You are on page 1of 3

Peran Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum

Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, memang banyak sekali mendapat sorotan
dari para masyarakat dari berbagai disiplin ilmu, yang mencoba mengkajinya dari perspektif masing-
masing. Namun pada dasarnya semua menyadari bahwa Pancasila memuat sejumlah nilai dasar yang
tidak dapat dipisahkan dari cita rakyat Indonesia, yang bahkan sebagian orang menilainya sebagai
suatu impian yang ingin dicapai rakyat Indonesia pada suatu hari kelak. Elemen-elemen mendasar
yang dicantumkan dalam Pancasila memang bukanlah sesuatu yang dengan sederhana dan segera
dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, karena memerlukan pemahaman dan
komitmen yang sungguh-sungguh dari para pembuat keputusan.

Sulit diingkari bahwa salah satu hal yang saat ini sedang menjadi salah satu isu yang paling ramai
dibicarakan masyarakat Indonesia adalah penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan
penegakan Hak Asasi Manusia. Betapa tidak, HAM merupakan seperangkat hak dasar yang secara
kodrati melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, sehingga pada dasarnya semua kehidupan
manusia tidak lepas dari nuansa HAM, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Universal
tentang HAM yang mengawali tulisan ini. Tidak mengherankan apabila dalam perumusan UUD 1945
oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia juga telah diinkorporasikan materi yang
berkenaan dengan HAM. Dengan demikian HAM telah merupakan hak konstitusional yang dijamin
oleh hukum. Sebelum beranjak lebih jauh ke dalam pembicaraan mengenai Pancasila sebagai
paradigma dalam pembangunan hukum dan Hak Asasi Manusia; terlebih dahulu akan diuraikan
dalam segenggam mengenai kondisi yang ada di Indonesia saat ini berkenaan dengan kedua kata
kunci tersebut.

Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hukum kala ini tengah berada di titik nadir, mudah diduga adapula yang terjadi dengan HAM yang
belum sepenuhnya dipahami baik oleh pembuat kebijakan maupun publik. Berbagai contoh
peristiwa demi peristiwa yang dialami bangsa Indoensia nampaknya cukup sudah untuk mendukung
pernyataan tersebut. Upaya-upaya penyelesaian berbagai krisis yang melanda, yang pada akhirnya
membuat kondisi rakyat kecil terutama makin terpuruk, sampai masih belum menunjukkan hasil
yang memuaskan, baik melalui hukum maupun upaya lainnya. Terlunta-lunta berbagai kasus
pelanggaran hukum, baik yang menyangkut pelanggaran berat terhadap HAM maupun kasus
korupsi, makin membuat tenggelamnya hukum sebagai salah satu sarana pengendalian sosial.
Bahkan, diberlakukannya keadaan darurat sipil di Maluku misalnya, ternyata belum menghasilkan
perubahan yang diinginkan, demikian dilaporkan oleh media massa, malahan pelanggaran HAM
masih terus terjadi.

Tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa situasi Indonesia pada dua tahun terakhir ini,
khususnya yang berkenaan dengan kematian dan cederanya korban-korban tindak kekerasan
bersenjata berbagai wilayah Indonesia, sungguh menimbulkan duka cita yang amat sangat. Layaknya
disimak adanya banyak orang yang menganalogikan kondisi semacam ini dengan perang saudara
yang terjadi di negara-negara lain. HAM seakan sekedar angin lalu yang tidak layak menjadi
perhatian warga maupun pemegang kekuasaan. Berjatuhannya korban dari berbagi pihak, termasuk
dari anggota masyarakat yang sekedar menjadi penonton menjadi headlines bukan hanya di dalam
negeri, tapi juga luar negeri. Kecaman-kecaman pun berdatangan dari seluruh penjuru tanah air dan
benua, disertai dengan pernyataan keprihatinan yang mendalam. Sulitlah untuk mengingkari
bahwasannya peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa kritisnya integrasi bangsa, betapa
rapuhnya sendi-sendi kenegaraan yang selama ini ditopang dengan berbagai perangkat politik, sosial
dan hukum. Belum lagi adanya sekelompok orang yang dapat dikategorikan sebagai kaum oportunis,
yang berprilaku berdasar aji mumpung, pokok cari slamet.

