You are on page 1of 56

LAPORAN KASUS

Bronkopneumonia dan Diare Akut pada Anak

dr. Taufik Raffendi, Sp.A

Disusun Oleh :

Arrizky Firrrar D. R. T.

201610401011062

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis

dapat menyelesaikan laporan kasus stase Ilmu Kesehatan Anak dengan mengambil topik

Bronkopneumonia dan Diare Akut pada Anak.

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini,

terutama kepada dr. Taufik Raffendi, Sp.A selaku dokter pembimbing yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus

ini. Tidak lupa pula, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Nieken Susanti, Sp.A,

M.Biomed dan dr. Arsi Widyastriastuti, Sp.A atas ilmu yang beliau berikan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,

untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan

ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan

Anak.

Kediri, 07 Agustus 2017

Penyusun
BAB 1

LAPORAN KASUS

IDENTITAS Pasien
Nama : An. A
Umur : 5 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 5,9 kg
Tinggi Badan : - cm
Alamat : Perum. Anggrek Graha-18 Riau/Dandangan IV No.54, Kediri
Nama Ayah / Umur : Tn. HR / 32 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta

Nama Ibu / Umur : Ny. LA / 30 Tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga


Masuk RS : 4 Juli 2017 Jam 13.30
Tgl Periksa : 4 Juli 2017
ANAMNESIS (Heteroanamnesis)
Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam sejak 2 hari yll SMRS. . Demam perlahan terus menerus, tidak meningkat,
menurun ketika diberi obat PCT. Mimisan atau gusi berdarah (-), nyeri telinga (-), nyeri saat
buang air kecil (-),nyeri perut (-), nyeri saat menelan (-), batuk (+), pilek (-),sesak (-), saat
bernafas terdengar suara seperti dahak yang tidak bisa keluar. Tidak terdapat luka di bagian
tubuh pasien. Selain itu ibu pasien juga mengatakan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit
anak mencret. Mencret sekitar 2x sehari, kurang lebih 1 cangkir setiap mencret, konsistensi
cair dan ampas (+) sedikit, mencret berwarna kekuningan, darah (-), lendir (+) lengket,
muntah(-). Makan dan minum tidak ada masalah. Menurut Ibu pasien, anaknya
jugamengalami batuk sejak mencret muncul. Riwayat kejang (-). Penderita masih bisa BAK
dengan lancar, sehari 2 kali BAK.
Sehari-hari menurut ibu satu keluarga biasa meminum air yang berasal dari air sumur
yang telah dimasak. Seluruh alat makan dicuci menggunakan air sumur. Botol susu biasanya
hanya dicuci dengan menggunakan air mendidih.
Riwayat Penyakit Dahulu
Belum pernah mengeluh seperti ini sebelumnya
Riwayat alergi obat dan makanan (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat opname di RS Ishak dengan diagnosis BP 1 bulan yll.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang (-), alergi (-)
Riwayat Sosial
- Anak tinggal serumah bersama ibu.
- Sumber air sumur
- WC ada di dalam rumah

Riwayat Antenatal : Saat hamil ANC rutin di bidan, riw.tekanan darah tinggi saat hamil (-),
konsumsi obat-obatan selama hamil (-), konsumsi jamu (-)
Riwayat Persalinan : Penderita merupakan anak pertama, Aterm / Spontan / BBL 3600g /
Langsung menangis / asfiksia (-) / cyanosis (-) / ikterik (-) / kelainan kongenital (-
Riwayat Imunisasi:
BCG : 1 x, usia 1 bulan
Polio : 3 x, saat lahir, usia 2,4 bulan
Hepatitis B : 1x, saat lahir, usia 1 bulan
DPT : 2 x, saat usia 2 bulan, 4 bulan
Kesan : Imunisasi lengkap
Riwayat Tumbuh Kembang :
o Angkat kepala : 3 bulan
o Telungkup : 5 bulan
Kesan : Perkembangan sesuai usia.
Riwayat Gizi :
Saat ini, menggunakan susu soya karena ASI tidak bisa keluar.
Kesan : pemberian makanan sesuai dengan usia
PEMERIKSAAN FISIK
A. PEMERIKSAAN AWAL DI IGD (4 Juli 2017)
Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum : tampak lemas
- Kesadaran : Compos mentis, GCS 456
- Tanda vital :
o Tekanan Darah : TDE
o Nadi : 100x/ menit, regular, lemah
o RR : 22 x/ menit
o Suhu : 36,7 C
Kepala dan leher
Normal
Thorax
Pulmo
Retraksi dinding dada (-)
Ronkhi (+/+), wheezing (-/-) , vesikuler +/+
Abdomen
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Edem -/-
Riwayat terapi di IGD
- IVFD D5 NS 600 cc/24 jam
- Inj. Santagesik 3x60 mg
- Inj. Ceftriakson 2x150 mg
- Inj. Ranitidine 2 x 1/5 ampul
- Nebul Combiven : Pulmicort 1/3 :1/3 + PZ 2 cc
- Sanmol drop 4-6 x 0,6 ml
B. PEMERIKSAAN SAAT DI RUANGAN (5 Juli 2017)
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum : tampak lemas
- Kesadaran : Compos mentis, GCS 456
- Tanda vital :
o Tekanan Darah : TDE
o Nadi : 104x/ menit, regular, ]
o RR : 20 x/ menit
o Suhu : 37,5 C
Status Antropometri
Panjang Badan : TDE
Berat Badan : 5,9 kg
Kesan: Status gizi kurang
Kepala dan leher
Bentuk : Megacephal, Ubun-ubun cekung(-)
Mata : Cekung (-), A/I/C/D -/-/-/-
Hidung : Sekret (-), darah (-)
Telinga : Sekret (-)
Mulut : dbn
Pembesaran KGB (-)
Thorax
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris, tidak ada bekas
luka, tidak ada benjolan, retraksi ICS (-)
Palpasi : SDE
Perkusi : SDE
Auskultasi : Ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : SDE
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Supel, datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : turgor kulit < 2 detik
Perkusi : SDE
Ekstremitas
Akral hangat kering merah, CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- RBC : 4,55 (3,5-5,5) 106/ul
- Hb : 12,4 (15-24) g/dL
- Hct : 36,2 ( 35-50) %
- Plt : 324.000 (100.000-300.000)
- Wbc : 11.000 (3500-10.000)
- Neu : 72,2 (50-70 %)
- Lym : 20,5 (20-40%)
- Mon : 6,0 (2-8%)
- Eos : 0,5 ( 1-3%)
- Bas : 0,8 ( 0-1 %)
ASSESMENT AWAL:
Bronkopneumonia
Diagnosis Banding :
PLANNING :
1. Maintenance cairan
- IVFD D5 NS 500/24jam
2. Terapi lain :
- Inj. Santagesik 3x60 mg
- Inj. Ceftriakson 2x150 mg
- Inj. Ranitidine 2 x 1/5 ampul
- Nebul Combiven : Pulmicort 1/3 :1/3 + PZ 2 cc
- Sanmol drop 4-6 x 0,6 ml
Cek Urin Lengkap, Feces Lengkap sebelum AB masuk
Foto thorax
FOLLOW UP
14 April 2017, (Hari ke-1 perawatan)
TGL Subjektif Objektif Assessment Planning

