You are on page 1of 11

Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup

Wiwik Sulistyaningsih

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

A. PENGANTAR
Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-spiritual. Sebagai makhluk biologis
yang terdiri dari sel-sel yang membentuk organ-organ, ia akan berkembang menjadi
makhluk organismik yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sedangkan sebagai makhluk
spiritual, manusia tidak hanya berhubungan dengan orang lain dalam sistem
masyarakat atau dunia, namun ia juga berhubungan dengan Sang Pencipta. la
mengakui bahwa ada suatu kekuatan di luar dirinya yang banyak mempengaruhi
kehidupannya. Setelah berbagai usaha ia lakukan dan menemui kegagalan, maka ia
akan menyerahkan dirinya pada kekuatan ini. Selain itu spiritualitas dalam diri
manusia diwujudkan dalam bentuk rasa kasihnya terhadap sesama. Sifatnya yang
altruistik yaitu keinginannya untuk memberikan apa yang dipunyainya untuk orang
lain adalah suatu tanda adanya spiritualitas tersebut (Prawitasari, 1995).
Didalam hidupnya manusia akan selalu berhadapan dengan perubahan. Baik
perubahan itu yang terjadi didalam dirinya sendiri maupun perubahan yang terjadi
diluar dirinya. Kesemua perubahan tersebut dapat menimbulkan stress atau tekanan.
Bila dinilai secara positif, stress dapat mendorong timbulnya perilaku kreatif, inovatif
atau kemampuan inisiatif. Namun sebaliknya, apabila dinilai negatif, stress dapat
mengakibatkan terganggunya keseimbangan pada individu.
Ketidakseimbangan yang terjadi akan mendorong individu untuk berusaha
menemukan kembali keseimbangannya. Kesanggupan untuk memelihara
keseimbangan psikologik ini adalah daya utama dalam mempertegar ketahanan
mental (mental resilience), apa dan betapapun stressor yang bermunculan yang
melanda manusia (Fuad Hassan, 2000). Berbagai upaya akan dilakukan manusia
untuk memelihara keseimbangan tersebut.
Salah satu upaya untuk mendapatkan keseimbangan didalam menjalani
kehidupan yang penuh problem dan perubahan adalah dengan cara melakukan
meditasi atau samadhi. Tujuan akhir yang ingin dicapai dengan jalan ini adalah
meluasnya kesadaran dan transendensi diri. Karena pelaku samadhi meyakini bahwa
manusia berasal dan akan kembali kepada Sang Pencipta, maka tidak ada pilihan lain
kecuali menjalani hidup menurut kemauanNya. Untuk itulah manusia dipandang perlu
secara terus menerus menjalani transendensi dengan Sang Pencipta. Kesadaran untuk
menjalani hidup di alam semesta semestinya dibimbing oleh kesadaran lain yang lebih
tinggi. Ruh atau spiritual manusia yang bersifat luhur diyakini akan dapat
membimbing sehingga manusia dapat menjalani hidup yang selaras, harmonis, atau
menyatu dengan alam semesta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan
kondisi psikologis yang terjadi pada seseorang. Subjek pada penelitian ini adalah
orang yang mengalami banyak kegagalan dan tekanan, namun akibat yang timbul
bukannya kelemahan, stress, ataupun akibat negatif lainnya. Meskipun beberapa
waktu sebelumnya sempat terjadi kemunduran, namun pada akhirnya subjek justru
berkembang bertambah kuat secara mental dan spiritualnya. Dari kasus ini ingin

1
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
dibahas apa dan bagaimana manusia dapat bertahan, bahkan muncul potensi yang
melebihi orang pada umumnya, sehingga seseorang dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Juga ingin diketahui sejauhmana telah terjadi perubahan-perubahan
sikap, mental, dan perilaku akibat berkembangnya suatu "kesadaran yang lain" pada
seseorang.
Tinjauan kasus ini akan dibahas menurut perspektif psikologi transpersonal.
Oleh karenanya metode yang dipergunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif
yang berlandaskan phenomenologi. Data diambil melalui observasi partisipan dan
wawancara kepada subjek serta informan, yang dilaksanakan pada bulan Nopember
sampai dengan Desember 2001 di Surakarta.

