You are on page 1of 8

Sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak dapat

dilepaskan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Di negara


berkembang, perkebunan hadir sebagai perpanjangan kapitalisme agraris Barat yang
diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Awalnya, ia hadir sebagai sistem
perekonomian baru yang belum dikenal yaitu sistem perekonomian pertanian komersial
(commercial agriculture) yag bercorak kolonial. Sistem perekonomian yang dibawa oleh
pemerintah kolonial atau oleh korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem
perkebunan Eropa (European plantation), yang berbeda dengan sistem kebun (garden system)
yang telah berlaku di negara-negara berkembang. Sebelum mengenal sistem dari Barat, di
negara-negara berkembang mengenal sistem kebun sebagai bagian dari sistem perekonomian
pertanian tradisional yang merupakan usaha tambahan atau pelengkap. Sistem kebun biasanya
berbentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja
berpusat pada anggota keluarga(extended family), kurang berorientasi pada pasar, akan tetapi
lebih berorientasi subsisten. Sedangkan sistem perkebunan Barat berbentuk usaha pertanian
skala besar dan kompleks, padat modal, lahan luas, organisasi tenaga kerja besar, pembagian
kerja rinci, sistem upah buruh, struktur rapi, menggunakan teknologi modern, serta penanaman
tanaman komersial untuk komoditi ekspor pasar dunia.
Kolonialisme
Hampir seluruh negara berkembang (developing countries atau underdeveloped
countries)memiliki pengalaman historis dengan perkembangan kolonialisme. Ekspansi
kekuasaan kolonial pada abad ke-19 merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar
pengaruhnya dalam membawa dampak perubahan berbagai aspek di negara-negara yang
mengalami penjajahan serta terjadi transformasi struktur politik ekonomi tradisional ke arah
struktur politik ekonomi kolonial dan modern. Dampak penting gerakan kolonialisme adalah
timbulnya sistem kolonial (colonial system) dan situasi kolonial (colonial situation) di negara
jajahan yang pada akhirnya menciptakan sistem hubungan kolonial antara penguasa kolonial
dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak negara jajahan dengan negara induknya.
Ciri pokok kolonial adalah prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi yang
berpangkal pada doktrin pengejaran kejayaan (glory), kekayaan (gold), dan penyebaran agama
(gospel). Sistem dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi yang berlaku dalam sistem kolonial
telah menciptakan jurang perbedaan serta hubungan ketergantungan antara pusat dengan
daerah, dan antara negara induk dengan jajahan. Hubungan ketergantungan ini mencakup
berbagai hal seperti modal, teknologi, pengetahuan, keterampilan, organisasi dan kekuasaan.
Perbedaan yang ada sejak hadirnya sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris
tradisional di tanah jajahan (oleh beberapa pihak) dianggap telah menciptakan tipe
perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat dualistis (dualistic economy)yakni
kehadiran komunitas sektor perekonomian modern (yang berorientasi ekspor dan pasaran
dunia) di tengah-tengah lingkungan komunitas sektor perekonomian tradisional (yang bersifat
subsisten).
Kolonialisme dan Modernisasi di Indonesia
Seperti negara-negara berkembang lainnya (sebelum masuknya sistem perkebunan kolonial),
di Indonesia juga telah berkembang sistem kebun terlebih dahulu. Sistem ini bahkan berlaku
sampai masa penjajahan VOC pada abad ke-1718. Proses perkembangan sistem perkebunan
berlangsung sejajar/sinergis dengan perkembangan politik kolonial. Pertumbuhan sistem
perkebunan berlangsung dalam dua fase perkembangan yaitu fase perkembangan industri
perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta, serta beriringan dengan perkembangan
orientasi politik kolonial dari orientasi politik konservatif ke politik liberal. Pada masa awal
abad ke-19, golongan konservatif menguasai pemerintahan. Mereka melakukan politik
eksploitasi dengan penyerahan paksa (1830-1870). Eksploitasi produksi pertanian diwujudkan
dalam bentuk usaha perkebunan negara berdasar sistem tanam wajib/tanam paksa. Pelaksanaan
sistem ini dijalankan melalui alat birokrasi pemerintah sehingga menuntut perangkat birokrasi
yang mapan yang mengimbangi perkembangan sistem perkebunan. Hal itu ditandai dengan
proses birokratisasi berupa sentralisasi administrasi pemerintahan dari tingkat pusat hingga ke
tingkat desa. Perkembangan ini juga menuntut kebutuhan pegawai perkebunan sehingga terjadi
gejala peningkatan edukasi yang ditandai dengan lahirnya sekolah calon pegawai. Selain itu,
sebelumnya, proses agro-industrialisasi juga melahirkan perkembangan komunikasi dan
transportasi seperti jalan Anyer-Panarukan. Selanjutnya, sejak tahun 1870-an terjadi
pergeseran kebijaksanaan politik dari politik konservatif ke politik liberal. Hal ini diikuti
dengan perubahan kebijaksanaan politik drainage, yaitu politik eksploitasi tanah jajahan yang
semula dikelola negara, kemudian diganti oleh perusahaan awasta. Perubahan kebijaksanaan
politik tersebut dalam perkembangannya menuntut peningkatan intensifikasi sistem
administrasi serta penekanan orientasi kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Perkembangan
pada awal abad ke-20 ini mendasari perubahan orientasi kebijaksanaan politik yang baru lagi
yaitu Politik Etis.
Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun pada Masa Tradisional
Dari Ladang ke Kebun
Dari berbagai perkembangan ragam pertanian di kepulauan nusantara, terdapat empat sistem
pertanian yang telah lama dikenal di daerah Indonesia yaitu (1) sistem perladangan (shifting
cultivation), yaitu jenis kegiatan pertanian yang berpindah-pindah, penanaman tanaman yang
berumur pendek; (2) sistem persawahan (wet rice cultivation sistem); (3) sistem kebun yang
menggarap tanaman (perdu) berusia panjang (perennial) atau tanaman penghasil panenan
(crops) yang ditanam pada lahan tetap; dan (4) sistem tegalan (dry field), yaitu tipe kegiatan
penanaman tanaman pangan (food crops) secara tetap pada daerah lahan kering. Semua sistem
tersebut telah berlaku sebelum kedatangan bangsa Eropa, bahkan masih ada yang berlaku
hingga saat ini. Sistem perladangan ditandai oleh sifat imitasi ekologis, pertanian tidak tetap,
aneka ragam tanaman, dan berkaitan dengan kepadatan penduduk yang rendah. Sedangkan
sistem persawahan merupakan bangunan alam sekitar artifisial yang ditanami tanaman khusus,
didukung lingkungan pedesaan padat penduduk, sistem irigasi yang kompleks yang determinan
dengan pertumbuhan penduduk yang kompleks pula. Selain itu, sistem persawahan juga
memiliki kecendrungan untuk merespon kenaikan penduduk melalui intensifikasi. Seperti
halnya sistem peladangan dan persawahan, sistem kebun juga telah tua, setidaknya sejak 1200
M. Dalam perkembangannya, sistem kebun mengalami berbagai ragam bentuk, baik
penanaman tanaman campuran, penanaman satu jenis tanaman, tanaman usia pendek maupun
panjang. Berbeda dengan sawah, kebun kurang menuntut tenaga kerja besar. Kebun juga tidak
menuntut lokasi istimewa, asalkan iklim dan pengeringan tanah yang baik serta jarak pasar
yang tidak jauh. Sekali dibangun di suatu tempat, kebun bisa terus berlangsung lama sehingga
hal ini mendasarkan dugaan Terra bahwa sistem perkebunan campuran di Jawa Timur telah
berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1200 M. Di Jawa Tengah bahkan lebih jauh sebelum itu.
Begitu juga dengan kebun karet dan kopi di Sumatera sejak akhir abad ke-19, serta berbagai
perkebunan lain di wilayah nusantara.
Kebun Komoditi Perdagangan
Salah satu perubahan yang lebih penting daripada variasi daerah ialah perubahan dari sistem
ladang ke sistem kebun permanen yang menanam tanaman perdagangan. Kebun bertanaman
campuran merupakan salah satu tipenya. Kebun ini diduga telah berkembang di Jawa Tengah
sebelum abad ke-10. Perkembangan yang sudah cukup tua juga terjadi di Sumatera dan
Sulawesi Selatan, disamping di daerah Nusa Tenggara. Berbeda dengan kebun campuran yang
subsisten, sejumlah daerah di luar Jawa sebelum abad ke-19 telah mengembangkan kebun
tanaman perdagangan (gardens of commercial crops) seperti kopi, lada, kapur barus, dan
rempah-rempah. Berdasarkan laporan perjalanan yang ada, berbagai komoditi tersebut telah
lama diperdagangkan serta telah mendorong pertumbuhan kebun-kebun tanaman komersial
dan mendongkrak aktivitas perdagangan internasional. Proses komersialisasi itu diawali
dengan hubungan simbiotik antar daerah yang diwujudkan dalam bentuk hubungan
perdagangan. Maksud dari hubungan simbiotik adalah hubungan perdagangan yang saling
menguntungkan bukan hanya dilihat dari sisi pendapatan, akan tetapi dilihat dari pemenuhan
komoditi yang dibutuhkan satu sama lain. Contoh corak pertukaran komoditi perdagangan
simbiotik antara lain adalah pesisir Jawa-Sulawesi yang menukar emas ditukarkan dengan
tekstil India. Selain meningkatnya pertumbuhan kebun komoditi komersial, meningkatnya
proses komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-16 juga mendorong pertumbuhan kelahiran
kerajaan-kerajaan Islam, dan pertumbuhan kota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Pertumbuhan kerajaan dan kota-kota emporium
ini sekaligus diikuti dengan kemunduran kerajaan Majapahit dan kota-kota emporiumnya.