05-07-17 Ibu pasien Keadaan umum: tampak lemah Bronkopneu - IVFD D5 NS


mengatakan anaknya Kesadaran: composmentis monia 500/24jam
Tanda vital :
masih batuk dan - Inj. Santagesik
o TD :-
dahak tidak bisa o Nadi : 110x/ menit, 3x60 mg
regular, kuat
keluar, ada BAB cair - Inj. Ceftriakson
o RR : 52 x/ menit
2x, ampas (+), lendir o Suhu : 37,5 C 2x150 mg
(+), darah (-), demam - Inj. Ranitidine 2 x
- RBC : 4,55 (3,5-5,5) 106/ul
(+) 1/5 ampul
- Hb : 12,4 (15-24) g/dL
- Nebul Combiven :
- Hct : 36,2 ( 35-50) %
Pulmicort 1/3 :1/3 +
- Plt : 324.000 (100.000-
PZ 2 cc
300.000)
- Sanmol drop 4-6 x
- Wbc : 11.000 (3500-10.000)
0,6 ml
- Neu : 72,2 (50-70 %)
- Lym : 20,5 (20-40%)
- Mon : 6,0 (2-8%)
- Eos : 0,5 ( 1-3%)
- Bas : 0,8 ( 0-1 %)
Thorax foto: Patchyinfiltrat pada
suprahiler sinistra, broncho-
vaskular pattern prominent
Kesimpulan: bronchopneumonia
06-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Bronkopneu IVFD D5 NS
mengatakan batuk dan Kesadaran : composmentis monia + 650/24jam
Tanda vital :
demam sudah Diare cair - Inj. Santagesik
o TD : - mmHg
berkurang, ada BAB o Nadi : 120x/ menit, akut tanpa 3x60 mg
regular, kuat
cair 5x, ampas (+), dehidrasi - Inj. Ceftriakson
o RR : 30 x/ menit
lendir (+), darah (-), o Suhu : 37 C 2x150 mg
- Inj. Ranitidine 2 x
FL: kuning, lembek
Lender (+) 1/5 ampul
Eritrosit (-)
Amuba (-) - Nebul Combiven :
Leukosit (-)
Pulmicort 1/3 :1/3 +
Cacing (-)
PZ 2 cc
- Sanmol drop 4-6 x
0,6 ml
- Zinc 1x1/2 cth
- Lacto B 1x1

07-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair - Cefixim 2 x 30 m


mengatakan batuk dan Kesadaran : composmentis akut tanpa - Zinc 1x1/2 cth
Tanda vital :
demam sudah tidak dehidrasi e.c - Lacto B 1x1
o TD : - mmHg
ada, BAB cair 4x, o Nadi : 100x/ menit, susp. - Edukasi ibu untuk
regular, kuat
ampas (+), lendir (+), Shigellosis, banyak minum
o RR : 22 x/ menit
darah (+), o Suhu : 36,0 C Amoebiasis
o Mata cowong (-)

FL ulang

08-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair - Cefixim 2 x 30 mg


mengatakan masih Kesadaran : composmentis akut tanpa - Zinc 1x1/2 cth
Tanda vital :
ada BAB cair 4x, dehidrasi e.c - Lacto B 1x1
o TD : - mmHg
ampas (+), lendir (+), o Nadi : 108x/ menit, susp. - Edukasi ibu untuk
regular, kuat
darah (+), mual (-), Shigellosis, banyak minum
o RR : 20 x/ menit
muntah (-), o Suhu : 37 C Amoebiasis Coba pasang infus
o Mata cowong (-)