B. 1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif berlandaskan
phenomenologi yang mengakui empat kebenaran empirik, yaitu kebenaran empirik
sensual, kebenaran empirik-logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik
transendental. Menurut Muhadjir (2000) kemampuan penghayatan dan pemahaman
manusia atas indikasi empiri ini menjadikan manusia mampu mengenal keempat
kebenaran tersebut di atas.
Penelitian kualitatif disini dapat didefinisikan sebagai penelitian yang
memiliki tu juan dokumentasi, identiftkasi, dan interpretasi mendalam terhadap
pandangan dunia, nilai, makna, keyakinan, pikiran, dan karaktertik umum seseorang
atau kelompok masyarakat tentang peristiwa-peristiwa kehidupan, situasi kehidupan,
kegiatan-kegiatan ritual, dan gejala-gejala khusus kemanusiaan yang lain (Wiseman,
1993).
Terdapat beberapa model metodologi dalam penelitian kualitatif yakni antara
lain fenomenologi, etnometodologi, dan interaksionisme simbolik. Pada model
fenomenologis, penelitian ditekankan pada cara manusia sebagai subjek berinteraksi
dengan dunia gejala, baik terhadap objek-objek empirik maupun peristiwa. lni sesuai
dengan pengertian fenomenologi sebagai disiplin yang mempelajari makna suatu
gejala bagi manusia secara individual. Model etnometodologi menekankan pada cara-
cara orang mengkonstruk dunia budaya mereka. Model ini terutama membahas cara
berpikir antar individu berkenaan dengan aturan-aturan etnik kultural yang
melatarbelakangi interaksi sosial kelompok budaya mereka. Sedangkan
interaksionisme simbolik menekankan pada makna yang tercakup dalam cara-cara
manusia menggunakan dan menginterpretasikan pola-pola simbolik dalam melakukan
interaksi sosial (Persell, 1987).
Untuk mencapai tujuan penelitian seperti tersebut di atas, penelitian ini
menggunakan pendekatan naturalistik atau interpretif terhadap topik-topik penelitian
yang dikaji. Naturalistik berarti peneliti melakukan penelitian terhadap objek-objek
atau subjek-subjek penelitian dalam seting alamiah atau lingkungan hidup asli
mereka. Interpretif berarti bahwa berdasar pada lingkungan hidup asli itu kemudian
peneliti kualitatif mencoba untuk memahami secara mendalam atau membuat
interpretasi mendalam suatu gejala dalam hubungan dengan makna yang dibangun
oleh subjek atau partisipan penelitian.
Untuk mendapatkan pemahaman tentang subjek, maka penelitian dilakukan
dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) tahap refleksi yang bertujuan untuk
mengidentifikasi subjek dan permasalahan penelitian, (2) tahap pengumpulan data
(observasi dan wawancara mendalam) dan analisis data, (3) pembahasan, dan (4)
kesimpulan (Denzin & Lincoln, 1994).

2
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi
partisipan. Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap subjek dan sejumlah
informan lainnya dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengalaman spiritual
subjek, sehingga ia berada dalam kondisi mental-spiritual seperti saat ini. la merasa
memiliki dan menjalani hidup yang penuh keterlangan dan keharmonisan. Selain itu
juga dilakukan observasi untuk memperoleh gambaran tentang dinamika psikologis
dari kondisi yang dihadapi melalui interaksi interpersonalnya dengan orang lain,
termasuk pula suasana keseharian di rumahnya.

B. 2. SUBJEK
Subjek adalah seorang pria berusia sekitar 44 tahun. la memiliki seorang anak
perempuan. Isterinya termasuk kerabat keraton Kasunanan Solo yakni salah seorang
anak dari Raja Susuhunan Paku Buwono XII. Subjek sendiri dilahirkan oleh ibu yang
bersuku Madura, sedangkan ayahnya berasal dari suku Sindh di daerah Kashmir
India. Kedua orangtuanya saat ini telah meninggal, ayahnya meninggal pada waktu
subjek berusia 10 tahun.
Selepas mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Surakarta,
ia sempat kuliah di Institut Teknologi Bandung. Namun tidak sampai tamat, ia terkena
skorsing Drop Out sehingga harus keluar dari ITB. Kemudian ia menempuh
pendidikan hukum di Universitas Dr. Sutomo di Surabaya sampai selesai sehingga
bergelar sarjana hukum.
Riwayat pekerjaan pertama yang dijalani adalah di kantor pengacara sebuah
badan hukum di Surabaya. Pekerjaan ini ditekuninya sambil kuliah sampai lulus
sarjana. Setelah itu ia pindah ke Jakarta bekerja sebagai ahli spiritual yang
ditempatkan di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut,
putri mantan presiden Suharto. Kemudian pada Februari 1998, subjek memutuskan
kembali tinggal di Surakarta sampai saat ini.
Bersama isterinya sekarang ini ia berwiraswasta berdagang batik yang
dilakukannya di sela-sela waktunya menekuni masalah spiritualitas.

