Professional Documents
Culture Documents
Enselopati Uremikum
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Linna Asni Zalukhu
1610211027
1
LEMBAR PENGESAHAN KEPANITERAAN KLINIK
Enselopati Uremikum
Disusun Oleh:
1610221027
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR..................................................................................... 4
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................... 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 6
BAB III
LAPORAN KASUS....................................................................................... 20
BAB IV
PEMBAHASAN.............................................................................................. 27
BAB V
KESIMPULAN............................................................................................. 36
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan penyusunan Refrat yang berjudul
Enselopati Uremikum Laporan kasus ini kami susun untuk melengkapi tugas
kepaniteraan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa. Kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar besarnya
kepada dr. Hascaryo Nugroho, Sp.PD yang telah membimbing dan membantu
kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi dan gangguan
gastrointestinal. Salah satu dari komplikasi tersebut adalah uremic
encephalopathy. Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan
nilai kadar Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.
Prevalensi internasional tidak diketahui, namun dengan bertambahnya jumlah
pasien dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan
mengalami perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul
sederhana yaitu asam amino. Selain asam amino, hasil perombakan protein juga
menghasilkan senyawa yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia
(NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan senyawa toksik
yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga
disintesis di hati melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada
siklus urea, kelompok asam amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi
urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian
mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal
sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.
6
Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik
yang berkembang secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri
berarti ureum di dalam darah.
Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi dapat
juga terjadi pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal terjadi
secara cepat. Hingga sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik yang
ditetapkan sebagai penyebab segala manifestasi klinik pada uremia. 1
7
II.1 Definisi
II.2 Epidemiologi4
8
Mortalitas
Ras
Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.
Jenis Kelamin
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih
progresif pada usia lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.
II.3 Patofisiologi
9
penyakit yang menyertainya. Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir
dua kali lipat dari nilai normal. Peningkatan jumlah kalsium ini mungkin
diperantarai oleh aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian pada anjing yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik,
EEG dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan dilakukannya
paratiroidektomi. Pada manusia dengan gagal ginjal, EEG dan gangguan
psikologik juga dapat membaik dengan paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga
menyebabkan rendahnya konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang
memungkinkan pada perubahan ini adalah reduksi neurotransmitter,
menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K ATPase
mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga gradien
kalsium 10 000:1 (di luardi dalam sel). Dengan adanya uremia, terdapat
peningkatan kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa
aktivitas pompa Na/K ATPase ouabain-sensitif menurun pada keadaan
uremik akut maupun kronik. Karena pompa ini penting dalam pelepasan
neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat membantu
menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan
jumlah glisin dan glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi
perubahan metabolisme dopamin dan serotonin di dalam otak, menyebabkan
gejala awal berupa clouded sensorium. Bukti selanjutnya bahwa terdapat
gangguan fungsi sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan memburuknya
uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic
acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek
inhibisi pada pelepasan -aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada
binatang percobaan, juga mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu pelepasan neurotransmitter
dengan cara menghambat channel klorida pada membran neuronal. Hal ini
10
dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8
Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat
11
pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini dapat berlanjut secara cepat
hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan gangguan
konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu.
Gambar 4. Asterixis
12
pernapasan Kussmaul yang berubah sebelum kematian, menjadi pernapasan
Cheyne-Stokes.9
II. 5 Diagnosis
13
menunjukan pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya
konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).
14
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pasien dengan gejala ringan, awalnya pasien diobati dengan dialisis dan diamati
untuk perbaikan neurologis.