FL : kuning, lembek
Lender (+)
Eritrosit (-)
Amuba (-)
Leukosit 20-25 /lpb
Cacing (-)
09-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair - KN4B 700cc/24
mengatakan masih Kesadaran : composmentis akut tanpa jam
Tanda vital :
ada BAB cair 3x, dehidrasi e.c - Drip metronidazole
o TD : - mmHg
ampas (+), lendir (+), o Nadi : 108x/ menit, susp. 3x60 mg
regular, kuat
darah (+), mual (-), Shigellosis, - Cefixim 2 x 30 mg
o RR : 20 x/ menit
muntah (-), o Suhu : 37 C Amoebiasis - Zinc 1x1/2 cth
o Mata cowong (-)
- Sequest 3x1/4 scht
- Lacto B 1x1
- Ataroc 2x1
10-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair - KN4B 700cc/24
mengatakan masih Kesadaran : composmentis akut tanpa jam
Tanda vital :
ada BAB cair 3x, dehidrasi e.c - Drip metronidazole
o TD : - mmHg
ampas (+), lendir (+), o Nadi : 108x/ menit, susp. 3x60 mg (Metro
regular, kuat
darah (-), mual (-), Shigellosis, syrup 3 x cth)
o RR : 20 x/ menit
muntah (-), o Suhu : 37 C Amoebiasis - Zinc 1x1/2 cth
o Mata cowong (-)
- Sequest 3x1/4 scht
- Lacto B 1x1
- Ataroc 2x1

11-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair -Metronidazole syrup
mengatakan masih Kesadaran : composmentis akut tanpa 3 x cth
Tanda vital :
ada BAB lembek 1x dehidrasi e.c - Zinc 1x1/2 cth
o TD : - mmHg
ampas (+), lendir (+), o Nadi : 108x/ menit, susp. - Sequest 3x1/4 scht
regular, kuat
darah (-), mual (-), Shigellosis, - Lacto B 1x1
o RR : 20 x/ menit
muntah (-), o Suhu : 37 C Amoebiasis - Ataroc 2x1
o Mata cowong (-)

12-07-17 Ibu pasien Keadaan umum : baik Diare cair -Metronidazole syrup
mengatakan masih Kesadaran : composmentis akut tanpa 3 x cth
Tanda vital :
ada BAB lembek 1x dehidrasi e.c - Zinc 1x1/2 cth
o TD : - mmHg
ampas (+), lendir (+), o Nadi : 108x/ menit, susp. - Sequest 3x1/4 scht
regular, kuat
darah (-), mual (-), Shigellosis, - Lacto B 1x1
o RR : 20 x/ menit
muntah (-), o Suhu : 37 C Amoebiasis - Ataroc 2x1\
o Mata cowong (-)
KRS
BAB 2
PEMBAHASAN

2. 1 Kriteria Diagnosis

a. Anamnesis
Diare
Lama diare berlangsung, frekuensi diare dalam sehari, warna dan konsistensi
tinja, lendir dan atau darah dalam tinja
Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil
terakhir, demam, sesak, kejang, kembung
Jumlah cairan yang masuk selama diare
Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi makanan
yang tidak biasa
Penderita diare disekitarnya dan sumber air minum
Bronkopneumonia
Gangguan respiratorik batuk, sesak nafas, demam, merintih, kebiruan
Suara tambahan yang terdengar, merintih
b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus,
turgor kulit abdomen menurun, sianosis, sesak, nafas cuping hidung, suara nafas
tambahan, sianosis
Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir, mulu,
dan lidah
Berat badan
Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan
dalam (asidosos metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau
hipernatremia)
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini:
Letargis atau tidak sadar DEHIDRASI BERAT
Mata cekung
Tidak bisa minum atau malas minum
Cubitan kulit perut kembalinya
sangat lambat
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini: DEHIDRASI
Gelisah, rewel/mudah masalah RINGAN/SEDANG
Mata cekung
Cubitan kulit perut kembalinya
lambat
Tidak cukup tanda-tanda untuk
diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat atau TANPA DEHIDRASI
ringan/sedang

Pada kasus, didapatkan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari
anamnesis di dapatkan data paseien datang dengan keluhan mencret lebih dari 3 kali dalam
24 jam, konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu, dengan adanya lendir dan
darah.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan data pada, pasien tampak lemas, Dari pemeriksaan
penunjang darah lengkap didapatkan leukositosis yang menandakan adanya infeksi baik dari
virus maupun bakteri. Pada pemeriksaan feces lengkap pun terdapat leukosit dan yang
menandakan adanya infeksi. Dari data tersebut memenuhi kriteria disentri akut tanpa
dehidrasi.
Selain itu, pada pasien terdapat batuk, sesak, serta pada pemeriksaan fisik ditemukan
ronchi pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan adanya peachyinfiltrat
di pulmo sinistra dengan adanya peningkatan corakan bronkovaskular. Dari data tersebut
pasien juga menderita bronkopneumonia.
Patogenesis terjadinya disentri yaitu bakteri patogen masuk melalui makanan dan
minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan villi usus halus.
Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang, villi
mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul
diare.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan
pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh
virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel
mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat
masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri
ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.