C. HASIL PENELITIAN

1. Hasil Observasi
Observasi dilakukan dalam dua seting lingkungan yang berbeda, yaitu di
rumah subjek dan di ruang kelas aula tempat diselenggarakannya kursus pengenalan
tentang spritualitas manusia.
Di rumahnya subjek tinggal bersama isteri dan seorang anak. Di rumahnya
juga tinggal bersama mereka dua orang mahasiswa, yang setiap harinya juga sering
mengikuti langkah spiritual yang dilakukan oleh subjek. Pada waktu penulis datang ke
rumah (sebanyak empat kali) subjek selalu mempersilakan untuk berbincang-bincang
sambil duduk di lantai, meskipun ada ruang tamu yang berkursi. la lebih suka duduk
di lantai dengan meja rendah ada di samping bantal-bantal untuk duduk. Dari atas
meja tercium bau wangi dupa yang dibakar yang diletakkan di cawan di atas meja.
Wawancara yang berfokus pada diri subjek dengan pengalaman-
pengalamannya ini berlangsung sekitar dua jam setiap kali pertemuan la sangat lancar
dan penuh semangat dalam berbicara, argumentatif, dan terkesan menguasai
pembicaraan. Suaranya cukup tegas, terkadang intonasi suaranya meninggi. Dari cara
berbicara terkesan subjek adalah orang yang kokoh kuat memgang prinsip
pendiriannya, banyak wawasan, dan terkadang tidak peduli dengan pendapat orang

3
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
lain. Namun ia juga bersikap rendah hati karena menyadari bahwa pengetahuan yang
dimiliki manusia hanyalah setitik kecil ilmu Tuhan yang tidak terbatas luasnya.
Observasi kedua dilakukan di suatu ruang kelas yang berupa aula dimana
subjek berperan sebagai instruktur pelatihan. Dalam observasi partisipan ini, penulis
menjadi peserta pelatihan yang mengikuti kursus yang diberikan. Separuh dan waktu
pelatihan, yakni sekitar satu jam, dipergunakan oleh subjek untuk menjelaskan secara
teori tentang masalah spiritualitas manusia. Kemudian sejam berikutnya dipergunakan
untuk praktek secara langsung membimbing peserta kursus untuk melatih kemampuan
spiritual yang dimiliki. Pelatihan dilakukan sebanyak delapan kali, yang dilakukan
pada malam hari yakni setiap Kamis pukul 20.00 sampai 22.00 WIB. Setiap kali
memberikan pelatihan, ia didampingi oleh tua orang muridnya yang telah lebih dahulu
dibimbingnya.
Dalam salah satu penyampaiannya di kelas, subjek mengajarkan bahwa
manusia dapat mengambil manfaat dari energi alam. Bila energi alam ini disimpan di
dalam did manusia, maka simpanan energi ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tu
juan seperti misalnya untuk penyembuhan penyakit, kekuatan fisik, ataupun kekuatan
mental. Energi alam ini dapat diambil dengan cara meditasi atau samadhi. Delapan
sumber energi alam yang disebut sebagai hasta brata ini adalah matahari, bulan,
bintang, awan, air, angin, api, dan bumi.
Pada waktu berlatih mengenal energi alam, peserta dirninta untuk mengambil
sikap samadhi. Kemudian subjek membimbing agar peserta mulai menyerap satu per
satu energi alam. Pada kesempatan tersebut, penulis sebagai peserta pelatihan
merasakan betul sensasi fisik seolah-olah berada di alam semesta. Sewaktu menyerap
energi awan, seluruh tubuh merasa dingin. Pada waktu menyerap energi angin, di
seluruh tubuh terasa seperti terhembusi angin. Sedang pada waktu menyerap energi
matahari, tubuh merasakan sensasi rasa panas terutama di depan wajah terasa sekali
panas dan silau, padahal mata tertutup rapat. Peserta latihan juga merasakan berat
menahan rasa panas dan tekanan yang sangat kuat. Demikianlah setelah itu kembali
'cooling down', pelatihan samadhi diakhiri dengan mengucap syukur atas
kebesaranNYA.
Bila latihan terus menerus dilakukan, pelatih mengatakan bahwa tubuh akan
merasa sehat, kuat, dan keseimbangan fisik terjaga. Secara umum pelatihan tersebut
bertujuan agar peserta mampu mengenali dan selanjutnya mengembangkan
kemampuan spiritual yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat untuk memperoleh
ketenangan. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah agar manusia dapat hidup secara
sempurna, sehingga selanjutnya kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan
sejahtera dapat terwujud.

