You are on page 1of 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA


DENGAN ISPA PADA BALITA B
DI BANJAR TAMAN DESA PENATIH DANGIN PURI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS II DEPASAR TIMUR

OLEH

KETUT ANGGIA DANIATI


NIM: 1502116016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA
DENGAN ISPA PADA BALITA B
DI BANJAR TAMAN DESA PENATIH DANGIN PURI

A. KONSEP PENYAKIT
1. Pengertian
Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai
penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari
manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam
sampai beberapa hari.

Menurut Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit
Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti
sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia (Depkes RI, 2005).
Bakteri penyebab ISPA seperti : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. Virus
seperti : Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, cytomegalovirus. Jamur
seperti : Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergillus, Candida
albicans (Kurniawan dan Israr, 2009)

3. Factor resiko
a) Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut
atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan
sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common
cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada
manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo (WHO,
2007).
b) Manusia
Umur
Berdasarkan hasil penelitian Anom (2006), risiko untuk terkena ISPA pada anak yang
lebih muda umurnya lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua umurnya.
Dari hasil uji statistik menunjukkan ada pengaruh umur terhadap kejadian ISPA pada
anak Balita. Dengan demikian, umur merupakan determinan dari kejadian ISPA pada
anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Blahbatuh II, dengan risiko untuk
mendapatkan ISPA pada anak Balita yang berumur <3 tahun sebesar 2,56 kali lebih
besar daripada anak Balita yang berumur 3 tahun. Hal berbeda justru terlihat dari
hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009) yang menyebutkan bahwa yang
berusia di atas 15 tahun lebih banyak menderita sakit ISPA (61,83 %) dibandingkan
dengan yang berusia di bawah 15 tahun (38,17 %).
Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Daroham dan Mutiatikum (2009), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA
lebih sering didapatkan pada
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, di bawah 6
tahun.
Status gizi
Hasil penelitian Nuryanto (2012) di Palembang menyebutkan bahwa balita yang status
gizinya kurang menyebabkan ISPA sebesar 29,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
balita yang mempunyai status gizi baik.
Berat badan lahir rendah
Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota Makkasar,
didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu <2.500 gram, menderita
pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.001 dengan
tingkat kemaknaan = 0,05. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai p < , berarti ada hubungan antara berat badan lahir
rendah (BBLR) dengan kejadian pneumonia.
Status ASI eksklusif
Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh
kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri
dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim,
Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi
bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan
makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja
(ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru
diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus
tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi post
natal.
Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA sering lebih banyak
terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan secara parsial sebesar 87,5 %
dan pola pemberian ASI secara predominan sebagian besar mengalami ISPA dengan
frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak mengalami kejadian ISPA terjadi pada
anak dengan pola pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak diberikan
ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih tinggi
dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak ada hubungan
antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA yang sering
pada anak usia 6-12 bulan.
Status imunisasi
Menurut Depkes RI (1997), imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang
terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit
merupakan upaya terpenting
dalam pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa
jenis penyakit, seperti : polio (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati),
tetanus, dan pertusis. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat
penyakit-penyakit tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Catiyas (2012), ada hubungan yang bermakna antara status
imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Balita yang status imunisasinya
tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita penyakit ISPA
dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap.
3. Lingkungan
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian penyakit ISPA. Faktor
lingkungan tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar rumah. Untuk faktor yang
berasal dari dalam rumah sangat dipengaruhi oleh kualitas sanitasi dari rumah itu
sendiri, seperti :
Kelembaban ruangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang
Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menetapkan bahwa kelembaban
yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 60%. Kelembaban yang terlalu tinggi
