You are on page 1of 16

PEMERIKSAAN KADAR GLUTAMAT PIRUVAT TRANSAMINASE

I. Tujuan Percobaan
- Melakukan pemeriksaan glutamat piruvat transaminase yang
menunjukan adanya penyakit yang menyerang hati
- Menginterprestasikan hasil pemeriksaan yang diperoleh

II. Dasar Patofisiologi dan Dasar Analisis


Sebagai organ tubuh yang memiliki banyak fungsi penting, seperti
menetralkan racun yang masuk ke dalam tubuh dan merombak nutrisi
menjadi energi, hati memang sepatutnya kita perhatikan.Dalam
pemeriksaan fungsi hati, ada beberapa parameter yang harus diperhatikan
(Bastiansyah, 2008 : 52)
SGOT merupakan singkatan dari serum glutamic oxaloacetic
transaminase. Beberapa laboratorium sering juga memakai istilah AST
(aspartate aminotransferase). SGOT merupakan enzim yang tidak hanya
terdapat di hati, melainkan juga terdapat di otot jantung, otak, ginjal dan
otot-otot rangka. Adanya kerusakan pada hati, otot jantung, otak, ginjal
dan rangka bisa dideteksi dengan mengukur kadar SGOT. Pada kasus
seperti alkoholik, radang panckeas, malaria, infeksi lever stadium akhir,
adanya penyumbatan pada saluran empedu, kerusakan otot jantung, orang-
orang yang selalu mengonsumsi obat-obatan seperti antibiotik dan obat
TBC, kadar SGOT bisa meninggi, bahkan bisa menyamai kadar SGOT
pada penderita hepatitis.Kadar SGOT dianggap abnormal jika nilai yang
didapat 2-3 kali lebih besar dari nilai normalnya (Bastiansyah, 2008 : 53)
SGPT adalah singkatan dari serum glutamic pyruvic transaminase,
sering juga disebut dengan istilah ALT (alanin aminotransferase). SGPT
dianggap jauh lebih spesifik untuk menilai kerusakan hati dibandingkan
SGOT. SGPT meninggi pada kerusakan lever kronis dan hepatitis. Sama
halnya dengan SGOT, nilai SGPT dianggap abnormal jika nilai hasil
pemeriksaan 2-3 kali lebih besar dari nilai normal. (Bastiansyah, 2008 :
53).
Enzim Transaminase atau disebut juga enzim aminotransferase
adalah enzim yang mengkatalisis reaksi transaminasi. Terdapat dua jenis
enzim serum transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase
(SGOT) dan serum glutamat piruvat transaminase (SGPT). Pemeriksaan
SGOT adalah indikator yang lebih sensitif terhadap kerusakan hati
dibanding SGPT. Hal ini dikarenakan enzim GOT sumber utamanya di
hati, sedangkan enzim GPT banyak terdapat pada jaringan terutama
jantung, otot rangka, ginjal dan otak (Cahyono, 2009).
Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum
glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim
mitokondria yang berfungsi mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus
amino dari asam aspartat ke asam -oksaloasetat membentuk asam
glutamat dan oksaloasetat (Price dan Wilson,1995).
Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar
konsentrasinya rendah. Fungsi dari enzim-enzim hepar tersebut hanya
sedikit yang diketahui. Nilai normal kadar SGOT < 35 U/L dan SGPT <
41 U/L. (Daniel S. Pratt, 2010)
Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan atau intergrasi
sel-sel hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan
tingkat kerusakan sel-sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim
SGOT dan SGPT, semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati (Cahyono
2009).
Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat
Oksaloasetat Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak,
dan jumlahnya meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan
indikator kerusakan hati (Ronald, 2004; Ismail,et al.,2014).
Serum Glutamat Oksalo Transaminase (SGOT) dan Serum
Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT) merupakan enzim transaminase.
Enzim SGOT banyak ditemukan di paru-paru, otot jantung, ginjal eritrosit,
otot rangka, panckeas, tulang dan otak. Sedangkan enzim SGPT banyak
terdapat pada hepar dan sedikit keberadaannya pada jantung, ginjal dan
otot rangka. Apabila terjadi kerusakan pada hepar akan secara langsung
memicu peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Kerusakan pada sel-sel
hepar menyebabkan pembengkakan inti dan sitoplasma sel-sel hepar
sehingga isi keluar ke jaringan ekstraseluler. Proses tersebut
mengakibatkan keluarnya enzim SGPT dan SGOT ke aliran darah (Ellenc,
E., 2006; Edoardo, G. et al., 2005; dan Rini, 2012).
Menurut Riswanto (2009) kondisi yang dapat meningkatkan SGPT
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Peningkatan SGPT > 20 kali normal: hepatitis viral akut, nekrosis hari
(toksisitas obat atau kimia).
2. Peningkatan 3-10 kali normal: infeksi mononuklear, hepatitis kronis
aktif, sumbatan empedu ekstra hipatik, sindrom Reye, dan infark
miokard (SGOT>SGPT).
3. Peningkatan 4-3 kali normal: pankreatitis, perlemakan hati, sirosis
Laennec, sirosis bilaris.
Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun (Underwood,
1999). Penyakit ini menyebabkan hepar menjadi edema dan nekrosis
sehingga kehilangan fungsinya. Salah satu contoh radikal bebas yang
menyebabkan gangguan hepar adalah CCl4. Hepatotoksik yang
ditimbulkan oleh CCl4 disebabkan oleh senyawa hasil metabolisme yang
bersifat radikal bebas. Senyawa radikal bebas tersebut adalah triklorometil
(CCl4) dan triklorometilperoksi (CCl3O2*). Mekanisme CCl4 dalam