Kota-kota Bandar emporium di jawa yang tumbuh dari abad ke-11 sampai abad ke-16 seperti
Tuban, Sidayu, Jaratan, Lasem, Brondong, Canggu, Gresik,Surabaya, Demak, dan Jepara.
Kota-kota ini memiliki hubungan perdagangan dengan kota Bandar emporium di daerah timur
seperti Ternate, Tidore, Makasar, dan Banjarmasin. Kota Bandar emporium yang ada di daerah
barat adalah Malaka, Aceh, dan Palembang. Kedudukan pusat Jawa sebagai daerah persawahan
juga dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan agraris yang berlangsung silih berganti
pada masa pra-kolonial. Kerajaan itu antara lain adalah Mataram lama, Jenggala, Kediri,
Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Berbeda dengan di Jawa, kerajaan-
kerajaan lain di Maluku (Ternate dan Tidore) mengandalkan surplus tanaman kebun, yaitu
bahan rempah-rempah karena mereka tidak memiliki basis persawahan seperti yang dimiliki
kerajaan Jawa. Surplus poduksi komoditi perdagangan yang dimiliki kerajaan umumnya
didasarkan atas hak monopoli raja terhadap bahan perdagangan yang ada di wilayah
kekuasaannya. Ada beberapa bentuk organisasi proses produksi. Pertama, raja menerima
produksi komoditi perdagangan dari para kepala penguasa lokal, atas dasar penyerahan
wajib/upeti. Pala dan cengkih lebih banyak dikelola oleh penguasa lokal, Orang Kaya. Kedua,
raja selain menerima upeti juga memilki kebun sendiri.
Menurut van Leur, sturktur perekonomian dan perdagangan Indonesia dengan Eropa pada
hakikatnya mirip. Akan tetapi, mengapa kegiatan perdagangan dan masyarakat Indonesia tidak
meningkatkan kemajuan perkembangan ekonomi seperti yang dicapai oleh Eropa? Mengenai
hal ini, ada beberapa faktor yang mendasarinya yakni struktur geografis wilayah
perdagangannya, struktur sosial, serta perkembangan pengetahuan dan teknologi yang
melatarbelakangi perkembangan selanjutnya, terutama perkembangan kapitalisme dan
kolonialisme. Struktur geografi kepulauan Indonesia yang luas dan jarak yang cukup jauh satu
dengan yang lainnya menyebabkan biaya pengangkutan perdagangan menjadi mahal sehingga
yang bermain hanya golongan raja dan bangsawan saja. Selain itu, di Indonesia belum
mengenal organisasi perdagangan seperti di Eropa sehingga perdagangan di Indonesia menjadi
lemah dalam menghadapi persaingan dengan pihak luar. Perkembangan pengetahuan dan
teknologi di Eropa tidak dijmpai di Indonesia sehingga kegiatan perdagangan dan ekonomi
berjalan lambat dan statis selama beberapa periode.