maupun rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk
mikroorganisme penyebab ISPA (Kemenkes RI, 2011). Penelitian Nindya dan
Sulistyorini (2005), tentang hubungan sanitasI rumah dengan kejadian ISPA pada anak
balita yang dilakukan di tiga daerah yang berbeda, yaitu di Kelurahan Penjaringan Sari
Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, Desa Sidomulyo Kecamatan Buduran Kabupaten
Sidoarjo, dan di Desa Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara
didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap ISPA pada balita.
Suhu ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal
ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 180C atau di atas 300C, keadaan rumah
tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011).
Ventilasi
Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal, hal ini karena ventilasi mempunyai
fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang masuk dan keluar angin sekaligus udara
dari luar ke dalam dan sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai lubang ventilasi,
maka ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu dibuka. Untuk lebih
memberikan kesejukan, sebaiknya jendela dan lubang angin menghadap ke arah
datangnya angin, diusahakan juga aliran angin tidak terhalang sehingga terjadi ventilasi
silang (cross ventilation). Fungsi ke dua dari jendela adalah sebagai lubang masuknya
cahaya dari luar (cahaya alam/matahari). Suatu ruangan yang tidak mempunyai sistem
ventilasi yang baik akan menimbulkan beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar
oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu dan kelembaban udara
meningkat. Keadaan yang demikian dapat merugikan kesehatan dan atau kehidupan
dari penghuninya, bukti yang nyata pada kesehatan menunjukkan terjadinya penyakit
pernapasan, alergi, iritasi membrane mucus dan kanker paru. Sirkulasi udara dalam
rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi
minimal 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999). Berdasarkan hasil penelitian
Yudarmawan (2012), prevalensi rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar
tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 56,5%, sedangkan untuk yang
memenuhi syarat kesehatan sebesar 43,5%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p
<0,05), nilai sig p=0,003.
Penggunaan anti nyamuk
Pemakaian obat nyamuk bakar merupakan salah satu penghasil bahan pencemar dalam
ruang. Obat nyamuk bakar menggunakan bahan aktif octachloroprophyl eter yang
apabila dibakar maka bahan tersebut menghasilkan bischloromethyl eter (BCME) yang
diketahui menjadi pemicu penyakit kanker, juga bisa menyebabkan iritasi pada kulit,
mata, tenggorokan dan paru-paru (Kemenkes RI, 2011).
Bahan bakar untuk memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas
udara menjadi rusak, terutama akibat penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan,
serta penggunaan sumber energi yang relatif murah seperti batubara dan biomasa (kayu,
kotoran kering dari hewan ternak, residu pertanian) (Kemenkes RI, 2011).
Keberadaan perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri
dari 4.000 bahan kimia, 200 di antaranya merupakan racun antara lain Carbon
Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain (Kemenkes
RI, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Nasution et al. (2009) serta Winarni et al.
(2010), didapatkan hubungan yang bermakna antara pajanan asap rokok dengan
kejadian ISPA pada Balita.
Debu rumah
Menurut Kemenkes RI (2011a), partikel debu diameter 2,5 (PM2,5) dan Partikel debu
diameter 10 (PM10) dapat menyebabkan pneumonia, gangguan system pernapasan,
iritasi mata, alergi, bronchitis kronis. PM2,5 dapat masuk ke dalam paru yang berakibat
timbulnya emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paru-paru serta gangguan
kardiovaskular atau kardiovascular (KVS). Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari
pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat pembakaran dan aktivitas industri).
Sumber dari dalam rumah antara lain dapat berasal dari perilaku merokok, penggunaan
energy masak dari bahan bakar biomasa, dan penggunaan obat nyamuk bakar.
4. Tanda dan gejala
Menurut WHO (2007), penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini
timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena
kelelahan atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam
hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer
serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila
tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba
eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru). Secara umum gejala ISPA meliputi
demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi atau
kesulitan bernapas).
5. Cara penularan penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit
masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini termasuk
golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan
yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian
besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak
jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (WHO, 2007).
6. Patofisiologi
Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di saluran nafas. Infeksi oleh
bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul mekanisme
pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk,
refleksi epiglotis, pembersihan mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan
tubuh penderita maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan tersebut
akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah saluran pernafasan atas maupun bawah (Fuad,
2008).

