You are on page 1of 17

A.

Anatomi Fisilogi
Darah merupakan komponen esensial mahkluk hidup yang berada dalam ruang vaskuler,
karena peranannya sebagai media komunikasi antar sel ke berbagai bagian tubuh dengan dunia
luar karena fungsinya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbon dioksida dari
jaringan ke paru-paru untuk dikeluarkan, membawa zat nutrein dari saluran cerna ke jaringan
kemudian menghantarkan sisa metabolisme melalui organ sekresi seperti ginjal, menghantarkan
hormon dan materi-materi pembekuan darah.
1. Karakteristik darah
Karakteristik umum darah meliputi warna, viskositas, pH, Volume dan kompisisinya;
Warna, darah arteri berwarna merah muda karena banyak oksigenyang berkaitan dengan
hemoglobin dalam sel darah merah. Viskositas, viskositas darah 3/4 lebih tinggi dari pada
viskositas air yaitu sekitar 1.048 sampai 1.066. pH, pH darah bersifat alkaline dengan pH 7.35
sampai dengan 7.45 (netral 7.00). Volume, pada orang dewasa volume darah sekitar 70
sampai 75 ml/kgBB, atau sekitar 4 sampai 5 liter darah. Komposisi, darah tersusun atas dua
komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah.
2. Struktur sel darah
Sel darah merah berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter sekitar7.5 mikron, tebal
bagian tepi dan bagian tengahnya 1 mikron atau kurang. tersusun atas membran yang sangat
tipis sehingga sangat mudah terjadi diffusi oksigen, karbondioksida dan sitoplasma, tetapi
tidak mempunyai inti sel. Sel darah merah matang mengandung 200-300 juta hemoglobin
(terdiri hem merupakan gabungan protoporfirin dengan besi dan globin adalah bagian dari
protein yang tersusun oleh 2 rantai alfa dan 2 rantai beta) dan enzim-enzim seperti G6PD
(glucose 6 phosphate dehydogenase).
a. Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel darah
merah. Normalnya dalam darah pada laki-laki 15,5g/dl dan pada wanita 14,0g/dl (Susan
M Hinchliff,1996). Rata-rata konsentrasi hemoglobin pada sel darah merah 32g/dl.
b. Sel darah putih
Pada keadaan normal jumlah sel darah putih atau leukosit 5000-10000 sel/mm3.
Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu yang bergranulosit dan yang agranulosit.
c. Trombosit
Trombosit merupakan sel tak berinti, berbentuk cakram dengan diameter 2-5 um,
berasal dari pertunasan sel raksasa berinti banyak megakariosit yang terdapat dalam
sumsum tulang. Pada keadaan normal jumlah trombosit sekitar 150.000-300.000/mL
darah dan mempunyai masa hidup sekitar 1-2 minggu atau kira-kira 8 hari. Trombosit
tersusun atas substansi fospolifid yang penting dalam pembekuan dan juga menjaga
keutuhan pembuluh darah serta memperbaiki pembuluh darah kecil yang rusak.
Trombosit diproduksi di sumsum tulang kemudian sekitar 80% beredar disirkulasi darah
hanya 20% yang disimpan dalam limpa sebagai cadangan.

3. Fisiologi
a. Transport internal
1) Darah membawa berbagai macam substansi untuk fungsi metabolisme.
2) Respirasi. Gas oksigen dan karbondioksida dibawah oleh hemoglobin dalam sel darah
merah dan plasma, kemudian terjadi pertukaran gas di paru-paru.
3) Nutrisi, nutrient/zat gizi diabsorpsi dari usus, kemudian dibawa dalam plasma kehati
dan jaringan-jaringan lain yang digunakan untuk metabolisme.
4) Sekresi. Hasil metabolisme dibawa plasma kedunia luar melalui ginjal.
5) Mempertahankan air, elektrolit dan keseimbangan asam basa dan juga berperan dalam
hemoestasis.
6) Regulasi metabolisme, hormon dan enzim atau keduanya mempunyai efek dalam
mengaktivitas metabolisme sel, dibawa dalam plasma.
b. Proteksi tubuh terhadap bahaya mikroorganisme, yang merupakan fungsi dari sel darah
putih.
c. Proteksi terhadap cedera dan perdarahan
Proteksi terdahap respon peradangan local terhadapcedera jaringan. Pencegahan
perdarahanmerupakan fungsi dari trombosit karena adanya faktor pembekuan, fibrinolitik
yang ada dalam plasma.
d. Mempertahankam temperatur tubuh
Darah membawa panas dan bersirkulasi keseluruh tubuh. Hasil metabolisme juga
menghasilkan energi dalam bentuk panas.

B. Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena meningkatnya
penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam
memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit.
Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel
eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga
produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang
dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia (Price, 2005).
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga terjadi
pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia megaloblastik dan thalasemia. Hormon
eritropoetin akan merangsang terjadinya hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced eritroid
hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal.
Anemia terjadi bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup
dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang
mampu mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi anemia, keadaan ini disebut
dengan istilah anemia hemolitik kompensata (Sulistyo, 2008).

C. Etiologi
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk terjadinya
anemia hemolitik yaitu:
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu:
a. Kelainan membrane
b. Kelainan molekul hemoglobin
c. Kelainan salah satu enzim yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.
2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu disebabkan oleh
faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal ditransfusikan pada pasien ini, maka
penghancuran sel eritrosit tersebut menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien
dengan kelainan ekstra korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit
akan normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemia
hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia dengan umur eritrosit yang
pendek namun tidak digolongkan kedalam anemia hemolitik, diantaranya yaitu leukemia,
limfoma malignum, gagal ginjal kronik, penyakit liver kronik, rheumatoid arthritis,
anemia megaloblastik (Sulistyo, 2008).

D. Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis anemia hemolitik di antaranya:
1. Anemia hemolitik bawaan
a. Kelainan pada membran sekl eritrosit
b. Defisiensi enzim glikolitik eritrosit
c. Kelainan metabolisme nukleotida eritrosit
d. Defisiensi enzim yang terlibat dalam metabolism pentose phospat pathway dan
glutathione
e. Kelainan sintesis dan struktur hemoglobin
2. Anemia hemolitik yang didapat
a. Immune-hemolytic anemia
b. Anemia hemolitik mikroangipatik dan traumatic
c. Infeksius
d. Zat kimia, obat, dan racun
e. Physical agent
f. Hypophosphatemia
g. Spur-cell anemia pada penyakit hati
h. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
i. Defisiensi vitamin E pada newborn (Weiss dan Goodnough, 2005).

E. Manifestasi Klinik
Kadang kadang hemolosis terjadi secara tiba- tiba dan berat, menyebabkan krisis
hemolotik, yang menyebakan krisis hemolitik yang ditandai dengan:
1. Demam
2. Mengigil
3. Nyeri punggung dan lambung
4. Perasaan melayang
Pada penderita anemia hemolitik dapat ditemukan tanda dan gejala sebagai akibat
adanya hemolisis berupa:
1. Kerusakan pada eritrosit
a. Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
b. Mikrosferosit
2. Katabolisme hemoglobin yang meninggi
a. Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
b. Hemoglobinemia
c. Urobilinogenuria atau urobilinuri
d. Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
e. Hemosiderinuri
f. Haptoglobin menurun
3. Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
a. Darah tepi
1) Retikulositosis sebagai derajat hemolisis
2) Normoblastemia atau eritroblastemia
b. Sumsum tulang
1) Hiperplasia eritroid
Rasio mieloid: eritroid menurun atau terbalik
2) Hiperplasia sumsum tulang
Perubahan tulang-tulang (tengkorak dan panjang)
Anemia hemolitik kongenital
c. Eritropoesis ekstramedular
1) Splenomegali atau hepatomegali
d. Absorpsi Fe yang meningkat (Betz dan Sowden, 2002).

F. Patofisiologi
Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh
(hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hemolisis Ekstravaskuler
Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan hemolisis
intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem retikuloendothelial (RES)
terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme
oxygenase. Hemolisis terjadi karena kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-
antibodi), presipitasi hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas
eritrosit. Kapiler lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan
memberi kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi.
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan dikembalikan ke
protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan
dipakai kembali, sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas karbonmonoksida (CO)
dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek,
mengalami konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen dalam
urin.
Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh haptoglobin
sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada hemolisis
intravaskuler.