2. Hasil Wawancara
Wawancara diawali dengan pernyataan subjek bahwa di era kehidupan
manusia modern dewasa ini, banyak manusia yang merasakan hidupnya hampa,
mereka tidak mengenal jati dirinya, sehingga hidup menjadi kehilangan makna.
Menurutnya hal ini terjadi karena manusia modern melihat segala sesuatu hanya ada
sudut pandang di pinggiran eksistensi, tidak pada 'pusat spiritualitas dirinya', sehingga
berakibat manusia lupa siapa dirinya. Dalam keseluruhan hidupnya, menyangkut
pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri, ternyata amat dangkal yang
diketahui. Dekadensi atau kejatuhan manusia di jaman modern ini terjadi karena
manusia kehilangan pengetahuan langsung mengenai dirinya itu. Dan selanjutnya
menjadi bergantung pada pengetahuan eksternal, yang tidak langsung berhubungan

4
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
dengan dirinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah
manusia itu, bagaimana asal usulnya, dan apa tugasnya di dunia ini.
Subjek mengatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya sangat banyak
penderitaan dan pengorbanan yang hams dijalaninya akibat konsekuensi pilihan sikap
yang diyakininya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri I
Surakarta, ia berhasil diterima di Institut Teknologi Bandung. Namun hanya beberapa
semester dijalaninya dan tidak sempat menyelesaikan studi karena ia terkena skorsing
DO dari universitas. Penyebab jatuhnya skorsing dikatakan karena keaktifannya
dalam demonstrasi politik melawan pemerintah raja saat itu. la ikut berpartisipasi
dalam penulisan buku putih yang berjudul "Indonesia di bawah sepatu lars".
Akibatnya ia mendapat skorsing harus keluar dari ITB, selain juga mengalami
kekerasan secara fisik dan mental dari aparat. Dari pengalamannya ini ia berpendapat
bahwa menegakkan kebenaran itu harus dibayar dengan pengorbanan yang sangat
besar. Karena itulah pada umumnya orang lebih suka mencari yang aman, meskipun
kadang harus menempuh jalan yang tidak benar. Namun bagaimanapun harus ada
sebagian kecil dari masyarakat yang bersedia berjuang menegakkan kebenaran.
Karena kalau tidak demikian, maka seluruh manusia akan tersesat dan menjalani
hidup secara salah.
Setelah keluar dari ITB, subjek kembali tinggal di Surakarta. Saat itu ia
merasa dirinya menjalani kehidupan yang benar-benar kacau, disebutkannya sebagai
'kehidupan yang sungguh bejad'. la tenggelam dalam pengaruh buruk narkotika.
Namun di puncak kesesatannya tersebut, tiba-tiba ia tersentak karena ada 'kekuatan
lain' yang menyadarkannya. la menjadi tersadar, apalagi ketika ia mulai menatap alam
semesta (yakni menatap bintang di langit) tubuhnya menjadi bergetar penuh keringat.
Seolah ia tersadar bahwa ada dzat yang Maha Kuasa yang mengatur kehidupan ini.
Kemudian dari dalam sanubarinya timbul dorongan yang sangat mendesaknya untuk
mencari tabu lebih lanjut tentang kekuatan Yang Maha tersebut.
Dorongan hati membawanya pergi ke Gunung Lawu untuk bersamadhi.
Selama sekitar satu setengah tahun sendirian ia menjalani samadhi disana. Dalam
samadhinya itu ia merasa dibimbing oleh "sang guru". Yang dimaksud dengan "guru"
tersebut sebenarnya tidak lain adalah roh atau sukma dari jati diri setiap manusia.
Karena sifat orang suci, maka ruh itu bisa membimbing manusia untuk menjalani
kehidupan yang baik sesuai kehendak Ilahi.
Pada suatu ketika subjek diperintahkan untuk duduk di tepian lereng sebuah
kawah yang di bawahnya mengeluarkan asap belerang. Mengetahui bahwa asap
belerang itu mengandung racun yang dapat mematikan manusia, maka timbul sikap
ragu-ragu subjek untuk melaksanakannya. Sempat hampir seharian ia berpikir untuk
menjalankan perintah itu atau tidak. Akhirnya ia diingatkan "Apakah kamu ragu
terhadap guru sehingga kamu kira aku akan mencelakakanmu?". Kemudian akhirnya
ia berangkat dan mencari lereng kawah yang dimaksud. Lalu ia mengambil posisi
duduk di tepian lereng yang di bawahnya mengeluarkan asap. Tidak lama setelah ia
duduk, tubuhnya jatuh rebah ke belakang tersandar pada tepian lereng. la merasa
mengalami mati suri dalam jangka waktu yang lama.
Dalam kondisi mati suri itu subjek merasa ruhnya terlepas dari tubuh dan
melayang, lalu berada pada suatu kehidupan pada dimensi ruang dan waktu yang jauh
sebelumnya dari saat itu. la melihat secara tiga dimensi suatu kehidupan dalam
sejarah kerajaan-kerajaan masa lampau. Bahkan juga kehidupan manusia pada jaman
pea sejarah. Selain melihat kehidupan yang terjadi di masa lampau, subjek juga
dibawa melihat kehidupan di atas langit yang berlapis-lapis. Pada lapisan yang