menyebabkan hepatotoksik adalah metabolisme CCl4 oleh enzim sitokrom
P450 di reticulum endoplasma hati menjadi senyawa radikal yaitu
triklorometil (CCl3*). Secara cepat akan bereaksi dengan oksigen (O2)
yang akan menghasilkan triklorometilperoksi radikal (CCl3O2*). Senaywa-
senyawa radikal tersebut sangat beracun dan dapat berikatan dengan asam
lemak tak jenuh dalam membran sel yang menyebabkan peroksidasi lipid
pada sel-sel hati. Kerusakan hepar karena CCl4 menyebabkan pelepasan
SGPT dan SGOT ke dalam darah (Recknagel et al., 1989; dan Cabre et al.,
2000).
Penyakit hepatitis akut merupakan salah satu penyakit di Indonesia
yang masih ditemukan sepanjang tahun dan merupakan penyakit endemis
yang banyak diderita oleh masyarakat. Hepatitis adalah suatu penyakit
radang hati dimana sel-sel hati rusak oleh berbagai sebab misalnya oleh
bakteri, virus, amuba, jamur, zat kimia misalnya arsen, fosfor, alkohol dan
karbon tetraklorida. Akibat kerusakan sel-sel hati tersebut maka
kemampuan sel-sel hati untuk melakukan metabolisme obat berkurang.
Selain itu konjugasi bilirubin dengan glukoronat agar mudah diekskresikan
juga menjadi berkurang, dengan demikian bilirubin tak terkonjugasi
bertumpuk di dalam darah dan jaringan, sehingga jaringan menjadi kuning
yang dikenal sebagai ikterus atau sakit kuning. Akibat lain dari rusaknya
sel-sel hati adalah keluarnya enzim-enzim seperti glutamate piruvat
transaminase (SGPT) dan glutamate oksaloasetat transaminase (SGOT),
jika kadarnya naik dalam darah menjadi tanda adanya hepatitis
(Wahyudin, 1997; dan Syaharuddin, 2007).
Pada infeksi virus dengue dapat terjadi kerusakan jaringan hati,
sebagaimana yang terjadi pada infeksi virus hepatitis. Adanya kerusakan
jaringan di hati ditandai dengan peningkatan kadar SGOT, SGPT dan
alkali fosfatase. Hal tersebut terjadi pada kasus dengan ataupun tanpa
hepatomegali. Peningkatan moderat (tiga sampai dua puuh kali nilai
normal) SGOT dan SGPT menunjukkan adanya peradangan jaringan hati
yang bersifat akut (Santosa, B. dkk., 2010).
Aktivitas enzim AST dan ALT dapat ditentukan menggunakan
metode kinetika reaksi enzimatik. Reaksi kinetika enzimatik selain untuk
menilai aktivitas enzim dapat pula digunakan untuk mengukur kadar
substrat. Metode reaksi kinetika enzimatik yang digunakan sesuai dengan
IFCC terdiri dari 2 macam. Pertama disebut juga metode IFCC dengan
penambahan reagen pirydoxal phosphate yang biasa disebut dengan
metode IFCC with PP atau substrat start, yang kedua adalah metoda
IFCC tanpa penambahan reagen pirydoxal phosphate yang biasa disebut
dengan sample start (Lokakarya, 2005).
Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara
radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan
mendekati monokromatik dengan molekul atau atom dari suat zat kimia.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorpsi
cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan
frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terikat dan elektron
yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai
dengan cahaya ultra violet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Roth et.al, 1994).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800
nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet
(190 380 nm), spektrum vis ( vis = visibel ) bagian sinar tampak (380-
780 nm) (Hardjono, 1985).
Instrumen dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan
sebagai berikut (Underwood, 1966).
1. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi
daerah spektrum yang mana alat tersebut di rancang untuk beroperasi.
2. Suatu monokroator yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita
sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh
sumber cahaya.
3. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).
4. Suatu detektor yang berupa transduser yang erubah energi cahaya
menjadi suatu syarat listrik.
5. Suat amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang
membuat isyarat listrik itu memadai untuk di baca.
6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang
ditangkap.
Spektrofotometer UV-Vis digunakan terutama untuk analisis
kuantitatif,tetapi dapat juga untuk analisis kualitatif. Penggunaan untuk
analisaa kuantitatif didasarkan pada hukum Lambert-Beers yang
menyatakan hubungan empirik antara intensitas cahaya yang
ditransmisikan dengan tebalnya larutan (Hukum Lambert / Bouguer), dan
hubungan antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat (Hukum Beers)
(Underwood, 1966).
Hukum Lambert Beers
A = a. b. c
a = daya serap ( L.g-1. Cm-1 )
b = tebal larutan / kuvet ( cm )
c = konsentrasi ( g.L-1 , mg.mL-1 )
Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis
kuantitatif suatu zat biasanya merupakan panjang gelombang dimana zat
yang bersangkutan memberikan serapan yang maksimum, sebab
keakuratan pengukuran pengukurannya akan lebih besar (James D, 1988).
Hal tersebut dapat terjadi karena panjang gelombang maksimum bentuk
serapan pada umumnya landai sehingga perubahan yang tidak terlalu besar
pada kurva serapan tidak meyebabkan kesalahan pembacaan yang terlalu
besar pula.