2.2 Penatalaksanaan

Indikasi pemberian cairan intravena

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah

Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Terapi UGD Terapi Ruangan

1. Maintenance Cairan - KN4B 700cc/24 jam


IVFD D5 NS 600 cc/24 jam - Drip metronidazole 3x60 mg
2. Obat lain - Zinc 1x1/2 cth
- Inj. Santagesik 3x60 mg - Sequest 3x1/4 scht
- Inj. Ceftriakson 2x150 mg - Lacto B 1x1
- Inj. Ranitidine 2 x 1/5 ampul - Ataroc 2x1
- Nebul Combiven : Pulmicort 1/3 :1/3
+ PZ 2 cc
- Sanmol drop 4-6 x 0,6 ml

Teori :

1. New oralit dalam 3 jam pertama : 75 mL/kgBB = 450mL

2. Infus Kaen4B 800cc/hari 33 tpm mikro


3. Zinc 1x20 mg selama 10 hari

Pemilihan terapi jika disesuaikan dengan LINTAS DIARE dapat dikatakan belum
sesuai namun pada kasus di ruang anak tidak diberikan oralit karena diharapkan dengan
pemberian cairan intravena sudah mengatasi kebutuhan carian pada anak. Pemberian
antipiretik di ruang anak pada kasus ini diberikan dalam bentukdrip yang dapat diberikan
apabila kondisi suhu tubuh anak meningkat
Pada diare berdarah atau disentri dapat diberikan sefiksim (8 mg/kgBB/hari PO)
selama lima hari pada shigellosis dan metronidazol 50 mg/kgBB/hari pada amoebiasis.

2.3 Keluar Rumah Sakit

Kriteria pulang :

Perbaikan klinis yang jelas

Tidak terdapat tanda dehidrasi

Frekuensi BAB tidak lebih dari 3 kali

4.4 Prognosis
Dengan penggantian cairan adekuat, perawatan mendukung dan terapi antimikroba
yang tepat prognosis akan baik dengan mortalitas dan morbiditas yang minimal.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gatroenteritis
3.1 Definisi
Gastroenteritis adalah inflamasi membrane mukosa lambung dan usus halus yang
ditandai dengan muntah dan diare yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit yang
menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit (Cecily & Belz, 2002).
Diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi
cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu (IDAI, 2009).
Diare kronis adalah episode diare lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non infeksi dan
perlu pemerikaan lebih lanjut (American Gastroenterology Association).
Diare presisten adalah diare akut dengan atau tanpa disertai darah dan berlanjut
sampai 14 hari atau lebih (Walter & Smith, 2016).
Di Indonesia menyepakati tentang definisi diare kronik dan persisten, yaitu :
Diare Kronis merupakan kategori luas dari kondisi diare, termasuk penyakit diare
dengan etiologi non infeksi, yang berlangsung lebih dari 2 minggu.
Diare Persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 2 minggu dengan
penyebab infeksi.
3.2 Epidemiologi
Gastroenteritis akut merupakan salah satu penyakit yang sangat sering ditemui.
Penyakit ini lebih sering mengenai anak-anak. Anak-anak di negara berkembang lebih
beresiko baik dari segi morbiditas maupun mortalitasnya.Penyakit ini mengenai 3-5 miliar
anak setiap tahun dan menyebabkan sekitar 1,5-2,5 juta kematian per tahun atau merupakan
12 % dari seluruh penyebab kematian pada anak-anak pada usia di bawah 5 tahun (Chow et
al., 2010).
Pada orang dewasa, diperkirakan 179 juta kasus gastroenteritis akut terjadi setiap
tahun, dengan angka rawat inap 500.000 dan lebih dari 5000 mengalami kematian (Al-Thani
et al., 2013). Di Indonesia pada tahun 2010 diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi
tertentu masih menduduki peringkat pertama penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
Indonesia yaitu sebanyak 96.278 kasus dengan angka kematian (Case Fatality Rate/CFR)
sebesar 1,92% (kemenkes RI, 2012).
3.3 Etiologi
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral (infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab
utama diare)
Infeksi bakteri : vibrio, E. coli, salmondla, shigella, campylo bacter,yersinia,
aeromonas, dan sebagainya
Infeksi virus : enterovirus, adenovirus, rotavirus, astrovirus, daii lain-lain
Infeksi parasit : cacing (ascaris), protozoa (entamoeba histolytica,giardia
lamblia, tricomonas hominis dan jamur (candida albicans)
b. Infeksi parenteral (infeksi diluar alat pencernaan) seperti: OMA (Otitis Media
Akut), tonsilitis, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya
(sering terjadi pada bayi dan umur dibawah 2 tahun)
2. Faktor Malabsorpsi
a. Malabsorbsi karbohidrat
Disakarida ; intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa
Monosakarida: intoleransi glukosa, fruktosadan galaktosa
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan
Makanan besi, beracun, alergi terhadap makanan
4. Lain-lain
a. Imunodefisiensi
b. Gangguan psikologis (cemas dan takut)
c. Faktor-faktor langsung:
KKP (Kurang Kalori Protein)
Kesehatan pribadi dan lingkungan
Sosioekonomi
3.4 Patofisiologi

Menurut patofisiologinya diare dibedakan dalam beberapa kategori yaitu diare osmotik,

sekretorik dan diare karena gangguan motilitas usus.