7. Klasifikasi ISPA
Mengklasifikasikan penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas infeksi saluran
pernapasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah.
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas di
sebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian atas dan
bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya adalah
Nasofaringitis akut (salesma), Faringitis akut (termasuk Tonsilitis dan
Faringotositilitis) dan rhinitis (Fuad, 2008).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Bawah
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas bagian
bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian bawah : Laringitis, Asma Bronchial,
Bronchitis akut maupun kronis, Broncho Pneumonia atau Pneumonia (Suatu
peradangan tidak saja pada jaringan paru tetapi juga pada brokioli (Fuad, 2008).
Berdasarkan Kelompok Umur
1. Kelompok Pada Anak Umur kurang dari 2 Bulan, Dibagi Atas :
a. Pneumonia berat
Pada kelompok umur ini gambaran klinis pneumonia, sepsis dan meningitis dapat
disertai gejala klinis pernapasan yang tidak spesifik untuk masing-masing infeksi,
maka gejala klinis yang tampak dapat saja diduga salah satu dari tiga infeksi serius
tersebut, yaitu berhenti menyusu, kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau rasa sulit
bangun, stidor pada anak yang tenang, mengi (wheezing), demam (38C) atau suhu
tubuh yang rendah (dibawah 35,5 C), pernapasan cepat, penarikan dinding dada,
sianosis sentral, serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia
Jika bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali permenit dan tidak terdapat tanda
pneumonia.
2. Kelompok Pada Anak Umur 2 Bulan Hingga 5 Tahun, dibagi atas :
a. Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas, tarikan dinding dada, tanpa disertai sianosis dan tidak
dapat minum.
b. Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa disertai penarikan dinding
dada.
c. Bukan Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada
(WHO, 2002).
8. Diagnosis ISPA
Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh utama balita
di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Di
dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1
balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya
disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia
disebut sebagai pandemic yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Namun, tidak
banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita
yang terlupakan atau the forgotten killer of children (Kemenkes RI, 2011b). Diagnosis
etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar
diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang
memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan
untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat
efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika
(terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosis
bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing
(melalui publikasi WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae
merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di
negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus. Diagnosis pnemonia pada balita
didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi
napas (napas cepat) sesuai umur. Penentuan napas cepat dilakukan
dengan cara menghitung frekuensi pernapasan dengan menggunakan sound timer. Batas
napas cepat (Kemenkes RI, 2011) adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau
lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau
lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernapasan sebanyak 40 kali per menit atau
lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan adanya
napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita
pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas yang disertai adanya
gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek
biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.

