You are on page 1of 2

http://www.google.com.sg/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&frm=1&source=web&cd=4&ved=0CEQQFjAD&url=http%3A%2F%
2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F23853%2F4%2FChapter%2520II.pdf&ei=ScTlUrTLEMamrAe76YGQ
DQ&usg=AFQjCNFr8crVcIO256g0dv9uyZmuYT_K4A&bvm=bv.59930103,d.bmk
http://aceh.tribunnews.com/2013/12/02/konsep-mutu-dalam-pelayanan-kesehatan

KEPUASAN pasien merupakan hal yang sangat penting dalam menilai mutu pelayanan kesehatan. Ada dua
faktor utama yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan yang diharapkan (expected
services), dan pelayanan yang dirasakan (perceived services). Jika harapannya terlampaui maka pelayanan
tersebut dirasakan sebagai mutu pelayanan yang ideal dan sangat memuaskan. Jika harapan sesuai dengan
pelayanan yang diterima maka mutu pelayanannya memuaskan, dan jika harapannya tidak terpenuhi pada
pelayanan yang diterima maka mutu pelayanan tersebut dianggap kurang memuaskan.

Penilaian mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari beberapa sisi, yaitu sisi pemakai jasa pelayanan
kesehatan dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Dari sisi pemakai, pelayanan kesehatan yang bermutu adalah
suatu pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan, diselenggarakan dengan cara yang sopan dan
santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembang atau
meluasnya penyakit. Masyarakat menganggap kemudahan mengakses pelayanan, baik itu akses jarak maupun
akses bahasa, serta hubungan interpersonal dengan petugas sebagai suatu dimensi mutu yang sangat penting.

Beberapa pertanyaan penting terkait indikator mutu pelayanan adalah: Berapa pasien yang akan diperiksa dalam
beberapa waktu tertentu? Tersediakah pemeriksaan laboratorium yang akurat, efisien dan hasilnya dapat
dipercaya? Tersediakah sistem rujukan jika diperlukan? Apakah lingkungan kerja memadai dan bersih, privasi
pasien terjamin? Apakah tersedia obat yang diperlukan? Apakah pelayanan dilakukan oleh petugas yang tepat,
profesional dan kompeten? Apakah pelayanannya aman bebas dari tindakan-tindakan yang membahayakan
(unsafe action)?

Kompetensi teknis
Dari sisi penyelenggara, mutu pelayanan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Penyelenggara pelayanan kesehatan perhatiannya lebih terfokus terhadap kompetensi teknis,
efektifitas dan keamanan pelayanan.

Persepsi pelayanan kesehatan yang bermutu menurut perusahaan asuransi adalah pelayanan yang dilakukan
secara efektif dan efisien. Pasien diharapkan dapat sembuh dalam waktu yang sesingkat mungkin sehingga biaya
layanan menjadi efisien. Sedangkan pemilik sarana pelayanan kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan
yang bermutu adalah layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya
operasional dan pemeliharaan, plus margin tentunya.

Kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan juga meliputi aspek ketelitian, kecermatan, keahlian dokter,
kepercayaan terhadap dokter, selektifitas dokter dalam memberi obat, keterbukaan dokter dalam menjawab
pertanyaan pasien dan memberi penjelasan tentang penyakit pasien, keselektifan dokter dalam merujuk pasien,
waktu tunggu dan keramahan dokter serta petugas kesehatan lainnya. Mutu pelayanan kesehatan akan selalu
menyangkut aspek teknis dan aspek kemanusiaan, yang timbul sebagai akibat hubungan yang terjadi antara
pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.

Interaksi pribadi tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan. Prinsip utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanannya adalah kepedulian terhadap pasien
selaku pelanggan. Pelanggan menjadi fokus utama pelayanan. Namun pada kenyataannya, kepuasan tidak
menjamin seseorang untuk selalu setia. Demikian pula bagi pasien yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan.
Pasien yang puas belum tentu juga akan setia. Manusia mempunyai kecenderungan untuk mengikuti trend
terbaru hampir dalam segala hal apabila status ekonominya memungkinkan untuk itu.

Termasuk juga trend dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang saat ini dianggap bagian dari cerminan
status sosial dan status ekonomi seseorang. Berobat ke luar negeri diyakini lebih berkelas dan tentunya dianggap
lebih bermutu. Jenis penyakit yang diderita dan fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu diakses sudah
menjadi bagian dari gaya hidup (life style) dan melambangkan status sosial penderitanya.

