You are on page 1of 12

5

Menurut Glasser (2003) ada beberapa penyebab omfalokel, yaitu:


1. Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan
terinfeksi, penggunaan obat-obatan, merokok dan kelainan genetik.
Faktor-faktor tersebut berperan pada timbulnya insufisiensi plasenta dan
lahir pada umur kehamilan kurang atau bayi prematur, diantaranya bayi
dengan gastroschizis dan omfalokel paling sering dijumpai.
2. Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding
abdomen pada percobaan dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis
masih sebatas perkiraan. Secara jelas peningkatan MSAFP (Maternal
Serum Alfa Feto Protein) pada pelacakan dengan ultrasonografi
memberikan suatu kepastian telah terjadi kelainan struktural pada
fetus.Bila suatu kelainan didapati bersamaan dengan adanya omfalokel,
layak untuk dilakukan amniosintesis guna melacak kelainan genetik.
3. Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan
kemungkinan tersebut harus dilacak dengan USG

2.3 Klasifikasi
Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel
berikut tergantung pada besarnya lubang di pusar.Jika lubangnya kecil mungkin
hanya usus yang menonjol, tapi jika lubangnya besar hati juga bisa menonjol
melalui lubang tersebut.

2.4 Manifestasi Klinis


Menurut A.H. Markum (1991), manifestasi dari omphalokel adalah :
1. Organ visera / internal abdomen keluar
2. Penonjolan pada isi usus.
3. Teridentifikasi pada prenatal dengan ultrasound

2.5 Patofisiologi
Menurut Suriadi & Yuliani R, 2001, patofisiologi dari omphalokel adalah :
1. Selama perkembangan embrio, ada suatu kelemahan yang terjadi dalam
dinding abdomen semasa embrio yang mana menyebabkan herniasi pada
6

isi usus pada salah satu samping umbilicus (yang biasanya pada samping
kanan). Ini menyebabkan organ visera abdomen keluar dari kapasitas
abdomen dan tidak tertutup oleh kantong.
2. Terjadi malrotasi dan menurunnya kapasitas abdomen yang dianggap
sebagai anomaly.
3. Gastroskisis terbentuk akibat kegagalan fusi somite dalam pembentukan
dinding abdomen sehingga dinding abdomen sebagian tetap terbuka.
4. Letak defek umumnya disebelah kanan umbilicus yang terbentuk normal.
5. Usus sebagian besar berkembang di luar rongga abdomen janin.
Akibatnya, usus menjadi tebal dan kaku karena pengendapan dan iritasi
cairan amnion dalam kehidupan intrauterine.Usus juga tampak
pendek.Rongga abdomen janin sempit.
6. Usus-usus, visera dan seluruh permukaan rongga abdomen berhubungan
dengan dunia luar menyebabkan penguapan dan pancaran panas dari tubuh
cepat berlangsung, sehingga terjadi dehidrasi dan hipotermi, kontaminasi
usus dengan kuman juga dapat terjadi dan menyebabkan sepsis, aerologi
menyebabkan usus-usus distensi sehingga mempersulit koreksi pemasukan
ke rongga abdomen pada waktu pembedahan.
7. Embriogenesis. Pada janin usia 5 6 minggu isi abdomen terletak di luar
embrio di rongga selom. Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan
lumen abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan masuk ke
rongga perut. Bila proses ini terhambat maka akan terjadi kantong di
pangkal umbilikus yang berisi usus, lambung kadang hati. Dindingnya
tipis terdiri dari lapisan peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya
bening sehingga isi kantong tengah tampak dari luar, keadaan ini disebut
omfalokel. Bila usus keluar dari titik terlemah di kanan umbilikus, usus
akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus peritoneum dan amnion,
keadaan ini disebut gastroschisis.
7

Pathway
8

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Menurut A.H. Markum (1991) pemeriksaan diagnostik dari omphalokel:
1. Pemeriksaan Fisik.
Pada omfalokel tampak kantong yang berisi usus dengan atau tanpa hati di
garis tengah pada bayi yang baru lahir.Pada gastro schisis usus berada di luar
rongga perut tanpa adanya kantong.
2. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan Maternal Serum Alfa Fetoprotein (MSAFP).Diagnosis prenatal
defek pada dinding abdomen dapat dideteksi dengan peningkatan
MSAFP.MSAFP dapat juga meninggi pada spinabifida yang disertai dengan
peningkatan asetilkolinesterase dan pseudokolinesterase.
3. Prenatal, ultrasound
4. Pemeriksaan radiology
Fetal sonography dapat menggambarkan kelainan genetik dengan
memperlihatkan marker structural dari kelainan kariotipik.Echocardiography fetus
membantu mengidentifikasi kelainan jantung.Untuk mendukung diagnosis
kelainan genetik diperjelas dengan amniosentesis Pada omphalocele tampak
kantong yang terisi usus dengan atau tanpa hepar di garis tengah pada bayi yang
baru lahir.

