adzan, ia menuliskan perasaannya yang tidak
menentu. Ada banyak terjemahan dan tidak fokus pada satu hal, dan inilah yang membuat tulisan
Wianta seperti sesuatu yang hidup dalam banyak makna. Tipografi yang biasa saja dan tidak
berbelit-belit menggambarkan kekhasan tulisannya. Tiang telanjang bulat menyaksikan karpet
menerbangkan setumpuk jas bekas, seperti kita ketahui tiang adalah penyangga sekaligus benda
diam sebagai saksi yang telanjang. Jas amerupakan symbol kelas sosial yang diterbangkan oleh
karpet yang pada dasarnya sebagai alas dari jas itu sendiri. Sungguh pemandangan yang
mengerikan sebenarnya tapi kemasan yang porak poranda menjadikan tampilan puisi tidak
seseram yang dimaksudkan.
Puisi tiga dapat dimaknai dengan sesuatu yang diputarbalikkan atau bisa disebut dengan
fakta yang berbalik. Ketika mendapatkan sesuatu yang menarik adakah daya bagi kita untuk
menolaknya, maka jawabannya adalah tidak. Dan ketika emas harus bersinggungan dengan
lembut aroma sampah, maka dapat dikatakan bahwa penyair sedang mengalami rasa yang tak
terbilang sehingga ia tidak sanggup lagi mengatakan kebahagiannya kecuali umpatan-umpatan
yang mewakili kebahagiannya mendapatkan kabar untuk dapat melaksanakan pameran
lukisannya di Surabaya. Apapun yang kita ucapkan adalah berdasarkan pada bagaimana kita
menyerap ilmu yang kita peroleh dan kita olah.
Melihat puisi empat, kita akan mendapati pemutaran musik atau lagu-lagu pengiring pada
sebuah acara yang volumenya di atas rata-rata atau syair-syairnya yang tepat sasaran sehingga ia
merasakan bahwa pita rekaman melebihi bulu kuduk. Bertemu banyak orang, teman lama, semua
berbaur menjadi satu dalam dekapan dalam ciuman. Dalam acara tersebut, yaitu pembukaan
pameran ultah museum Rudana di Ubud, ia merasa seperti sedang meraup banyak keuntungan.
Meskipun terkadang dalam sebuah acara harus ada yang menjadi korban atau terluka karena
sesuatu hal pula.
Ada sesuatu yang berbeda lagi pada contoh puisi lima, meski pengolahan kata menjadi
senjata utamanya untuk menampilkan puisi yang eksotik serta mempunyai bait-bait lazimnya
puisi yang sebenarnya. Tema di dalamnya tergambar jelas bahwa apa yang ditulisnya adalah
sebuah panorama dari ketinggian antara DenpasarJogja. Sungai, jalan, gugusan gunung
menjadi gambaran tersendiri bagi Wianta. Kata kring kring kring dapat dimaknai sebagai alarm
atau sinyal tentang tentang kuasa Tuhan akan alam yang kita tempati begitu indah. Mulai dari
embun pada pagi hari, kesibukan yang kemudian mengiringi, gambaran dipeta yang akhirnya
dapat disamakan ketika berada pada ketinggian penerbangan, hingga sesuatu yang tampak jelas
menjadi kontras warna putih dari tempat ia duduk di atas bumi. Hal itu ia gambarkan lebih jelas
dan tidak terlalu absurd untuk dimaknai lebih dalam.
Sedangkan pada puisi enam kita akan menemukan rasa jenuh pada kehidupan yang
berlangsung terus-menerus tanpa sesuatu hal yang berarti atau bahkan dengan hidupnya yang
terlalu sibuk untuk segala bentuk urusan. Ia merasakan bahwa ada yang terlalu biasa atau
berlebihan sehingga ia harus memberikan symbol bahwa ia tidak makan malam tetapi makan
hari. Ini berarti bahwa ia seperti tidak dapat menikmati makan malamnya yang menandakan
bahwa hari telah berganti dan ia tidak menyadarinya sebab kesibukannya. Sebuah puisi yang
sederhana dari bentuknya tetapi dalam pada maknanya.
Menikmati puisi tujuh kita seperti berada pada garis limbung, yaitu tidak berada di langit
dan tidak berada di jurang. Bagi penyair, jurang dan langit memberikan inspirasi tersendiri. Jarak
antara jurang dan langit adalah hal yang paling mendasar dan hal tertinggi yang dimiliki Tuhan.
Segala yang berhubungan dengan dunia adalah milik yang hidup di bumi tetapi segalanya akan
menjadi kudus pada waktunya di hadapan yang paling kudus. Kalaupun ada sesuatu yang tidak
berkenan di hati, itu semata-mata adalah candaan dalam menghadapi hidup yang semua tentu
kembali ke hadirat Tuhan.
Terakhir adalah puisi delapan, pada puisi ini segalanya menjadi nyata bahwa tidak ada
yang mustahil di dunia ini. Apabila ada yang mustahil maka itu adalah kebohongan tak ubahnya
seperti candaan dengan warna emas berpura-pura. Hal ini berarti bahwa, semua yang tidak
bersungguh-sungguh maka dia adalah sedang berpura-pura, seperti yang banyak ita jumpai di
sekeliling kita. Banyak berita di media massa yang memberitakan tentang tertangkapnya polisi
atau oknum gadungan lainnya, banyak sebagian manusia gila atau berpura-pura gila sebab
kehilangan harta bendanya ketika tidak sempat dipilih oleh lingkungannya, dan masih banyak
lainnya. Dan inilah yang disebut dengan warna emas berpura-pura.