Perkebunan pada Masa Pemerintahan Konservatif (18001830)
Konflik Politik Konservatif dan Liberal: 18001812
Peralihan pemerintahan VOC ke pemerintahan Hindia Belanda dalam rentang waktu abad ke-
18 sampai abad ke-19 memberikan latar perkembangan sistem perkebunan di Indonesia pada
abad ke-19. Pergantian politik pemerintahan ini ditandai dengan kebangkrutan VOC yang
disebabkan berbagai faktor seperti kecurangan pembukuan, korupsi, pegawai yang lemah,
sistem monopoli dan sistem paksa yang membawa kemerosotan moral dan penderitaan
penduduk. Pada saat yang sama, Negeri Belanda juga sedang mengalami dampak buruk akibat
perang menghadapi Inggris. Sementara itu, Negeri Belanda sendiri sedang berada dalam
pengaruh kekuasaan kekaisaran Perancis di bawah Napoleon sebagai akibat dari perang yang
dilakukan Perancis dengan negeri-negeri tetangganya. Oleh karena itu semua, maka
perpindahan pemerintahan VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad itu
tidak membawa banyak perubahan. Masih pada saat yang sama, di Eropa sedang terjadi
perluasan paham dan cita-cita liberal sebagai akibat dari Revolusi Perancis. Paham liberal
itupun masuk ke Negeri Belanda. Salah satu tokohnya adalah Dirk van Hogendorp. Ia adalah
juru bicara kaum liberal Belanda yang sering mengajukan gagasan baru kepada pemerintahan
Belanda untuk menjalankan politik kolonialnya diIndonesia dengan berdasarkan kebebasan
dan kesejahteraan umum. Kaum liberal juga mengusulkan perubahan sistem pemerintahan
tidak langsung ke sistem pemerintahan langsung serta mengusulkan untuk mengganti sistem
tanam paksa dengan sistem pajak. Gagasan itu tentu saja ditentang oleh kelompok lain
khususnya kaum konservatif yang hendak mempertahankan sistem dagang dari politik VOC.
Dua gagasan tersebut (sistem pajak dan sistem dagang) mempengaruhi poltik kolonial Belanda
selama periode tahun 1800 sampai sekitar tahun 1870. Dihadapkan kepada kenyataan tersebut,
pemerintah kolonial lebih cenderung memilih kebijaksanaan politik kaum konservatif yang
dianggap realistis dan mudah dilaksanakan. Namun dalam perkembangan penerapannya,
idealisme liberal banyak dilaksanakan pendukungnya di tengah-tengah menjalankan garis
politik konservatif. Daendels (18081816) dan Raffles (18111816) adalah dua contoh
penguasa yang menganut idealisme liberal. Mereka memperjuangkan kebebasan perseorangan
baik dalam hak milik tanah, bercocok tanam, berdagang, menggunakan hasil tanaman, maupun
dalam kepastian hukum dan keadilan. Banyak upaya yang dilakukan Daendels dengan berbagai
cara untuk mewujudkan idealismenya, namun tidak semua gagasan tersebut dilaksanakanya
karena kenyataan yang mendesak untuk mempertahankan Jawa dari ancaman Inggris. Pada
masa Raffles, upaya pembaharuan yang paling menonjol adalah pengenalan sistem
pemungutan pajak tanah (land rent).
Sistem Pajak Tanah: 18121816
Pengenalan sistem pajak tanah oleh Raffles adalah bagian integral dari gagasannya tentang
sistem sewa tanah (landelijk stelsel) di tanah jajahan yang berupaya memperbaiki sistem paksa
VOC yang dianggapnya memberatkan dan merugikan penduduk. Ia menganggap bahwa
gagasannya akan menguntungkan kedua belah pihak, baik negara maupun penduduk). Dalam
pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan dengan dua pilihan, antara penetapan pajak secara
perseorangan atau satu desa. Akhirnya Raffles lebih memilih penetapan pajak secara
perseorangan karena khawatir adanya ketergantungan peduduk kepada penguasa pribumi serta
menghindari penindasan yang sangat mungkin terjadi dialami rakyat. Penetapan pajak tersebut
berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah
maupun di lahan tegal, dan didasarkan pada kesuburan tanah yang diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III), dengan rincian sebagai berikut:
--Pajak Tanah Sawah:
Golongan I: 1/2 hasil panenan
Golongan II: 2/5 hasil panenan
Golongan III: 1/3 hasil panenan
--Pajak Tanah Tegal:
Golongan I: 2/5 hasil panenan
Golongan II: 1/3 hasil panenan
Golongan III: 1/4 hasil panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras. Penarikannya
dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak
tanah ini mengalami berbagai hambatan yang timbul di lapangan. Berbagai penyelewengan,
ukuran tanah, dan berbagai masalah lainnya mengakibatkan gagalnya pelaksanaan sistem
tersebut.