2.7 Komplikasi
Komplikasi dari penyakit ini adalah :
a. Infeksi usus
b. Kematian jaringan usus yang bisa berhubungan dengan kekeringan atau
trauma oleh karena usus yang tidak dilindungi.
c. Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada
permukaan yang telanjang.
d. Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi
yang adekuat misalnya dengan nutrisi parenteral. Dapat terjadi sepsis
terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator yang lama.
e. Nekrosis
9

f. Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan


lain yang memperburuk prognosis.

2.8 Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Omfalokel (eksomfalokel) adalah suatu hernia pada pusat, sehingga isi
perut keluar dan dibungkus suatu kantong peritoneum.Penanganannya adalah
secara operatif dengan menutup lubang pada pusat.Kalau keadaan umum bayi
tidak mengizinkan, isi perut yang keluar dibungkus steril dulu setelah itu baru
dioperasi.
Agar tidak terjadi cedera pada usus dan infeksi perut, segera dilakukan
pembedahan untuk menutup omfalokel. Sebelum dilakukan operasi, bila kantong
belum pecah, harus diberi merkurokrom dan diharapkan akan terjadi penebalan
selaput yang menutupi kantong tersebut sehingga operasi dapat ditunda sampai
beberapa bulan. Sebaiknya operasi dilakukan segera sesudah lahir, tetapi harus
diingat bahwa dengan memasukkan semua isi usus dan otot visera sekaligus ke
rongga abdomen akan menimbulkan tekanan yang mendadak pada paru sehingga
timbul gejala gangguan pernapasan.

2. Penatalaksanaan prenatal pada ompalokel


Apabila terdiagnosa omphalokel pada masa prenatal maka sebaiknya
dilakukan informed consent pada orang tua tentang keadaan janin, resiko terhadap
ibu, dan prognosis. Informed consent sebaiknya melibatkan ahli kandungan, ahli
anak dan ahli bedah anak. Keputusan akhir dibutuhkan guna perencanaan dan
penatalaksanaan berikutnya berupa melanjutkan kehamilan atau mengakhiri
kehamilan. Bila melanjutkan kehamilan sebaiknya dilakukan observasi melalui
pemeriksaan USG berkala juga ditentukan tempat dan cara melahirkan. Selama
kehamilan omphalokel mungkin berkurang ukurannya atau bahkan ruptur
sehingga mempengaruhi pronosis.
10

3. Penatalaksanan postnatal (setelah kelahiran)


Penatalaksannan postnatal meliputi penatalaksanaan segera setelah
lahir (immediate postnatal), kelanjutan penatalakasanaan awal apakah berupa
operasi atau nonoperasi (konservatif) dan penatalaksanaan postoperasi. Secara
umum penatalaksanaan bayi dengan omphalokele dan gastroskisis adalah hampir
sama. Bayi sebaiknya dilahirkan atau segera dirujuk ke suatu pusat yang memiliki
fasilitas perawatan intensif neonatus dan bedah anak.Bayi-bayi dengan
omphalokel biasanya mengalami lebih sedikit kehilangan panas tubuh sehingga
lebih sedikit membutuhkan resusitasi awal cairan dibanding bayi dengan
gastroskisis.
Konservatif
Dilakukan bila penutupan secara primer tidak memungkinkan, misalnya
pada omfalokel dengan diameter > 5 cm. Perawatan dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Bayi dijaga agar tetap hangat
b. Kantong ditutup kasa steril dan ditetesi NaCl 0,9%
c. Posisi penderita miring
d. NGT diisap tiap 30 menit

