You are on page 1of 6

Agent of Change: GURU

Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan


profesionalitas guru, ada dua cara yang serentak mesti dilakukan oleh guru agar tetap bisa
bertahan dalam kinerja profesionalnya. Pertama, bersikap kritis atas berbagai macam
kebiijakan pendidikan pemerintah yang menindas otonomi dan profesionalitasnya. Kedua,
bersikap kritis terhadap diri sendiri agar tidak semakin diperalat sebagai kepanjangan tangan
birokrat, melainkan menemukan kembali kebebasan dan otonominya sebagai pelaku
perubahan (agent of change). Ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental
sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin
meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar
kekuatan guru, yaitu, meraih kembali kebebasan dan menghayati identitas diri sebagai pelaku
perubahan.

Masyarakat berubah, identitas guru juga berubah. Pepatah latin mengatakan, tempora
mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kitapun berubah karenanya). Ungkapan
bijak ini berlaku bagi perjalanan hidup setiap individu, terlebih lagi bagi mereka yang
menghayati panggilannya sebagai guru yang sesungguhnya adalah pelaku perubahan.
Memiliki visi sebagai pelaku perubahan merupakan conditio sine qua non bagi pembaharuan
dalam dunia pendidikan. Lebih dari itu, guru bisa berperanan lebih aktif dalam membangun
tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja pendidikan mereka.

Guru adalah pelaku perubahan. Itulah sebenarnya hakekat terdalam keberadaan seorang guru.
Dengan kegiatannya mengajar, ia membentuk identitas keguruannya. Melalui identitas inilah
ia mengukuhkan dirinya sebagai pelaku perubahan. Kegiatan mengajar yang dilakukan guru
di kelas akan memberikan perubahan dalam diri siswanya yang akan berguna bagi hidupnya
mengatasi batas-batas kelas. Sebagai pelaku perubahan, guru menngubah siswa menjadi lebih
baik, lebih pandai, lebih memiliki ketrampilan yang berguna bagi pengembangan profesi
mereka dalam masyarakat. Guru membuat siswa memahami persoalan dengan lebih jernih
sehingga mampu membuat keputusan dan bertindak secara tepat dan bertanggungjawab dalam
hidup mereka. Guru yang baik membuat siswa siap terjun secara aktif dalam masyarakat
sehingga mampu membangun dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih baik dari yang
sekarang ini mereka alami.
Berbagai Tarikan Kepentingan

Tantangan pertama yang mesti dihadapi guru dalam mengukuhkan identitas dirinya sebagai
pelaku perubahan adalah menyadari berbagai macam tarikan kepentingan kekuasaan yang
menggelayuti profesi mereka sebagai guru. Guru selalu berada dalam tegangan kelompok
kepentingan yang berpotensi mengerdilkan ciri konstruktif dan liberatif yang mereka miliki.
Guru bisa menjadi pelanggeng status quo atau pembangun tatanan baru. Guru mampu terlibat
dalam proses pencerahan, pemberdayaan, dan partisipasi dalam masyarakat. Namun guru juga
bisa terjebak pada kelompok kepentingan tertentu yang menjadikan mereka sekedar alat-alat
kepentingan ideologis kelompok mapan. Yang pertama berbicara tentang fungsi liberatif guru,
yang kedua fungsi konservatif.

Cara kita memandang dua fungsi guru tergantung dari bagaimana masyarakat memandang
lembaga pendidikan. Pandangan konvensional mengatakan bahwa bahwa salah satu fungsi
pendidikan adalah sebagai mekanisme pemerataan kesempatan belajar bagi semua.
Pendidikan akan mengidentifikasi dan menyeleksi individu yang memiliki kemampuan
intelektual, bakat-bakat, dan motivasi yang kuat, tidak perduli mereka berasal dari kalangan
mana, entah kaya maupun miskin. Untuk itu, pengalaman mengenyam bangku pendidikan
akan membekali mereka dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang membuat
mereka dapat semakin hidup secara bermartabat dalam masyarakat. Jumlah pengetahuan dan
keterampilan yang mereka peroleh melalui pendidikan akan menjadi kriteria dan indikator
untuk menentukan jenis pekerjaan dan penghargaan materi yang melekat dalam kepemilikan
pengetahuan dan keterampilan tersebut (McNamee dan Miller, 2004, hlm. 14).

