You are on page 1of 33

TRIBUN-MEDAN.

com, MEDAN - Pada tahun 2010 nelayan di sekitar Danau Toba


melakukan penangkapan terhadap ikan porapora sebanyak 30 ribu ton.

Sebagian besar ikan porapora atau ikan bilih yang berasal dari Sumatera Barat ini
dikirim keluar kota. Seperti Padang, Riau, Jakarta, dan lain sebagainya.

Untuk itu, Prof Endi Setiadi Katamiharja dari Pusat Penelitian Pengelolaan
perikanan dan konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengatakan penangkapan ikan porapora harus dikendalikan. Jika tidak
nasibnya akan sama dengan ikan porapora asli yang berhabitat di Danau Toba
yang pada tahun 1990 sudah sulit ditemukan.

"Ikan bilih itu berbeda dengan ikan porapora, namun memiliki kemiripan.
Sehingga masyarakat di Danau Toba menyebutnya ikan porapora. Sejak tahun
1990 populasi ikan porapora sudah tidak ada lagi. Tahun 2003 kami
mengembangbiakkan populasi ikan bilih dari Danau Singkarang ke Danau Toba,
ternyata berhasil. Namun harus dikendalikan agar tidak punah lagi," ujar Prof
Endi saat menjadi pembicara dalam Workshop pengelolaan Ikan Bilih di Danau
Toba, Sumatera Utara Hotel Grand Antares, Jl SM Raja Medan, Kamis (2/8/2012).

Kegiatan ini dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Menurutnya, perkembangan produksi ikan bilih di Danau Toba mengalami


peningkatan yang sangat tajam setiap tahunnya. Awal tahun 2003, Puslit
Pengelolaan perikanan dan konservasi Sumber Daya Ikan mengembangbiakkan
2.840 ekor. Tangkapan pada tahun itupun hanya berkisar 300-an ekor.

Lima tahun kemudian, jumlahnya meningkat drastis. Tahun 2008 nelayan


menangkap 7.500 ton, 2009 sebanyak 13 ribu ton, dan 2010 sebanyak 30 ribu ton.
"Di masa yang akan datang hasil tangkapan ikan bilih akan mnurun jika
penangkapannya tidak terkendali dan tidak terkelola dengan baik," jelas Prof Endi.

Untuk itu, menurutnya ada yang harus dilakukan adalah melindungi tempat ikan
bilih atau porapora melakukan pmijahan serta melakukan penetapan suaka ikan
bilih.

"Selain itu penangkapan ikan dengan cara-cara ilegal atau yang merusak
lingkungan harus dicegah. Seperti penggunaan bagan yang menggunakan arus
listrik. penggunaan alat tangkap bubu di sungai-sungai yang mengalir ke Danau
Toba, racun tuba dan lain sebagainya," jelasnya.

Menurutnya, ada sekitar 96 sungai yang mengalir ke Danau Toba. Minimal harus
melestarikan 4 sampai 5 aliran sungai yang besar sebagai tempat pemijahan ikan
porapora. Sehingga keberlangsungan hidup ikan ini di Danau Toba juga dapat
berkeseninambungan.
Kepala Bidang Keluatan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut
Mathias Bangun mengaku setuju dengan ide Prof Endi.

Saat ini pihaknya sudah mengawasi penggunaan alat tangkap ikan yang berbahaya.
"Alat tangkap yang dilarang adalah bagan yang menggunakan arus listrik.
Penggunaan alat tangkap bubu di sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba,
keramba tanam, racun tuba dan lain sebagainya," ujarnya.

Menurutnya, yang disarankan di gunakan oleh nelayan adalah keramba jaring


apung. Karena bisa dipindah-pindah dengan mudah. Serta penggunaan jaring yang
ukuran mata jaringnya minimal satu inchi."Kalau lebih kecil dari satu inci, ikan-
ikan kecil akan tertangkap juga," jelasnya.