9. Penatalaksanaan ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana panderita ISPA pada anak adalah anak dengan
gejala batuk dan atau kesukaran bernapas yaitu:
1) Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.
2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, Demam atau dingin. Tanda bahaya pada umur
2 bulan sampai < 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
Stridor dan gizi buruk.
3) Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur < 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera
dibawah ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis.
Pada penderita umur 2 bulan sampai < 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat
dilakukan perawatan rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam
2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang
ada. Penderita di rumah untuk penderita Pneumonia umur 2 bulan sampai kurang dari
5 tahun, meliputi:
1. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah
sembuh.
2. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian Asi.
3. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan, yang aman dan sederhana.
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat
segera dikirim ke rujukan, diberi antibiotik 1dosis serta analgetik sebagai penurun
demam dan wheezing yang ada. Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus
kembali dilakukan 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik
dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau
penderita dikirim ke sarana rujukan.
B. KONSEP KELUARGA
1. Definisi Keluarga
a) Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh perkawinan,
adopsi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya
yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial, dari
individu - individu yang ada di dalamnya terlihat dari pola interaksi yang saling
ketergantungan untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, 1998 dalam Achjar,
2010).
b) Keluarga adalah kumpulan dua atau lebih individu yang saling ketergantungan satu
sama lainnya untuk emosi, fisik, dan dukungan ekonomi (Hanson, 1996 dalam
Achjar, 2010).
2. Tipe Keluarga
Berbagai bentuk dan tipe keluarga berdasarkan sumber dibedakan berdasarkan
keluarga tradisional dan keluarga non tradisional seperti:
1. Menurut Maclin (1998), pembagian tipe keluarga :
a. Keluarga Tradisional
1) Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak
yang hidup dalam satu rumah tangga yang sama.
2) Keluarga dengan orang tua tunggal yaitu keluarga hanya dengan satu
orang yag mengepalai akibat dari perceraian, pisah atau ditinggalkan.
3) Pasangan inti, hanya terdiri dari suami dan istri saja, tanpa anak atau
tidak ada anak yang tinggal bersama mereka.
4) Bujang dewasa yang tinggal sendirian.
5) Pasangan usia pertengahan atau lansia, suami pencari nafkah, istri
tinggal di rumah dengan anak sudah kawin atau bekerja.
6) Jaringan keluarga besar: terdiri dari dua keluarga inti atau lebih atau
anggota keluarga yang tidak menikah hidup berdekatan dalam daerah
geografis.
b. Keluarga Non Tradisional
1) Keluarga dengan orang tua yang mempunyai anak tetapi tidak menikah
(biasanya terdiri dari ibu dan anak saja)
2) Pasangan suami istri yang tidak menikah dan telah mempenyai anak.
3) Keluarga gay/lesbian adalah pasangan yang berjenis kelamin sama hidup
bersama sebagai pasangan yang menikah.
4) Keluarga komuni adalah rumah tangga yang terdiri lebih dari satu
pasangan monogami dengan anak-anak, secara bersama-sama
menggunakan fasilitas, sumber dan memiliki pengalaman yang sama.
2. Menurut Allender & Spradley (2001), tipe keluarga berdasarkan :
a. Keluarga Tradisional
1) Keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri
dan anak kandung atau anak angkat.
2) Keluarga besar (extended family) yaitu keluarga inti ditambah dengan
keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek,
paman dan bibi.
3) Keluarga Dyad yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami istri tanpa
anak.
4) Single parent yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan
anak kandung atau anak angkat, yang disebabkan karena perceraian atau
kematian.
5) Single adult, rumah tangga yang hanya terdiri dari seorang dewasa saja.
6) Keluarga usia lanjut yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami istri yang
berusia lanjut.
b. Keluarga Non Tradisional
1) Commune family, yaitu lebih dari satu keluarga tanpa pertalian darah
hidup serumah.
2) Orang tua (ayah/ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak yang
hidup bersama dalam satu rumah tangga.
3) Homoseksual yaitu dua individu yang sejenis kelamin hidup bersama
dalam satu rumah tangga.
3. Menurut Carter & Mc Goldrick (1998) dalam Setiawati dan Dermawan (2005), tipe
keluarga dibagi berdasarkan :
a. Keluarga berantai (sereal family) yaitu keluarga yang terdiri dari wanita dan pria
yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
b. Keluarga berkomposisi, yaitu keluarga yang perkawinannya berpoligami dan
hidup secara bersama-sama.
c. Keluarga kabitas, yaitu keluarga yang terbentuk tanpa pernikahan.

3. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau sesuatu
tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Terdapat beberapa fungsi keluarga menurut
Friedman (1998); Setiawati & Dermawan (2005) yaitu:
1) Fungsi Afektif
Merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhsn pemeliharaan kepribadian
anggota keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap anggota keluarga
baik senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga
mengekspresikan kasih sayang.
2) Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak,
membentuk nilai dan norma yang diyakini, dan meneruskan nilai-nilai budaya
keluarga. Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan memperkenalkan anak
dengan dunia luar dengan belajar berdisiplin, mengenal budaya dan norma melalui
hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu berperan dalam masyarakat.
3) Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam melindungi
keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin pemenuhan
kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spiritual, dengan cara memelihara dan
merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit tiap anggota keluarga.
4) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan,
papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. Mencari
sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan
keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga..
5) Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis, terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih sayang dan rasa
aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan
kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.
6) Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan,
ketrampilan, membentuk prilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan
dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya (Achjar, 2010).

