Professional Documents
Culture Documents
1
Daftar Pustaka :
1. Sudoyo, Aru W. Et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.V PAPDI :
Jakarta
2.
Hasil Pembelajaran :
Subyektif
Dari anamnesis, didapatkan data-data seperti berikut :
1. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut bagian kanan atas yang sudah
dirasakan sejak 1 minggu smrs. Nyeri yang dirasakan pasien bersifat terus
menerus dan terasa seperti nyeri tumpul. Pasien mengatakan nyeri tersebut
tidak menjalar ke bagian perut lain.
2. Keluhan disertai dengan mual muntah dan mata yang berubah warna menjadi
kuning. Disertai dengan keluhan BAK berupa BAK yang berwarna keruh
seperti air teh.
3.
Awalnya, 2 minggu SMRS os mengeluhkan badan lemas dan mudah lelah pada
seluruh badan. Keluhan disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi, selama
kurang lebih 5 hari, dan kemudian menurun, demam tidak disertai dengan menggigil
dan berkeringat. Tidak terdapat tanda perdarahan. Pasien juga mengalami penurunan
nafsu makan dikarenakan mual dan muntah. BAB konsistensi encer, 5x/hari, berwarna
kuning, ampas, darah dan lendir tidak ada.
1 minggu SMRS pasien mengalami nyeri perut kanan atas. Nyeri dirasakan sama
sepanjang hari, tidak hilang timbul. Nyeri tidak menjalar ke punggung, nyeri tidak
timbul setelah makan dan nyeri tidak berkurang setelah buang air besar. Pasien juga
mengeluhkan mata kuning dan BAK berwarna seperti air teh pekat. Kepala os juga
terasa pusing, namun tidak berputar. Rasa nyeri disertai rasa mual dan muntah.
Pasien tidak pernah sakit kuning sebelumnya. Pasien juga mengatakan tidak ada
kontak dengan orang yang sakit kuning. Pasien memiliki riwayat sering makan di
warung pinggir jalan. Riwayat sering makan obat penghilang nyeri tidak ada. Pasien
mengaku tidak ada riwayat minum alkohol. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya
2
disangkal. Riwayat penyakit DM, hipertensi dan lain sebagainya sebelumnya
disangkal.
Obyektif
1. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : CM, GCS : 15
Status Gizi : Cukup
BB ; 60 kg
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi 72x/menit, isi cukup
Respirasi rate : 20x/menit
Suhu : 36,8
Pada pemeriksaan status generalis ditemukan :
Kepala : Normochepal, simetris.
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)
Pupil isokor (3 mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
Hidung : Nafas cuping hidung (-) , darah (-), secret (-).
Telinga : Darah (-), secret (-).
Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (+).
Leher : JVP tdk meningkat, trakea di tengah
Thorax : Emfisema subkutis (-), jejas(-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi :Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Paru
Inspeksi : Pada saat statis maupun dinamis, gerakan dada
simetris. Retraksi intercostal (-).
3
Palpasi : Fremitus raba kanan-kiri simetris
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) Ronki(-/-) Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada, datar.
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) terutama pada regio hipokondrium
dextra. Hepar teraba sebesar kurang lebih 3 jari dibawah arcus costae,
konsistensi lunak, permukaan datar, nyeri tekan (+) splen tidak teraba. Defans
muskular (-) shifting dullness (-)
Trunk
Ekstremitas
Oedem : (-/-)
Akral : Hangat
2. Laboratorium
Darah Lengkap :
Hb : 10,7 gr/dl
Hematokrit : 32,1 %
Leukosit : 9.800/uL (0/0/0/53/40/7)
Eritrosit : 4.600.000/uL
Trombosit 282.000
Pemeriksaan WIDAL malaria negatif
3. Kimia darah
Bilirubin total : 2,9 mg/dl
4
Bilirubin direk : 1,5 mg/dl
Bilirubin indirek : 1,4 mg/dl
SGOT : 146 U/L
SGPT : 309 U/L
Ureum 23,8 mg/dl
Kreatinin 0,8 mg/dl
HbsAg (-)
Plan
Diagnosis : Hepatitis virus akut
Pengobatan : Pada pasien ini dilakukan tatalaksana nonmedikamentosa dan
medikamentosa. Adapun tatalaksana medikamentosa yang diberikan pada pasien ini
adalah :
Tanggal 23 Juli 2017 (UGD), jam 21.40
S: Demam, mual dan muntah. Nyeri pada perut, sulit BAB
O: HR 72x/m, RR 20x/m, S 38,7o C
A: Obs febris hari ke 5
P:
5
S: Demam, nyeri perut dan rasa tidak nyaman pada perut.