Valuasi Sosial Ekonomi Dampak Penebaran Ikan Bilih di Danau Toba,


Sumatera Utara

Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) adalah ikan endemik yang hidup di
Danau Singkarak, Sumatera Barat. Jenis ikan ini merupakan salah satu andalan
komoditas ikan yang dapat dieksploitasi dari danau Singkarak oleh nelayan di kabupaten
Tanah Datar dan Solok propinsi Sumatra Barat. Komoditas ini mampu menopang
aktifitas perekonomian di sekitar danau Singkarak. Ikan ini mampu berkembang dengan
cepat apabila habitat kehidupan ikan atau kondisi lingkungan sumberdaya perairan
tempat ikan terse but coeok.
Hasil kajian ikan Bilih serta habitat kehidupannya serta kajian ekologi lingkungan
perairan Danau Toba memberikan indikasi bahwa ikan Bilih dapat ditebar (di introduksi)
tanpa menyebabkan dampak negatif seeara biologik. Untuk meningkatkan produksi ikan
dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan Danau Toba, Pada tahun 2003
Pusat Riset Perikanan Tangkap telah melakukan penebaran (introduksi) ikan Bilih
berukuran panjang total antara 4,1 -5,7 em dan berat antara 0,9 -1,5 gram sebanyak 2.840
ekor yang benihnya di ambil dari danau Singkarak
Hasil monitoring kompilasi statistik produksi ikan Bilih di Danau Toba, tahun 2005
menunjukkan hasil tangkapan ikan Bilih yang sangat nyata, yakni mencapai 653,6 ton
atau 14,6% dari total hasil tangkapan ikan pada tahun yang sarna, yakni sebesar
4.462 ton. Hasil tangkapan ikan Bilih tersebut berada pada urutan ke tiga setelah
tangkapan ikan mujair dan nila. Rata-rata harga j ual ikan sebesar Rp 6000, diperkirakan
nilai hasil tangkapan ikan Bilih pad a tahun 2005 tersebut meneapai 3,9 milyar rupiah.
Hasil kajian cepat tentang perkembangan hasil tangkapan ikan Bilih yang dilakukan pada
April 2008 menunjukkan bahwa hasil tangkapan terus meningkat dan pada tahun tersebut
diperkirakan meneapai 1.750 ton. Bahkan, pertengahan tahun 2009 dilaporkan
produksinya diperkirakan meneapai 13.000 ton (Pers. Com., 2009). Dewasa ini
keberadaan ikan Bilih di Danau Toba telah menggantikan keberadaan ikan pora-pora
yang sejak tahun 1990-an sulit ditemukan dan tidak pernah tertangkap lagi.
Permasalahan yang dirasakan dewasa ini adalah rendahnya harga jual ikan Bilih serra
tingginya intensitas penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat. Di lain pihak, otoritas
pengelola belum memandang perlu melakukan pengelolaan perikanan Bilih di Danau
Toba. Padahal, eksploitasi ikan Bilih yang intensif melewati ambang batas daya
dukungnya dapat menyebabkan penurunan populasi yang akhirnya menuju kepunahan
populasi ikan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan dampak sosial ekonomi penebaran ikan Bilih di Danau Toba.
Hasil observasi lapang yang dilakukan melalui survai pendahuluan pada bulan Juni dan
survai utama Agustus 2010 memberikan gambaran bahwa rataan ukuran hasil tangkapan
ikan Bilih telah menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Intensitas kegiatan penangkapan ikan Bilih yang dilakukan oleh masyarakat meningkat
pesat tanpa adanya upaya pengendalian. Kegiatan penangkapan juga marak dilakukan di
lokasi-Iokasi dimana ikan Bilih diduga melakukan pemijahan atau berkembang biak.
Sementara itu , harga jual ikan Bilih hasil tangkapan basah di Danau Toba relatif rendah
bila dibanding harga ikan Bilih di danau Singkarak; padahal harga jual ikan olahan di
sentra-sentra pemasaran terus mangalami peningkatan. Otoritas pengelola perikanan
belum banyak memahami potensi dan manfaat ikan Bilih di Danau Toba. Lebih lanjut,
masih minimnya dokumentasi data dan informasi maupun kajian ilmiah terkait dengan
keberhasilan penebaran ikan Bilih di Danau Toba. Patut diduga bahwa dukungan iptek
berupa data dan informasi dampak penebaran ikan Bilih yang telah dilakukan belum
tersedia; sehingga bahan rujukan untuk formulasi kebijakan dan strategi pengelolaan ikan
Bilih di Danau Toba belum dapat dibuat. Oleh karena itu, kajian dalam bentuk valuasi
sosial ekonomi dampak penebaran ikan Bilih di Danau Toba perlu dilakukan.
Tujuan penelitian \ aiU3Si sosial ekonomi dampak penebaran ikan Bilih di Danau Toba
ad alah mengkaji ekstemalitas dan status keberlanjutan perikanan Bilih di perairan Danau
T oba. Lebih spesifik, penelitian difokuskan untuk: (a) mendapatkan data dan in form as i
karakteristik dinamika perkembangan perikanan bilih diperairan Danau Toba;
(b) pola pemanfaatandan social ekonomi dampak penebaran ikan bilih di Danau Toba,
dan : (c) status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan Bilih di Danau Toba.
:vfanfaat penelitian ini adalah sebagai basis informasi serta bahan rujukan bagi
perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan perikanan bilih di Danau Toba
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metoda survai dengan bantuan kuesioner
terstruktur. Data primer dan data sekunder digunakan dalam kaj ian tersebut. Data primer
diperoleh melalui survai lapang dengan bantuan kuesioner yang diperoleh dari respond en
terpilih. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur terkait dengan topik studi
dan laporan statistik baik dari lembaga penelitian lingkup Kementerian Kelautan dan Peri
kanan, Perguruan Tinggi maupun Dinas Teknis terkait di daerah. Dengan lokasi penelitian
di Danau Toba (khususnya di sentra-sentra pendaratan ikan) selama bulan Maret
-Desember 20 IO. Pengambilan data primer dari responden (sample respond en)
dilakukan dengan menggunakan penarikan contoh secara acak menurut kelompok-
kelompok (stratified random sampling) respond en yang di amati. Selain itu, metoda
'Focus Group Discussion' digunakan untuk menjaring data dan infonnasi spesifik
terhadap responden-responden kunci. Metoda anal isis yang digunakan metode analisis
deskriptif untuk menjelaskan karakteristik dinamika perkembangan dan pola pemanfaatan
ikan Billh diperairan Danau Toba. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah unit rumah tangga nelayan penangkap dan pengolah ikan Bilih yang
diperhitungkan pada unit satuan per trip kegiatan penangkapan dan per siklus produksi
pengolahan ikan Bilih
Danau Toba terletak di Provinsi Sumatra Utara dan secara administratif 'dimiliki' oleh 6
kabupaten, yakni kabupaten Samosir, Toba Samosir, Karo, Simalungun, Humbang
Hasunduta dan Medan. Kegiatan perikanan di perairan Danau Toba didominasi oIeh
kegiatan penangkapan ikan skala kecil; meskipun demikian,:-':egiatan budidaya ikan
dalam karamba jaring apung dengan pilihan jenis ikan mas dan nila juga telah
berkembang di perairan tersebut. Kegiatan usaha penangkapan dilkukan oleh nelayan
dengan menggunakan armada penangkapan yang cukup sederhana, yakni menggunakan
perahu tanpa motor dan perahu motor tempel dengan jenis alat tangkap berupa jaring
insang (gillnet), pancing baik berupa pancing rawai (longlines) maupun pancing biasa
(hook lines), bubu (trap) dan bagan. Beberapa tempat pendaratan ikan tersedia di sekitar
perairan Danau Toba, antara lain di Parapat, Tongging, Porsea, Balige dan Silalahi.
Sedangkan di Pulau Samosir, Pangaruran dan Palipi. Jenis ikan tertangkap didominasi
oleh ikan mujaer dan nila; tetapi pada perkembangan selanjutnya, ikan Bilih
mendominasi hasil tangkapan ikan nelayan.
Hasil wawancara dengan responden kunci mencakup petugas dinas perikanan setempat,
nelayan dan pengepul atau pedagang pengumpul di tempat-tempat pendaratan ikan di
sekitar perairan Danau Toba memberikan gambaran bahwa selama kurun waktu 2004-
2009 terjadi peningkatan jumlah nelayan dan jumlah pengepul ikan. Selain daripada itu,
sejak tahun 2005 berkembang produk-produk olahan ikan produksi hasil tangkapan ikan
di Danau Toba, yakni berupa ikan kering dan ikan olahan siap saji dari ikan Bilih.
Meskipun demikian, perkembangan produk ikan olahan dikatakan tidak menggembirakan
mengingat harga jual ikan kering relatif tidak berbeda dengan harga ikan dalam bentuk
segar. Pemasaran ikan dalam bentuk segar dan kering dari Danau Toba telah mencapai
daerah Ombilin di tepi danau Singkarak, Sumatra Barat bahkan sampai propinsi Riau.
Sedangkan pemasaran dalam bentuk kering telah mencapal negara tetangga, yakni
Malaysia dan Singapura. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa potensi
pengembangan produk olahan di sekitar Danau Toba di masa mendatang cukup
prospektifuntuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Data tercatat tahun 2005 yang diperoleh dari enumerator di tempat pendaratan ikan
menunjukkan bahwa hasil tangkap ikan Bilih mencapai 653,6 ton atau sekitar 14,6% dari
total hasil tangkapan ikan di tempat pendaratan ikan tersebut. Estimasi total hasil
tangkapan ikan Bilih oleh nelayan sebesar 1.766 ton yang diperhitungkan berdasarkan
rataan tangkap ikan Bilih per hari sebesar 1,75 ton/hari di Parapat, 2,25 'O:lhari di
Tong)ng. 0,75 tonlhari di Porsea dan 1,75 tonlhari di Balige. Angka es imasi ini dibuat
mengingat sistem pencatatan statistik yang ada belum dapat memberikan angka-angka
produksi ikan Bilih di Oanau Toba. Apabila dibandingkan
C.. gan total hasil tangkapan ikan Bilih tahun 2005, angka tahun 2008 menunjukkan
pcningkatan cukup dramatis (sekitar 300%). Hasil ini meningkat cukup tajam saat
dilakukan survai tahun 2009, yang antara lain memberikan informasi bahwa pada
kurun \\aktu Juni 2008 -Juli 2009 ikan Bilih yang masuk ke daerah pemasaran di
kabupaten T anah Oatar propinsi Sumatra Barat adalah 30 ton (Komunikasi Personal
dengan Kepala Subdinas Perikanan, Oinas Pertanian Kabupaten Tanah Oatar, 2009)
Berdasarkan hasil wawancara terhadap pelaku usaha ikan Bilih, terdapat empat kelompok
jenis pekerjaan utama yaitu nelayan, pengumpul,pedagang besar dan pengolah ikan Bilih.
Berdasarkan kabupaten, di Kabupaten Samosir dan Toba Samosir terdapat empat jenis
pekerjaan tersebut. Sedangkan di Kabupaten Oairi dan Karo hanya terdapat nelayan dan
pengumpul. Pengumpul di kab. Oairi dan Karo menjual ikan Bilih ke pedagang besar
yang berada di Kota Medan. Pengolah ikan Bilih banyak terdapat di Kabupaten Samosir
dan Toba Samosir. Sebagian besar pelaku pengolah ikan Bilih ini adalah para isteri
nelayan. Sedangkan di Kabupaten Oairi dan Karo tidak terdapat pengolah ikan Bilih. Hal
ini mungkin karen a semua hasil tangkapan ikan Bilih dijual ke pedagang besar di
Medan. Jika ada ikan Bilih yang tidak terjual, maka ikan tersebut digunakan untuk pakan
ternak atau bahkan dibuang begitu saja. Sebanyak 32 orang responden terpilih secara
acak di beberapa sentara lokasi penangkapan dan pendaratan ikan Bilih di wawancarai
dengan menggunakan bantuan kuesioner terstruktur.
Selain usaha penangkapan ikan Bilih, usaha pengolahan ikan Bilih di Oanau Toba.
terdapat di beberapa sentra produksi pengolah ikan Bilih, antara lain di Kecamatan
Ajibata (Kab. Tobasa) dan Kecamatan Palipi (Kab. Samosir). Oi Ajibata terdapat sekitar
50 pengolah, sedangkan di Palipi sekitar 20 orang pengolah. Pengolah ikan Bilih
biasanya adalah para isteri dari nelayan ikan Bilih, sehingga ikan Bilih segar diperoleh
dari hasil tangkapan suaminya at au hasil tangkapan sendiri. Tetapi ada pula : an =: ' e
rasa 1 dari Toke atau pengumpul, dengan harga berkisar Rp \.000 -Rp 1.500/kg.
l.-an Bilih ini diolah menjadi ikan Bilih kering asin.
Pada usaha penangkapan ikan Bilih yang menggunakan alat tangkap Down/Bagan, total
biaya yang dikeluarkan adalah Rp 113.302/hari trip (Bagan berukuran ISm xl5m) dan
Rp.122.858/trip (bag an berukuran 20m x 20m). Total penerimaan sebesar Rp.500.000
(bagan ukuran 15m x 15m) dan Rp.I.050.000 (bagan ukuran 20m x 20m), sehingga
pendapatan yang diperoleh Rp 386.698 (bagan ukuran 15m x 15m) dan Rp.927.142
(bagan ukuran 20m x 20m). Usaha penangkapan ikan Bilih dengan menggunakan
DotonfBagan ini memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Nilai rasio RC yang
diperoleh adalah 4.41 (bagan ukuran 15m x 15m) dan 8.55 (bagan ukuran 20m x 20m).
Profitabilitas yang dihasilkan dalam usaha ini adalah sebesar: 3.41 (bagan ukuran 15m x
15m) dan 7.55 (bagan ukuran 20m x 20m).
Kemudian untuk penangkapan ikan Bilih yang menggunakan alat tangkap jaring Gillnet,
total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 28.946,-/hari trip. Total penerimaan sebesar
Rp.87.500, sehingga pendapatan yang diperoleh Rp 58.554. Usaha penangkapan ikan
Bilih dengan menggunakan Jaring Gillnet ini memberikan keuntungan bagi nelayan.
Nilai rasio RC yang diperoleh adalah 3.02. Profitabilitas usaha penangkapan . ikan Bilih
dengan menggunakan Jaring Gillnet sebesar: 2.02, setiap satu rupiah yang
dikeluarkan untuk biaya dapat menghasilkan Rp 2,02 keuntungan.
Selanjutnya untuk usaha penangkapan ikan Bilih yang menggunakan alat tangkap Jala
dan Bubu, total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 31.968,-/hari trip. Total penerimaan
sebesar Rp.l 00.000, sehingga pendapatan yang diperoleh Rp 68.032. Sarna halnya
dengan usaha penangkapan ikan Bilih dengan rnenggunakan DotonfBagan dan Jaring
Gillnet, penggunaan jala dan bubu ini pun merupakan usaha yang menguntungkan bagi
nelayan. Nilai rasio RC yang diperoleh adalah 3.13. Profitabilitas usaha penangkapan
ikan Bilih dengan menggunakan jala dan bubu sebesar: 2.13.
Sedangkan untuk usaha pengolahan ikan bilih di Danau Toba, total biaya yang
dikeluarkan pada usaha pengolahan ikan Bilih skala mikro tipe-I adalah Rp_-L666 sik
lus. sedangkan tipe-2 sebesar Rp 97.722/siklus. Pad a tipe-l, total penerimaan sebesar
Rp.40.000, sehingga pendapatan yang diperoleh Rp 15.334, sedangkan tipe-2, total
penerimaan Rp.160.000/siklus dan keuntungannya sebesar Rp.62.278/siklus. Usaha
pengolahan ikan Bilih kering ini memberikan keuntungan bagi :-telayan, dengan nilai
rasio RC yang diperoleh adalah 1,62 (tipe-l) dan 1,64 (tipe-2). Rentabilitas usaha ini
adalah sebesar 2.61 (Skala Mikro tipe-l) dan 2,57 (skala Mikro Tipe-2).
Estimasi nilai ekonomi total (Total Economic Value) dari perikanan Bilih di danau Toba
yang dapat ditampilkan pada hasil penelitian ini hanya memperhitungkan nilai finansial
primer saja, dalam pengertian perhitungan belum mencakup satu kesatuan fungsi
ekologis ikan Bilih secara keseluruhan. Mengacu pada Peace and Moran (1994), Fauzi
(2004) dan Koeshendrajana dkk. (2008) terkait perhitungan nilai ekonomi total, dalam
kajian ini nilai manfaat langsung (direct use value) perikanan Bilih di Danau Toba terdiri
dari total nilai hasil tangkapan dan hasil pengolahan. Nilai tidak langsung (indirect use
value) perikanan ikan Bilih diperhitungkan dari nilai tam bah yang dihasilkan dari
kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.
Secara umum penebaran ikan Bilih di perairan Danau Toba telah memberikan dampak
positif, terutama dalam hal peningkatan produksi ikan, berkembangkangnya usaha
perikanan terkait dengan ikan Bilih, baik berupa penyediaan sarana produksi, penyediaan
sarana pasca panen, transportasi dan pengembangan produk olahan berbasis ikan Bilih.
Di samping itu, telah dilaporkan bahwa keberadaan ikan Bilih terlah memicu adanya
perubahan pola mata pencaharian masyarakat setempat, dari petani menjadi nelayan ikan
Bilih. Peningkatan usaha penangkapan ikan juga mendorong ke arah intensifikasi
kegiatan penangkapan ikan Bilih, yaitu dengan berkembangnya alat penangkapan doton
(bagan) yang ditengarai dapat berpotensi merusak kelestarian sumber daya ikan yang ada.
Status keberlanjutan perikanan Bilih di masa mendatang sangat ditentukan oleh
penerapan model pengelolaan perikanan yang dijalankan pada masa sekarang. Perlu hami
bah\\a pengelolaan perikanan, menurut Code of Conduct for Responsible
Fi'heries (FAO, 1997) maupun amanat Undang-undang No 3112004 yang telah
diperbaharui dengan Undang-undang No 45/2009 adalah suatu proses yang dimulai dari
pengumpulan dan anal isis data, perumusan, penetapan peraturan, pengawasan dan
pcengendalian, monitoring dan evaluasi serta penerapan dan pelaksanaannya. Tujuan dari
pengelolaan tersebut adalah untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan yang dapat
imanfaatkan oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Keberlanjutan atau sustainability pengelolaan perikanan Bilih dapat terjamin a abila
manfaat ekonomi, manfaat sosial-politik dan kompatibilitas usaha sesuai dengan
aya dukung dan daya tampung lingkungan sumberdaya dapat terjamin. Dari sisi manfaat
ekonomi, terwujud adanya keuntungan atau pendapatan bersih bagi pelaku usaha,
manfaat sosial-politi bahwa aktivitas yang ada sesuai dengan nilai-nilai masyarakat,
mampu membuka peluang kesempatan bekerja produktif dan menyediakan sumber gizi
bagi masyarakat sekitar. Kompatibilitas usaha dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan perairan dalam pengertian bahwa pengelolaan perikanan dapat menjamin
keberadaan daerah-daerah yang digunakan oleh ikan untuk berkembang biak, menjamin
tidak digunakannya alat tangkap yang bersifat sangat intensif ataupun bersifat merusak
serta mengembangkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan partisipasi masyarakat
seeara luas.
Dari hasil penelitian ini dapatdisimpulkan bahwa penebaran ikan Bilih di perairan Danau
Toba telah memberikan manfaat positif bagi ketersedian stok ikan di perairan, masyarakat
pemanfaat sumberdaya perairan Danau Toba dan Pemerintah. Lingkungan perairan
Danau Toba sangat sesuai dengan habitat yang dibutuhkan oleh ikan Bilih; sehingga ikan
Bilih mampu tumbuh dan berkembang biak dengan pesat. Meskipun demikian,
perkembangan yang terjadi sejak ikan Bilih ditebarkan hingga sekarang (2010)
memberikan indikasi bahwa penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak masih belum
terkendali, belum ada daerah ataupun kawasan-kawasan yang disediakan untuk
konservasi yang mampu menjamin ikan Bilih berkembang biak dan belum berfungsinya
partisipasi masyarakat seeara lebih luas dalam pengelolaan n anan . Oleh karena itu ,
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam , ~ngelolaan perikanan Bilih
mendatang, antara lain adalah: penetapan suaka perikanan,
en~aturan alat tangkap untuk penangkapan ikan bilih, penetapan peraturan dan
implementasi pengelolaan perikanan bilih, pengembangan kelembagaan pengelolaan
Secara bersamabersifat adaptif (Adaptive Co-management), pengenalan dan
p~ngembangan penanganan serta pengolahan berbagai produk ikan olehan berbasis ikan
bil ih.