4. Tahapan dan Tugas Perkembangan Keluarga


(a)Tahap I, keluarga pemula atau pasangan baru
Tugas perkembangan keluarga pemula antara lain membina hubungan yang
harmonis dan kepuasan bersama dengan membangun perkawinan yang saling
memuaskan, membina hubungan dengan orang lain dengan menghubungkan
jaringan persaudaraan secara harmonis, merencanakan kehamilan dan
mempersiapkan diri menjadi orang tua.
(b)Tahap II, keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi sampai umur 30 bulan)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap dua yaitu membentuk keluarga muda
sebagai sebuah unit, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan,
memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan menambahkan peran orang
tua kakek dan nenek dan mensosialisasikan dengan lingkungan keluarga besar
masing-masing pasangan.
(c)Tahap III, keluarga dengan anak prasekolah (anak tertua berumur 2-6 tahun)
Tugas perkembangan keluarga tahap III yaitu memenuhi kebutuhan anggota
keluarga, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap
memenuhi kebutuhan anak yang lainnya, mempertahankan hubungan yang sehat
dalam keluarga dan luar keluarga, menanamkan nilai dan norma kehidupan, mulai
mengenalkan kultur keluarga, menanamkan keyakinan beragama, memenuhi
kebutuhan bermain anak.
(d)Tahap IV, keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua usia 6-13 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap IV yaitu mensosialisasikan anak termasuk
meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, memenuhi
kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga, membiasakan belajar teratur,
memperhatikan anak saat menyelesaikan tugas sekolah.
(e)Tahap V, keluarga dengan anak remaja (anak tertua umur 13 - 20 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap V yaitu menyeimbangkan kebebasan
dengan tanggung jawab ketika remaja menjadi dewasa dan mandiri, memfokuskan
kembali hubungan perkawinan, berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan
anak-anak, memberikan perhatian, memberikan kebebasan dalam batasan tanggung
jawab, mempertahankan komunikasi terbuka dua arah
(f) Tahap VI, keluarga yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama
sampai terakhir yang meninggalkan rumah)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap VI yaitu memperluas siklus keluarga
dengan memasukkan anggota keluarga baru yang didapat melalui perkawinan anak-
anak, melanjutkan untuk memperbaharui hubungan perkawinan, membantu orang
tua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami maupun istri, membantu anak mandiri,
mempertahankan komunikasi, memperluas hubungan keluarga antara orang tua
dengan menantu, menata kembali peran dan fungsi keluarga setelah ditinggalkan
anak.
(g)Tahap VII, orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan, pensiun)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap VII yaitu menyediakan lingkungan yang
meningkatkan kesehatan, mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh
arti para orang tua dan lansia, memperkokoh hubungan perkawinan, keintiman,
merencanakan kegiatan yang akan datang, memperhatikan kesehatan masing-masing
pasangan, tetap menjaga komunikasi dengan anak- anak.
(h)Tahap VIII, keluarga dalam masa pensiun dan lansia.
Tugas perkembangan keluarga pada tahap VIII yaitu mempertahankan pengaturan
hidup yang memuaskan, menyesuaikan tahap pendapatan yang menurun,
mempertahankan hubungan perkawinan, menyesuaikan diri terhadap kehilangan
pasangan, mempertahankan ikatan keluarga antar generasi, meneruskan untuk
memahami ekstensi mereka, saling member perhatian yang menyenangkan antar
pasangan, merencanakan kegiatan untuk mengisi waktu tua seperti berolahraga,
berkebun, mengasuh cucu.
5. Pengkajian fokus pada masing-masing tahap perkembangan keluarga
a) Pengkajian fokus pada keluarga baru
Kapan pertemuan pasangan?
Bagaimana hubungan sebelum menikah?
Bagaimana pasangan ini memutuskan untuk menikah?
Adakah halangan terhadap perkawinan mereka (sebutkan)?
Bagaimana respon anggota keluarga terhadap perkawinan?
Bagaimana kehidupan dilingkungan keluarga asal,?
Siapa orang lain yang tinggal serumah setelah perkawinan?
Bagaimana hubungan dengan saudara ipar?
Bagaimana keadaan orang tua masing-masing dan hubungannya dengan orang
tua setelah menikah?
Bagaimana rencana memiliki anak?
Berapa lama waktu berkumpul setiap hari?
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
b) Pengkajian fokus pada keluarga Child-bearing
Bagaimana riwayat kehamilan anak ini?
Bagaimana riwayat persalinan anak?
Bagaimana perawatan anak setelah lahir sampai usia 2 minggu?
Bagaimana perawatan anak sampai usia satu tahun?
Adakah orang lain yang serumah setelah anak lahir dan apa hubungannya?