III. Prinsip Percobaan


Metode penentuan kadar glutamat piruvat transaminase terdiri dari
serangkaian reaksi enzimatis dengan menggunakan laktat dehidorgenase
sebagai enzim indikator. Pada reaksi hidrolisis L-alanin dan 2-oksoglutarat
dengan bantuan enzim alanin transaminase dipecah menjadi piruvat dan L-
glutamat. Selanjutnya terjadi reaksi hidrolisis kembali dimana piruvat dan
NADH dengan bantuan enzim laktat dehidrogenase dirubah menjadi L-
laktat dan NAD+. Perubahan absorbansi pada panjang gelombang 340 nm
diukur secara kontinyu berbanding lurus dengan aktivitas SGPT. Reaksi
berjalan pada pH optimum yaitu 7.3-7.8.
IV. Alat dan Bahan
Alat Bahan
Mikropipet 1000 L Serum darah
Reagen kerja (-ketoglutaric acid,
Mikropipet 10 L NADH, LDH, Tris Buffer pH 7,3,
L-Alanin)
Tabung reaksi Aquadest
Spektrofotometri UV-Vis 340 nm
V. Prosedur Percobaan

Diambil darah segar dari relawan

Darah dimasukan ke dalam tabung sentrifuga dan


disentrifuga dalam kecepatan 3000rpm

Serum darah hasil sentrifuga diambil

Disiapkan alat dan bahan.

Disiapkan dua buah tabung yaitu tabung uji dan tabung


blanko.

Pada tabung uji dimasukan 10 L sampel/serum uji dan 1


mL reagen kerja.

Pada tabung blanko dimasukan 10 L Aquadest dan 1 mL


reagen.

Kedua tabung divortex selama 10 detik.

Setelah 1 menit diukur absorbansi uji terhadap blanko


pada 340 nm, setiap menit selama 3 menit.

Dihitung rata-rata A/ menit.