Peneliti : Sonny Koeshendrajana

Tahun : 2010

Lembaga : -

Prioritas : Lain-lain

ARN : -

Program : Program Difusi Dan Pemanfaatan Iptek

BENIH IKAN BERKUALITAS, KUNCI SUKSES INDUSTRIALISASI


PERIKANAN BUDIDAYA

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) senantiasa menggiatkan pembangunan


perikanan budidaya secara terpadu agar dapat menggenjot produksi perikanan budidaya.
Sejalan dengan itu, KKP telah menetapkan 4 (empat) komoditas utama perikanan
budidaya, yaitu udang, rumput laut, bandeng dan patin. Untuk mendukung industrialisasi
perikanan budidaya, penyediaan benih bermutu dan induk unggul merupakan sarana
produksi vital bagi pembudidaya. Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan,
Sharif C. Sutardjo usai penen lele dan penyerahan bantuan di Desa Banjar Manyar, Kec.
Keteweldi Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (13/10).

Lebih lanjut Sharif menjelaskan, penyediaan bibit unggul merupakan faktor kunci dan
strategis untuk dapat menggerakkan seluruh sumber daya dan potensi perikanan budidaya
sehingga mampu berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Benih memainkan
peranan penting sebagai sarana produksi utama dalam mengoptimalkan sumber daya dan
potensi perikanan budidaya. Tersedianya benih bermutu bagi pembudidaya merupakan
faktor utama di dalam siklus keberlanjutan produksi perikanan budidaya, jelasnya.
Untuk itu, KKP sedang berupaya menyelesaikan panduan mengenai standar wilayah bagi
pembangunan perikanan budidaya segera direalisasikan. Panduan tersebut akan
mengadopsi prinsip kemudahan distribusi benih atau bibit serta sarana produksi lainnya
di kawasan perikanan budidaya. Di lain sisi, KKP juga berupaya menciptakan iklim
kondusif di dalam investasi benih, permodalan serta memfasilitasi penyediaan jaringan
infrastruktur. Terkait dengan industri perbenihan, Dirjen Perikanan Budidaya, Slamet
Subyakto menekankan pentingnya untuk meningkatkan produk benih ikan bermutu
dalam memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh pembudidaya dengan melakukan
penerapan standar produksi perbenihan yang baik dan benar sesuai kaidah Cara
Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB). CPIB merupakan bentuk perhatian KKP terhadap
keamanan produk perikanan budidaya mulai dari proses pembenihan hingga pembesaran
yang berujung pada meningkatnya daya saing produk perikanan budidaya, jelasnya.

KKP sendiri secara berkesinambungan akan terus mengembangkan sarana dan prasarana
perbenihan baik di BBI,BBU lokal, UPR maupun Hatchery Skala Rumah Tangga.
Adapun, untuk mengakselerasi pembangunan industri di sektor perikanan budidaya
setidaknya diperlukan pengaturan dalam kriteria produsen. Peraturan tersebut
menyangkut, skala usaha, izin produksi serta mekanisme kerja sama antar pelaku
produsen benih. "peningkatan produksi perikanan budidaya tak terlepas dari dukungan
Unit Pelayanan Teknis (UPT), sumber daya manusia, serta pemetaan rencana alokasi
distribusi induk dan benih unggul", ujar Slamet.

Untuk itu, KKP menempuh strategi intensifikasi, ekstensifikasi maupun diversifikasi


untuk meningkatan produksi dan produktivitas perikanan budidaya. Kebijakan
industrialisasi perikanan budidaya merupakan langkah transformatif dan terobosan bukan
merupakan upaya terpisah dari kebijakan lain atau kebijakan sebelumnya, tetapi
merupakan upaya terintegrasi yang saling memperkuat dalam rangka percepatan
pencapaian kesejahteraan pembudidaya ikan. Seiring dengan itu, KKP akan melakukan
pemantapan dan pemberlakuan sistem jaminan mutu di unit pembenihan ikan baik dari
skala besar, kecil maupun pendederan. KKP membina UPT skala kecil dan pendederan
agar dapat menerapkan pola usaha dengan penggunaan teknologi dan sarana produksi
modern, biosecurity, penggunaan induk-induk unggul serta pakan berkualitas.

Produksi perikanan budidaya sendiri menunjukkan grafik positif berupa kenaikan


signifikan, dari produksi sebesar 4,78 juta ton pada 2010 meningkat menjadi 6,97 juta ton
pada 2011. Padahal capaian produksi budidaya tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal yang baru mencapai 11 persen, lantaran masih terdapat banyak lahan potensial
yang belum digali. Tercatat, terdapat lahan pontesial tambak seluas 2.963.717 ha, yang
baru terealisasi 682.858 ha. Sementara, potensi budidaya laut seluas 12.545.072 ha, dan
baru terealisasi hanya 117.649 ha. Sementara itu, data Ditjen Perikanan Budidaya
menyebutkan, produksi benih ikan air tawar dan benih ikan air payau/laut pada Triwulan
III 2011, untuk ukuran rata-rata 1- 3 cm berjumlah 27.489.645.670 ekor. Pencapaian
produksi benih ini sebagian besar dicapai oleh produksi benih ikan air tawar sebesar
49,95 persen.

Jakarta, 13 Oktober 2012


Kepala Pusat Data Statistik
NDUSTRIALISASI PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK KETAHANAN
PANGAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Senin, 30 Juli 2012 10:29

Kendati secara makroekonomi Indonesia mengundang decak kagum sejumlah lembaga pemeringkat
internasional. Namun, kehidupan riil mayoritas rakyat Indonesia masih susah. Rakyat banyak yang
nganggur, setengah nganggur, dan miskin. Harga bahan pangan (beras, jagung, kedelai, gula, dan daging)
terus melambung, tidak terjangkau oleh daya beli mereka. Sehingga, orang yang kelaparan, bergizi buruk
pun kian membludak. Demikian pula halnya dengan pendidikan dan biaya hidup lainnya. Makanya, akhir-
akhir ini peristiwa bunuh diri, membunuh orang lain, dan aksi kriminalitas kian massif.

Ironisnya, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, dengan lahan
daratan dan laut yang subur, sampai sekarang Indonesia masih belum mandiri dalam
memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan, impor beras, jagung, kedelai, gula, daging,
garam, dan produk hortikultura dari tahun ke tahun cenderung naik. Tak heran, kalau hari-
hari ini rakyat dibuat kalang kabut, karena impor kedelai dan gula dari AS dan India
tersendat akibat kemarau panjang yang melanda kedua negara tersebut. Para perajin tahu
dan tempe pun melakukan domonstrasi dimana-mana. Ini adalah fakta tak terbantahkan,
bahwa Indonesia memang rentan terlanda krisis pangan. Suatu kondisi yang bisa menjegal
kemajuan, kemakmuran, dan kemandirian bangsa Indonesia. Sebab, negara dengan
penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa maju, jika kebutuhan pangannya
bergantung pada impor (FAO, 1998).
Di tengah era perubahan iklim global, yang membuat cuaca sering anomali dan ekstrem,
maka satu-satunya jalan supaya kita bisa lepas dari ketergantungan pada impor, dan
mandiri di bidang pangan adalah menggenjot produksi semua komoditas pangan yang bisa
diproduksi di dalam negeri (terutama bahan pangan pokok), sehingga supply nya lebih
besar ketimbang kebutuhan nasional. Untuk itu, selain harus terus meningkatkan
produktivitas dan efisiensi usaha pertanian, kita pun mesti mempertahankan, dan kalau
bisa menambah luas lahan pertanian. Permasalahannya adalah, bahwa luas lahan
pertanian justru dari tahun ke tahun semakin berkurang, sekitar 40.000 ha per tahun,
beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman, industri, infrastruktur, dan peruntukan
pembangunan lainnya.
Oleh sebab itu, akuakultur (perikanan budidaya), khususnya di laut (mariculture), menjadi
alternatif yang sangat potensial untuk membangun kedaulatan pangan nasional. Pasalnya,
Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia, sekitar 57,7 juta
ton/tahun, dan pada 2010 baru dihasilkan 7 juta ton atau 12 persen dari total potensi
produksinya. Artinya peluang untuk meningkatkan produksi pangan dari akuakultur masih
sangat besar. Sampai sekarang wilayah laut Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk
usaha mariculture kurang dari 1 persen. Lahan pesisir yang cocok (suitable) untuk
budidaya tambak seluas 1,22 juta ha yang tersebar di seluruh Nusantara baru diusahakan
500.000 ha alias kurang dari separuhnya. Demikian pula pemanfaatan perairan tawar
(danau, sungau, waduk, saluran irigasi, kolam, dan sawah) hingga saat ini masih jauh dari
optimal.
Lebih dari itu, akuakultur tidak hanya dapat memproduksi ikan, udang, kerang, kepiting,
teripang, dan jenis fauna lainnya. Tetapi, juga bisa menghasilkan makro algae (rumput
laut), micro algae (fitoplankton), dan makrofita (lamun = seagrass) yang merupakan
bahan baku untuk industri makanan dan minuman, pakan (feed), ingredients, farmasi,
kosmetik, biofuel, kertas, dan beragam industri lainnya. Senyawa karaginan yang terdapat
dalam rumput laut jenis Eucheuma spp, misalnya, dapat diolah menjadi sedikitnya 500
produk akhir (end products).
Seiring dengan terus berkembangnya ilmu biotekonologi, terutama biologi molekuler dan
rekayasa genetik (genetic engineering), dalam dua dasawarsa terakhir telah diproduksi
bibit padi, jagung, dan kedelai yang bisa hidup, tumbuh dan berkembang di perairan laut
(salt tolerant) (Zilinkas and Lundin, 1995). Terobosan ini membuka peluang untuk
menggunakan laut atau ekosistem perairan tawar untuk budidaya berbagai jenis tanaman
pangan atau hortikultura yang selama ini ditanam di daratan.
Supaya akuakultur dapat menghasilkan ikan, seafood, dan ratusan produk lain seperti itu
dalam jumlah besar dan menguntungkan (profitable) secara berkelanjutan, maka usaha
akuakultur harus dikelola secara industrial yang ramah lingkungan dan inklusif. Ada enam
kunci industrialisasi akuakultur yang ramah lingkungan dan inklusif.
Pertama adalah setiap usaha akuaklutur harus memenuhi skala ekonominya. Kedua,
penerapan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Yang Baik) secara disiplin. Mulai
dari pemilihan lokasi, penggunaan bibit dan benih unggul (SPF dan SPR), pakan
berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas tanah dan air, pond
engineering (tata letak dan design kolam, jaring apung, dan lainnya), dan biosecurity
(keamanan hayati). Ketiga, penerapan integrated supply-chain management. Keempat,
terus menerus melakukan inovasi dan automatisasi. Kelima, penerapan prinsip-prinsip
pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keenam, memberikan akses
selebar-lebarnya kepada rakyat kecil untuk dapat menjalankan usaha akuakultur industrial
yang ramah lingkungan dan inklusif ini.
Dengan mengaplikasikan usaha akuakultur industrial yang ramah lingkungan dan inklusif
tersebut di seluruh wilayah Nusantara, maka diyakini Indonesia tidak hanya akan
berdaulat di bidang pangan, energi, dan farmasi; tetapi juga menjadi eksportir utama
sejumlah produk akuakultur dan rakyat menjadi sejahtera menuju Indonesia yang maju
dan adil-makmur pada 2025, insya Allah.

Penulis : Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS


Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)

Sumber : Sinar Indonesia, 30 Juli 2012

PENGUATAN KEMITRAAN DALAM PENCAPAIAN INDUSTRIALISASI


PERIKANAN BUDIDAYA
Ditulis oleh adminmai
Senin, 25 Juni 2012 08:59
Industrialisasi perikanan yang saat ini menjadi jargon Kementerian Kelautan dan
Perikanan merupakan sebuah kebijakan strategis yang diharapkan akan mampu
mendorong jalannya siklus usaha perikanan budidaya secara berkelanjutan dan menjadi
penggerak bagi pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, Pro-growth,
dan pro-eviroment. Ada 3 (tiga) faktor kunci dalam konsep industrialisasi perikanan yaitu
peningkatan nilai tambah (value added), efesiensi dan daya saing (bargaining position),
dimana ke-tiga faktor tersebut akan mampu mendorong terciptanya iklim usaha yang
positif sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun perlu diingat, bahwa konsep ini akan berjalan dengan baik jika seluruh aspek
penggerak siklus akuabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan
kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara
ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan
usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling
berinteraksi mulai dari kegiatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal
ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu
meningkatkan efesiensi produksi.