2. Hemolisis Intravaskuler
Pemecahan eritrosit intrvaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke
dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globulin alfa)
sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun. Kompleks hemoglobin-haptoglobin
akan dibawa oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin
dilampaui maka akan terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai
hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi methemoglobin
sehingga terjadi methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh hemopeksin (suatu
glikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebas akan
keluar melalui urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus
ginjal akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin,
jika epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urin
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik (Smeltzer,
2001).
G. Pathway
Faktor Interinsik
Faktor Eksterinsik
Kelainan Membran
Imun
Kelainan HB
Non imun
Kelainan Enzim

Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik turunan Hb Menurun Anemia sel sabit

Splenomegali Kerusakan sel darah


Penurunan suplai oksigen merah yang cepat
dalam tubuh

Distensi
Sel-sel berisi molekul Hb
Sesak, kelemahan fisik yang tidak sempurna

Intoleransi aktifitas

Cacat kaku
Ketidakmampuan mengunyah
Tirah baring lama makanan
Sel-sel macet di pembuluh
Kurang darah
pengetahuan
Penekanan salah satu
Ketidakseimbangan
daerah tubuh yang lama
nutrisi: Sirkulasi darah
Kurang dari lambat
kebutuhan tubuh
Gangguan integritas kulit

Gangguan perfusi
jaringan perifer
H. Komplikasi
Berikut adalah kompikasi yang mungkin terjadi pada penderita anemia
hemolitik
1. Tromboemboli
Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang
paling -sering adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini
mendapatkan terapi kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8 dari 30 pasien (27%) mengalami episode
tromboemboli vena. Faktor yang berperan dalam trombosis pada AIHA
adalah cytokine-induced expression of monocyte atau faktor endothelial
tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan lupus yang
terdeteksi pada pasien AIHA beresiko tinggi untuk terjadinya tromboemboli
vena dan pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk profilaksis.
Penelitian yang dilakukan Kokori dkk pada pasien AIHA dengan sistemik
lupus erythematosus ditemukan resiko trombosis meningkat lebih dari 4 kali
lipat.23
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick, disimpulkan bahwa
pasien AIHA memiliki risiko tromboemboli yang cukup tinggi.
Hendrickmeneliti pada 23 pasien dengan AIHA tipe hangat, didapatkan 6
pasien mengalami tromboemboli vena, dan 5 diantaranya cukup fatal.23

2. Kelainan limfoproliferatif
Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang menjadi
AIHA. Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi peningkatan resiko
kelainan limfoproliferatif. Sallah dkk melaporkan 18% pasien AIHA
berkembang menjadi kelainan limfoproliferatif maligna. Faktor resiko
perkembangan AIHA menjadi keganasan limfoproliferatif adalah usia, adanya
penyebab penyakit autoimun, dan serum gammophaty. Perkembangan
menjadi keganasan lymphoid membutuhkan proses yang bertahap, pada fase
awal proliferasi termasuk stimulasi antigen kronik hingga terjadinya mutasi
yang menyebabkan perubahan menjadi keganasan. Dari analisis terakhir
ditemukan peningkatan sel T lymphoma dan zona marginal lymphoma, serta
ditemukan juga peningkatan sel B lymphoma non Hodgkin 2-3 kali lipat,
khususnya tipe diffuse large cell lymphoma.

3. Prognosis
Prognosis anemia hemolitik autoimun pada anak-anak biasanya baik
kecuali yang diikuti penyakit penyerta (misalnya, imunodefisiensi kongenital,
acquired immunodeficiency syndrome [AIDS], lupus erythematosus). Secara
umum anak-anak dengan anemia hemolitik autoimuntipe hangat berisiko
tinggi untuk menderita penyakit yang lebih parah dan kronis dengan
mortalitas yang lebih tinggi. Pada pasien anemia hemolitik autoimun tipe
dingin lebih sering bersifat akut, self-limited (<3 bulan). Anemia hemolitik
autoimun tipe dingin hampir selalu berhubungan dengan infeksi (misalnya,
infeksi Mycoplasma, CMV, dan EBV). Prognosis baik pada anemia hemolitik
autoimun akibat obat yaitu dengan penghentian obat penyebab yang
mengakibatkan resolusi dari proses hemolitik yang terjadi.

I. Penatalaksanaan medis
Terapi yang diberikan pada pasien dengan anemia hemolitik adalah:
1. Suportif dan simtomatik (sesuai kausa atau penyebab dasar)
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
a. Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
b. Meningkatkan jumlah sel darah merah
c. Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka
untuk mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka
tidak ada pilihan selain transfusi.
Indikasi transfusi darah untuk :
a. Perdarahan akut da n masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak
ada respon sebelumnya dengan pemberian cairan koloid/kristaloid.
b. Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara
periodik.
c. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam
jiwa penderita.
Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan
sebagai berikut:
Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb konsentrasi
Hb ialah 15 gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC
mengandung 60-70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1 gr/dl
diperlukan 3 cc/kg bb.

Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk


menekan proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan
kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun untuk
membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak berespon terhadap
kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat menekan
sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada anemia hemolitik
kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah
krisis megaloblastik.
Pada thalasemia diberikan desferoxamine setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam
dosis 25-50 mg/kgBB/hari minimal selama 5 hari setiap selesai transfusi.
Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl,
bila terjadi renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang
ditangani sesuai protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk
tablet difosfat dan sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg
kina sulfat.

2. Operatif
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang
tidak dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang
terbentuk dapat dihancurkan sebelum waktunya. Sehingga transplantasi darah
dan sumsum tulang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis
anemia hemolitik ini, transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan
stem sel yang sehat dari pendonor (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).
Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat
meningkatnya proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:
a. Retikulositosis (polikromatopilik, stipling)
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung
ribosom, pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan pengecatan
Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar antara 0,82,5 %
pada pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus
dikoreksi dengan rasio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang
jumlah retikulosit absolut dapat dihitung dengan mengkalikan jumlah
retikulosit dengan jumlah eritrosit.
Perlu juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI ) yaitu:

b. Makrositosis
c. Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai
Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
d. Eritroblastosis
e. Leukositosis dan trombositosis
2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3. Ferrokinetik:
a. Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
b. Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
4. Biokimiawi darah:
a. Meningkatnya kreatin eritrosit
b. Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu:
urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan untuk
membuat diagnosa banding adalah:
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi
yang sering dilihat adalah bentuk:
Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik
anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia
tertentu.
Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada
abetalipoproteinemia.
Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada keracunan
alcohol.
Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan post-
splenektomi.
Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
Sickle Cell.
Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya
dengan trauma pada sel eritrosit.
2) Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya fagositik
sel yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada
permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced komplement fixing
antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat kimia tertentu.
3) Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit
cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus dibedakan dengan
rouleaux formation yang sering kita jumpai pada multiple mieloma dan hal
ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah (LED).
4) Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi
lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline hipotonik
dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis mulai terjadi
pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna terjadi pada
konsentrasi 0730-0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility (MCF) yang
meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke kiri hal ini ada
hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF yang menurun
(fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat) maka kurva akan
bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada thalassemia, sickle cell
anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain osmotik fragiliti sitosis
penting dalam menentukan adanya kelainan morfologi eritrosit (Smeltzer,
2001).
4. Penatalaksanaan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional


Keperawatan
1. Gangguan NOC NIC 1. Mengetahui kondisi
perfusi jaringan Status sirkulasi Perawatan sirkulasi perifer pasien secara umum
perifer Perfusi jaringan perifer 1. Kaji tanda-tanda vital 2. Mengetahui keadaan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 2. Kaji secara komprehensif sirkulasi perifer secara
dengan keperawatan selama 3x24 sirkulasi perifer umum
penurunan jam pasien menunjukkan 3. Evaluasi nadi perifer dan 3. Menentukan kepatenan
peningkatan perfusi jaringan edema sirkulasi darah ke perifer
sirkulasi darah
dengan kriteria hasil: 4. Elevasi anggota badan 20o 4. Memaksimalkan sirkulasi
ke daerah
1. tanda-tanda vital dalam atau lebih darah
perifer batas normal (TD 120/80 5. Ubah posisi pasien setiap 5. Meminimalkan kerusakan
mmHg, N: 60-100 x/mnt, 2 jam kulit akibat tirah baring
RR: 16-20x/mnt, S: 36- 6. Dorong latihan ROM lama
37,5o C), sebelum bedrest 6. Mencegah kekakuan otot
2. warna kulit tidak pucat, 7. Monitor laboratorium karena kelemahan
3. peningkatan kekuatan dan (hemoglobin dan 7. Mengetahui kondisi
fungsi otot, hematokrit) pasien melalui hasil
4. suhu kulit hangat, 8. Kolaborasi pemberian anti laboratorium
5. nilai laboratorium dalam platelet atau anti 8. Mencegah terjadinya
batas normal (Hb: 12-16 perdarahan. perdarahan
gr/dL (wanita), 14-18 gr/dL
(pria), Hmt: 33-38%
(anak), 40-48% (pria
dewasa), 37-43% (wanita
dewasa).