VI. Nilai Rujukan


Nilai normal kadar SGOT < 35 U/L dan SGPT < 41 U/L. (Daniel S. Pratt,
2010)
VII. Data Pengamatan dan Perhitungan
Pengamatan
a. Organoleptik
Bahan Bentuk Warna Bau
Serum Cairan Kuning Tidak berbau
Reagen Kerja Cairan Tidak berwarna Tidak berbau
Aquadest Cairan Tidak berwarna Tidak berbau

b. Absorbansi Uji pada 340 nm


Menit Absorbansi
1 0,206
2 0,266
3 0,326

Perhitungan SGPT
Diketahui :
- F = 1746
- FKonversi = 0,69

Rumus :
A1 = A2 A1
A2 = A3 A2

1 = A1 x F x FKonversi
2 = A2 x F x FKonversi

+
( )=

A1
A1 = A2 A1
= 0,266 0,206
= 0,06
A2
A2 = A3 A2
= 0,326 0,266
= 0,06

1
1 = A1 x F x FKonversi
= 0,06 x 1746 x 0,69
= 72,2844
2
2 = A2 x F x FKonversi
= 0,06 x 1746 x 0,69
= 72,2844

Diketahui :
- 1 = 72,2844
- 2 = 72,2844
IU 72,2844 + 72,2844
Aktivitas GPT ( ) =
L 2
= 72,2844 IU/L