Kebijakan strategis melalui industrialisasi perikanan budidaya, dinilai oleh sebagian besar
masyarakat perikanan sebagai langkah positif dalam upaya mengembalikan kemandirian
dan daya saing produk perikanan Indonesia di tataran global, yang nota bene memiliki
potensi perikanan budidaya terbesar di dunia, namun minim pemanfaatan. Sudah saatnya
potensi tersebut digali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat. Guna mewujudkan harapan mulia tersebut, maka perencanaan sebelum
implementasi perlu menjadi fokus perhatian Pemeritah dengan melibatkan dukungan dan
kerjasama sinergi dari seluruh stakeholders, sehingga program industrialisasi tidak
terkesan program kagetan. Dalam hal ini penulis menekankan akan pentingnya penataan
kelembagaan pada setiap kawasan pengembangan. Mengapa? Karena faktor inilah yang
seringkali diabaikan, sehingga konsep apapun seringkali terkendala pada saat
implementasi di lapangan.

Perkuat Kelembagaan di Kawasan Industrialisasi Perikanan

Kenapa kelembagaan yang penulis tekankan, dan apa pula hubungannya dengan siklus
akuabisnis? Menurut Hermanto dan Subowo (2006) membedakan bahwa secara empiris
kelembagaan dapat dibedakan, antara lain: (1) kelembagaan sosial nonbisnis yang
merupakan lembaga yang mendukung penciptaan teknologi, penyampaian teknologi,
penggunaan teknologi dan pengerahan partisipasi masyarakat, seperti lembaga penelitian,
penyuluhan, kelompok tani dan sebagainya, dan (2) lembaga bisnis penunjang yang
merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, seperti koperasi, usaha
perorangan, usaha jasa keuangan dan sebagainya. Kelembagaan sendiri mempunyai arti
luas yang mencakup aturan main, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang, organisasi
atau suatu sistem. Nah, kedua jenis kelembagaan inilah sesungguhnya yang harus menjadi
isu penting dalam upaya menggerakan siklus akuabisnis rumput laut yang berkelanjutan,
jika kelembagaan ini mampu berjalan secara efektif sangat mungkin permasalahan yang
saat ini masih mendera tidak lagi menjadi penghambat bagi keberlangsungan usaha dari
para pelaku.

Pada negara-negara maju, faktor kelembagan menjadi bagian penting yang harus
diperkuat dalam mendorong tumbuh kembangnya kegiatan bisnis dan pembangunan
secara umum. Melalui kelembagaan maka akan terbangun aturan yang memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama, hak dan kewajiban anggota, mampu mengatur kode etik,
membangun kontrak melalui pola kemitraan yang berkelanjutan, informasi pasar dan
teknologi, serta membangun link pasar yang berkelanjutan. Pelaku yang tergabung dalam
kelembagaan yang kuat sudah sejatinya akan mempunyai pola pikir yang maju (visioner),
mampu beradaptasi dalam menghadapi proses dinamika kelompok, serta dapat
membangun kerjasama sinergi yang didasarkan oleh rasa tanggung jawab (responsibility),
komitmen, kesamaan kebutuhan dan kepercayaan (trust).

Membangun Kemitraan Usaha yang Berkelanjutan

Dalam hal ini penulis perlu menekankan bagaimana kelembagaan menjadi faktor penting
dalam membuka peluang membangun kemitraan usaha yang bersifat luas. Karena dalam
akuabisnis sendiri interaksi antara subsistem/unit usaha akan berjalan efektif jika pola
kemitraan tersebut mampu dibangun secara kuat dan berkelajutan. Dalam siklus
akuabisnis peran kemitraan sendiri diibaratkan sebagai bahan bakar yang tentunya
akan mempengaruhi pergerakan semua sistem yang ada. Lalu kemitraan yang bagaimana
yang akan mampu menggerakan jalannya siklus tersebut? Jika penulis kaitkan dengan
usaha perikanan budidaya, maka sejatinya kemitraan usaha tersebut adalah hubungan
antara perusahaan mitra dengan pelaku utama (pembudidaya) dalam meningkatkan
efektifitas, efesiensi dan produktifitas diseluruh subsistem akuabisnis sehingga tercipta
nilai tambah dan daya saing produk perikanan budidaya yang dihasilkan.

Hasil identifikasi pada beberapa kawasan pengembangan budidaya, khususnya budidaya


udang, hampir secara umum keberhasilan budidaya disebabkan oleh adanya pola
kemitraan yang dibangun, dalam hal ini perusahaan pakan ikan. Tengok, misalnya konsep
yang diberi nama kampung vaname pada kawasan-kawasan budidaya udang di Pantura
Jawa, telah secara nyata membawa keberhasilan yang cukup menggembirakan. Konsep
kemitraan yang dilandasi rasa tanggung jawab dalam hubungan saling menguntungkan,
sudah barang tentu akan membuahkan keberhasilan yang dirasakan bersama. Bagi
penulis, konsep ini sangat baik dan telah membuktikan keberhasilannya, sehingga
implementasi industrialisasi perikanan budidaya khususnya industrialisasi udang sudah
sewajarnya melakukan adopsi terhadap konsep tersebut, atau bahkan melibatkan secara
langsung pihak swasta (perusahaan pakan) yang mempunyai konsep maupun SOP yang
jelas dan telah terbukti berhasil.

Pemerintah dalam hal ini pun menyadari bahwa ada keterbatasan sumberdaya dalam
melakukan implementasi kebijakan industrialisasi perikanan, sehingga perlu membuka
diri bagi keterlibatan pihak-pihak terkait khususnya pihak swasta, perbankkan, perguruan
tinggi dan organisasi perikanan serta stakeholders lain dalam melaksanakan dan
mengawal secara langsung pelaksanaan industrialisasi perikanan budidaya, terlebih
program ini membutuhkan perencanaan dan sumber daya baik materi maupun non materi
yang tidak sedikit. Menyadari keterbatasan tersebut, pemerintah juga dapat mengambil
langkah dengan mendorong pengembangan program kemitraan yang melibatkan
perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN melalui program CSR (Corporate Social
Responsibility). CSR sebagai manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya
pemberdayaan masyarakat lokal memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk
tanggung jawab moral yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pengembangan program kemitraan dengan pola CSR ini dapat dilakukan dalam berbagai
pola, seperti community development, Peningkatan kapasitas, promosi produk, bahkan
perkuatan permodalan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pada beberapa kasus, program CSR
telah secara nyata mampu mendukung dan memperkuat Usaha Kecil dan Menengah
(UMKM), sehingga ke depan perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN harus
dilibatkan dalam turut serta menopang kegiatan usaha perikanan budidaya.

Dalam upaya mendorong pengembangan kemitraan, maka pemerintah harus melakukan


langkah-langkah, antara lain : a) Memfasilitasi/mengadvokasi pengembangan kemitraan,
serta mengeluarkan kebijakan dalam mendorong program kemitraan; b) Melakukan
pengawalan, dan penerapan kebijakan secara konsisten baik di tingkat pusat maupun
daerah; c) Memberikan reward bagi perusahaan yang berprestasi dalam mengembangkan
dan memperkuat UMKM

Memperkuat Peran Pendampingan dan Penyuluhan di Daerah

Pola-pola kemitraan serupa hendaknya sudah mulai dikembangkan di sentra kawasan


pengembangan industrialisasi perikanan budidaya. Peran pendampingan dan penyuluhan
yang profesional sangat dituntut dalam membangun kelembagaan yang kuat dan mandiri.
Penyuluh bukan hanya sekedar menampung permasalahan yang ada, tetapi penyuluh
profesional seyogyanya mampu menjadi mitra, motivator, fasilitator dan dinamisator bagi
pelaku utama. Peran advokasi dari penyuluh sangat diharapkan dalam membangun sebuah
kelembagaan yang profesional di kawasan pengembangan budidaya.

Akhirnya, semoga kebijakan strategis dan mulia ini akan mampu diimplementasikan
dengan baik melalui kerjasama sinergi dan tanggungjawab dari seluruh stakeholders,
sehingga pada akhirnya akan mampu mewujudkan kemandirian dan daya saing perikanan
budidaya demi kesejateraan masyarakat.

Penulis : Cocon, S.Pi

Staf Direktorat Produksi, Ditjen Perikanan Budidaya, KK

Marine and Fisheries Industrialization and Blue Economy


MMAf confirmed their commitment on bearing blue economy paradigm that believed
can accelerate marine and fisheries industrialization. So that this sector can be motor of
national economy development. This commitment was presented by Minister of Marine
Affairs and Fisheries, H.E Sharif Cicip Sutardjo.
Minister explained that blue economy was a new concept that had purpose to produce
economy growth from marine and fisheries sector, assure resources continuity and coastal
and marine environtment. If, development on marine and fisheries sector can accelerate
with blue economy approach, then industrialization development on marine and fisheries
sector will occur sustainably. Blue economy approach is a model of development
approach that nevermore depends on economy development with resources-based and
excessive environtment exploitation. But it was some great leap on development, by
leaving economy practice with short term based and motoryze low carbon economy. H.E
Sharif cicip Sutardjo stated that this approaching model expected able to answer about
the addiction between economy and ecosystem and also negative impact of climate
change and global warming. In his opinion, beside of blue economy concept, the success
of marine and fisheries industrialization demanded a large of energy, action, and
breakthroughs such as mending the chain between upstream and downstream to improve
fisheries product competitiveness. In relation with this point, needs synergy among state
government, local government, public private, community and also education. The
conclusion was competitiveness builds based on integration.
Program of marine and fisheries industrialization has purpose to increase productivity
and product value of marine and fisheries sector.this also increases competitivenes with
science and technology based. There are seven points that will be achieved on fisheries
industrialization likes increasing on value added; competitiveness improvement;
modernization on system of upstream and downstream production; strengthening
fisheries stakeholders; comodity based, region and management system, sustainability,
and social transformation. In order to encourage development acceleration on marine and
fisheries sector, government on behalf of MMAF regarded necesarilly of breakthrough
via program of marine and fisheries industrialization. Marine and fisheries
industrialization was a transformation process of upstream and downstream production
system to increase value added, productivity and production scale of marine and fisheries
production. Through modernization supported with integrated policy between economy
macro policy, infrastructure improvement, business system and investment, also science
and technology and human resources for people welfare.
In the other consequence, the significant problem that have to be noted was the assurance
of sustainablity of marine and fisheries sector development. Such as on the agreement of
Earth Summit at rio De Janeiro, Brazil in 1992. World Commision on Environtmental and
Development (WCED) provided an understanding of sustainable development as an
management activity of natural resources and its environtment to meet present need
without reducing future generation ability to meet their need.
Data from United environtmental Programme (UNEP, 2009) mentioned that there are 64
water areas that is large marine ecosystem in all worlds structured based on fertility level,
productivity, and impact of climate change toward each LME. Indonesia has direct acces
on about 6 LME area that has marine and fisheries potency quite large. The LME are
LME 334 Bengala strait, LME 36 South China Sea, LME 37 Sulu Celebes, LME 38
indonesian seas, LME 39 Arafura-Gulf Carpentaria, LME 45 North Australia sea. If the
marine and fisheries potency resources can use optimally, marine and fishereis sector can
be motor to generate national economy development.
Evenmore, International Monetary Fund (IMF) by World Economic Outlook Database,
stated that Indonesia will have rapid economic growth among 18 countries with largest
economy on 2009 2015. This condition will head upon Rusia, China, India, Brazil,
Turkey, South Korea, Japan, and United States. Minister wishes that marine and fisheries
sector, especially on fisheries sector able to give real contribution on Gross Domestic
Product. Minister added that as motor of economy national, marine and fisheries sector
has some of challenge likes poor community, especially coastal community, the lack of
fleet, weakness on pond potency usage. On fishereis industry, it still dominates with
traditional fisheries with micro, small, and middle scale business.

Jakarta, 7 September 2012


Director of Data Statistic and Information Center

Indra Sakti, SE.MM

Sources:
1. Ir. Sjarief Widjaja, Ph.D., FRINA
The Head of Agency for Marine and Fisheries Human Resources Development
2. Indra Sakti, SE.MM
Director of Data Statistic and Information Center

Home
Catatan Gempa Terbaru
Dari Saya!
Hai Sobat !

Maridup's Blog
Mengutik Ruang & Waktu

January 17, 2010

IKAN BATAK
Posted by Maridup Hutauruk under Ikan Batak, Terpojokkan: | Tags: ihan, Ikan Batak,
species, spesies ikan |
Leave a Comment

Nama Yang Dikomersilkan


Ikan Batak (Ikan Jurung) seberat 1,4 kg dijual Rp 170.000 di perbatasan Aceh-Sumut;
sumber: hampala.multiply.com

Nama Ikan Batak belakangan ini sudah demikian pamor dikenal di berbagai daerah di
Indonesia dan bahkan di Bogor sudah berhasil dibudidayakan dan menjadi komoditas
ekslusif yang bernilai mahal, sementara di Tanah Batak tidak demikian
perkembangannya. Jenis yang mana sebenarnya yang disebut Ikan Batak itu? Kalau
ditanyakan pertanyaan ini kepada orang Batak mungkin saja jawabannya berbeda-beda
karena orang Batak sendiri sudah banyak yang tidak tau dan bahkan tidak perduli dengan
yang disebut Ikan Batak.