- Diare osmotik terjadi karena terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi oleh

usus akan difermentasi oleh bakteri usus sehingga tekanan osmotik di lumen usus

meningkat yang akan menarik cairan.


- Diare sekretorik terjadi karena toxin dari bakteri akan menstimulasi cAMP dan

cGMP yang akan menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit.


- Diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan pada

kontrol otonomik, misal pada diabetik neuropati, postvagotomi, post reseksi usus

serta hipertiroid.

Mekanisme primer yang menyebabkan diare akut adalah:

1. Rusaknya vili-vili di sekitar daerah brush boarder usus halus, yang menyebabkan

malabsorbsi yang menyebabkan diare karena gangguan osmotik.

2. Kuman yang melepaskan toxin yang berikatan dengan enterosit reseptor yg spesifik yang

menyebabkan terlepasnya ion klorida kedalam membran intestinal sehingga

menyebabkan gangguan absorbsi sehingga menyebabkan diare.

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang masuk melalui

makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan villi

usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum matang,

villi mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan

meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul

diare.

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan

pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh

virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel

mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat

masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri

ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.

3.5 Manifestasi kinis

Manifestasi klinis penyakit gastroenteritis bervariasi. Berdasarkan salah satu hasil

penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual(93%), muntah(81%) atau diare(89%),

dan nyeri abdomen(76%) adalah gejala yang paling sering dilaporkan oleh kebanyakan

pasien. Tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti membran mukosa yang kering,

penurunan turgor kulit, atau perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil

pemeriksaan. Gejala pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinorea,

dilaporkan sekitar 10% (Bresee et al., 2012).

Beberapa gejala klinis yang sering ditemui adalah :

1. Diare

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah

cair(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau

200 ml dalam 24 jam (Simadibrata K et al., 2009).

Pada kasus gastroenteritis diare secara umum terjadi karena adanya peningkatan

sekresi air dan elektrolit.

2. Mual dan Muntah

Muntah diartikan sebagai adanya pengeluaran paksa dari isi lambung melalui mulut.

Pusat muntah mengontrol dan mengintegrasikan terjadinya muntah. Lokasinya terletak pada

formasio retikularis lateral medulla oblongata yang berdekatan dengan pusat-pusat lain yang

meregulasi pernafasan, vasomotor, dan fungsi otonom lain. Pusat-pusat ini juga memiliki
peranan dalam terjadinya muntah. Stimuli emetic dapat ditransmisikan langsung ke pusat

muntah ataupun melalui chemoreceptor trigger zone (chow et al., 2010).

Muntah dikoordinasi oleh batang otak dan dipengaruhi oleh respon dari usus, faring,

dan dinding torakoabdominal. Mekanisme yang mendasari mual itu sendiri belum

sepenuhnya diketahui, tetapi diduga terdapat peranan korteks serebri karena mual itu sendiri

membutuhkan keadaan persepsi sadar (Hasler, 2012).

Mekanisme pasti muntah yang disebabkan oleh gastroenteritis belum sepenuhnya

diketahui. Tetapi diperkirakan terjadi karena adanya peningkatan stimulus perifer dari saluran

cerna melalui nervus vagus atau melalui serotonin yang menstimulasi reseptor 5HT3 pada

usus. Pada gastroenteritis akut iritasi usus dapat merusak mukosa saluran cerna dan

mengakibatkan pelepasan serotonin dari sel-sel chromaffin yang selanjutnya akan

ditransmisikan langsung ke pusat muntah atau melalui chemoreseptor trigger zone. Pusat

muntah selanjutnya akan mengirimkan impuls ke otot-otot abdomen, diafragma dan nervus

viseral lambung dan esofagus untuk mencetuskan muntah (chow et al, 2010).

3. Nyeri perut

Banyak penderita yang mengeluhkan sakit perut. Rasa sakit perut banyak jenisnya. Hal

yang perlu ditanyakan adalah apakah nyeri perut yang timbul ada hubungannnya dengan

makanan, apakah timbulnya terus menerus, adakah penjalaran ke tempat lain, bagaimana sifat

nyerinya dan lain-lain. Lokasi dan kualitas nyeri perut dari berbagai organ akan berbeda,

misalnya pada lambung dan duodenum akan timbul nyeri yang berhubungan dengan

makanan dan berpusat pada garis tengah epigastrium atau pada usus halus akan timbul nyeri

di sekitar umbilikus yang mungkin sapat menjalar ke punggung bagian tengah bila

rangsangannya sampai berat. Bila pada usus besar maka nyeri yang timbul disebabkan

kelainan pada kolon jarang bertempat di perut bawah. Kelainan pada rektum biasanya akan

terasa nyeri sampai daerah sakral (Sujono Hadi, 2002).


4. Demam

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang

berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu ( set point ) di hipotalamus (Dinarello

dan Porat, 2012).

Temperatur tubuh dikontrol oleh hipotalamus. Neuron-neuron baik di preoptik anterior

hipotalamus dan posterior hipotalamus menerima dua jenis sinyal, satu dari saraf perifer yang

mengirim informasi dari reseptor hangat/dingin di kulit dan yang lain dari temperatur darah.