5
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
tertinggi, yakni tempat terdekat dengan hadirat Ilahi, nampak cahaya yang amat
menyilaukan yang tidak mampu ditangkap oleh keterbatasan indera manusia.
Banyak lagi pengalaman-pengalaman lain yang terjadi, dari mulai subjek
digoda oleh makhluk cantik, binatang buas harimau dan ular besar yang hendak
memangsa sampai dengan makhluk yang berbentuk besar dan menyeramkan, yang
semuanya ingin menguji ketahanan mental subjek. Dalam menghadapi semua godaan
tersebut, ia berserah diri sepenuhnya dan ikhlas menjalani apapun kehendak IIahi.
Dan ternyata ia selamat dari semua godaan tersebut. Pada tahun 1987, setelah ia
dinyatakan cukup menerima pelajaran dari 'guru', kemudian ia turun gunung dan
kembali menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Dari pengalamannya samadhi di Gunung Lawu, subjek mengatakan bahwa
melalui pengenalan terhadap alam semesta manusia dapat mengenal Tuhan. Untuk
menjadi beriman, yakni mempercayai adanya Tuhan, bisa saja seseorang
memperolehnya tidak harus melalui teks-teks. Kitab Suci melainkan bisa juga melalui
penalaran, pengalaman, dan perenungan hidup. Yaitu berupaya sekuat
kemampuannya untuk menjelaskan Kekuatan Gaib atau Misteri yang menguasai alam
semesta ini, bahkan juga misteri yang ada dalam diri setiap individu. Tuhan disebut
Misteri dalam arti manusia meyakini akan pengaruh dari keberadaan dan
kekuatanNYA, namun sepanjang zaman manusia merasa tidak mampu untuk
mengetahui secara pasti dengan kekuatan nalar dan inderanya (Hidayat & Nafia,
1995).
Setelah beberapa saat di Surakarta, subjek memutuskan untuk pindah ke
Surabaya. Di kota ini ia kuliah sambil bekerja. la bekerja untuk suatu kantor
pengacara sebagai 'law investigator'. Tugasnya adalah mengumpulkan data tentang
apa saja yang berkaitan dengan kasus hukum yang sedang ditangani. Sambil bekerja
ia berhasil menyelesaikan studi sehingga bergelar sarjana hukum dari Universitas Dr.
Sutomo Surabaya.
Selama menjalankan tugas tersebut, ada satu pengalaman yang berkesan
sangat mendalam bagi subjek. Karena tugasnya membela orang yang berperkara,
maka ia harus berhadapan dengan mafia tanah yang ingin menguasai tanah rakyat.
Pihak yang ingin menguasai tanah berusaha membujuknya agar ia mau menerima
uang sogok sebesar lima puluh juta rupiah, dengan syarat ia mau berhenti membela si
empunya tanah. Subjek menolak karena ia ingin membela pihak yang lemah. Tidak
disangka ternyata mafia tanah tadi menjadi marah dan dendam, lalu mengancam akan
memenjarakan subjek agar keinginannya berhasil.
Ternyata betul, tidak lama kemudian subjek dimasukkan ke penjara tanpa tahu
apa kesalahannya. Selama di penjara, ia merasakan siksaan fisik dan mental serta
penganiayaan, agar ia mau mengaku bersalah. Semua penderitaan yang dialaminya
tersebut diterimanya dengan tabah. la berprinsip bahwa untuk membela yang benar
memang harus dibayar dengan pengorbanan yang mahal. Dengan demikian rasa sakit
dan penderitaan secara fisik yang dialami tidak dirasakannya sebagai beban mental.
Kemudian tiba-tiba pada hari yang kesepuluh ia dipenjara, datang 'guru' yang
selama ini menempanya. Dikatakan oleh 'guru' tersebut bahwa besok pagi ia akan
keluar dari sel. Tidak lama setelah 'guru' pergi, tiba-tiba tanpa ada hujan atau pertanda
alam yang lain, datang petir yang sangat hebat sehingga semua peralatan elektronik di
kantor polisi itu terbakar dan rusak. Ternyata betul, esok paginya tanpa ada proses
apapun yang menyulitkan, subjek diminta keluar dari sel.
Merasa usahanya memenjarakan subjek gagal, si mafia tanah menjadi
penasaran dan mengancam untuk mengirimnya lagi ke penjara. "Tunggu, tidak lama
lagi saya akan panen udang. Saya akan punya cukup uang untuk memberi pelajaran