Siapakah yang mengasuh anak setiap hari?
Berapa lama waktu yang dimiliki orangtua untuk berkumpul dengan anak?
Siapa yang memberikan stimulus dan latihan kepada anak dalam rangka
pemuenuhan tumbuh kembangnya?
Bagaimana perkembangan anak dan keterampilan yang dimiliki anak dicapai
pada usia berapa?
Adakah sarana untuk stimulus tumbuh kembang anak?
Pernahkah anak menderita sakit serius, apa jenisnya, kapan, berapa lama dan
dirawat di rumah sakit atau tidak?
Bagaimana pencapaian perkembangan anak saat ini?
Bagaimana harapan keluarga terhadap anak?
Bila perlu gunakan skala DDST
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
c) Pengkajian fokus pada keluarga dengan anak pra sekolah
Stimulasi apa yang diberikan oleh keluarga selama di rumah dan adakah
sarana stimulasinya?
Sudahkah anak diikutkan kegiatan play group?
Berapa lama waktu yang dimiliki oleh ortu untuk berkumpul dengan anak
setiap hari?
Siapakah orang yang setiap hari bersama anak?
Kemampuan apa yang telah dimiliki anak saat ini?
Bagaimana harapan keluarga terhadap anak saat ini?
Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
d) Pengkajian fokus pada keluarga dengan anak sekolah
Bagaimana karakteristik teman bermain?
Bagaimana lingkungan bermain?
Berapa lama anak menghabiskan waktunya di sekolah?
Bagaimana stimulasi terhadap tumbuh kembang anak dan adakah sarana yang
dimiliki?
Bagaimana temperamen anak saat ini?
Bagaimana pola anak jika menginginkan suatu barang?
Bagaimana pola orang tua menghadapi permintaan anak?
Bagaimanakah prestasi yang dicapai anak saat ini?
Kegiatan apa yang diikuti anak selain sekolah?
Sudahkan memperoleh imunisasi ulangan selama di sekolah?
Pernahkah mendapatkan kecelakaan selama di sekolah atau di rumah saat
bermain?
Adakah penyakit yang muncul dan dialami anak selama ini?
Adakah sumber bacaan lain selain buku sekolah dan apa jenisnya?
Bagaimana pola anak memanfaatkan waktu luangnya?
Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
e) Pengkajian fokus pada keluarga dengan anak remaja
Bagaimana karakteristik teman di sekolah atau dilingkungan rumah?
Bagaimana kebiasaan anak mengguanakan waktu luangnya?
Bagaimana prilaku anak selama di rumah?
Bagaimana hubungan anak remaja dengan adiknya, dengan teman sekolah atau
teman bermain?
Siapa saja yang berada dirumah selama anak remaja di rumah?
Bagaimana prestasi anak di sekolah dan prestasi apa yang pernah diperoleh
anak?
Apa kegiatan di luar rumah selain sekolah, berapa kali, berapa lama, dan
dimana?
Apa kebiasaan anak di rumah?
Apa fasilitas yang digunakan anak secara bersamaan atau sendiri?
Berapa lama waktu yang disediakan orang tua untuk anak?
Siapa yang menjadi figure bagi anak?
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
f) Pengkajian fokus pada keluarga dengan anak usia Dewasa (Pelepasan)
Bagaimana karakteristik pasangan anaknya?
Bagaimana hubungan anak terhadap orang tua dan mertua setelah menikah?
Apakah anak yang sudah menikah tinggal bersama atau lepas dari ortu?
Bila tidak, anak yang telah menikah tidak tinggal serumah, dimana tinggalnya
dan berapa lama/frekuensi anak bertemu dengan ortu?
Bagaimana hubungan antara anak yang telah menikah dengan adiknya?
Bagaimana perasaan ortu setelah anak menikah?
Bagaimana ortu membentuk jaringan dengan anak?
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga yang dilaksanakan?
g) Pengkajian fokus pada keluarga dengan usia pertengahan
Bagaimana kegiatan di rumah dan di luar rumah?
Bagaimana hubungan anak dengan ortu?adakah orang yang tinggal serumah,
bagaimana hubungan keluarga?
Bagaimana pemenuhan kebutuhan individu setelah anak tidak lagi serumah?
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
h) Pengkajian fokus pada keluarga dengan lansia
Bagaimana perasaan setelah tidak bekerja atau ditinggalkan pasangan?
Bagaimana kegiatan dirumah dan diluar rumah?
Bagaimana kunjungan anak ke ortu bagaimana frekuensi kunjungan anak?
Adakah orang yang menemani setiap hari?
Bagaimana pemenuhan kebutuhan individu setelah dikatagorikan usia tua?
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga?
6. Level Pencegahan Perawatan Keluarga
Pelayanan keperawatan keluarga, berfokus pada tiga level prevensi yaitu:
(a) Pencegahan primer (primary prevention), merupakan tahap pencegahan yang
dilakukan sebelum masalah timbul, kegiatannya berupa pencegahan spesifik
(specific ptotection) dan promosi kesehatan (health promotion) seperti
pemberian pendidikan kesehatan, kebersihan diri, penggunaan sanitasi
lingkungan yang bersih, olah raga, imunisasi, perubahan gaya hidup. Perawat
keluarga harus membantu keluarga untuk memikul tanggung jawab kesehatan
mereka sendiri, keluarga tetap mempunyai peran penting dalam membantu