2. Pasien dengan gejala parah
a. Pemeriksaan MRI atau CT scan kepala untuk pasien uremik dengan
gejala neurologis yang parah untuk menyingkirkan kelainan struktural
(misalnya, trauma serebrovaskular, massa intrakranial).
b. CT scan tidak menunjukkan adanya temuan karakteristik ensefalopati
uremik.7
15
Pemeriksaan Lain
1. Elektroensefalogram
a. Pemeriksaan EEG biasanya dilakukan pada pasien dengan ensefalopati
metabolik. Temuan biasanya meliputi:
i. Perlambatan dan hilangnya gelombang frekuensi alpha
ii. Disorganisasi
iii. Semburan intermiten gelombang theta dan delta dengan aktivitas
latar belakang lambat.
b. Pengurangan frekuensi gelombang EEG berkorelasi dengan penurunan
fungsi ginjal dan perubahan dalam fungsi otak. Setelah periode awal
dialisis, stabilisasi klinis mungkin terjadi saat temuan EEG tidak
membaik. Akhirnya, hasil EEG bergerak ke arah normal.
c. Selain dari EEG rutin, evoked potentials (EP) (yaitu, sinyal EEG yang
terjadi pada waktu reproduksi setelah otak menerima stimulus sensorik
[misalnya, visual, auditori, somatosensorik]) dapat membantu dalam
mengevaluasi ensefalopati uremik.
d. Gagal ginjal kronis memperpanjang waktu dari respon visual-evoked
kortikal. Respon auditory-evoked umumnya tidak berubah dalam uremia,
tapi keterlambatan dalam potensi kortikal dari respon somatosensory-
evoked memang terjadi.
2. Tes fungsi kognitif: Beberapa tes fungsi kognitif yang digunakan untuk
mengevaluasi ensefalopati uremik.
a. Uremia dapat mengakibatkan hasil buruk pada tes membuat-keputusan,
yang mengukur kecepatan psikomotor, tes memori terus menerus, yang
mengukur rekognisi jangka pendek, dan tes waktu reaksi pilihan, yang
mengukur membuat keputusan sederhana.
b. Perubahan dalam waktu reaksi pilihan tampaknya berkorelasi baik
dengan gagal ginjal.7
3. Punksi lumbal
16
a. Pungsi lumbal tidak rutin dilakukan, namun dapat diindikasikan untuk
menemukan penyebab lain dari ensefalopati jika status mental pasien
tidak membaik setelah dialisis dimulai.
b. Tidak ada temuan CSF spesifik menunjukkan ensefalopati uremik.
II.7 Penatalaksanaan
17
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine
untuk kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau
absens; ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk
status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk
kejang myoklonik pada end stage renal disease. 14
18
II.8 Prognosis
II.11 Hemodialisa
19
cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh.
Hal ini sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
memindahkan. Hemodialisis merupakan metode yang paling umum digunakan
dalam pengobatan gagal ginjal stadium akhir dan permanen.
Pada proses ini digunakan membran buatan semipermeabel yang berfungsi
sebagai .ginjal buatan. Juga dipergunakan suatu mesin untuk mengalirkan darah
pasien melalui salah satu sisi permukaan dari membran semi-permeabel sebelum
dikembalikan ke sirkulasi darah tubuh pasien. Pada saat yang sama cairan
hemodialisis dipompakan ke dalam mesin dan dialirkan melalui sisi lain dari
permukaan semipermeabel, sehingga terjadi pertukaran ion antara darah pasien
dengan cairan hemodialisis. Melalui membran semipermeabel yang mengandung
lubang-lubang kecil tersebut produk-produk sisa dari darah pasien seperti urea,
kreatinin, fosfat, kalium dan lainnya termasuk kelebihan air serta garam dari
tubuh kan lewat dan masuk ke dalam cairan hemodialisis yang mengalir dengan
arah berlawanan dari aliran darah pasien. Walaupun demikian, protein dan sel-sel
darah tidak dapat menembus melalui lubang-lubang kecil dalam membran semi-
permeabel tersebut. Bakteri dan virus yang mungkin mengkontaminasi cairan
hemodialisis juga tidak dapat masuk ke dalam aliran darah pasien melalui
membran tersebut karena ukurannya lebih besar dari lubang-lubang kecil tersebut.