O: HR 80x/m, RR 20x/m, S 37,8o C Widal (+)
A: Obs febris hari ke 5 e.c demam tifoid
P:
6
2. Ciprofloxacine tab 2x500mg
3. Paracetamol tab 3x500 mg
4. Omeprazole 2 x 1 cap a.c
5. Sucralfat syr 2 x 1 c a.c
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi).1-3 Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga
dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan
paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari
demam enterik adalah demam tifoid.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air
tanah, air kolam. atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling
banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang
infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan
melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19
tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga,
yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan,
dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Dalam kasus ini, tidak
ditemukan adanya anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
Kemungkinan transmisi penularan yang tertinggi ialah kebiasaan higienisasi pasien
dan lingkungan tempat tinggal yang masih kurang baik.
Selain beberapa gejala klinis demam tifoid yang telah di sebutkan diatas, terdapat
gejala klinis lain yang biasanya ditunjukkan oleh pasien dengan tifoid, antara lain
demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri
7
abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan
pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau keduanya.
Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan
dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa.
Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan
indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau
makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang
berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15
serta menetap selama 2-3 hari. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami
komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi
yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi
usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat
penyebaran kuman adalah secara hematogen.Bila tidak terdapat komplikasi, gejala
klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.
Pada kasus ini, ditemukan demam stepladder yang berlangsung selama 5 hari,
bradikardia relatif, gangguan sistem pencernaan berupa mual muntah, obstipasi dan
diare, serta ditemukan gambaran lidah kotor, yang mengarahkan diagnosis kepada
demam tifoid.
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada
3 prinsip, yaitu:
Isolasi bakteri
Deteksi antigen mikroba
Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada
60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL
untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan
antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja
yang terdeteksi). Namun, dikarenakan keterbatasan fasilitas dan sarana, maka
penegakan diagnosis demam tifoid pada kasus ini masih didasarkan pada gejala klinis
yang dialami pasien serta beberapa pemeriksaan penunjang sederhana seperti
pemeriksaan darah lengkap dan widal.
8
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella
typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan
antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang
telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H
setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan
kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada
dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan
titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat. Dari pemeriksaan widal yang
dilakukan pada Nn. F, ditemukan kenaikan titer antigen tifoid yang bermakna, oleh
karena itu diagnosis demam tifoid ditegakkan.
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting
adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
Menurut WHO, dalam guidelines for the management of Typhoid fever pada tahun
2011, berikut merupakan antibiotik pilihan dalam terapi penyakit demam tifoid.
9
Menurut tabel di atas, terapi pilihan bagi kasus demam tifoid pada orang dewasa yang
tidak resisten terhadap florokuinolon ialah golongan antibiotik florokuinolon yang
diberikan selama 5-7 hari.
Antibiotik golongan fl uoroquinolone (ciprofl oxacin, ofl oxacin, dan pefl oxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak
resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%,
waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari
2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S.
Typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi
dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa
pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan
kerusakan sendi.
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam
tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi
(5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan
waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.
Terapi antibiotika berupa ciprofloxacine 3 x500 mg yang diberikan terhadap Nn. F
sudah sesuai dengan guideline yang ada. Oleh karena itu, dapat dikatakan terapi
medikamentosa yang diberikan terhadap kasus Nn. F sudah benar. Obat-obatan lain
yang diberikan kepada Nn. F seperti Ondansentron, Paracetamol, sucralfat, dan
omeprazol hanya bersifat simtomatik dan hanya diberikan selama keluhan demam dan
gangguan pada saluran pencernaan masih dirasakan pasien.
10
sebelum dan sudah melakukan aktivitas tertentu. Pasien juga diedukasi untuk
meminum obat-obatan secara teratur, dan pasien diminta untuk sementara tidak
mengonsumsi makanan yang mengandung serat tinggi
Rujukan : Tidak dilakukan rujukan. Pasien dirawat sampai keluhan teratasi 24 jam
tanpa obat penurun demam.
11