anggota keluarga untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
(b) Pencegahan sekunder (secondary prevention), yaitu tahap pencegahan kedua
yang dilakukan pada awal masalah timbul maupun saat masalah berlangsung,
dengan melakukan deteksi dini (early diagnosis) dan melakukan tindakan
penyembuhan (promp treatment) seperti screening kesehatan, deteksi dini
adanya gangguan kesehatan.
(c) Pencegahan tersier (tertiary prevention), merupakan pencegahan yang dilakukan
pada saat masalah kesehatan telah selesai, selain mencegah komplikasi juga
meminimalkan keterbatasan (disability limitation) dan memaksimalkan fungsi
melalui rehabilitasi (rehabilitation) seperti melakukan rujukan kesehatan,
melakukan konseling kesehatan bagi yang bermasalah, memfasilitasi
ketidakmampuan dan mencegah kematian. Rehabilitasi meliputi upaya
pemulihan terhadap penyakit atau luka hingga pada tingkat fungsi yang optimal
secara fisik, mental, social dan emosional.
7. Tugas Keluarga
Tugas keluarga merupakan pengumpulan data yang berkaitan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan. Asuhan keperawatan keluarga
mencantumkan lima tugas keluarga sebagai paparan etiologi/penyebab masalah dan
biasanya dikaji pada saat penjajagan tahap II bila ditemui data maladaptif pada
keluarga. Lima tugas keluarga yang dimaksud adalah:
1) Mengenal masalah kesehatan, termasuk bagaimana persepsi keluarga terhadap
tingkat keparahan penyakit, pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan
persepsi keluarga terhadap masalah yang dialami keluarga.
2) Mengambil keputusan, termasuk sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan
luasnya masalah, bagaimana masalah dirasakan keluarga, keluarga menyerah atau
tidak terhadap masalah yang dihadapi, adakah rasa takut terhadap akibat atau adakah
sikap negatif dari keluarga terhadap masalah kesehatan, bagaiman sistem
pengambilan keputusan yang dilakukan keluarga terhadap anggota keluarga yang
sakit.
3) Merawat anggota keluarga yang sakit, seperti bagaimana keluarga mengetahui
keadaan sakitnya, sifat dan perkembangan perawatan yang diperlukan, sumber-
sumber yang ada dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap yang sakit.
4) Memodifikasi lingkungan, seperti pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya
pencegahan penyakit yang dilakukan keluarga, upaya pemeliharaan lingkunagn yang
dilakukan keluarga, kekompakan anggota keluarga dalam menata lingkungan dalam
dan luar rumah yang berdampak terhadap kesehatan keluarga.
5) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti kepercayaan keluarga terhadap
petugas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, keberadaan fasilitas kesehatan
yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan fasilitas kesehatan, apakah
pelayanan kesehatn terjangkau oleh keluarg, adakah pengalaman yang kurang baik
yang dipersepsikan keluarga (Achjar, 2010).
8. Tingkat Kemandirian Keluarga
Keberhasilan asuhan keperawatan keluarga yang dilakukan perawat keluarga, dapat
dinilai dari seberapa tingkat kemandirian keluarga dengan mengetahui kriteria atau
ciri-ciri yang menjadi ketentuan tingkat mulai dari tingkat kemandirian I sanpai tingkat
kemandirian IV, menurut Dep-Kes (2006) dalam Henny (2010) sebagai berikut :
1. Tingkat kemandirian I (keluarga mandiri tingkat I/KM I)
Menerima petugas Perawatan Kesehatan masyarakat
Menerima pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan
2. Tingkat kemandirian II (keluarga mandiri tingkat II/KM II)
Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
Menerima pelayanan perawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan
Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar
Melakukan tindakan keperawataqn sederhana sesuai dengan yang dianjurkan
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
3. Tingkat kemandirian III (keluarga mandiri tingkat III/KM III)
Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
Menerima pelayanan perawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan
Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar
Melakukan tindakan keperawatan sederhana sesuai dengan yang dianjurkan
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
Melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran
4. Tingkat kemandirian IV (keluarga mandiri tingkat IV/KM IV)
Menerima petugas Perawatan Kesehatan Masyarakat
Menerima pelayanan perawatan yang diberikan sesuai dengan rencana
keperawatan
Tahu dan dapat mengungkapkan masalah kesehatan secara benar
Melakukan tindakan keperawataqn sederhana sesuai dengan yang dianjurkan
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara aktif
Melaksanankan tindakan pencegahan sesuai anjuran
Melakukan tindakan promotif secara aktif