2. Ketidakseimban NOC NIC 1. Sebagai pedoman untuk


gan nutrisi Terapi gizi Manajemen Nutrisi menetapkan kebutuhan
kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi masukan nutrisi pasien sudah
kebutuhan keperawatan selama 3x24 makanan/ minuman dan tercukupi atau belum
tubuh jam terjadi keseimbangan hitung kalori harian secara 2. Memberikan kenyamanan
berhubungan pemasukan nutrisi dengan tepat dan menjaga kebersihan
kriteria hasil: 2. Berikan perawatan mulut oral hygiene
dengan
1. pemasukan nutrisi yang sebelum dan sesudah makan 3. Memenuhi kebutuhan
ketidakmampua
adekuat, 3. Berikan diet makanan tinggi nutrisi pasien
n mencerna 2. pasien mampu kalori dan tinggi protein 4. Penanda kekurangan
makanan menghabiskan diet yang 4. Observasi hasil nutrisi
dihidangkan, labioratorium: protein, 5. Mencegah pengurangan
3. tidak ada tanda-tanda albumin, globulin, Hb nafsu makan
malnutrisi, 5. Jauhkan benda-benda yang 6. Menambah selera makan
4. nilai laboratorim normal kurang enak untuk 7. Penentuan jumlah kalori
(protein total 8-8 gr%, dipandang seperti urinal, dan bahan makanan yang
albumin 3.5-5.4 gr%, kotak drainase, bebat dan memenuhi standar gizi
globulin 1.8-3.6 gr%, Hb pispot dari pandangan pasien
tidak kurang dari 10 gr %), 6. Sajikan makanan hangat
5. membran mukosa lembab dengan variasi yang menarik
dan konjungtiva tidak 7. Kaloborasi dengan ahli gizi
pucat. terkait penyajian diet sesuai
dengan kebutuhan pasien

3. Intoleransi NOC NIC 1. Memastikan aktivitas


aktivitas Perawatan diri Terapi aktivitas yang boleh dilakukan
berhubungan Toleransi aktivitas 1. Observasi adanya pasien sesuai dengan
dengan adanya Konservasi energi pembatasan pasien dalam kondisinya
peningkatan Setelah dilakukan tindakan melakukan aktivitas 2. Meminimalkan terjadinya
tekanan dinding keperawatan selama 3x24 2. Kaji adanya faktor yang kelelahan
jam pasien mengalami menyebabkan kelelahan 3. Sebagai sumber energy
perut karena
peningkatan aktivitas dengan 3. Monitor nutrisi dan sumber bagi pasien
pembesaran
kriteria hasil: energi yang adekuat 4. Menjaga agar pasien
limpa 1. berpartisipasi dalam 4. Monitor pasien akan adanya tidak mengalami
aktivitas fisik tanpa disertai kelelahan fisik dan emosi kelelahan secara
peningkatan tekanan darah, secara berlebihan berlebihan
nadi dan RR, 5. Monitor respon 5. Sebagai acuan apakah
2. mampu melakukan kardivaskuler terhadap pasien boleh melanjutkan
aktivitas sehari hari aktivitas (takikardi, aktivitasnya atau tidak
(ADLs) secara mandiri, disritmia, sesak nafas, 6. Memaksimalkan waktu
3. keseimbangan aktivitas dan diaporesis, pucat, perubahan istirahat dan tidur pasien
istirahat, hemodinamik) sesuai kebutuhan
4. tanda-tanda vital dalam 6. Monitor pola tidur dan 7. Membantu agar pasien
batas normal (TD 120/80 lamanya tidur/istirahat dapat berlatih beraktivitas
mmHg, N: 60-100 x/mnt, pasien secara bertahap
RR: 16-20x/mnt, S: 36- 7. Kolaborasikan dengan 8. Mendorong pasien agar
37,5o C). Tenaga Rehabilitasi Medik mau berpartisipasi dalam
dalam merencanakan aktivitasnya
progran terapi yang tepat 9. Mencegah terjadinya
8. Bantu pasien untuk cedera saat beraktivitas
mengidentifikasi aktivitas 10. Memberikan
yang mampu dilakukan reinforcement positif
9. Bantu untuk mendapatkan ketika pasien telah
alat bantuan aktivitas seperti mampu beraktivitas
kursi roda, krek sesuai latihan yang
10. Sediakan penguatan positif diberikan
bagi yang aktif beraktivitas
(Wilkinson, 2006)

4) Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah ke
daerah perifer
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan dinding perut karena
pembesaran limpa
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terkait proses penyakit
(NANDA, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

NANDA. 2011. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbitan IPD FKUI Pusat.

Sulistyo A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Tarwoto, dkk. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba
Medika.

You might also like