Kondisi yang tengah kita alami pada masa transisi ini, sulit diingkari, merupakan kulmunasi dari
ketidak percayaan rakyat pada pranata sosial yang ada, terutama pranata hukum (baik yang
berkenaan dengan proses pembentukan, penegakan maupun penegaknya sendiri) yang selama ini
banyak nampak hanya sampai pada taraf akumulasi belaka, yang belum mencerminkan adanya
keadilan. Berbagai eksplosi yang terjadi secara sporadis maupun tidakm bahkan yang juga telah
membangkitkan gerakan sentrifugal, merupakan ancaman bagi seluruh bangsa, yang akar
permasalahannya tidak jauh dari hukum dan keadilan. Sudah teramat jelas, apalagi dengan desakan
berbagai lembaga di tingkat nasional maupun internasional, bahwasannya tidak berfungsinya hukum
dengan baik merupakan suatu fakta yang pahit, tak dapat diingkari dan sangat memprihatinkan.
Sebelum terjadinya krisis moneter saja sudah cukup banyak reaksi terhadap hukum dan
penegakannya. Sejumlah masalah yang layak dicatat terjadi berkenaan dengan bidang hukum dan
HAM antara lain termasuk :

a. Sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial


b. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial
c. Inkonsistensi dan diskriminasi dalam penegakkan hukum
d. Besarnya intervensi kekuasaan terhadap hukum
e. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
f. Rancangan pemahaman masyarakat mengenai hukum dan HAM termasuk adanya
miskonsepsi tentang kebebasan mendasar dan demokrasi
g. Keterbatasan pemahaman para pembuat keputusan dalam berbagai tingkatan mengenai
hukum dan HAM

Kesemua fenomena di atas merupakan sebagian dari faktor-faktor yang telah memudarkan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan HAM serta keseluruhan atributnya (pembuat,
penegak dan simbol-simbol hukum). Bahkan kondisi ini juga tekag mereduksi kepastian hukum
sebgai suatu pilar yang melandasi tegaknya hukum dimanapun dan pada gilirannya menciptakan
kondisi yang belum menunjang pemenuhan HAM seutuhnya. Salahkan kalau orang menenggarai
adanya distrust, disrespect and disobedience to law. Pada dasarnya, suatu hukum yang baik adalah
hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya.
Namun sudah sejak lama orang mempunyai keraguan atas hukum yang dibuat manusia.
bahwasannya hukum seringkali berlaku sebagai sarang laba-laba, yang hanya menangkap.
Berdasar hal ini maka jelaslah bahwa hukum yang berlaku dan HAM yang dijalankan belumlah
mencerminkan ideologi, kepedulian dan keterikatan pemerintah pada rakyatnya, dan tidak semata-
mata merupakan hukum yang diinginkan rakyat untuk mengatur mereka. Hukum yang dimaksudkan
di sini adalah hukum yang berpihak pada rakyat, yang memperhatikan keadilan sosial, yang
mencerminkan pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana telah dicantumkan dalam Konstitusi.
Bahwasannya hukum bukan hanya merupakan pedoman berprilaku bagi rakyat, tapi juga bagi aparat
pemerintahan dan seluruh penyelenggara kegiatan kenegaraan, merupakan suatu norma yang telah
diakui secara universal. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya
dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka, dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri
oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari
oleh semua pihak, agar dapat mencapai kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat yang sejahtera,
yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara hukum.

http://maulydiatasyanovella.blogspot.co.id/2011/11/pancasila-sebagai-paradigma-
pembangunan_27.html

You might also like