Tabel 1. Kriteria tingkat kemandirian keluarga, diuraikan seperti tabel:


Tingkat Kemandirian Keluarga
No Kriteria
I II III IV
1. Menerima petugas puskesmas
2. Menerima pelayanan sesuai rencana
3. Menyatakan masalah/tahu dan dapat

mengungkapkan secara benar
4. Melaksanakan perawatan/tindakan sederhana sesuai

anjuran.
5. Memanfaatkan sarana keseharan sesuai

anjuran/secara aktif
6. Melaksanakan tindakan pencegahan secara anjuran
7. Melakukan tindakan promotif secara aktif

C. ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN ISPA


1. Pengkajian keluarga
Metoda pengkajian:
Wawancara
Observasi fasilitas di dalam rumah dan keadaan rumah
Pemeriksaan fisik pada setiap anggota keluarga
Penggunaan data sekunder (hasil lab, rekam medis pelayanan kesehatan,
dll)
2. Diagnosis keperawatan keluarga
Perumusan diagnosis keperawatan: P (Problem/masalah) + E (Etiologi/penyebab)
Perumusan diagnose keperawatan mengacu pada:
P = respon terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan dasar, mengacu pada
NANDA
E = mengacu pada 5 tugas keluarga
Jenis diagnosis keperawatan keluarga:
1) Sehat/wellness (Problem saja)
Potensial: keluarga mempunyai potensi untuk ditingkatkan, belum ada data
maladaptive atau paparan masalah kesehatan.
2) Ancaman (PE)
Resiko: belum terdapat paparan masalah kesehatan, namun sudah
ditemukan beberapa data maladaptive yang memungkinkan timbulnya
gangguan.
3) Nyata (PE)
Actual: sudah timbul gangguan/masalah kesehatan didukung dengan
beberapa data maladaptive
3. Perencanaan
Pada perencanaan, tujuan umum mengacu pada problem, tujuan khusus mengacu
pada etiologi yang SMART (Spesifik, Measurable/dapat diukur, Achievable/dapat
dicapai, Reality/realistic, Time limited/punya limit waktu)
4. Implementasi keperawatan
Sesuai dengan intervensi yang telah disusun
5. Evaluasi
a. Subjektif: respon verbal yang disampaikan keluarga
b. Objektif: respon non verbal yang tampak dari keluarga
c. Analisis: apakah tujuan khusus belum tercapai, tercapai sebagian atau
tercapai)
d. Planning: apa yang akan direncanakan kembali.

You might also like