Kekurangtahuan itu ternyata mengakibatkan penamaan Ikan Batak secara umum di dunia
ikan di Indonesia berbeda dengan Ikan Batak yang dimaksud oleh orang Batak
kebanyakan. Dari kalangan yang banyak berkecimpung dibidang perikanan terutama ikan
air tawar baik dari instansi pemerintahan maupun perorangan dalam bentuk upaya
pembibitan dan pembesaran mengenal Ikan Batak adalah dari genus Tor, sementara
orang Batak sendiri kebanyakan mengenal Ikan Batak yang disebut ihan adalah dari
genus Neolissochilus yang memang ikan endemik di Tanah Batak yang sudah terancam
punah dan masuk dalam Red List Status di IUCN (International Union for Conservation
of Nature and Natural Resources) dengan kode Ref.57073 sejak tahun 1996.

Ikan Batak yang dikenal secara umum di dunia perikanan dari genus Tor, memang
tampilannya mirip dengan ihan genus Neolissochilus, dan memang berasal dari
keturunan yang sama yaitu Family Cyprinidae. Kalau yang dimaksud adalah dari jenis
genus Tor maka jenis ikan ini masih banyak dijumpai di berbagai habitat aslinya di
Indonesia seperti di Tanah Batak (Sumatra Utara), Sumatra Barat, Aceh, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Kalimantan, dan mungkin masih banyak ditemukan di daerah lainnya. Jadi
pada dasarnya jenis ikan ini belum menjadi ikan yang terancam punah.
Ikan Batak yang dimaksud (genus Tor) bagi orang Batak sendiri dikenal dengan nama
dekke Jurung-jurung atau Ikan Jurung. Secara umum Ikan Jurung ini disebut sebagai
Ikan Batak karena di Tanah Batak lebih lazim digunakan dalam suatu prosesi adat sebagai
simbol kesuburan dengan harapan kepada keluarga yang diberikan penganan dari Ikan
Jurung-jurung ini akan berketurunan banyak, baik laki-laki dan perempuan dan mendapat
rejeki sebagaimana perilaku Ikan Jurung-jurung tersebut yang sifat hidupnya membaur
beriring-iringan.

Ikan Batak Penyandang Mitos

Ikan Batak yang aslinya disebut sebagai Ihan dari genus Neolissochilus memang
dimitoskan sebagai makanan para raja-raja dijaman dahulu. Disamping itu Ihan
merupakan penganan sesembahan kepada Tuhan (upa-upa) yang diberikan kepada
seseorang oleh Hula-hula atau hierarchi clan marga yang lebih tinggi (dalam falsafah
kekerabatan Dalihan Natolu) dengan harapan pemberian makanan itu mendapat berkat
dari Tuhan berupa kesehatan dan panjang umur, mendapat banyak keturunan, dam mudah
rezeki di harta. Dalam prosesi adat perkawinan, penganan ini juga diberikan kepada pihak
boru (hierarchi marga yang lebih rendah) sebagai balasan pemberian makanan yang enak
berupa suguhan makanan (tudu-tudu sipanganon) yang bermakna sama mendapat berkat
dari Tuhan.

Tatalaksana pemberian makanan ikan seperti ini masih berlangsung sampai sekarang
namun sudah menuju degradasinya karena tidak ditemukan lagi jenis Ihan di Tanah Batak
(punah). Sebagai pengganti maka jenis ikan Mahseer dari genus Tor (Dekke Jurung-
jurung) merupakan pengganti penganan yang dimaksud. Ternyata jenis inipun mulai
langka ditemukan di Tanah Batak dan digantikan menjadi ikan mas dari genus Cyprinus.
Jenis ikan mas sebagai pengganti penganan adat tersebut adalah dari spesies Cyprinus
carpio yang berwarna kuning kemerahan. Jenis ikan mas yang berwarna kuning
kemerahan ini kurang diminati oleh masyarakat di Pulau Jawa sehingga masyarakat
Batak yang berada di Jawa ini terpaksa menggunakan ikan mas berwarna hitam sehingga
penganan tersebut kurang ceria tampilannya dan terlihat kusam warnanya.

Sungai Sirambe Nauli terletak di Desa Bonan Dolok (Bondol), kecamatan Balige,
Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara, terdapat Ikan Batak yang mereka
sebut Ihan namun sebenarnya adalah Ikan Batak yang secara umum disebut sebagai Ikan
Jurung dari genus Tor. Oleh warga setempat sungai itu dianggap keramat namun
berfungsi juga sebagai sumber air untuk minum. Masyarakat setempat biasanya
mengambil air minum dari sungai tersebut lantaran airnya sangat jerni dan bersih. Sungai
tersebut juga merupakan kolam mandi dan berenang sepuasnya, dan juga dipergunakan
untuk tempat ibu-ibu mencuci pakaian.

Uniknya, di Sungai itu hidup ratusan ekor Ikan Batak berukuran besar dan kecil, Ikan
Batak inilah yang menjadikan Desa Bonan Dolok istimewa dan menjadi salah satu objek
parawisata di Balige Kabupaten Toba Samosir. Biasanya Ikan Batak tersebut
bersembunyi dalam goa-goa batu yang berada didasar kali dan akan keluar saat
pengunjung turun ke sungai Sirambe Nauli untuk memberi makan, missal seperti kacang-
kacangan atau pun nasi.

Masyarakat setempat mengatakan air sungai dapat dipergunakan sebagai obat, namun
Ikan Batak yang terdapat disitu tidak dapat diambil. Konon sudah pernah ada pengunjung
yang mengambil Ikan Batak dari sungai tersebut dan dimasaknya dirumahnya namun
anehnya Ikan Batak itu hanya setengah yang matang dan setengah lagi tidak matang.
Disebutkan pula, apabila ada pengunjung yang mengambil Ikan Batak itu akan
mengalami sakit keras.

Di Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Tobasa, juga menjadi


habitat Ikan Batak. Masyarakat sekitar yang hendak menangkap Ikan Batak dari sungai
itu sudah punya aturan dan cara tersendiri. Namun sering pula masyarakat pengunjung
dari kota datang menangkap ikan di sungai itu dengan menggunakan stroom listrik. Itu
akan membunuh anak ikan, keluh mereka. Belum ada peraturan daerah untuk
perlindungan ikan langka itu.

Di Desa Rani Ate, Kecamatan Padang Sidempuan Barat Kabupaten Tapanuli Selatan
Sumatra Utara terdapat sebuah sungai yang menjadi habitat Ikan Jurung. Konon sekitar
tahun 1940 seorang guru tarekat naqsabandiyah dari Tabuyung yang dipangil sebagai
Syekh Tabuyung yang tinggal di sebuah mesjid di tepi kali mengambil 7 ekor Ikan Batak
(Ikan Jurung) dan menaruhnya di sungai di belakang mesjid dengan maksud agar air
sungai menjadi bersih untuk dipakai sebagai air wudhu. Syekh Tabuyung melarang
orang-orang sekitar untuk mengambil ikan itu kecuali bila ikan itu melewati 75 m kearah
hulu dan 75 m kearah hilir dari mesjid.

Bagi warga setempat, Ikan Batak itu telah menjadi keajaiban karena mereka tak mau
pindah dari lokasi sekitar masjid dan jarang berenang di luar batas yang digariskan Syekh
Tabuyung. Bahkan pada tahun 1980-an, ketika seluruh desa tenggelam banjir dan sungai
ini pun meluap, Ikan Batak itu ikut pergi bersama warga ke arah hulu. Namun, ketika air
surut dan warga kembali, ikan tersebut pun kembali lagi di daerah sekitar masjid. Ikan-
ikan itu tak pernah jauh-jauh dari masjid. Sepertinya, ikan itu tahu tugas mereka untuk
membersihkan air di sekitar masjid. Fenomena itu membuat warga kian percaya dengan
keajaiban Ikan Batak itu dan mereka bertekad untuk menjaganya turun-temurun. Warga
pun bersepakat untuk tak mengambil ikan itu sama sekali, hingga kini.

Warga percaya bahwa siapa yang mengambil ikan itu akan terkena malapetaka. Konon
ceritanya sudah banyak bukti orang yang mengambil dan makan Ikan Batak dari sungai
ini berakhir mati mengenaskan. Misalnya, seorang pendatang dari Padang Sidempuan
yang tengah mengerjakan proyek pembuatan jalan di desa ini beberapa tahun lalu yang
nekat mengambil dan memakan Ikan Batak dari sungai ini, kemudian mati tiba-tiba.
Warga sini tak ada lagi yang berani mengambil ikan larangan ini. Jadilah Sungai Rani
Ate, yang hanya selebar sekitar lima meter itu, menjadi semacam lubuk larangan, tempat
pelestarian ekologi bagi ikan jurung yang di habitatnya terancam punah. (disarikan dari
www.mandailing.org.)
Di Sungai Timbulun Kabupaten Solok Sumatra Barat, masyarakatnya menebarkan jenis
Ikan Batak agar tetap lestari dan masyarakat dilarang menangkap atau memancingnya
paling tidak selama setahun. Di Kabupaten Agam ada sebuah sungai yang disebut Sungai
Janiah walaupun airnya tidak jernih, tetapi demikianlah namanya dan menjadi objek
wisata masyarakat sekitar. Ada lengenda yang melingkupi cerita rakyat di situ mengenai
ikan sakti yang hidup di Sungai Janiah dan masyarakat tidak berani menangkapnya;
berikut ceritanya:

Muchtar Tuanku Sampono (96 tahun), tokoh masyarakat Sungai Janiah mengatakan, ikan
di Sungai Janiah ini tidak sakti. Ikan tersebut berasal dari anak yang hilang. Malam
harinya ibu anak tersebut bermimpi agar dibuat nasi kunyit (nasi kuning) dan dipanggil
anaknya di Sungai Janiah.

Sejak dulu tidak ada yang berani memakan ikan di Sungai Janiah ini, karena mereka
enggan saja karena sepertinya memakan manusianya saja, bahkan Belanda dan Jepang
tidak berani menjamah ikan ini, katanya kepada PadangKini.com. Menurut Tuanku
Sampono tidak ada yang tahu jenis dan nama ikan tersebut. Ikan ini seperti Ikan Batak
(ikan gariang, nama di daerah itu), namun kata orang Jambi ikan ini sejenis ikan Kalari.
Seperti yang dikatakan oleh Tuanku Sampono ikan-ikan tersebut sejak dulu tidak terlihat
anak-anak ikannya. Apakah cerita-cerita rakyat itu benar atau tidak? Yang jelas legenda
Sungai Janiah mendatangkan berkah bagi penduduk sekitar dengan banyaknya orang
berkunjung setiap hari.

Versi lain menurut buku C. Pangguluh bahwa asal mula ikan yang ada di Sungai Janiah
dari penjelmaan anak manusia dan anak jin yang telah dikutuk oleh Tuhan, karena kedua
makhluk yang berlainan alam ini telah melanggar janji yang telah mereka sepakati.

Alkisah, penduduk Nagari Tabek Panjang di Kecamatan Baso ini berasal dari puncak
gunung Merapi. Karena persediaan air di Gunung Merapi semakin terbatas, maka
timbullah ide mencari hunian baru di bawah Gunung Merapi. Maka diutuslah Sutan Basa
untuk mencarai lokasi baru itu, Sutan Basa menemukan kawasan yang memiliki Sungai
dan air mancur yang sangat jernih.

Tapi daerah itu telah ditempati oleh bangsa jin, maka Sutan Basa menyampaikan
keinginannya kepada jin tinggal dikawasan itu bersama kelompoknya. Maka diadakanlah
kesepakatan antar kepala suku masing-masing, bahwa boleh tinggal di daerah itu, asalkan
kalau anak kemenakan dari Datuak Rajo Nando mamak dari Sutan Basa menebang pohon
agar membuang serpihan dan sisa kayu ke arah rebahnya pohon. Kalau kesepakatan ini
dilanggar, maka keturunan dari keduanya akan memakan kerak-kerak lumut, tempatnya
tidak diudara tidak juga di daratan.