6
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
kepadamu!". Begitulah ancaman yang ditujukan kepada subjek. Banyak teman-teman
subjek yang menyarankan agar ia menyerah dan minta maaf saja agar ia terhindar dari
celaka. Namun subjek tetap teguh pada pendiriannya yakni kejahatan harus dilawan
dengan kebenaran. Maka pada malam harinya, subjek bersamadhi sambil memohon
kekuatan Ilahi untuk memancarkan energi alam, sehingga air sungai meluap ke arah
tambak udang tersebut. Selang beberapa hari kemudian teman-temannya
mengabarkan bahwa orang tadi tidak jadi panen udang karena tambaknya terkena
banjir. Dengan demikian subjek terhindar dari ancaman akan dipenjarakan lagi. Dari
kejadian ini subjek semakin yakin bahwa kebenaran Ilahi akan dapat mengalahkan
segala kejahatan yang diupayakan oleh manusia.
Setelah beberapa lama tinggal di Surabaya, subjek memutuskan untuk pindah
ke Jakarta. Selama hidup di Jakarta secara materi ia sangat berkecukupan karena
memperoleh gaji yang cukup besar. Dengan kemampuannya untuk melihat visi ke
depan secara spiritual, keahliannya dimanfaatkan sebagai star ahli pendamping di
kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut putri mantan
presiden Suharto. Pada awal tahun 1998 ia melihat bahwa situasi kehidupan
masyarakat akan mengalami kekacauan, maka pada Februari tahun itu juga ia
memutuskan untuk kembali ke Surakarta. Selain itu ia juga merasa banyak idenya
yang tidak dimanfaatkan. Karena merasa pendapatnyalah yang benar, maka ia lebih
memilih untuk mengundurkan diri. Selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada bulan
Mei 1998 memang betul terjadi kekacauan masyarakat yang menandai runtuhnya
pemerintahan orde baru.
Dari pengalamannya selama hidup di Jakarta, subjek menarik kesimpulan
bahwa ternyata kebanyakan orang belum memiliki kejujuran dan keberanian untuk
berkata benar. Saat ini subjek berupaya memusatkan perhatiannya pada masalah
bagaimana bisa menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan agar
manusia dapat hidup selaras dengan alam dan sesuai dengan hukum alam. Apabila
manusia dapat hidup sesuai dengan kehendak Ilahi, maka hidup yang penuh dengan
ketenangan dan keharmonisan akan terwujud. Subjek juga menjelaskan bahwa
kemampuan spiritual yang berkembang dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan hidup
hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah mencapai kedewasaan spiritual, selain
sebelumnya juga telah mencapai kedewasaan individual dan kedewasaan sosial.
Kedewasaan spiritual ditandai dengan kemampuan untuk memahami "Sangkan
Paraning Dumadi" atau mampu bersikap bijaksana dalam menghadapi hidup.
Kedewasaan individual ditandai oleh kematangan jasmani dan jiwa, yaitu berani
mengambil alternatif dan mandiri. Sedang kedewasaan sosial ditandai oleh aktualisasi
potensi dialogis, mengendapnya rasa, tanggung jawab, kesediaan untuk mencintai dan
dicintai orang lain, dan kerelaan berkorban (Damardjati Supadjar, 1984).
Dalam melakukan samadhi atau meditasi, subjek percaya bahwa manusia
dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan melalui tanggapan batin. Alat
untuk menghampiri ke hadirat Tuhan ini bukan panca indera atau akal, melainkan
mata hati. Jalan untuk mencapai penghayatan ini adalah penyucian hati dan meditasi.
Sesudah hatinya menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan dunia (apa-
apa selain Tuhan), baru melangkah ke meditasi atau samadhi. Samadhi dilakukan
dengan cara mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan kesadaran untuk merenungkan
keagungan Tuhan. Meditasi pada hakekatnya berusaha mengalihkan kesadaran
terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin.
Orang yang mampu mendekati ke hadirat Tuhan ini disebut sebagai orang
yang sanggup mencapai makrifat, dan dianggap sebagai orang sempurna. Hidupnya
diliputi ketenangan, keharmonisan, dan selalu ingin menyucikan diri sehingga selalu

7
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
berjalan lurus sesuai dengan kehendak Tuban. Nafsu-nafsu materi yang sifatnya
duniawi tidak lagi menarik perhatiannya. Orang yang telah mencapai kesempurnaan
ini hidupnya diimbasi sifat-sifat ke Tuhanan, laksana bayang-bayang Tuhan di atas
alam semesta (Simuh, 1984).