4. Penatalaksanaan non operasi (konservatif)


Penatalaksanaan omfalokel secara konservatif dilakukan pada kasus
omfalokel besar atau terdapat perbedaan yang besar antara volume organ-organ
intraabdomen yang mengalami herniasi atau eviserasi dengan rongga abdomen
seperti pada giant omphalocele atau terdapat status klinis bayi yang buruk
sehingga ada kontra indikasi terhadap operasi atau pembiusan seperti pada bayi-
bayi prematur yang memiliki hyaline embran disease atau bayi yang memiliki
kelainan kongenital berat yang lain seperti gagal jantung. Pada giant omphalocele
bisa terjadi herniasi dari seluruh organ-organ intraabdomen dan dinding abdomen
berkembang sangat buruk, sehingga sulit dilakukan penutupan (operasi/repair)
secara primer dan dapat membahayakan bayi.
Beberapa ahli, walaupun demikian, pernah mencoba melakukan operasi
pada giant omphalocele secara primer dengan modifikasi dan berhasil.Tindakan
11

nonoperatif secara sederhana dilakukan dengan dasar merangsang epitelisasi dari


kantong atau selaput. Suatu saat setelah granulasi terbentuk maka dapat dilakukan
skin graft yang nantinya akan terbentuk hernia ventralis yang akan direpair pada
waktu kemudian dan setelah status kardiorespirasi membaik.
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk merangsang epitelisasi adalah
0,25 % merbromin (mercurochrome), 0,25% silver nitrat, silver sulvadiazine dan
povidone iodine (betadine). Obat-obat tersebut merupakan agen antiseptik yang
pada awalnya memacu pembentukan eskar bakteriostatik dan perlahan-lahan akan
merangsang epitelisasi. Obat tersebut berupa krim dan dioleskan pada permukaan
selaput atau kantong dengan elastik dressing yang sekaligus secara perlahan
dapat menekan dan menguragi isi kantong.

5. Indikasi terapi non bedah adalah:


Bayi dengan ompalokel raksasa (giant omphalocele) dan kelainan penyerta
yang mengancam jiwa dimana penanganannya harus didahulukan daripada
omfalokelnya.Neonatus dengan kelainan yang menimbulkan komplikasi bila
dilakukan pembedahan. Bayi dengan kelainan lain yang berat yang sangat
mempengaruhi daya tahan hidup.
Prinsip kerugian dari metode ini adalah kenyataan bahwa organ visera
yang mengalami kelainan tidak dapat diperiksa, sebab itu bahaya yang terjadi
akibat kelainan yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan komplikasi misalnya
obstruksi usus yang juga bisa terjadi akibat adhesi antara usus halus dan kantong.
Jika infeksi dan ruptur kantong dapat dicegah, kulit dari dinding anterior
abdomen secara lambat akan tumbuh menutupi kantong, dengan demikian akan
terbentuk hernia ventralis, karena sikatrik yang terbentuk biasanya tidak sebesar
bila dilakukan operasi. Metode ini terdiri dari pemberian lotion antiseptik secara
berulang pada kantong, yang mana setelah beberapa hari akan terbentuk skar.
Setelah sekitar 3 minggu, akan terjadi pembentukan jaringan granulasi yang
secara bertahap karena terjadi epitelialisasi dari tepi kantong. Penggunaan
antiseptik merkuri sebaiknya dihindari karena bisa menghasilkan blood and
tissue levels of mercury well above minimum toxic levels. Alternatif lain yang
aman adalah alkohol 65% atau 70% atau gentian violet cair 1%. Setelah keropeng
12

tebal terbentuk,bubuk antiseptik dapat digunakan. Hernia ventralis memerlukan


tindakan kemudian tetapi kadang-kadang menghilang secara komplet.

6. Penatalaksanaan dengan operasi


Tujuan mengembalikan organ visera abdomen ke dalam rongga abdomen
dan menutup defek. Dengan adanya kantong yang intak, tak diperlukan operasi
emergensi, sehingga seluruh pemeriksaan fisik dan pelacakan kelainan lain yang
mungkin ada dapat dikerjakan. Keberhasilan penutupan primer tergantung pada
ukuran defek serta kelainan lain yang mungkin ada (misalnya kelainan paru).
Tujuan operasi atau pembedahan ialah memperoleh lama ketahanan
hidup yang optimal dan menutup defek dengan cara mengurangi herniasi organ-
organ intra abomen, aproksimasi dari kulit dan fascia serta dengan lama tinggal di
RS yang pendek. Operasi dilakukan setelah tercapai resusitasi dan status
hemodinamik stabil.Operasi dapat bersifat darurat bila terdapat ruptur kantong
dan obstruksi usus.
Operasi dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu primary closure
(penutupan secara primer atau langsung) dan staged closure (penutupan secara
bertahap)