VIII. Pembahasan
Organ-organ dalam tubuh memiliki fungsi penting yang harus
diperhatikan salah satunya hati. Hati adalah organ metabolik terbesar dan
terpenting di dalam tubuh yang mampu melaksanakan berbagai tugas
metabolik. Serum glutamate oksaloasetat transaminase (SGOT) dan serum
glutamate piruvat transaminase (SGPT) adalah enzim transaminase yang
terdapat di dalam hati dan banyak digunakan sebagai parameter kerusakan
hati. SGOT ditemukan di berbagai jaringan terutama jantung, hati dan otot
rangka. Sedangkan SGPT paling banyak ditemukan di hati dan sedikit di
ginjal dan otot rangka sehingga enzim SGPT lebih spesifik untuk
mendiagnosa adanya kerusakan hati.
Kerusakan pada hati di awali dengan terjadinya peradangan.
Peradangan yang terjadi dapat disebabkan akibat organ hati terserang oleh
virus hepatitis atau paparan zat kimia yang bersifat toksis pada hati.
Peradangan yang terjadi akibat respon tubuh terhadap virus atau paparan
zat kimia tersebut. Akibatnya ada peradangan maka tubuh akan merespon
untuk menyebuhkan luka pada organ hati yang melibatkan beberapa sel
dan mediator yang disebut fibrosis. Fibrosis hati merupakan proses
terbentuknya jaringan ikat sebagai respon pada cedera hati yang kronik
dan progresif. Bila fibrosis bekerja secara progresif, maka dapatnya
menyebabkan sirosis hati.
Sirosis hati merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan
fibrosis, disorganisasi dari lobus dan arsitektur vascular dan regenerasi
nodul hepatosit. Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang tidak
diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadi pengerasan
dari hati.
Pada praktikum kali ini, pemeriksaan kadar SGPT dilakukan
menggunakan metode enzimatik. Pada metode enzimatik, kadar SGPT
ditentukan melalui dua tahap reaksi yaitu reaksi hidrolisis terhadap L-
alanin dan 2-oksoglutarat dengan bantuan enzim alanin transaminase dan
reaksi hidrolisis piruvat dan NADH dengan bantuan enzim laktat
dehidrogenase secara fotometri menggunakan spektrofotometri UV-Vis
pada panjang gelombang 340 nm. Metode enzimatik dipilih karena energi
aktivasi lebih rendah sehingga waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi
lebih cepat dibandingkan tidak menggunakan enzim.
Pemeriksaan kadar SGPT dalam darah dengan spesimen analisis
berupa serum darah. Diketahui relawan yang menyumbangkan darahnya
adalah seorang laki-laki. Serum darah diperoleh dengan cara proses
sentrifugasi. Pemisahan ini berdasarkan perbedaan bobot jenis dan
pengaruh gaya sentrifuga dimana bobot jenis yang lebih besar akan berada
dibawah. Proses pemisahan serum darah dilakukan dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit. Kecepatan pemisahan dan waktu yang digunakan
merupakan proses optimum untuk memisahkan serum darah karena jika
kecepatan dan waktu yang digunakan kurang dari 3000 rpm selama 10
menit maka pemisahan tidak berlangsung dengan baik. Namun, apabila
kecepatan dan waktu yang digunakan lebih dari 3000 rpm selama 10
menit, dikhawatirkan senyawa yang seharusnya berada dalam serum akan
mengendap dan akan mempengaruhi hasil analisis yang dilakukan.
Hasil proses sentrifugasi terdapat dua bagian yaitu supernatan dan
pelet. Diambil bagian supernatan yang merupakan serum. Supernatan
mengandung air (90-92%) dan zat2 terlarut (7-8%) dimana pada zat-zat
terlarut terdapat protein, garam mineral, sisa metabolik, hormon, gas dan
bahan organik (C,H,O,N) (Frandson, 1981). Penggunaan serum yang ada
pada bagian supernatan karena SGPT merupakan hasil dari metabolisme
tubuh dimama ketika terjadi kerusakan hati enzim SGPT akan keluar dan
berada di dalam serum.
Pengujian dilakukan dengan menyiapkan 2 tabung reaksi dimana
pada tabung pertama yaitu tabung uji yang berisi serum, aquadest dan
reagen kerja, tabung kedua yang merupakan blanko berisi aquadest dan
reagen kerja. Reagen yang digunakan mengandung alfa ketoglutaric acid,
NADH, lactic dehydrogenase, tris buffer (pH 7.3) L-Alanine. Semua
bahan diambil menggunakan mikropipet karena mikropipet memiliki
akurasi dan presisi yang lebih baik. Kemudian tabung reaksi divortex
selama 10 detik dan didiamkan selama 50 detik pada suhu ruang. Diukur
serapan pada panjang gelombang 340 nm uji terhadap blanko setiap 1
menit selama 3 menit. Hal ini karena merupakan kondisi optimum dari
reagen yang digunakan. Jika suhu yang digunakan lebih rendah dan kurang
dari 1 menit dikhawatirkan reaksi belum terjadi atau tidak terjadi secara
optimal. Sebaliknya, apabila suhu yang digunakan lebih tinggi
dikhawatirkan enzim yang digunakan akan rusak sehingga mengganggu
analisis.
Pada tabung blanko dimasukan reagen dan aquadest. Blanko yang
digunakan yaitu reagen dan aquadest dengan tujuan agar pada saat
pengukuran absorbansi uji yang akan terbaca pada spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 340 nm hanya hasil oksidasi NADH menjadi
NAD dan tidak mengganggu hasil yang akan didapat. Panjang gelombang
340 nm merupakan panjang gelombang maksimum untuk senyawa yang
dihasilkan dari reaksi identifikasi SGPT.
Pada tabung uji dimasukan reagen dan spesimen yaitu serum darah.
Enzim SGPT yang berada dalam darah akan bereaksi dengan reagen.
Reagen yang mengandung L-alanin dan alfa-ketoglutaric acid di reaksikan
dimana terjadi reaksi hidrolisis dengan bantuan enzim alanin transaminase
membentuk piruvat dan L-glutamat. Reagen mengandung NADH
direaksikan dengan piruvat dengan enzim laktat dehidrogenasi pada reaksi
hidrolisis membentuk L-laktat dan NAD+. Pengukuran absorbansi
dilakukan setiap satu menit selama 3 menit untuk melihat NADH yang
teroksidasi menjadi NAD+ dimana semakin banyak NADH yang
teroksidasi semakin tinggi juga nilai absorbansi.
Berdasarkan data pengamatan pemeriksaan kadar glutamate piruvat
transaminase diperoleh nilai absorbansi pada menit ke-1, 2 dan 3 secara
berurutan yaitu 0.206; 0,266 dan 0,326 sehingga diperoleh kadar glutamate
piruvat transaminase sebesar 72,2844 IU/L. Pengujian dilakukan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 340 nm
berdasarkan hukum Lambert beer, dimana absorbansi akan berbanding
lurus dengan konsentrasi zat. Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis
adalah interaksi antara radiasi elektro magnetic dengan materi.
Kadar SGPT yang diperoleh melebihi batas normal kadar SGPT
dalam serum, karena berada diluar rentang kadar normal yaitu <40 IU/L.
Kadar SGPT yang tinggi dalam serum dapat dijadikan parameter adanya
kerusakan pada hati dan dapat digunakan untuk membedakan penyakit
obstruktif dan penyakit hepatoseluler. Akan tetapi pada serum yang
digunakan diketahui berasal dari relawan yang tidak memiliki gangguan
fungsi hati atau kerusakan hati sehingga kenaikan kadar SGPT yang
diperoleh dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti faktor
pengujian. Faktor pengujian yang dapat berpengaruh pada reaksi enzimatis
yaitu suhu, pH dan waktu pengujian. Faktor lain yang mempengaruhi
adalah dari kuvet yang kurang bersih sehingga nilai absorbansi yang
diperoleh bukan dari sampel tetapi dari pengotor.
Hasil pemeriksaan ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya terkait dengan pasein atau pengujian. Faktor yang terkait
dengan pasien antara lain : umur, jenis kelamin, ras, genetik, tinggi badan,
berat badan, kondisi klinik, status nutrisi, konsumsi makanan yang tinggi
purin dan penggunaan obat. Sedangkan yang terkait dengan pengujian :
cara pengambilan spesimen, penanganan spesimen, waktu pengambilan,
metode analisis, kualitas spesimen, jenis alat dan teknik pengukuran.