D. PEMBAHASAN
Pengalaman dan penghayatan spiritual yang dialami oleh subjek dalam
penelitian ini menunjukkan adanya suatu fenomena yang dapat dijelaskan dalam
perspsektif psikologi transpersonal. Ditunjukkan dalam kasus ini telah terjadi adanya
pengalaman puncak, transendensi diri, dan penghayatan meditasi atau samadhi.
Ketiga konsep ini merupakan dasar untuk menjelaskan adanya gejala transpersonal
yang dialami oleh subjek.
Pengalaman puncak dinyatakan oleh Davis (1993) memiliki beberapa (meski
tidak semua) karakteristik antara lain: emosi yang amat kuat dan mendalam mirip
ekstase; merasakan kedamaian atau ketenangan yang mendalam; merasa selaras,
harmonis, atau menyatu dengan alam semesta; merasa tahu secara lebih mendalam
atau memiliki pemahaman yang mendalam, dan; merasa bahwa itu suatu pengalaman
yang sangat istimewa yang sukar atau mustahil diceritakan dengan kata-kata. Dalam
hal ini pengalaman puncak dialami oleh subjek sewaktu ia samadhi di Gunung Lawu,
dimana ia merasakan seperti seolah menyatu dengan alam serta, merasakan
ketenangan dan harmonis di dalam dirinya. Bersamaan dengan rasa harmoni dengan
alam semesta ini, transendensi diri pada subjek juga berlangsung. Sedangkan untuk
memupuk keadaan transpersonal yang telah dialami, subjek terus menerus melakukan
meditasi atau samadhi yang bertujuan untuk meluasnya kesadaran dan transendensi
dia.
Berdasarkan pengertian psikologi transpersonal yang membahas tentang
potensi tertinggi manusia serta pengenalan dan pemahaman dari kesadaran yang
transenden maupun spiritual manusia, maka pada diri subjek telah tercapai suatu
kondisi puncak. Hal ini melibatkan keadaan kesadaran yang berubah, tercapainya
potensi manusia yang tertinggi, mampu mengatasi ego, transenden, serta menghayati
spiritualitas (Alexander, 1996). Adanya kesadaran yang berubah telah memungkinkan
subjek untuk mampu melihat sesuatu yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan
waktu.
Pengalaman-pengalaman seperti yang telah dikemukakan oleh subjek
merupakan bagian dan fenomena psikis, yang oleh Tart (1975) disebut sebagai
transpersonal experience, yaitu sebuah pengalaman dimana ada jarak terhadap
masukan sensoris (yang ada hanya keheningan atau ectasy), sehingga eksistensi
wadag dan waktu terlupakan. Menurut Valle (1989) dalam kondisi seperti ini subjek
mengalami transendental being, dimana individu mengalami ASCs (Altered State of
Counsciousness). Dengan kata lain self-firs lepas dari realitas fisik dan menyatu
dengan kekuatan yang transendental.
Dari pengalaman transendensinya tersebut, telah menempatkan subjek pada
kondisi memiliki kecerdasan spiritual. Ini artinya subjek mampu menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Menurut Zohar dan Marshall, kecerdasan spiritual ini adalah landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, oleh karena kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan manusia untuk transenden. Melalui transendensi diri, manusia mampu
"mengatasi" (beyond) - mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan rasa duka.
Dengan demikian dapat dipahami, mengapa subjek teguh memutuskan pilihan dan

8
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
menjalani pilihan tersebut dengan berbagai resiko yang tidak mudah untuk dijalani.
Dalam hal ini kekuatannya untuk menahan segala penderitaan fisik dan mental,
dimungkinkan dengan kemampuannya bertransenden sehingga ia mampu untuk
"mengatasi".
Selain ciri-ciri psikologis, dimensi spiritual memberikan gambaran penjelasan
tentang orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi yaitu: (1) kemampuan
bersikap fleksibel; (2) tingkat kesadaran yang tinggi; (3) kemampuan menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan; (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa
takut; (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai; (6) keengganan untuk
menyebabkan kerugian yang tidak perlu; (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan
antara berbagai hal; (8) kecenderungan untuk mencari jawaban yang mendasar; (9)
pemimpin yang penuh pengabdian dan tanggung jawab; (10) kemampuan menghayati
keberadaan Tuhan; (11) memahami diri secara utuh; (12) memahami hakekat di balik
realitas; (13) menemukan hakekat diri; (14) tidak terkungkung egosentrisme; (15)
memiliki rasa cinta; (16) memiliki kepekaan batin; (17) mencapai pengalaman
spiritual (Subandi, 2001).
Orang yang tinggi kecerdasan spiritualnya antara lain dicirikan oleh adanya
kemampuan memahami hakekat di balik realitas, sehingga mampu menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan. Berkaitan dengan jalan hidup subjek yang dilaluinya
dengan penuh penderitaan dan pengorbanan, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah
orang yang memiliki kecerdasan spiritual.
Keberanian subjek untuk bersikap dan berperilaku yang agak kurang lazim,
karena ia lebih mengambil pilihan yang beresiko, ini dapat diterangkan dengan teori
determinasi diri atau Self Determination Theory. Dinyatakan oleh teori ini bahwa
pengaturan sikap dan perilaku akan terjadi jika sikap dan perilaku tersebut secara
pribadi dinilai penting dan bermakna. Dengan demikian perilaku seseorang tidak
dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya, namun lebih ditentukan oleh dirinya sendiri
dan bersifat otentik (Carver & Seheier, 1998).
Didalam penjelasannya subjek eenderung mengkaitkan antara Tuhan,
manusia, dan alam. Untuk itu sudut pandang filsafat perennial akan dapat membantu
menjelaskan hal ini. Pandangan perennial menjelaskan bahwa segala kejadian yang
bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang
benar yang ini sesuai dengan tradisi besar spiritualitas manusia. Aldous Huxley
(dalam Hidayat & Nafis, 1995) menyebut bahwa filsafat perennial adalah: (1)
metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu:
kehidupan dan pikiran; (2) suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu
dalam jiwa manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi; dan (3) etika yang
meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan - yang bersifat imanen maupun
transenden - mengenai suatu keberadaan. Dengan demikian, filsafat perennial
memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan
Realitas yang Terakhir.
Dalam menjalani hidupnya, subjek sangat menginginkan terwujudnya
kesempurnaan hidup yang dapat dicapai melalui transendensi dengan cara samadhi.
Keinginan ini hampir sama dengan ajaran tasawuf yang menjanjikan penyelamatan.
Apalagi di tengan berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular,
plus kehidupan yang makin sulit secara ekonomis maupun psikologis itu, tasawuf
memberikan obat penawar rohani, yang memberi daya tahan. Dalam wacana
kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis kerohanian
manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi
siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakjelasan atas makna