Kedua sinyal ini diintegrasikan oleh thermoregulatory center di hipotalamus yang

mempertahankan temperatur normal. Pada lingkungan dengan subuh netral, metabolic rate

manusia menghasilkan panas yang lebih banyak dari kebutuhan kita untuk mempertahankan

suhu inti yaitu dalam batas 36,5-37,5C (Dinarello dan Porat, 2012).

Pusat pengaturan suhu terletak di bagian anterior hipotalamus. Ketika vascular bed

yang mengelilingi hipotalamus terekspos pirogen eksogen tertentu (bakteri) atau pirogen

endogen (IL-1, IL-6, TNF), zat metabolik asam arakidonat dilepaskan dari sel-sel endotel

jaringan pembuluh darah ini. Zat metabolik ini, seperti prostaglandin E2, melewati blood

brain barrier dan menyebar ke daerah termoregulator hipotalamus, mencetuskan serangkaian

peristiwa yang meningkatkan set point hipotalamus. Dengan adanya set point yang lebih

tinggi, hipotalamus mengirim sinyal simpatis ke pembuluh darah perifer, menyebabkan

vasokonstriksi dan menurunkan pembuangan panas dari kulit ( Prewitt, 2005).


3.6 Komplikasi Diare
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi :
1. Kehilangan cairan (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena output air lebih banyak dari pada input air. Klasifikasi tingkat
dehidrasi anak dengan diare yaitu :

Penilaian Dehidrasi Menurut MTBS


Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini: DEHIDRASI BERAT
Letargis atau tidak sadar
Mata cekung
Tidak bisa minum atau malas minum
Cubitan kulit perut kembalinya
sangat lambat
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini: DEHIDRASI
Gelisah, rewel/mudah masalah RINGAN/SEDANG
Mata cekung
Cubitan kulit perut kembalinya
lambat
Tidak cukup tanda-tanda untuk
diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat atau TANPA DEHIDRASI
ringan/sedang
Kriteria Dehidrasi menurut WHO 2000

2. Gangguan keseimbangan asam-basa (metabolik asidosis)


Metabolik asidosis terjadi karena :
a. Kehilangan Na-bikarbonat bersama feses
b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak yang tidak sempurna sehingga
benda keton tertimbun dalam tubuh.
c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan.
d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan
oleh ginjal.
e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraselular ke dalam cairan intraselular.
Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernapasan, pernapasan
bersifat cepat, teratur dan dalam yang disebut pernapasan kuszmaull. Pernapasan ini
merupakan homeostasis respiratorik yaitu usaha dari tubuh untuk mempertahankan pH darah.
3. Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi baik/cukup, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering
terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita KEP. Hal ini terjadi karena :
a. Penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati terganggu
b. Adanya gangguan absorbsi glukosa.
Gejala hipoglikemia dapat muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg%
pada bayi dan 50 mg% pada anak-anak. Gejala hipoglikemia tersebut berupa: lemas, apatis,
peka rangsang, tremor, pucat, berkeringat, syok, kejang sampai koma.
4. Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya
penurunan berat badan dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena :
a. Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare dan/atau muntahnya
akan bertambah berat.
b. Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengenceran.
c. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik
karena adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan/tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa rejatan (shock) hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi
hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kemudian dapat mengakibatkan perdarahan di otak
yang menimbulkan turunnya kesadaran (soporokomatusa) dan bila tidak segera ditangani
penderita dapat meninggal.
3.7. Kriteria Diagnosis
c. Anamnesis
Lama diare berlangsung, frekuensi diare dalam sehari, warna dan konsistensi
tinja, lendir dan atau darah dalam tinja
Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air kecil
terakhir, demam, sesak, kejang, kembung
Jumlah cairan yang masuk selama diare
Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare, mengonsumsi makanan
yang tidak biasa
Penderita diare disekitarnya dan sumber air minum
d. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital
Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus,
turgor kulit abdomen menurun
Tanda tambahan: ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir, mulu,
dan lidah
Berat badan
Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas cepat dan
dalam (asidosos metabolik), kembung (hipokalemia), kejang (hipo atau
hipernatremia)

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria berikut:


Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5% berat badan)
Tidak ditemukan tanda utama dan tandda tambahan
Keadaan umum baik, sadar
Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa
mulut dan bibir basah
Turgor abdomen baik, bising usus normal
Akral hangat
Dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih tanda tambahan
Keadaan umum gelisah atau cengeng
Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering
Turgor kurang, akral hangat
Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau lebih tanda
tambahan
Keadaan umum lemah, letargi, atau koma
Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa
mulut dan bibir sangat kering
Turgor sangat kurang dan akral dingin
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada saat diare akut :
Darah: darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan
kepekaan terhadap antibiotika.
Feses :
PH asam diare osmotic
Leukosit > 5 / LPB disentri
Hal yang dinilai pada pemeriksaan feses:
- Makroskopis : konsistensi, warna, lendir, darah, bau
- Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasit, bakteri

Bentuk klinis diare berdasarkan penyebabnya :