2.9 Asuhan Keperawatan


2.9.1 Data Fokus Pengkajian
Fokus Pengkajian menurut Dongoes, M.F (1999):
1) Mengkaji Kondisi Abdomen
a. Kaji area sekitar dinding abdomen yang terbuka
b. Kaji letak defek, umumnya berada di sebelah kanan umbilicus
c. Perhatikan adanya tanda-tanda infeksi/iritasi
d. Nyeri abdomen, mungkin terlokalisasi atau menyebar, akut/ironis sering
disebabkan oleh inflamasi, obstruksi
e. Distensi abdomen, kontur menonjol dari abdomen yang mungkin
disebabkan oleh pelambatan penyosongan lambung, akumulasi gas/feses,
inflamasi/obstruksi.
13

2) Mengukur temperatur tubuh


a. Demam, manifestasi umum dari penyakit pada anak-anak dengan
gangguan GI, biasanya berhubungan dengan dehidrasi, infeksi atau
inflamasi.
b. Lakukan pengukuran suhu secara kontinu tiap 2 jam
c. Perhatikan apabila terjadi peningkatan suhu secara mendadak
3) Kaji Sirkulasi
a. Kaji adanya sianosis perifer
4) Kaji distress pernafasan
a. Lakukan pengkajian fisik pada dada dan paru, terhadap
b. Frekuensi : Cepat (takipneu), normal atau lambat
c. Kedalaman : normal, dangkal (Hipopnea), terlalu dalam (hipernea)
d. Kemudahan : sulit (dispneu), othopnea
e. Irama : variasi dalam frekuensi dan kedalaman pernafasan
f. Observasi adanya tanda-tanda infeksi, batuk, seputum dan nyeri dada
g. Kaji adanya suara nafas tambahan (mengi/wheezing)
h. Perhatikan bila pasien tampak pucat/sianosis

2.9.2 Diagnosa Keperawatan


1. Pre Op :
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penekanan rongga abdomen
(paru-paru)
b. Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan immaturitas
c. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan dehidrasi
d. Resiko infeksi berhubungan dengan isi abdomen yang keluar

2.9.3 Intervensi Keperawatan


Dx 1 : Pola napas tidak efektif b.d. penekanan rongga abdomen (paru-paru).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas selama 3
x 24 jam, diharapkan pola napas pasien kembali normal dan efektif dengan status
respirasi skala 4
14

Kriteria Hasil:
a. Suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dypsneu, mampu bernapas
dengan mudah, tidak ada pursed (ips)
b. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tertekik, irama
napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara napas
abnormal seperti whezing/mengi).
c. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
4. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
5. Monitor respirasi dan status oksigen
6. Keluarkan skret dengan batuk atau suction

Dx 2 : Termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan imaturitas


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Regulasi suhu selama 3 x 24
jam, diharapkan termoregulasi pasien kembali normal dan efektif dengan status
regulasi.
Kriteria Hasil:
a. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
b. Tidak ada stress pernapasan
c. Tidak ada letargi
d. Perubahan warna kulit dalam rentang yang diharapkan
e. Pasien tidak menggigil
f. Status hidrasi adekuat
Intervensi :
1. Monitor suhu badan pasien setiap 2 jam
2. Monitor suhu badan bayi baru lahir sampai stabil
3. Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi
4. Monitor warna kulit dan suhu
5. Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermi dan atau hipertermi
15

6. Monitor warna kulit dan suhu


7. Bantu meningkatkan keadekuatan cairan dan intake nutrisi

Dx 3 : Resiko kurang volume cairan b.d. dehidrasi


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan Menejemen cairan selama 3 x 24
jam, diharapkan keseimbangan cairan pada pasien adekuat dengan status cairan
Kriteria hasil:
a. Keseimbangan intake & output dalam batas normal
b. Elektrolit serum dalam batas normal
c. Tidak ada mata cekung
d. Tidak ada hipertensi ortostatik
e. Tekanan darah dalam batas normal
Intervensi:
1. Pertahankan intake & output yang adekuat
2. Monitor status hidrasi (membran mukosa yang adekuat)
3. Monitor status hemodinamik
4. Monitor intake & output yang akurat
5. Monitor berat badan

2.9.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait
dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan
untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang
muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi
keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai
kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal,
dan keterampilan dalam melakukan tindakan.
16

2.9.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien.

You might also like