9
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan
batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk akan memberikan penyegaran dan
penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu (Rachman, 2001).

E. KESIMPULAN
Subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya gejala transpersonal, yakni
terjadinya pengalaman puncak, transendensi diri, dan penghayatan meditasi. Hal ini
menimbulkan kesadaran yang berubah yang memungkinkan subjek mampu untuk
melihat sesuatu yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Adanya pilihan sikap dan perilaku subjek yang terkadang beresiko
menimbulkan penderitaan, atau harga mahal yang harus ditanggungnya,
mengindikasikan bahwa subjek lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya
daripada pengaruh eksternal. Dalam bersikap dan berperilaku, ia cenderung
berorientasi pada makna dan hakekat di balik realitas. Kecenderungan subjek ini
sesuai dengan prinsip self determination theory.
Pandangan subjek menggambarkan adanya saling keterkaitan antara seluruh
eksistensi yang ada di alam semesta, yakni Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Manusia akan dapat hidup bermakna dan sempurna kalau ia mampu memahami
keteraturan alam semesta, untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan irama dan
dinamika keteraturan alam semesta itu.
Pada akhirnya, agar manusia dengan segala sikap dan perilakunya dapat
dipahami secara menyeluruh, maka seluruh aspek yang ada pada diri manusia harus
dilibatkan. Hal ini berarti, dari pandangan psikologis baik itu aspek biologis,
psikologis, sosial, dan spiritualitas harus dipahami secara menyeluruh. Dengan
demikian gambaran utuh tentang diri manusia akan diperoleh dengan baik.

Daftar Pustaka

Alexander, 1 1996. Human Person in the Mirror of Transpersona1 Psychology.


Journal of Dharma, Vol. XXI (1),104-124.

Carver, CS. & Scheier, M.F. 1998. On the Self-Regulation of Behavior. Cambridge:
Cambridge University Press.

Davis, 1. 1993. Introduction to Transpersonal Psychology. Denzin, N. & Lincoln,


Y.S. 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications. .

Hanurawan, F. 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif


dalam Penelitian Psikologi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.

Hassan, F. 2000. Urbanisme dan Ketahanan Mental dalam Tantangan Psikologi


Menghadapi Milenium Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas
Psikologi UGM.

Hidayat, K. & Nafis, M.W. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Perennial.
Jakarta: Penerbit Paramadina.

Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta : Penerbit


Rake Sarasin.

10
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara
Persell, CH. 1987. Understanding Society : An Introduction to Sociology. New York:
Harper & Row Publisher Inc.

Prawitasari, J.E. 1995. Handout Teori, sistem, dan model dalam Psikologi.
Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM.

Rachman, B.M. 2001. Demam Tasawuf. Makalah. Tidak diterbitkan.

Simuh. 1984. Aspek Mistik Islam dalam Wirid Hidayat Jati. Yogyakarta : Yayasan
Javanologi.

Subandi, 2001. Menyoal Kecerdasan Spiritual. Makalah, dalam Seminar Spiritual


Intelligence PW IJABI, Yogyakarta.

Supadjar, D. 1984. Kata-kata Kunci Wulang-wulang Kajawen. Yogyakarta : Yayasan


Javanologi.

Tart, C.T. 1975. Transpersonal Psychology. New York: Harper & Row Publisher.

Valle, R.S. & Halling, S. (Eds). 1989. Existential Phenomenological Perspectives in


Psychology: Exploring the Breadth of Human Experience. New York: Plenum
Press.

Wiseman, R. 1993. The Interpretive Approach. Dalam RC. Connole, B.Smith & R.
Wiseman (Eds). Research Methodology I : Issues and Methods in Research.
Geelong : Deakin University.

11
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

You might also like