TUJUAN HEMODIALISIS
Alat hemodialisis merupakan alat yang berada di luar tubuh yang
dipergunakan sebagai pengganti fungsi ginjal dan pemakaiannya biasanya
dilakukan pada pasien yang menderita gagal ginjal tahap akhir. Karena
hemodialisis merupakan terapi untuk mengganti fungsi ginjal yang rusak, maka
hemodialsis memilki tujuan yang sama dengan fungsi ginjal, seperti
membersihkan produk-produk dalam tubuh yang bersifat racun, mengeluarkan
kelebihan garam, dan mengeluarkan kelebihan air. Hemodialisis juga dapat
membantu dalam mengontrol tekanan darah dan menjaga keseimbangan ion-ion
yang penting dalam tubuh, seperti kalium, natrium, kalsium, dan bikarbonat.
Terapi dengan menggunakan hemodialisis ini tidak bertujuan untuk
20
mengembalikan fungsi ginjal, melainkan hanya mengganti sebagian fungsi ginjal
agar dapat meminimalisasi kerusakan organ yang lain.
INDIKASI HEMODIALISIS
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu :
1. Indikasi absolut
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
2. Indikasi elektif
Indikasi elektif, yaitu Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
21
3. Ureum darah > 200 mg/dl
4. pH darah < 7,1
5. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
6. Fluid overloaded (papdi jilid 1 edisi V)
22
1. Malignansi stadium lanjut (kecuali multiple myeloma)
2. Penyakit Alzheimers
3. Multi-infarct dementia
4. Sindrom Hepatorenal
5. Sirkosis hati tingkat lanjut dengan enselopati
6. Hipotensi
7. Penyakit terminal
8. Organic brain syndrome
PROSES HEMODIALISIS
I. Pra Hemodialisis
B. Persiapan dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan pada proses HD, terdiri dari camuran air
dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan serum normal
dan mempunyai tekanan osmotic yang sama dengan darah.
Menyiapkan / mencampur Dialisat
1. Batch Sistem : Sebelum HD dimulai, dialisat disiapkan dulu dalam suatu tempat
dengan jumlah tertentu sesuai kebutuhan. Biasanya perbandingan air dengan
Dialysate Batch Concentrate adalah 34:1.
2. Proportioning system : Adalah system penyediaan dialisat dimana dialisat dibuat
dicampur secara otomatis oleh mesin selama HD berlangsung.
23
C. Persiapan Air
Air untuk dialisat seharusnya tidak mengandung zat / elektrolit / mikroorganisme
dan benda asing lainnya karena itu untuk mendapatkan air yang ideal untuk
dialysis sehingga perlu dilakukan pengolahan air / water treatment.
24
Korentang dan tempatnya
Klem-klem (besar dan kecil)
Gunting
Bengkok
Gelas ukuran
Zeil / karet untuk alas tangan
Sarung tangan
Kassa
Plester / band aid
Verband
2. Alat-alat khusus
Dyalizer
Blood line
AV fistula
Dialisat pekat
Infus set
Spuit 1 cc, 3 cc, 20 cc.
Conducturty meter
3. Obat-obatan
Lidocain, novocain
Alcohol, betadin
Heparin, protamin
Sodium bikarbonat
E. Menjalankan Mesin HD
1. Periksa saluran listrik dan saluran air
2. Hubungkan slang water inlet ke kran air dan slang water outlet ke lubang
pembuangan
3. hubungkan kabel power dengan stop kontak
25
4. siapkan cairan dialisat dalam jerigen sebanyak yang dibutuhkan, perhatikan
cairan yang diperlukan apakah standar atau free potassium
5. Hidupkan mesin dengan posisi rinse selama 15 menit, bila mesin mengandung
formalin, maka posisi rinse lebih lama (30 menit)
6. Setelah rinse selesai, masukan slang untuk concentrate ke dalam jerigen
dialisat.