Setelah Belanda menerima kembali tanah jajahannya dari Inggris, mereka dihadapkan
keraguan dalam memilih sistem yang akan diterapkan karena melihat realitas di lapangan serta
dihadapkan dengan tuntutan negeri induk yang mendesak. Para penguasa kolonial sesudah
tahun 1816, seperti para Komisaris Jenderal (18161819), Gubernur Jenderal Van der
Capellen (18191826), dan Du Bus de Gisignies pada awalnya berniat untuk melanjutkan
gagasan liberal, akan tetapi realitas keuangan negeri induk yang mengalami kemerosotan
membuat mereka terpaksa menerapkan politik eksploitasi tanah jajahan. Akan tetapi, mereka
mencari cara untuk menerapkan kebebasan sehingga kebijakan politiknya bersifat dualistis.
Sementara itu, sistem pemungutan pajak tetap berjalan seperti masa Raffles tetapi mengalami
beberapa perubahan seperti penetapan pajak kepada desa. Berbeda dengan masa Raffles,
pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1816 menjalankan fungsionalisasi dengan
mempertahankan kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal (tradisional) di samping
sebagai pegawai pemerintah kolonial yang bertanggung jawab terhadap pungutan pajak.
Sistem Sewa Tanah (Landelijk Stelsel): 18161830
Sistem sewa tanah (landelijk stelsel) yang menjadi dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan
Raffles membawa pengaruh arah kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda selama
periode 18161830. Gagasan Raffles pada dasarnya ingin melepaskan segala unsur paksaan
dan sifat feodalisme dalam pemerintahan yang pernah dijalankan oleh VOC. Semangat
Revolusi Perancis dan keberhasilannya dalam memerintah India membuat ia begitu yakin
dengan penerapan gagasannya. Padahal, banyak perbedaan struktur dan kondisi sosial yang
membedakan semuanya dengan masyarakat Jawa yang dipimpinnya. Persamaan gagasan
Raffles dengan tokoh liberal Belanda Dirk van Hogendorp adalah mengenai defungsionalisasi
penguasa pribumi untuk menghapuskan sistem feodal yang berlaku karena dianggapnya
mematikan kreativitas dan swadaya rakyat. Dalam hal perdagangan, Raffles maupun Dirk
menginginkan keleluasaan petani dalam menamam tanaman perdagangan yang dapat diekspor,
sedangkan pemerintah bertugas untuk menyediakan perangkat dan prasarana yang dibutuhkan.
Untuk menyusun kebijaksanaan politik perekonomian baru itu, Raffles merumuskan tiga asas
perubahan. Pertama, menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi, dan
memberikan kebebasan penuh kepada rakyat untuk menentukan jenis tnaman yang hendak
ditanam dan diperdagangkan tanpa adanya unsur paksaan. Kedua, pengawasan tanah secara
terpusat dan langsung serta penarikan pendapatan dan pungutan sewa oleh pemerintah tanpa
perantaraan para bupati. Bupati tetap sebagai pegawai dengan bedasar asas pemerintahan Barat.
Ketiga, didasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemilik tanah, maka para petani
dianggap sebagai penyewa tanah (tenant) milik pemerintah. Oleh karena itu, mereka
diwajibkan membayar sewa tanah (land rent). Dalam pelaksanaannya, sistem sewa tanah tidak
dapat diberlakukan di seluruh Jawa karena terbentur dengan banyaknya tanah partikelir (tanah
milik swasta).
Pada masa pemerintahan Komisaris Jenderal Elout, Busykes, dan Van der Capellen (1816
1819), sistem sewa tanah mengalami berbagai kesulitan dari para petaninya yang walaupun
telah diberikan kebebasan tetapi tidak memiliki semangat tinggi dalam melakukan garapannya
sehingga hasilnya tidak memuaskan (seperti yang terjadi di Cirebon dan sebelah timurnya).
Dalam upaya meningkatkan ekspor dan kemakmuran rakyat, pemerintah Komisaris Jenderal
membuka kontrak-kontrak antara pengusaha Eropa dengan kepala desa. Akan tetapi hal itu
juga mengalami kendala karena berbagai faktor seperti lemahnya lalu lintas komersial di desa,
tidak adanya pengalaman dagang, belum meresapnya ekonomi uang, serta berbagai kecurangan
yang terjadi.
Melihat kenyataan bahwa banyak faktor yang tidak mendorong rakyat untuk melakukan
pertanian ekspor, maka Van der Capellen pada masa pemerintahannya melakukan politik
perlindungan dengan melakukan berbagai pembatasan kegiatan perdagangan, kepemilikan
tanah, dan lain-lain terhadap orang asing (Cina, Eropa, dsb).