IX. Kesimpulan
- Kadar kolesterol total dalam sampel berada pada batas tidak normal
yaitu 72,2844 IU/L.
- Metode pengujian yang digunakan adalah metode enzimatik.

X. Daftar Pustaka
Bastiansyah, Eko. (2008). Panduan lengkap : Membaca Hasil Tes
Kesehatan. Penebar Plus Jakarta.
Cabre, M. et al. (2000). Time-course of Changes in Hepatic Lipid
Peroxidation and Glutathione Metabolism in Rats With Carbon
Tetrachloride-induced Cirrhosis, CCEP.
Cahyono, J.B.S.B. (2008). Gaya Hidup & Penyakit Modern, Kanisius.
Yogyakarta
Day, R.a., A.L. Underwood. (1996). Analisis Kimia Kuantitatif, edisi
kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Edoardo, G. et al. (2005). Liver Enzym Alteration Guide for Clinicans,
CMAJ.
Ellenc, E. (2006). Hypoxic Liver Injury, Mayo Clin Proc J.
Frandson, R. D., (1981). Anatomi dan Fisiologi Ternak. Penerjemah B.
Srigandono dan Sudarsono. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hardjoeno, H. (2003). Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik,
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ingle, James D., Stanley R. Crouch. (1988). specctrochemical Anallysiss.
Prentice Hall Inc., New Jersey,
Lokakarya Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik, 2005.
Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Pratt, Daniel.S. (2010). Liver Chemistry and function test. In:Feldma M,
Friedma, L.S., Brandt, L.J., eds. Scheisenger and Fordtrans
Gastrointestinal and Liver disease. Saunders Elsevier,
Philadelphia, PA.
Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Recknagel, R.O. et al. (1989). Mechanism of Carbon Tetrachloride
Toxicity, Pharmacol Ther.
Rini. (2012). Aktivitas Hepatoprotektor Dan Toksisitas AKut EKstrak
Akar Alang-alang (Imperata cylindrical), Institut Pertanian Bogor.
Univ.
Riswanto. (2009). Tinjauan Mutu Pelayanan Laboratorium Klinik Rumah
Sakit. Pemantapan Mutu Edisi November.
Ronald, A. Sacher. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Roth, H.J., et.al. (1994). analisis Farmasi, cetakan kedua, diterjemahkan
oleh Sardjono Kisman dan Slamet Ibrahim, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Santosa, B., dkk. (2010). Korelasi Kadar Plasminogen Activator Inhibitor-
1 (PAI-1) Plasma dengan Enzim Transaminase Serum pada
Demam Berdarah Dengue, Sari Pediatri. Vol. 12. No. 1.
Sastroamidjojo, Hardjono. (1985). spektroskopi, Edisi I, Liberty,
Yogyakarta.
Syaharuddin, dkk. (2007). Pengaruh Ekstrak Lempuyang Wangi Terhadap
Penurunan Kadar SGOT dan SGPT Kelinci, Majalah Farmasi dan
Farmakologi. Vol. 5. No. 3. Unhas. Makasar.
Underwood, J.C.E. (1999). Patologi Umum dan Sistemik, Trans. Sarijadi
(editor). Edisi 2. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Wahyudin, E. (1997). Sakit Kuning dan Hepatitis, Majalah Farmasi dan
Farmakologi. Vol. 1. No. 1. Unhas. Makassar.
XI. Lampiran

You might also like