3. Penutup
Puisi-puisi yang menginspirasi kita untuk dapat menulis dengan setiap saat dan jangan
dijadikan sebagai sesuatu yang sulit, khususnya dalam menulis puisi. Gaya apapun dapat menjadi
cirri khas kepengarangan kita nantinya. Dan gaya penulisan Wianta sungguh kuat dalam
pemilihan diksi dan pengolahan kata-kata serta kalimat di dalamnya, ia tidak mementingkan
judul tetapi cenderung kepada data yang menunjukkan waktu penulisan dan itu juga menjadi
bagian di dalamnya. Ketika kita membaca sekilas saja, jeas terlihat bahwa diksi yang
ditampilkan adalah diksi yang berkejar-kejaran, berlari dalam diam. Seperti yang dikatakan
Afrizal Malna (dalam Wianta, 2003: 277), kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta sangat sibuk
sekali. Kesibukan teks dalam puisi-puisi Wianta membuat Malna ikut sibuk, ikut pontang-
panting, membuat kacau prosedur bahasa yang sudah dikenal.
Dari masing-masing contoh puisi yang diambil dari antologi ketiga Made Wianta, terlihat
bahwa gaya menulisnya sungguh gaya yang tidak biasa baik dari diksi, tipografi, dan
enjambemennya. Hal-hal yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit untuk dimaknai, atau hal-
hal yang rumit menjadi semakin berlarian untuk menmahami makna yang tersimpan di
dalamnya. Estetika yang ditampilkan Wianta adalah sesuatu yang tak lazim dari proses
berfikirnya meskipun tidak diragukan lagi kesulitan kita dalam menemukan bagian awal, tengah,
dan akhir dari puisi-puisi yang ada.
Gaya yang sama dari Wianta tetap akan menampilkan makna yang berbeda sebab
pembaca diarahkan oleh system model dan konvensi sastra dan budaya yang ada. Seperti yang
diungkapkan Ratna (2009: 251) bahwa stilistika dalam hal ini gaya enulisan penyair dan estetika
bekerja saling meliputi, stilistika mengimplikasi keindahan, demikian juga sebaliknya, keindahan
melibatkan berbagai sarana yang dimiliki oleh gaya bahasa.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam tulisan-tulisan Made Wianta kecuali estetika
yang ditampilkan dan sesuatu yang menyenangkan karena membuat kita terengah-engah untuk
sekedar mengikuti diksi yang berlari-larian.
Daftar Pustaka

1. Aminuddin, M. Pd, Drs. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algessindo
2. Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. 2009. Stilistika kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3. Wianta, Made. 2003. Kitab Suci Digantung di Pinggir Jalan New York. Jogjakarta:
Bentang.

You might also like