7. Lampu temperatur, lampu conductivity dan lampu concentrate di mesin akan
warna merah, tunggu lampu 2 tersebut sampai warna hijau.
8. Pindahkan tombol ke posisi dialisa bila lampu sudah berwana hijau.
9. Mesin HD siap digunakan.
G. Persiapan pasien
1. Persiapan mental
Memberitahukan pada pasien bahwa akan dilakukan HD
Memberi penjelasan dan motivasi mengenai proses HD dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama HD.
2. Persiapan fisik
Menimbang berat badan
Observasi keadaan umum
Observasi tanda-tanda vital
Mengatur posisi
26
II. PROSES PELAKSANAAN HEMODIALISA
1) Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi
Untuk menghubungkan sirkulasi darah dari mesin dengan sirkulasi sistemik
dilakukan dengan :
a. Cara Sementara
Cara ini dilakukan dengan memakai kateter ataupun jarum di vena femoralis, vena
subclavian, atau vena jugularis untuk inlet dan untuk outlet dapat dipilih salah
satu vena di tangan.
b. Cara permanent
cara ini dilakukan dengan membuat shunt antara lain
c mino shunt ..
seribner shunt ..
1. Selang
2. Monitor dari tekanan arteri
3. Pompa darah
4. Pompa heparin
5. Monitor tekanan masuk dialiser
6. Dialiser
7. Clamp detektor udara
8. Monitor tekanan vena
9. Penyaring udara dan detektor udara
27
Mekanisme utama pada proses hemodialisis adalah darah dipompakan
dari dalam tubuh masuk ke dalam suatu ginjal buatan yaitu dialiser yang terdiri
dari 2 kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke dalam
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)
dengan kompartemen dialisat yang kemudian akan dibersihkan pada dializer dan
selanjutnya akan dipompakan kembali ke dalam tubuh pasien. Cairan dialisis dan
darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen atau berdifusi. Dengan
menggunakan kompeterisasi, beberapa parameter penting dapat dimonitor seperti
laju darah dan dialysat, tekanan darah, detak jantung, daya konduksi maupun pH.
Melalui Aretriovenous Fistula, aliran darah dari tubuh pasien dialihkan ke
mesin hemodialisis yang terdiri dari selang Inlet/arterial (menuju ke mesin), dan
selang Outlet/venous (dari mesin kembali ke tubuh). Jumlah darah yang
menempati sirkulasi darah di mesin mencapai 200 mL. Darah akan dibersihkan
dari sampah-sampah hasil metabolisme secara kontinu menembus membran dan
menyebrang ke kompartemen dialisat. Di lain pihak, cairan dialisat mengalir
dengan kecepatan 500 mL/menit ke dalam kompatemen dialisat. Selama proses
hemodialisis, heparin diberikan untuk mencegah pembekuan darah ketika berada
diluar vaskular.(handbook)
Prinsip hemodialisis melibatkan difusi zat terlarut melalui suatu membran
semipermeabel yang ada pada dialyzer. Darah yang mengandung hasil sisa
metabolime dengan konsentrasi tinggi dilewatkan pada membran semipermeabel
pada dialyzer, dimana dalam waktu yang bersamaan juga dialirkan dialysate
dengan arah yang berlawanan (counter current) ke dalam dialyzer. Membran semi
permeabel yang biasa digunakan dalam dialyser yaitu membran selulosa,
membran selulosa yang diperkaya, membran selulosa sintetik dan membran
sintetik. Besar pori-pori pada selaput semipermeabel akan menentukan besar
molekul zat terlarut yang berpindah. Perpindahan zat terlarut pada awalnya
28
berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di
kedua kompartemen.
Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke
kompartemen cairan dialisat dengan cara menurunkan tekanan hidrostatik pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan cairan ini disebut ultrafiltrasi.
29
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31
12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second
Look, Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin
Chest Med 2003;24:671-88
14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced
myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
15. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006. Hlm 54;57
32