Berbeda dengan Van der Capellen yang memberikan pembatasan bagi orang asing, Du Bus de
Gisignies (18261830) justru menarik dan mendorong pengusaha-pengusaha swasta untuk
menanamkan modalnya dalam kegiatan perekonomian di tanah jajahan. Menurut Du Bus,
untuk meningkatkan produksi ekspor, perlu dilakuakan dua tindakan. Pertama, milik tanah
bersama (communal bezit) perlu diganti dengan milik tanah perseorangan (individueel grond-
bezit). Pada intinya, di satu sisi Du Bus ingin mendorong kinerja petani agar bekerja lebih keras
sedangkan di sisi lain Du Bus hendak menjalankan sistem sewa tanah dengan jalan memperkuat
pengaruh Barat dalam kegiatan ekonomi di pedesaan. Namun upaya Du Bus hanyalah mimpi
yang mustahil diwujudkan karena saat itu terjadi Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama
lima tahun (18251830).
Dari seluruh gambaran upaya yang dilakukan oleh setiap pemerintahan yang mencoba
menerapkan sistem sewa tanah tadi, dapat disimpulkan bahwa selama hampir 20 tahun (1810
1830), sistem sewa tanah mengalami kegagalan mewujudkan tujuannya untuk memakmurkan
rakyat dan meningkatkan produksi ekspor. Pada awalnya, gagasan yang dilontarkan Raffles ini
memang memilki berbagai kelemahan dikarenakan persepsi Raffles yang menganggap sistem
yang berhasil diterapkan di India ini juga akan berhasil diterapkan di Jawa. Akan tetapi, Raffles
tidak memikirkan bahwa struktur sosial serta kondisi sosial yang jauh berbeda antara sebagian
daerah India yang sudah dapat melepaskan diri dari ikatan feodalisme serta sudah cukup lama
mengenal sistem ekonomi dibandingkan dengan keadaan Jawa yang masih kental dengan
ikatan feodal dan kondisi masyarakatnya yang sebagian besar masih belum memahami sistem
ekonomi.
Pada masa selanjutnya, setelah tahun 1830, ketika Gubernur Jenderal Van den Bosh memegang
pemerintahan, sistem sewa tanah dihapuskan. Sebagai gantinya, ia menghidupkan kembali
sistem penanaman dengan unsur paksaan bahkan dengan cara yang lebih keras dibandingkan
masa sebelumnya.
---Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun Pada Masa Tradisional
Masyarakat dikepulauan Nusantara telah mekalukan berbagai kegiatan pertanian, terdapat
empat macam sistem pertanian yang telah lama dikenal, yaitu sistem perladangan (Shifting
cultivation), sistem persawahan (wet rice cultivation system), sistem kebun (garden system),
dan sistem tegalan (dry field). Namun, studi tentang agraria di Indoneia menunjukan bahwa
bangsa Eropa lebih memerlukan sistem pertanian perladangan dan tegalan sebagai sistem yang
lebih menguntungkan yang menghasilkan tanaman yang laku dipasaran dunia.
Kebun bertanaman campuran di Jawa diduga telah berkembang di Jawa Tengah sebelum abad
ke-10. Sejumlah daerah di luar Jawa pada masa sebelum abad ke-19 telah mengembangkan
kebun tanaman perdagangan, misalnya kopi, lada, kapur barus, dan rempah-rempah.
Proses komersialisasi di daerah pantai pada abad ke-16 telah mendorong lahirnya kerajaan-
kerajaan Islam dan pertumbuhan kota-kota emporium di sepanjang pantai Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku. Kedudukan Jawa sebagai daerah persawahan ditandai
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan agraris seperti Mataram Lama, Jenggala, Kediri,
Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram Islam. Di luar Jawa seperti Maluku lebih
mengandalkan surplus tanaman kebun, yaitu rempah-rempah. Ada juga yang memiliki sumber
pendapatan lain sebagi bandar emporiumnya seperti Makassar, Banjarmasin, Aceh, dan
Pelembang.
Kehadiran bangsa Eropa di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya permintaan akan
produksi Indonesia secara cepat, meningkatnya harga, memepertajam konflik politik dan
ekonomi, meluasnya kapitalisme politik Eropa, dan timbulnya perimbangan-perimbangan
baru dalam keidupan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Kedatangan bangsa Portugis dan Belanda membawa dampak yang paling penting dalam
kehidupan politik dan ekonomi perdagangan di Indonesia. Kehadiran VOC di Indonesia
menyebabkan timbulnya pergeseran-pergeseran dalam sistem perdagangan dan eksploitasi
bahan komoditi perdagangan.

You might also like