Setelah sepakat tinggallah kaum tersebut di Sungai Janiah. Suatu waktu ada keinginan
untuk membangun gedung pertemuan atau balairung untuk tempat berkumpul. Maka
ditugasilah oleh Sutan Basa sekelompok irang untuk mencari kayu sebagai tonggak tuo.
Maka pergilah mereka ke hutan. Karena begitu senang bercampur lelah, mereka langsung
menebang pohon yang mereka nilai cocok, tapi mereka lupa akan janji yang telah
disepakati oleh kepala suku. Karena tidak mengindahkan janji tersebut maka hasil
tebangan pohon tersebut mengenai anak- anak jin. Kejadian ini membuat marah keluarga
jin, mereka menurunkan batu-batu dari Bukit Batanjua yang ada di sekitar sungai
tersebut, yang menyebabkan gempa.

Keadaan ini menyebabkan hubungan tidak harmonis antara keduanya. Suatu waktu
Datuak Rajo Nando dan istrinya pergi membersihkan ladang tebu mereka dengan
meninggalkan anak perempuan mereka berusia 8 bulan. Setelah pulang dari ladang, tidak
ditemui anak tersebut. Maka seluruh orang kampung diperintah mencari anak hilang
tersebut, sampai larut malam seluruh usaha seakan sia-sia.

Malam hari istri Datuak Rajo Nando bermimpi agar memanggil anaknya di Sungai Janiah
dengan cara membawa beras dan padi dan memanggil anaknya seperti memanggil ayam.
Esok siang dilakukanlah seperti di mimpinya. Setelah dipanggil datanglah dua ekor ikan
yang satu tampak jelas dan yang satu lagi tampak samar. Maka ikan yang tampak jelas itu
adalah anak Datuak Rajo Nando dan satunya lagi adalah anak jin. Hal ini terjadi karena
keduanya melanggar janji, sehingga termakan sumpah.

Di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, tepatnya disebuah desa bernama Lubuak


Landua di Kecamatan Pasaman terdapat objek wisata Lubuak Landua yang ramai
dikunjungi wisatawan untuk melihat ikan larangan yang berada di sungai Batang Luan,
yang mengalir di tepi surau Lubuak Landua. Ikan-ikan ini telah berusia ratusan tahun
sama usianya dengan surau Lubuak Landua. Ikan larangan adalah Ikan Batak (Gariang)
dipelihara dengan memberi makan dan tidak boleh diambil sesuai dengan kesepakatan
masyarakat. Dulunya ikan-ikan ini diberi uduah semacam ilmu teluh, agar tidak dicuri,
apabila ada yang mencurinya akan mendapat penyakit bahkan mengakibatkan kematian.
Namun saat ini hal tersebut sudah tidak digunakan lagi. Tujuan utama dari memelihara
ikan liar di sungai ini adalah untuk sumber bibit ikan, melestarikan lingkungan,
menjadikan sungai bersih dari kotoran dan sebagai daya tarik pengunjung dari luar daerah
objek wisata.

Di Desa Talawi, Nagari Baruang-baruang Balantai, Kecamatan Koto-XI Tarusan, Pesisir


Selatan, Sumatera Barat, terdapat Lubuak Larangan sebagai kawasan wisata yang
dipenuhi ribuan ikan-ikan jinak jenis Ikan Batak (Gariang) namun dilarang untuk
ditangkap. Apabila seseorang terbukti menangkap ikan itu maka akan dikenakan denda
senilai 100 zak semen. Diceritakan bahwa pada malam hari ikan-ikan tersebut tidak
kelihatan, namun pada pagi harinya sewaktu dikunjungi orang maka ikan-ikan itu
berkumpul kembali. Pada hari tertentu setiap tahunnya, digelar lomba memancing dengan
hadiah Sepeda Motor, Kulkas, dan Televisi bagi yang berhasil menangkap Ikan Batak
berukuran lebih dari 2 kg, namun tak seorangpun yang mendapat hadiah.

Di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, terdapat sebuah


kolam pemandian benama kolam Cibulan dengan ukuran 30m x 70m dengan kedalaman
bervariasi dibangun tahun 1939 disebut menjadi kolam pemandian tempat berenang
bersama-sama dengan Ikan Batak dengan sumber airnya dari Gunung Ciremai.
Ikan Batak atau Ikan Dewa oleh masyarakat setempat disebut Ikan Kancra Bodas
dipercaya sebagai ikan istimewa yang membawa berkah bagi siapapun yang dapat
menyentuh badannya. Legenda tersebut terus tersebar dari mulut ke mulut- hingga
masyarakat sekitar Cirebon bahkan dari luar Cirebon, datang ke Kuningan ingin melihat
Ikan Batak tersebut, baik hanya sekedar melihat ataupun mempunyai tujuan yang lain.
Diceritakan, Dahulu kala ketika Prabu Siliwangi masih hidup, beliau memerintah
dengan adil dan bijaksana, sehingga hampir semua prajurit dan kawulanya tunduk dan
hormat pada Sang Prabu. Namun tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan Prabu
Siliwangi, walaupun sudah memerintah dengan adil, masih ada saja prajurit yang tidak
suka dan tidak puas terhadap Prabu Siliwangi. Singkat cerita, dikutuklah prajurit-prajurit
yang membangkang tersebut sehingga menjadi ikan, yang keberadaannya masih bisa kita
saksikan sampai sekarang di kolam Cibulan.

Dikatakan, tak ada satu orangpun yang berani mengambil ikan ini, baik hanya sekedar
dipelihara, atau bahkan dimasak untuk dimakan. Menurut kepercayaan masyarakat
sekitar, barangsiapapun yang berani menganggu ikan-ikan tersebut, terhadap dirinya akan
terjadi sesuatu bencana. Ini cerita yang bisa kita dengar dari masyarakat sekitar, boleh
percaya atau tidak. Bahkan menurut cerita yang berkembang, jumlah ikan yang ada di
kolam ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah bertambah atau berkurang, tetap segitu-
gitu saja.

Pernah sekali terjadi tiba-tiba, ikan-ikan Batak yang berada dalam kolam tersebut hilang
entah kemana, kemudian esok harinya kembali seperti semula. Sadar akan potensi wisata
tentang keberadaan ikan Batak, maka desa setempat membangun tempat ini, sehingga
selain para pengunjung bisa melihat Ikan Batak yang terlihat cantik dan seksi, juga para
pengunjung bisa berenang bersamanya. Jangan khawatir, Ikan Batak atau ikan Dewa atau
ikan Kancra Putih yang bersisik putih mengkilap, tidak akan menganggu manusia yang
ingin berenang bersamanya, malah seakan-akan mereka merasa senang, karena kadang-
kadang sambil berenang mereka mengikuti kita. (Cerita ini disarikan dari situs
liburan.info).

Ikan Batak dari genus Tor, di Jawa Barat disebut sebagai Ikan Dewa yang dikeramatkan
sehingga masyarakat tidak mengkonsumsinya. Di daerah Kuningan Jawa Barat, konon
bila masyarakat menemukan ikan ini mati maka mereka memperlakukannya layaknya
manusia yang diberi kain kafan dan dikuburkan. Di beberapa daerah Jawa Barat lainnya
seperti di kawasan Telaga Remis dan Telaga Nilem, ikan ini disebut dengan nama Ikan
Kancra.

Demikianlah mitos yang melegenda di masyarakat tentang Ikan Batak yang secara alami
ternyata mampu melestarikan jenis ikan ini dari kepunahannya.

Sebagai Ikan Komersial

Ikan Batak yang disebut Ikan Jurung, selain sebagai penganan dalam prosesi adat oleh
masyarakat Batak, juga dikonsumsi sebagai makanan biasa. Di daerah Bahorok
Sumatra utara, Ikan Batak adalah sebagai ikan sajian di restoran atau warung makan yang
disajikan berupa ikan steam yang satu porsinya ukuran 1 ons seharga Rp 20.000. Harga
Ikan Batak yang berukuran sekitar 1 kg di Bahorok adalah sekitar Rp 200.000. Bukan
hanya di daerah Bahorok, tetapi di kota Medan relativ banyak restoran yang menyajikan
menu dari Ikan Batak.

Kalau di Tanah Batak khususnya bahwa Ikan Batak sebagai ikan konsumsi sementara
banyak pula kawasan menganggapnya sebagai ikan keramat dan mempercayai bahwa
yang memakannya akan mendapat sakit, bahkan musibah yang membawa kematian, tentu
sangat jauh dari logika akal sehat, namun cerita yang dimitoskan ini memang diakui
efektif untuk melestarikannya.

Yang menjadi pertanyaan besar bahwa ikan ini terpromosikan secara berlebihan sehingga
ada yang memanfaatkannya menjadi komoditi yang sangat mahal harganya. Kalau di
Tanah Batak harganya dapat mencapai Rp 200.000 Rp 350.000 untuk ukuran minimal 1
kg, maka di Bogor yang sudah mengembang biakkannya berharga sampai mencapai Rp
1.000.000 per ekor untuk ukuran 1 kg. Luar biasa. Tendensi mahalnya ikan ini justru
akan memotivasi masyarakat untuk mengambil Ikan Batak ini secara tak terkendali.
Mudah-mudahan tidak terjadi.

Sebenarnya sebaran habitat Ikan Batak sangat meluas dan masih banyak ditemukan
dikawasan Asia Tenggara. Seluruh daerah di Pulau Sumatra masih ditemukan jenis Ikan
Batak dari genus tor ini. Bahkan sebaran ini terdapat pula di Pulau Jawa dan Kalimantan.
Jadi anggapan bahwa ikan ini menuju kepunahannya tidaklah sepenuhnya dapat
dibenarkan. Para penangkar di Pulau Jawa sudah banyak yang mengembangkannya dan
bahkan instansi perikanan sudah mengembangbiakkannya dengan sangat gampang.

Kalau di Sumatera Utara, khususnya Tanah Batak memang sudah berkurang pasokannya
karena kepedulian masyarakat yang masih rendah memperlakukan alam sebagai
lingkungan ekosistim yang perlu dijaga. Banyak masyarakat Batak yang tidak terusik
dengan mitos sehingga mereka menangkap Ikan Batak (ikan Jurung) ini dengan setrum
listrik, bahkan dengan penaburan racun sehingga tentusaja perkembangannya terhambat
dan memang sudah menuju kepunahan di daerah itu.

Salah Kaprah
Jenis Ikan Batak genus Tor (Ikan Jurung), bukan Ihan

Ikan Batak

yang dikenal secara umum di Indonesia adalah dari genus Tor, yang di Tanah Batak
dikenal dengan Dekke Jurung-jurung (Ikan Jurung). Memang benar Ikan Jurung ini
dinamai Ikan Batak, namun Ikan Batak yang disebut sebagai Ihan adalah ikan asli Batak
yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari genus
Neolissochilus.

Ikan Batak yang secara umum di Indonesia memiliki nama-nama lain di setiap daerah
seperti: Ikan Jurung (Sumatra Utara), Ikan Kerling (Aceh), Iken Pedih (Gayo), Ikan
Gariang (Padang), Ikan Semah (Palembang), Ikan dewa (Jawa Barat), Ikan Kancra bodas,
Kencara (Kuningan Jawa Barat), Ikan Tambra, Tombro (Jawa), Ikan Kelah, Ikan Sultan
(Malaysia), Ikan Mahseer (Internasional), dan mungkin masih banyak nama lainnya.

Secara morfology memang sulit untuk membedakan antara genus Tor dan genus
Neolissochilus, bahkan boleh dikata ada kemiripan bentuk dengan jenis ikan mas kecuali
ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan mas (Cyprinus Carpio) yang memang dari
keluarga yang sama yaitu family Cyprinidae. Kemiripan inilah yang membuat orang-
orang lantas menamakan Ikan Jurung sebagai Ikan Batak, padahal Ikan Batak Asli adalah
yang disebut Ihan adalah dari genus Neolissochilus yang sudah menuju kepunahan, dan
salah satu spesiesnya Neolissochilus thienemanni, Ahl 1933 adalah ikan endemik Danau
Toba dan umumnya di Tanah Batak.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini diuraikan taxonomi Ihan (Ikan Batak Asli) yang masuk
dalam status The Red List of Threatened Species oleh IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources):

IHAN:

Taxonomy:

Kingdom: Animata
Phylum: Chordata
Class: Actinopterygii
Order: Cypriniformes
Family: Cyprinidae
Scientific Name: Neolissochilus thienemanni
Species Authority: (Ahl, 1933)

1. Assesment Information:

Red List Category & Criteria: Vulnerable D2 ver2.3


Years Assessed: 1996
Annotation: Need updating
Assessor/s: World Conservation Monitoring Center

2. Geographic Range

Range Description: Endemic to Lake Toba in Sumatera


Countries: Natives: Indonesia (Sumatera)

3. Habitat & Ecology

Systems: Freshwater

IUCN Red List Status (Ref. 57073) (IUCN 2006 2006 IUCN red list of threatened
species. www.iucnredlist.org.)