Pandangan ini menganggap bahwa lembaga pendidikan itu bersifat meritokrasi, yaitu,
memberikan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung agar dapat bersaing dan
berlomba dengan mereka yang telah mapan untuk menduduki posisi penting yang lebih
bermartabat dalam masyarakat. Anak-anak keluarga miskin yang ulet, gigih dan mau belajar,
akan dapat mengenyam pendidikan tinggi yang memungkinkan mereka mengalami mobilitas
sosial. Tanpa ada jaminan dan persamaan kesempatan dalam mengenyam pendidikan, anak-
anak orang miskin dan mereka yang secara sosial terpinggirkan tidak dapat bangkit dari
keterpurukannya. Tanpa adanya akses pada pendidikan, mereka akan tetap berkubang dalam
kemiskinan dan kemelaratan tanpa ada jalan terbuka untuk membebaskan diri dari situasi
sosial yang meminggirkannya. Bagi mereka pendidikan menjadi salah satu sarana mobilitas
sosial dalam masyarakat.

Pendidikan membantu mengangkat harkat mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat
menjadi setara dengan mereka yang memiliki previlese, entah karena status sosial maupun
warisan kekayaan turun temurun yang memungkinkan anak-anak orang kaya menikmati
keistimewaan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam konteks ini, guru memiliki fungsi
liberatif, yaitu, membebaskan mereka dari belenggu kemiskinan dan membuat anak-anak
orang miskin mengalami mobilitas sosial dalam masyarakat.

Namun, selain pandangan bahwa pendidikan memberikan persamaan kesempatan belajar pada
setiap orang yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, terdapat juga pandangan lain
yang lebih radikal. Alih-alih sebagai lembaga yang membebaskan, pada kenyataannya
sekolah hanya melestarikan status quo dan mereproduksi struktur sosial dan ketimpangan
dalam masyarakat. Sekolah memiliki fungsi konservatif, yaitu melanggengkan ketimpangan
dan semakin memperlebar jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Sekolah bukannya
membawa si miskin pada mobilitas sosial lebih tinggi melainkan malah membuatnya
terpinggir dan tersisih.

Pengikut aliran ini tidak percaya peranan sekolah sebagai lembaga yang mempromosikan
persamaan dan kesempatan di mana sekolah dapat menjadi alat mobilitas sosial bagi kaum
miskin. Sebaliknya, mekanisme pendidikan sesungguhnya mengotak-ngotakkan individu
berdasarkan kelas sosial. Pendidikan hanya mendaur ulang (reproduction) sistem kelas dalam
masyarakat. Sistem, struktur, dan kultur di sekolah tidak lain adalah cerminan dari realitas
sosial di dalam masyarakat di mana yang kaya akan semakin maju, dan yang miskin akan
semakin terpinggirkan. Model kurikulum, cara pengajaran dan evaluasi belajar, misalnya,
lebih menguntungkan mereka yang kaya, memiliki sarana dan fasilitas yang baik serta tradisi
pendidikan dalam keluarga yang kuat. Anak-anak orang kaya ini memiliki modal sosial dan
kultural yang lebih dibandingkan anak-anak orang miskin yang secara faktual hidup dalam
kubangan kemiskinan yang membuatnya abai terhadap pendidikan.

Dalam situasi ketimpangan ini, proses penilaian hasil belajar (evaluasi) di sekolah juga berat
sebelah. Sekolah memberikan nilai-nilai yang baik pada mereka yang memiliki keistimewaan
(bakat, talenta, kepandaian, kecerdasan, dll) yang umumnya telah dimiliki oleh anak-anak
orang kaya. Sistem pendidikan lebih menguntungan anak-anak orang kaya daripada daripada
orang miskin yang dari sononya memiliki defisit modal budaya. Anak-anak orang kaya yang
lebih cerdas mampu menguasai dan menyelaraskan diri dalam sistem pendidikan yang ada.
Mereka inilah yang akan mendapatkan ijasah dan sertifikat serta mampu meneruskan ke
perguruan tinggi bermutu sehingga status sosial mereka tetap akan berada di kisaran atas
dalam tatanan sosial masyarakat.

Sebaliknya, sekolah memberikan hukuman kepada anak-anak orang miskin yang kesulitan
belajar. Tidak adanya sarana yang memadai (buku pelajaran, dll), lingkungan belajar yang
kondusif untuk memperdalam ilmu, menumbuhkan disiplin, dll, membuat anak-anak orang
miskin ini senantiasa terpuruk. Merekalah yang selalu menjadi langganan ketidaklulusan dan
drop out dari sekolah.