3.8. Pengobatan Diare


Prinsip penatalaksanaan penderita diare adalah:
a. Mencegah terjadinya dehidrasi
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah dehidrasi. Mencegah terjadinya
dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan minum lebih banyak
dengan rumah tangga yang dianjurkan, seperti air tajun, kuah sayur, air sup, air teh. Bila
tidak memberikan cairan rumah tangga yang dianjurkan, berikan air matang. Jangan
diberikan cairan yang osmolaritasnya tinggi, yaitu yang terlalu manis sepeti soft drink.
b. Mengobati dehidrasi
Bila terjadi dehidrasi terutama pada anak balita, penderit harus segera dibawa ke petugas
kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat,
yaitu dengan oralit. Bila terjadi dehidrasi berat, penderita harus segera diberikan cairan
intravena dengan Ringer Laktat sebelum dilanjutkan terapi oral.
c. Pemberian ASI / makanan
Pemberian ASI / makanan selama serangan diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama bertujuan agar anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan.
d. Pemberian Zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Lebih dari 90
macam enzim dalam tubuh memerlukan zinc sebagai kofaktornya, termasuk enzim
superoksida dismutase (Linder,1999). Enzim ini berfungsi untuk metabolisme radikal
bebas superoksida sehingga kadar radikal bebas ini dalam tubuh berkurang. Pada proses
inflamasi, kadar radikal bebas superoksida meningkat, sehingga dapat merusak berbagai
jenis jaringan termasuk jaringan epitel dalam usus (Cousins et al, 2006).
Zinc yang ada dalam tubuh akan hilang dalam jumlah besar pada saat seorang anak
menderita diare. Dengan demikian sangat diperlukan pengganti zinc yang hilang dalam
proses kesembuhan seorang anak dan untuk menjaga kesehatannya di bulan-bulan
mendatang.
Mulai tahun 2004, WHO-UNICEF merekomendasikan suplemen Zinc untuk terapi diare
karena suplementasi zinc telah terbukti menurunkan jumlah hari lamanya seorang anak
menderita sakit, menurunkan tingkat keparahan penyakit tersebut, serta menurunkan
kemungkinan anak kembali mengalami diare 2-3 bulan berikutnya.
Banyak uji klinik yang melaporkan bahwa suplemen Zinc sangat bermanfaat untuk
membantu penyembuhan diare. Zinc sebaiknya diberikan sampai 10-14 hari, walaupun
diarenya sudah sembuh. 11 Sayangnya suplemen Zinc ini belum banyak beredar di apotek
di Indonesia. Di beberapa RS besar di Indonesia telah menggunakan suplemen Zinc
dalam bentuk suspensi untuk penatalaksanaan diare akut.
Adapun cara pemberian Tablet Zinc yaitu :
Untuk bayi usia di bawah 6 bulan berikan setengah tablet zinc (10mg) sekali sehari
selama sepuluh hari berturut-turut.
Untuk anak usia 6 bulan ke atas berikan satu tablet zinc (20 mg) sekali sehari selama
sepuluh hari berturut-turut.
Larutkan tablet tersebut dengan sedikit (beberapa tetes)air matang atau ASI dalam
sendok teh.
Jangan mencampur tablet zinc dengan oralit
Tablet harus diberikan selama sepuluh hari penuh (walaupun diare telah berhenti
sebelum 10 hari)
Apabila anak muntah sekitar setelah jam setelah pemberian tablet zinc, berikan lagi
tablet zinc dengan cara memberikan potongan lebih kecil dan berikan beberapa kali
hingga satu dosis penuh.
e. Pemberian Probiotik
Probiotik adalah suatu suplemen makanan, yang mengandung bakteri atau jamur yang
tumbuh sebagai flora normal dalam saluran pencernaan manusia, yang bila diberikan
sesuai indikasi dan dalam jumlah adekuat diharapkan dapat memberikan keuntungan
bagi kesehatan dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen
saluran cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik
melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati penomena tersebut bakteri
probiotik dapat dipakai dengan cara untuk pencegahan dan pengobatan diare baik yang
disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, speudomembran colitis
maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional
(antibiotik asociated diarrhea ) dan travellerss diarrhea.
Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut
pada anak. Hasil meta analisa Van Niel dkk menyatakan lactobacillus aman dan efektif
dalam pengobatan diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3
lamanya diare, dan menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1-
2 kali. Kemungkinan mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah :
Perubahan lingkungan mikro lumen usus, produksi bahan anti mikroba terhadap
beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah adhesi patogen pada anterosit,
modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa usus dan imunno
modulasi.
Terdapat berbagai macam jenis probiotik yang hingga saat ini sering digunakan sebagai
suplemen. Golongan yang paling banyak digunakan adalah Lactic Acid Bacteria (LAB).
Golongan LAB dapat mengubah gula dan karbohidrat menjadi asam laktat, yang
berfungsi menurunkan kadar pH saluran gastrointestinal, sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri patogen. Contoh strain golongan LAB adalah Lactobacillus dan
Bifidobacterium.
Sejak dipublikasikan pertama kali oleh seorang peneliti Rusia, Eli Metchnikoff, pada
awal abad 20, penelitian tentang probiotik hingga saat ini banyak dilakukan untuk
menguji kemanfaatannya pada populasi anak. Produk komersial yang mengandung
probiotik sebagai suplemen banyak tersedia di pasaran. Kemanfaatan probiotik terutama
banyak dilihat dari aspek pencegahan dan terapi penyakit, terutama penyakit alergi dan
infeksi.
Penggunaan probiotik untuk diare pada anak merupakan fokus studi yang paling banyak
dilakukan dalam penilaian kemanfaatan probiotik. Secara teoritis, probiotik dapat
mengurangi keparahan diare melalui efek kompetisi dengan patogen, imunomodulator,
meningkatkan sekresi IgA mukosa usus, dan mengurangi kejadian intoleransi laktosa.
Pemberian probiotik terlihat bermanfaat dalam tatalaksana diare akut. Meta-analisis yang
dilakukan oleh Szajewska et al menunjukkan bahwa pemberian suplemen Lactobacillus
mengurangi durasi diare akut sehari lebih cepat dibandingkan plasebo (95% CI) dengan
level of evidence 1a. Efektivitasnya terutama lebih baik pada mereka dengan etiologi
rotavirus, yang merupakan penyebab terbanyak diare akut pada anak.
f. Pemberian Antibiotik
Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika oleh karena
pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian
kecil penderita diare misalnya kholera shigella, karena penyebab terbesar dari diare pada
anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi
terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi,
atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis gajala yang berat serta berulang
atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang jelas atau segala sepsis.
Anti motilitis seperti difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan paralisis obstruksi
sehingga terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.
Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain:
Kolera : Tetrasiklin 12,5mg/kgBB/ dibagi 3 dosis (3 hari) atau Erytromycin 12,5
mg/kgBB 4x sehari selama 3 hari
Shigella : Ciprofloxacin 15 mg/kgBB 2x sehari selama 3 hari atau Ceftriaxone 50-100
mg/kgBB 1x sehari IM selama 2-5 hari.
Amebiasis : Metronidasol 10mg/kg/ 3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus
berat), Untuk kasus berat : Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg (maks
90mg)(im) s/d 5 hari tergantung reaksi (untuk semua umur)
Giardiasis : Metronidazole 5mg/kgBB 3x sehari selama 5 hari.
g. Mengobati masalah lain
Obat-obatan anti diare dan anti muntah tidak boleh diberikan pada anak dengan diare.
Anti diare tidak dianjurkan karena belum adanya bukti mengenai diare yang berdaya guna,
sehingga penggunaan anti diare hanya menimbulkan beban biaya.
h. Pemberian nasehat
Pemberian nasehat kepada orang tua anak (pengasuh) untuk segera membawa anaknya
kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita sebagai
berikut:
Buang air besar cair lebih sering
Muntah berulang-ulang
Rasa haus yang nyata
Makan atau minum sedikit
Demam
Tinja berdarah