Dari genus Neolissochilus yang terdapat di Indonesia ada dua spesies yaitu species
Neolissochilus Sumatranus, yang terdiri dari tiga sub-spesies yaitu Lissochilus
sumatranus, Weber & de Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus, Datta & Karmakar,
1984; Neolissochilus sumatranus, Doi, 1997. Spesies lain adalah species Neolissochilus
thienemanni, Doi, 1997 dengan sub-species Lissochilus thienemanni, Ahl, 1933.

Untuk lebih memahami perbedaan Ikan Batak yang diartikan secara umum dan Ikan
Batak Asli yang dikenal oleh orang Batak sebagai Ihan, berikut ini diuraikan taxonomy
masing-masing:

Taxonomy Ikan Jurung (Ikan Batak = Ikan Dewa), terdapat 24 spesies yang baru
tercatat:

Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Subphylum: Vertebrata
Superclass: Osteichthyes
Class: Actinopterygii
Subclass: Neopterygii
Infraclass: Teleostei
Superorder: Ostariophysi
Order: Cypriniformes
Superfamily: Cyprinoidea
Family: Cyprinidae
Subfamily: Cyprininae
Genus: Tor Gray, 1834

Species:

1. Tor ater, Roberts, 1999


2. Tor barakae, Arunkumar & Basudha, 2003 , Barakae mahseer
3. Tor douronensis, Valenciennes, 1842, khela mahseer or river carp
4. Tor hemispinus, Chen & Chu, 1985
5. Tor kulkarnii, Menon, 1992, Dwarf mahseer , uncertain only one specimen found
till now
6. Tor khudree, Sykes, 1839, Deccan mahseer
7. Tor laterivittatus, Zhou & Cui, 1996
8. Tor macrolepis, Heckel, 1838, uncertain species
9. Tor polylepis, Zhou & Cui, 1996
10. Tor progeneius, McClelland, 1839, Jungha mahseer
11. Tor qiaojiensis, Wu, 1977
12. Tor malabaricus, Jerdon, 1849, Malabar mahseer
13. Tor mosal, Hamilton, 1822, Mosal Mahseer; Tor mosal mahanadicus, (closer to
Tor putitora)
14. Tor mussullah, Sykes, 1839, High-backed mahseer, Hump-backed mahseer or
Southern mahseer
15. Tor putitora, Hamilton, 1822, Himalayan mahseer or Golden mahseer
16. Tor sinensis, Wu, 1977, Chinese mahseer
17. Tor soro, Valenciennes, 1842
18. Tor tambra, Valenciennes, 1842
19. Tor tambroides, Bleeker, 1854, Thai mahseer
20. Tor tor, Hamilton, 1822, Red-finned mahseer, Short-gilled mahseer or Deep-
bodied mahseer
21. Tor yingjiangensis, Chen & Yang, 2004
22. Tor yunnanensis, Wang, Zhuang & Gao, 1982
23. Tor remadevi, NATP report, 2004 uncertain only one specimen found
24. Tor moyarensis, NATP report, 2004 uncertain only one specimen found

Taxonomy Ihan (Ikan Batak Asli), terdapat sekitar 24 spesies:

Family: Cyprinidae
Sub family: Cyprininae
Genus: Neolissochilus

Species:

1. Neolissochilus baoshanensis (Chen & Yang 1999)


2. Neolissochilus benasi (Pellegrin & Chevey, 1936)
3. Neolissochilus blanci (Pellegrin & Fang, 1940): Puntius blanci; Barbus blanci
Pellegrin & Fang, 1940; Labeobarbus blanci Pellegrin & Fang, 1940
4. Neolissochilus blythii (Day, 1870): Puntius blythii; Barbodes blythii Day, 1870;
Barbus blythii Day, 1870
5. Neolissochilus compressus (Day, 1870): Puntius compressus; Barbodes
compressus Day, 1870; Barbus compressus Day, 1870
6. Neolissochilus dukai (Day, 1878): Puntius dukai; Barbus dukai Day, 1878;
Neolissochilus dukai Doi, 1997
7. Neolissochilus hendersoni (Herre, 1940): Lissochilus hendersoni Herre, 1940
8. Neolissochilus heterostomus (Chen & Yang 1999)
9. Neolissochilus hexagonolepis (McClelland, 1839): Puntius hexagonolepis;
(synonym); Barbus hexagonolepis McClelland, 1839; Acrossocheilus
hexagonolepis Shrestha, 1978; Barbodes hexagonolepis Chu & Cui, 1989;
Neolissochilus hexagonolepis Talwar & Jhingran, 1991; Barbus hexagonlepis
Zhang et al., 1995
10. Neolissochilus hexastichus (McClelland, 1839)
11. Neolissochilus innominatus (Day, 1870): Puntius innominatus; Barboides
innominatus Day, 1870; Barbus innominatus Day, 1870
12. Neolissochilus longipinnis (Weber & de Beaufort, 1916): Labeobarbus longipinnis
Weber & de Beaufort, 1916
13. Neolissochilus nigrovittatus (Boulenger, 1893): Puntius nigrovittatus; Barbus
nigrovittatus Boulenger, 1893
14. Neolissochilus paucisquamatus (Smith, 1945): Barbus paucisquamatus; Puntius
paucisquamatus Smith, 1945
15. Neolissochilus soroides (Duncker, 1904): Puntius soroides; Barbus soroides
Duncker, 1904
16. Neolissochilus spinulosus (McClelland, 1845): Puntius spinulosus; Barbus
spinulosus McClelland, 1845
17. Neolissochilus stevensonii (Talwar & Jhingran, 1991): Puntius stevensonii;
Barbodes stevensonii Day, 1870; Barbus stevensonii Day, 1870
18. Neolissochilus stracheyi (Day, 1871): Puntius stracheyi; Barbus stracheyi Day,
1871; Neolissochilus stracheyi Talwar & Jhingran, 1991
19. Neolissochilus subterraneus Vidthayanon & Kottelat, 2003
20. Neolissochilus sumatranus Doi, 1997: Lissochilus sumatranus Weber & de
Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus Datta & Karmakar, 1984;
Neolissochilus sumatranus Doi, 1997
21. Neolissochilus thienemanni (Ahl, 1933): Lissochilus thienemanni Ahl, 1933
22. Neolissochilus tweediei (Herre and Myers, 1937): Lissochilus tweediei Myers,
1937
23. Neolissochilus vittatus (Smith, 1945): Acrossochilus vittatus Smith, 1945
24. Neolissochilus wynaadensis Talwar & Jhingran, 1991: Puntius wynaadensis;
Barboides wynaadensis Day, 1873; Barbus wynaadensis Day, 1873.

Demikianlah bahwa ada perbedaan pemahaman tentang Ikan Batak. Ikan Jurung yang
disebut sebagai Ikan Batak secara umum bukanlah Ikan Batak yang disebut Ihan,
walaupun memang sama-sama sebagai Ikan Batak. Kalau Ikan Batak yang disebut Ihan
(Neolissoichus Thienemanni) memang sudah tak kelihatan lagi dan mungkin sudah
punah. Kalau jenis ikan langka ini ada ditemukan oleh masyarakat Batak khususnya di
Danau Toba sebagai ikan endemic di ekologi aslinya, maka dihimbau untuk
menyerahkannya kepada para ahlinya agar berkesempatan untuk diselamatkan.

Baru-baru ini di bulan Nopember 2009, Tim peneliti dari Balai Riset Perairan Umum
(BRPU) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia berhasil
menemukan 4 (empat) spesies ikan dari genus Tor (Ikan Batak = Ikan Jurung) di Danau
Laut Tawar Takengon Aceh Tengah. Penemuan ini sangat menggembirakan karena di
Danau Laut Tawar itu menjadi habitat terbanyak spesies ini, dimana sebelumnya di Jawa
Barat hanya terdapat 3 spesies dari genus Tor ini. Spesies yang ditemukan di Danau Laut
Tawar ini adalah species Tor Douronensis, Tor Tambra, Tor Soro dan Tor Tambroides.

Yang lebih mengagumkan lagi bahwa di Danau Laut Tawar itu ditemukan pula Ihan dari
species Neolissochilos Longipinnis. Ikan-ikan langka tersebut diperoleh dari dua lokasi
yaitu dari Kampung Lumut Kecamatan Linge dan sebagian ikan dari Samarkilang
Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah. Mungkinkah Ihan ini dibawa oleh orang Batak
yang sudah bermigrasi sejak jaman dahulu di Aceh Tengah? Tentu semua berharap bahwa
jenis ikan khususnya Ihan yang ditemukan itu dapat diteliti lebih lanjut untuk
dikembangkan dan bila perlu dikembangkan pula di Danau Toba sebagai habitat asli
Ihan. (maridup hutauruk, jan2010).

Back home again>>>

Share this:

StumbleUpon
Digg
Reddit

Like this:

Like
Be the first to like this.

Leave a Reply
Archived Entry
Post Date :
January 17, 2010 at 5:27 am
Category :
Ikan Batak, Terpojokkan:
Tags: ihan, Ikan Batak, species, spesies ikan
Do More :
You can leave a response, or trackback from your own site.

Blog at WordPress.com. Theme: Connections by www.vanillamist.com.

Follow

Follow Maridup's Blog

Get every new post delivered to your Inbox.

Powered by WordPress.com

KAJIAN BIO-LIMNOLOGI DAN SUMBERDAYA IKAN DALAM


RANGKA MENYUSUN MODEL PEMACUAN STOK IKAN DI
SITU CILEUNCA, BANDUNG

Situ Cileunca berada 45 km sebelah Selatan kota Bandung merupakan salah satu situ
yang terletak di Kecamatan Pangalengan, Bandung Jawa Barat Situ Cileunca mempunyai
Luas 180 ha, yang berada pada ketinggian 1400 m dpl, kedalaman air 6-10
m. Kcgiatan petemakan bcrkembang sangat pesat di Kecamatan Pengalengan. Jumlah
peternak sapi yang ada di wilayah ini telah mencapai 4.500 orang dengan jumlah sapi 18
500 ekor. Pcngembangan kegiatan tersebut menghasilkan Iimbah organik yang sangat
besar (22.000 ton/bulan), dan sebagian besar terbuang ke sungai
dan masuk ke Situ Cileunca. Hal terse but mendorong terjadinya kCllJsakan atau
dcgradasi habitat dan keanckaragaman hayati perairan. TUJuan penelitian ini adalah
untuk mengctahui aspek bio-limnologis dan beberapa aspek biologi beberapa jenis ikan
dominan untuk mementukan jenis ikan ~ang sesuai untuk ditebar di Situ
Cileunca. Pengambilan contoh di lakukan dengan metoda pengambilan contoh
terstratifikasi pada bulan Juli dan Oktober 2010 Pengamatan dilaksanakan di 4 Stasiun,
yaitu 1. Dam Puiosari, 2 Outlet Cipanunjang, 3 Cipanyisikan dan 4. Bagian Tengah
Analisa data dilakukan secara diskriptif dengan mensintesa berbagai data dan informasi
yang dikumpulkan dari lapangan dan masyarakat sekitar serta instansi terkait Hasil
pengamatan menunjukan suhu air relatif rendah ( 20.1 -24,4 C), kecerahan
0.5 -0,8 m. oksgen terlarut relatif rendah (0,4 -5.6 mg/L), ortofosfat (0,017-0.077 mg/L)
dan kelimpahan
fitoplanktonnya besar (64049 -1.138792 selll) Perairan SJtu tersebut telah mencapai
tingkat kesuburan eutrofik Jumlah jenis ikan yang di temukan selama peneJitian
sebanyak II Jenis Berdasarkan kebiasaan makannya ikan betutu (O'cye!eotris marmorato)
temasuk golongan ikan predator. golsom (Aequidens go/som) dan lele (Clorios
batrochus) termasuk golongan ikan karnivora, mas (Cypril1lls corpio) dan beunteur
(Puntius binototus) tennasuk ikan herbivora. Di Situ Cileunca, kelimpahan pakan yang
tersedia sangat tinggi tctapi Jumlah ikan yang memanfaatkan masih rendall. sehingga
sumberdaya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu,
produksi hasil tangkapan ikan dapat ditingkatkan dengan optimasi relung ekologi melaJui
penebaran ,icnis ikan yang sesuai. Jenis ikan tersebut diantaranya adalah ikan patm
(Pongasionoc/on hypoptha!l11lls). mola (Al11b!Jpharyngodon micro!epis), bilih
(M..vs{OCOiellclls podangesi::,). dan kepras
! (Thynnichthys thynl1olc/es). Diharapkan dampak dari kesuksesan program pemacuan
stok ikan tersebut adalah tefJaminnva kelestarian usaha perikanan, peningkatall
pendapatan masyarakat kelestarian usaha petemakan sapi perah dan sumberdaya perairan
Situ Cileunca.

Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Danau Toba dan Sekitarnya Terus


Ditingkatkan

Danau Toba adalah Danau Vulkanik dengan ukuran panjang 100 km dan lebar 30 km
yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Danau ini merupakan danau terbesar di
Indonesia dan kedua terbesar di Asia Tenggara setelah Danau Tonle Sap di Kamboja, dan
merupakan Danau Vulkanik terbesar di dunia. Danau Toba diperkirakan terbentuk saat
ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano
(gunung berapi super) yang paling baru. Secara administratif Danau Toba terletak di tujuh
Kabupaten, antara lain Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi,
Karo, Humbang Hasundutan, dan Samosir.

Dalam rangka upaya penyelamatan Ekosistem Danau Toba dan Sekitarnya melalui
penataan ruang, Direktorat Jenderal (Ditjen) Penataan Ruang dalam hal ini Direktorat
Penataan Ruang Wilayan Nasional melaksanakan seminar dengan mengusung tema
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Danau Toba dan
Sekitarnya Senin (20/6) di Jakarta.

Kawasan Danau Toba merupakan aset bernilai tinggi untuk dikelola dalam rangka
mensejahterakan masyarakat dan bangsa, namun ironisnya masyarakat di sekitar kawasan
Danau Toba pada umumnya adalah masyarakat miskin. bagaikan ayam yang kelaparan
di lumbung padi seperti yang disampaikan Bapak Ali Wongso Sinaga yang merupakan
salah satu tokoh masyarakat dan juga merupakan anggota Komisi V DPR RI. Menurutnya
penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Danau Toba
ini harus dimulai dari visi atau mimpi yang nantinya akan kita wujudkan.

Ali mengharapkan pengembangan Danau Toba menjadi Kawasan Wisata Dunia yang
kompetitif dan masyarakat yang sejahtera, untuk itu diperlukan strategi untuk
mewujudkannya, antara lain melalui 1). Rencana Tata Ruang yang harus menyeluruh,
terinci, dan terukur 2). Jaminan ketersediaan dana untuk mewujudkannya. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan mengingat kondisi APBD daerah di Kawasan Danau Toba sangat
rendah, sehingga butuh dunkungan APBN, 3). pembentukan lembaga/kelembagaan yang
kuat dan efektif, misalnya Badan Otorita yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Danau Toba memiliki luasan Daerah Tangkapan Air seluas 369.854 ha, Luas sekeliling
danau adalah 190.314 ha, dengan Luas daratan Pulau Samosir: 69.280 ha. Luas Perairan:
110.250 ha. Danau Toba dikelilingi oleh lima Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT
Pulau Samosir, CAT Sidikalang, CAT Tarutung, dan CAT Porsea-Parapat. Ahli
Hidrogeologi dari Badan Geologi Bapak Dodid Murdohardono berpendapat bahwa CAT
Pulau Samosir dan CAT Porsea-Prapat diperkirakan mempengaruhi secara hidrologi
terhadap kuantitas air Danau Toba. CAT Porsea-Prapat ini banyak ditemukan sumber
mata air dengan debit 20 100 liter per detik.

Pada bagian barat Danau Toba terdapat Struktur Geologi yang utama berupa Patahan
Semangko/Sumatera Great Fault dan di sebelah utara terdapat gunung api yakni
gunungapi Sibayak, sehingga menurut Sri Hidayati dari Pusat Vulknologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kawasan
Danau Toba merupakan kawasan yang cenderung rawan akan bencana geologi antara lain
bencana erupsi gunung api, gempa bumi, dan gerakan tanah longsor. Sumber bahaya
geologi ini tidak dapat direkayasa karena merupakan hal yang alami, namun dalam upaya
pengurangan risiko adalah dengan mengurangi faktor kerentanan dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana geologi.

Potensi perikanan di Danau Toba sangat tinggi, budidaya utama perikanan di Danau Toba
didominasi oleh ikan nila dan ikan mas. Menurut Direktur Produksi, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan Dan Perikanan Iskandar Ismanadji, budi
daya ikan nila pada tahun 2010 mencapai 31.322,4 ton yang tersebar di Kabupaten
Samosir, Tobasa, dan Simalungun. Namun budi daya ikan ini dengan sistem KJA
dianggap menjadi salah satu penyebab pencemaran badan air di Danau Toba, sehingga
diperlukan strategi dalam rangka pengelolaan budi daya ikan yang ramah lingkungan,
antara lain : pemilihan spesies kultivar; penggunaan induk/benih unggul; penyediaan
sarana dan prasarana budidaya yang memadai; peningkatan daya saing; pengendalian
hama penyakit ikan; dan bantuan permodalan (DPM, BS-PUKPB, Subsidi Benih, Wira
Usaha, PUMP dll.)

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air baku bagi kegiatan masyarakat menurut Ni
Made Sumiarsih selaku Kasubdit Perencanaan Wilayah Sungai-Ditjen Sumber Daya Air
(SDA) menyebutkan perlu dilakukan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh dan
terpadu, misalnya upaya konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air,
serta pengendalian daya rusak air. Danau Toba berada pada Wilayah Sungai (WS) Toba
Asahan dengan luas 9.331 km2 (sama dengan 21.15% dari seluruh wilayah Provinsi
Sumatera Utara, dengan jumlah penduduk pada WS tersebut mencapai 31.39% dari total
jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara. Saat ini potensi sumber daya air pada WS
Toba Asahan masih dirasakan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan Q
ketersediaan/ Q kebutuhan sungai asahan = 1.64 > 1.5 hal ini berarti masih sangat potensi
untuk dikembangkan.

Masalah utama yang dihadapi Danau pada umumnya adalah terjadinya kerusakan kualitas
air serta kerusakan ekosistem danau, Danau Toba merupakan salah satu Danau dari 15
danau prioritas yang harus ditangani pada tahun 2010 hingga 2014, demikian
disampaikan oleh Asdep Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Menurutnya, Penurunan kondisi ekosistem danau akibat
kerusakan dan pencemaran lingkungan seperti limbah domestik, residu minyak dan oli
dari perahu motor/kapal yang menghasilkan, limbah dan sisa makanan dari peternakan.

Penetapan Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya


sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat
menjadi momentum untuk menyelamatkan
Ekosistem Danau Toba dan Sekitarnya. Upaya
penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional Danau Toba menunjukkan
bahwa pemerintah bukan tidak mengindahkan,
melainkan diharapkan pengelolaan ruang yang
tepat dapat menyelamatkan ekosistem Danau Toba dan Sekitarnya serta mengembalikan
potensi pariwisata yang saat ini dianggap stagnan, demikian disampaikan oleh
Kasubdit Wilayah I, Direktorat Penataan Ruang Wilayah Nasional.

Pada kesempatan akhir acara, Kasubdit Wilayah I, Direktorat Penataan Ruang Wilayah
Nasional menyatakan bahwa penanganan masalah Danau Toba tidak bisa dilihat dari satu
sudut pandang saja, tetapi haruslah komprehensif dari berbagai sudut pandang dan
dibarengi komitmen oleh semua pemangku kepentingan, dimana penataan ruang hanya
salah satunya. (Wil1/hrd

Perlu tindak tegas dalam mengelolapenangkapan ikan pora-pora di Danau Toba


Danau Toba di
Sumatera Utara selama ini menjadi sumber produksi ikan pora-pora (Puntius binotatus).
Keberadaan ikan yang merupakan hasil penebaran (restocking) di era pemerintahan
Presiden Megawati Soekarno Putri ini cukup membantu perekonomian penduduk sekitar
danau yang memiliki luas permukaan danau 1,103 Km2. Sayangnya kegiatan
penangkapan ikan pora-pora menjadi tak terkendali hingga menyebabkan turunnya
populasi ikan yang sempat dinamai ikan megawati ini.

Addus Situmorang, nelayan Ajibata,Kabupaten Toba Samosir menyebutkan, Tiga tahun


lalu hasil tangkapan nelayan Danau Toba jauh lebih banyak daripada sekarang. Dalam
satu alat tangkap bagan tetap dengan ukuran 15 x 15m2 bisa menghasilkan 100 kg ikan
pora-pora.Sementara jika menggunakan doton (sejenis gill net) dengan panjang jaring
50 m bisamenghasilkan 3050 kg.

Tapi sekarang,lanjut Addus, satu bagan dengan ukuran tersebut hanya menghasilkan
30kg. Sedangkan alat tangkap doton hanya bisa menghasilkan 10kg bahkan terkadang
tidak mendapatkan hasil. Menurut dia, hasil tangkapan ikan pora-pora sekarang tidak
sesuai lagi dengan ongkos pembuatan doton (gill net) dan bagan tetap.

Penangkapanikan pora-pora ini dilakukan di sore hari mulai pukul 17.00 18.00 dengan
cara menurunkan jaring yang ada di bagan dan menghidupkan lampu yang berada di atas
bagan. Jika menggunakan gill net (jaring insang), jaring yang dipasang di perairan danau
dan ditinggal hingga esok pagi. Sekitar pukul 04.00 pagi jaring diangkat dan hasil
tangkapan dibawa ke darat untuk dipasarkan.

Senada, Giot Sinaga nelayan Lotung Samosir juga melakukan cara penangkapan yang
sama. Profesi ini telah saya jalankan dari tahun 2009, ujarnya. Ia mempunyai empat
bagan tetap dengan ukuran 17 x 17 m2 dan kedalaman lima meter. Selain melakukan
penangkapan ikan pora-pora, ia juga berprofesi sebagai penampung di daerahnya dan
menjualkan ke Ajibata.
Ia menyatakan, hasil penangkapan ikan pora-pora tidak seperti dulu, satu bagan dengan
ukuran 17 x 17 m2 bisa menghasilkan 100 150 kg ikan. Namun sekarang hasil
tangkapan menggunakan alat tangkap bagan tetap hanya mampu mendapatkan hasil 50kg
ikan pora-pora. Padahal pembuatan untuk satu bagan begitu mahal, bagan yang berbahan
baku kayu lebih murah dibandingkan dengan besi. Berkisar Rp 18 juta dengan ukuran
15 x 15 m2sedangkan besi mencapai Rp 21 juta, jelasnya.

Antisipasi Penurunan Produksi


Pembantu Ketua Bidang AkademisSekolahTinggi Kelautan dan Perikanan
Indonesia,Sumatera Utara,Ir Nurmatias, MSi menyebutkan,penurunan produksi ikan
pora-pora dikarenakan permintaan ikan pora-pora olahan dari rumah makan dan
restoranyang tinggi. Stabilnya hargaikan pora-pora basah dan olahan memicu nelayan
untuk mengeksploitasi sebanyak banyaknya.

Sementara larangan penangkapan ikan yang produksinya di Danau Toba menempati


urutan ke tiga setelah tilapia dan ikan masini di muara sungaitempat masuknya induk
yang mengadakan ruaya pemijahanbelum ada. Juga, belum adapengelolaan baik
budidaya maupun restocking benih ke danau, kata Nurmatias.

Dosen Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Sumatera Utara inijuga


menjelaskan,reproduksi ikan pora-pora yang tidak mengenal musim pemijahan. Waktu
pemijahan yang terbanyak dipagi hari saat suhu air 2426oC. Ikan ini memijah dengan
pola ruaya. Biasanya ikan yang sudah matang gonad (alat kelamin) betina maupun jantan
akan beruaya ke hulu sungai.

Sungai yang jernih dan berdasarkan pasir dengan kedalaman sungai 1025cm dan berarus
0,51,0 m/detiksangat cocok untuk tempat pemijahan ikan pora-pora. Telur yang terbuahi
biasanya berwarna transparan dan menggelinding di dasar sungai serta hanyut sampai ke
danau untuk menetas.Telur yang menetas menjadi larva akan hidup sampai dewasa di
danau. Jika sudah dewasa dan matang telur,maka ikan akan melakukan ruaya pemijahan
ke hulu sungai kembali.

Untuk mengantisipasi penurunan produksi ikan pora-pora di Danau Toba,masih


kataNurmatias, perlu dilakukan perubahan usaha perikanan dari konvensional ke usaha
perikanan berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya ikan pora-pora harus berpedoman pada
ketentuan Maximum Sustainable Yield (MSY).

You might also like