You are on page 1of 21

Grand Case Session

ACUTE APPENDICITIS

OLEH:

Fatimah Putri Az Zahra

1010311014

PRESEPTOR:

dr. Rivai Ismail, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS. DR. M. DJAMIL PADANG

2015
BAB I

PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan
bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi
kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang
berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.

Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan.
Appendicitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan namun paling
sering kita temukan pada laki-laki berusia 10-30 tahun. Patogenesis utamanya diduga karena
adanya obstruksi lumen, sumbatan ini akan mengakibatkan hambatan pengeluaran sekret
lumen sehingga akan terjadi pembengkakan, infeksi dan ulserasi. Sumbatan ini dapat
dikarenakan hiperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris dan
E.histolytica. Berdasarkan lama gejala yang dialami, apendiks dapat dibagi menjadi dua yaitu
apendisitis akut dan apendisitis kronik. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan
fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendicitis.

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang


terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena
peritonitis dan syok.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI APENDIKS

Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal
muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens dan sampai
bagian oral kolon transversum.10 Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Letak basis apendiks berada
pada posteromedial sekum pada pertemuan ketiga tenia koli yaitu tenia libera, tenia colica
dan tenia omentum, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum.10 Lumen appendiks sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin
menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu.8

Gambar 1. Appendix vermicularis

Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan. 1,2
Gambar 2. Variasi lokasi Appendix vermicularis9

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus.8

Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami ganggren.8

Gambaran histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada


submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen
Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

Gambar 3. Potongan transversa Appendix 9


Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.8

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,


Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan komponen
integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan
Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi
lainnya.2

2.2 INSIDENSI

Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari.8
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.8

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi
jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih
dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith


ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa
dengan perforasi. 1,2,6,7

Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith) 8

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1
mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar
60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri
yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena,
aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol
tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih
nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai


darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai
darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,
invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu
daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan


gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,
dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke
dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator
inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding
Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burneys. Jarang
terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat
timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui
dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai
pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram
yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri
yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix
berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya
yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis
menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.
1,2,3,7,8

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan
ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut
dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan.
Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix. 2,3

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor < 6 dan skor > 6. Selanjutnya ditentukan
apakah akan dilakukan Appendectomy.5

Tabel 1. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor > 6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.2

Pada pemeriksaan fisik, pada inspeksi perut biasanya tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler. Perubahan suara bising
usus berhubungan dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Peristaltik usus sering normal
tetapi juga dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh apendisitis perforata. Pada palpasi, didapatkan nyeri tekan dan nyeri lepas di
titik Mc Burneys. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal
yang minimal, sehingga diperlukan palpasi yang lebih dalam untuk menentukan adanya
nyeri. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.8

Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsings sign bersifat konfirmasi dibanding
diagnostik, dan lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Secara teori, peradangan
akut Appendix juga dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (Rectal
toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda
Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.6

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas
kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix.
Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 7


Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign7

Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua.
Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya
telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala
letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.7
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5.1 Laboratorium2,3,6,7

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada


keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the
left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung
jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis
sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi
Appendix dengan atau tanpa abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12
jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP 8 mcg/mL, hitung leukosit 11000,
dan persentase neutrofil 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran


kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau
Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

2.5.2.Ultrasonografi1,2,6,7

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix
diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi
ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan
mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan
merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan
menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak
terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis
Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga
abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain.

2.5.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat
sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis acuta,
kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang
tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat
mendukung diagnosis.

2.6 DIAGNOSIS BANDING1,2,6,7,8

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin
Pada anak-anak balita
Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi, divertikulitis, dan
gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohns disease, klitis
ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu
menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada
skrotumnya.
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan
kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium,
infeksi saluran kencing, kelainan ovulasi (Mittelschmerz), kehamilan ektopik, dan
endometriosis. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada
kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan
saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.

2.7 TATA LAKSANA


Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7
Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :
Puasakan
Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi
atau septikemia.
Pertimbangkan KET terutama pada wanita usia reproduksi.
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
laparotomy
Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Antibiotika preoperative
- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post
opersi.
- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob
- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya digunakan
antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan
Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides

Apendektomi

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendektomi
terbuka, insisi Mc Burney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.
2.8 KOMPLIKASI8
Massa periapendikular
Massa apendiks terjadi bila apendisitis ganggrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus .
Appendisitis perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan
diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Perforasi
apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi,
nyeri hebat seluruh perut, dan perut menjadi tegang.

2.9 PROGNOSIS2
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun
1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan
penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi,
antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta
meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.
BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. C
Umur : 24 tahun
Alamat : Koto Rawang IV Jurai, Pesisir Selatan
MR : 913778
Agama : Islam
Suku : Minang
Tanggal masuk : 16 Mei 2015

ANAMNESA

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

- Nyeri perut kanan bawah sejak 10 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri awalnya
dirasakan di sekitar pusat kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
menetap dan tidak berkurang dengan istirahat.
- Mual dan muntah (+). Muntah sebanyak 2x, berisi makanan.
- Penurunan nafsu makan (+)
- Demam (-)
- BAK tidak ada keluhan
- BAB mencret (+)
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat keputihan (-)
- Haid teratur, tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi sebelumnya tidak ada


Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan seperti ini

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 100/70
Nadi : 80x/mnt, irama regular, pengisian cukup
Nafas : 16x/mnt
Keadaan gizi : sedang

Status Generalis
Kulit
Tidak ada kelainan

Kelenjar Getah Bening


Tidak terdapat pembesaran KGB leher, aksila, inguinal

Kepala
Tidak ada kelainan

Rambut
Tidak ada kelainan

Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga
Tidak ada kelainan

Hidung
Tidak ada kelainan
Tenggorokan
Tidak ada kelainan

Gigi dan Mulut


Caries (+)

Leher
Tidak ada kelainan

Paru
Dalam batas normal

Jantung
Dalam batas normal

Abdomen
Status lokalis

Punggung
Tidak ada kelainan

Genitalia Eksterna
Tidak ada kelainan

Anus
Tidak dilakukan pemeriksaan

Angggota Gerak
Akral hangat, tidak ada kelainan
Status Lokalis
Regio Abdomen

Inspeksi : distensi (-)


Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (+), nyeri lepas (+) pada titik Mc Burney, Rosving Sign (+)
Perkusi : timpani di seluruh kuadran

Laboratorium
Darah rutin
Hb : 11,4 mg/dL
Leukosit : 14.800/mm3
Hematokrit : 35%
Trombosit : 212.000/mm3

Diagnosis Kerja
Peritonitis lokal ec. susp. appendisitis akut

Diagnosis Banding
- Gastroenteritis akut
- PID
- KET

Pemeriksaan Penunjang

- Foto polos abdomen


- Uji kehamilan lewat urine (-)

Diagnosis

Peritonitis lokal ec. appendisitis akut

Terapi

- Pasien dipuasakan
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Inj. ceftazidime 2x1
- Inj. ranitidine 2x1
- Rencana appendektomi
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www


.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg

5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingots Abdominal


Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

8. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Usus halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. Dalam: Buku
ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005: 755-62

9. OConnell PR. The Vermiform Appendix. In: Bailey and Love Surgery. 25th edition. Ed:
Williams NS, Bulstrode CJK, OConnell PR. London: Hodder Arnold. 2008: 1204-19

10. Snell S, 1995. Appendicitis. Dalam Buku Clinical Anatomy for Medical Students. 5th
edition.

You might also like