Seperti ada kesepakatan tidak tertulis antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal ini. Setiap tahun Indonesia
mendidik ratusan mahasiswa dari Malaysia dan Negara tetangga lainnya di berbagai Fakultas Kedokteran di
tanah air, seperti di UGM, UI, USU, dan berbagai universitas terkemuka di Indonesia. Dan, kita pun seperti ingin
balas budi, setiap saat terus saja mengirim pasien ke sana untuk sekadar check up atau berobat, dan tentunya
sambil jalan-jalan bagi sebagian orang. Sungguh suatu fenomena yang luar biasa. Orang Indonesia berbondong-
bondong berobat ke Malaysia yang dokternya kebanyakan lulusan Fakultas Kedokteran di Indonesia.

Janji politik pasangan Zaini-Muzakir ketika masa kampanye pemilihan gubernur yang lalu akan mendatangkan
dokter-dokter dari Singapura untuk praktik di RSUZA, agar masyarakat Aceh tidak perlu lagi berobat ke luar
negeri. Namun yang paling penting di balik semua itu adalah bukan tentang bagaimana mendatangkan dokter-
dokter impor, melainkan bagaimana memberdayakan dokter-dokter yang sudah ada dengan memberikan
kesempatan dan biaya yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kapasitas keilmuan,
kompetensi dan skill, serta dibarengi dengan penyediaan alat-alat kesehatan canggih dan mutakhir yang
diperlukan ketika mereka sudah selesai mengikuti pendidikan untuk mendukung kelancaran kerja dalam rangka
menegakkan diagnostik dan segala macamnya.

Bukan cerita baru lagi kalau setiap pengadaan alat kesehatan dibumbui dengan aroma korupsi, kolusi dan
nepotisme. Selalu saja ada alat-alat kesehatan yang dipasok oleh pemenang tender tidak sesuai spesifikasi, ada
komponen dalam kondisi rusak, yang ujung-ujungnya alat yang dibeli dengan harga miliaran rupiah dari uang
rakyat tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal, dan para pelakunya bebas dari jeratan hukum. Proses
peradilan dengan perkara-perkasa bermotif uang dalam jumlah besar memang sering masuk angin. Yang lebih
memiriskan lagi adalah ketika alat-alat kesehatan canggih dan mahal sudah terbeli, ternyata tidak ada tenaga
yang kompeten untuk mengoperasikannya. Sehingga hanya jadi barang pajangan.

Rapor merah
Kejadian-kejadian seperti ini membuka mata kita, bahwa proses pembangunan berkelanjutan termasuk
pembangunan kesehatan ternyata dilakukan tidak melalui proses perencanaan yang matang dan terkesan hanya
untuk mempercepat penyerapan anggaran saja. Mengapa tidak berdasarkan analisis yang mendalam sesuai
dengan skala prioritas kebutuhan? Maka tidak heran kalau rapor derajat kesehatan masyarakat kita selalu saja
ada yang merah.

Pasien terlantar, anak-anak gizi buruk dari keluarga miskin, selalu saja menjadi berita di media massa, dan itu
tidak membuat kita sadar bahwa di negeri yang menjunjung tinggi syariat, di negeri yang kaya raya dengan
sumber daya alamnya yang melimpah masih ada anak-anak yang tidak sanggup diberi makan oleh orang tuanya
yang fakir. Seperti menulis dengan arang di atas batu hitam berjelaga. Seperti itulah nasib anak-anak miskin
yang kekurangan gizi.

Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya
manusia. Untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan bidang kesehatan tersebut diselenggarakan berbagai
upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Dalam hal ini Puskesmas bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan dasar untuk jenjang pertama di wilayah kerjanya masing-masing.
Puskesmas sesuai dengan fungsinya berkewajiban mengupayakan, menyediakan dan menyelenggarakan
pelayanan yang bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Membangun kesadaran mutu merupakan upaya penggeseran cara pandang peran dan fungsi organisasi pelayanan
kesehatan dari memberi obat ke melayani pasien, dari pemeriksaan cepat ke pemeriksaan sesuai standar, dari
pekerjaan saya ke pekerjaan kita dan dari pelayanan yang tidak ramah menjadi pelayanan yang ramah dan penuh
senyum.

Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa pelayanan dan
petugas kesehatan. Artinya, kritik, komplain maupun keluhan pasien semestinya tidak diartikan sebagai
serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara berpikir dan cara melayani. Dari keluhan pasien, petugas
kesehatan dapat mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya.

You might also like