Tidak jarang sekolah sudah membuat semacam penggolongan dan seleksi (tracking) sejak
awal di mana anak-anak orang miskin sering diarahkan untuk mengenyam pendidikan yang
dapat langsung membuat mereka bekerja, seperti, mengarahkan mereka untuk memilih jalur
SMK. Pendekatan seperti ini, meski sekilas tampaknya baik, namun sesungguhnya semakin
menjauhkan mereka dari akuisisi modal budaya yang lebih tinggi yang memungkinkan
mereka mengalami mobilitas sosial. Anak-anak ini tetap akan terpuruk dalam lapis bawah
hirarki tenaga kerja dalam dunia industri. Ketimpangan seperti ini didaurulang terus dari
generasi satu ke generasi yang lain sehingga sekolah bukannya menjadi alat yang memberikan
persamaan belajar sehingga setiap siswa memiliki akses pada pengetahuan universal,
melainkan pendidikan semakin memperlebar jurang perbedaan dan melanggengkan
ketimpangan dalam masyarakat berdasarkan kelas sosial.

Guru, dalam artian tertentu, seperti diindikasikan oleh Harris (1982), memang bisa terjerumus
menjadi antek dan kaki tangan pemilik modal (agents of capital) yang melayani kepentingan
ideologis kapitalisme global dengan cara menanamankan kesadaran dalam diri anak didiknya
untuk menjaga, mempertahankan dan mendaurulang corak hubungan sosial kapital dalam
masyarakat yang telah ada. Guru pun yakin bahwa anak-anak orang miskin ini pun tidak akan
memiliki harapan di masa depan. Paling tinggi mereka hanya bisa sekolah di sekolah
kejuruan. Keyakinan guru yang seperti ini semakin mempercepat self-fulfiling prophecy bagi
anak-anak orang miskin. Ketika anak-anak orang miskin juga yakin bahwa paling tinggi
mereka bisa sekolah hanyalah sampai SMK, semakin lengkaplah reproduksi tatanan sosial
dalam masyarakat terbentuk. Sekolah bukan lagi menawarkan harapan bagi pertumbuhan
yang lebih penuh, sebaliknya, menjadi tempat untuk melestarikan dan memertahankan
kemiskinan dan keterpurukan.

Contoh kebijakan pendidikan yang menyuburkan self-fulfilling propechy dan menutup


harapan anak-anak miskin untuk mengalami mobilitas sosial adalah gagasan Mendiknas
Bambang Sudibyo untuk menurunkan rasio pendidikan SMA dan SMK dengan lebih
menekankan peningkatan pada pendidikan SMK. Pendekatan pendidikan seperti ini asumsi
dasarnya adalah sekolah sebagai perpanjangan tangan dunia industri yang menjadi penyedia
tenaga kerja bagi pemilik modal. Kebijakan ini hanya akan melanggengkan ketimpangan dan
melestarikan status quo, karena mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi tetap akan
menduduki jabatan tinggi, sedangkan lulusan SMK tetap menjadi pekerja kelas bawah yang
tidak memiliki kemungkinan mobilitas sosial selain menjadi kaki tangan yang siap
diekslpoitasi oleh kepentingan pemilik modal.

Di jaman persaingan ekonomi bebas seperti ini, memperbanyak sekolah SMK hanya akan
memosisikan anak-anak Indonesia menjadi pekerja kasar pada jabatan paling bawah dalam
hirarki industri. Mengarahkan anak didik hanya ke SMK hanya akan menghalangi anak-anak
kita akses anak-anak terhadap pengetahuan universal. Yang dibutuhkan adalah akses masuk
ke akademi teknik yang setara dengan perguruan tinggi sehingga meningkatnya kualitas
pendidikan memberi para siswa daya tawar lebih yang memungkinkan terjadinya mobilitas
sosial. Memperbanyak SMK tanpa menyediakan keterbukaan akses untuk memasuki jenjang
pendidikan lebih tinggi tetap akan memosisikan anak-anak orang miskin pada posisi marginal.
Di balik semua ini, lembaga pendidikan sesungguhnya memosisikan guru sebagai tukang,
teknisi dan kaki tangan pemilik modal. Sekolah menjadi sebuah lembaga yang
mempertahankan hubungan sosial dan modal dalam masyarakat. Karena itu, guru menjadi
sekedar perpanjangan tangan ideologi kapitalis.

Akan selalu ada tegangan antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat (termasuk di
dalamnya kepentingan bisnis dan kekuatan media), serta kepentingan individu guru dalam
mewujudkan identitas dirinya sebagai pekerja budaya. Sebagai pekerja budaya, guru bisa
menjadi perpanjangan tangan kultur kapital yang mempertahankan status quo, namun tidak
menyentuh persoalan ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Namun guru juga memiliki potensi sebaliknya. Mereka dapat menjadi pelaku aktif
pemberdayaan siswa dan masyarakat melalui pendidikan. Dalam konteks perdebatan inilah
kiranya pengembangan visi guru sebagai pelaku perubahan mesti diletakkan.

You might also like