3.9. Tatalaksana Nutrisi Pada Diare


Ibu perlu dibimbing tentang cara pemberian makanan yang baik pada anak, mengajari
pentingnya meneruskan pemberian makanan penuh selama diare dan membantu usaha
mereka untuk mengikuti anjuran ini. Empat kunci utama tatalaksana gizi diare yang benar:
Menilai status gizi
Memberi makanan yang tepat pada saat episode diare
Memberi makanan yang tepat pada waktu penyembuhan dengan tindak lanjutnya.
Komunikasi yang efektif tentang anjuran diet kepada ibu.
Pemberian ASI selama diare tidak boleh di kurangi atau di hentikan tetapi
diperbolehkan sesering atau selama anak menginginkannya. ASI harus di berikan untuk
menambah larutan oralit. Susu sapi atau formula yang biasa di terima bila timbul dehidrasi
maka pemberian susu harus di hentikan selama rehidrasi untuk 4-6 jam dan kemudian
dilanjutkan lagi. Makanan lunak bila anak berumur 4 bulan atau lebih sudah bisa menerima
makanan lunak, makanan ini harus di teruskan. Bayi umur 6 bulan atau lebih
harus mulai di berikan makanan lunak bila belum pernah di beri. Bila timbul
dehidrasi makanan ini harus di hentikan 4 6 jan untuk rehidrasi untuk kemudian di
lanjutkan lagi. Paling tidak separuh makanan diet harus berasal dari makanan porsi kecil
tetapi sering (6 kali atau lebih) dan mereka harus di bujuk untuk makan.
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa probiotik memberikan kebaikan dalam
penanganan diare akut pada bayi. Probiotik dengan pemberian dua kali sehari selama 5 hari
dipercaya terbukti memberikan kebaikan dalam mengurangi frekuensi, serta durasi penyakit
diare. Probiotik dipercaya dapat mengurangi lama waktu kesakitan, dengan meningkatkan
respon imun, memperbaiki mukosa usus, sebagai substansi penting dalam antimikroba dan
menyeimbangan jumlah mikroba diusus. Angka penguranga dari frekuensi defekasi secara
drastis dalam <3 hari terdapat pada kelompok yang memeperoleh probiotik dengan
kelompok kontrol. Konsistensi faeces yang lebih padat dan durasi yang lebih pendek pada
kelompok probiotik. Rata-rata lama durasi diare juga mengalami hasil yang signifikan pada
kelompok probiotik.

3.10. Pencegahan Diare


Penatalaksanaan kasus yang benar, yang terdiri dari upaya rehidrasi oral dan
pemberian makanan dapat mengurangi efek buruk diare yang meliputi dehidrasi, kekurangan
gizi dan resiko kematian. Cara-cara lain juga dibutuhkan, untuk mengurangi insidensi diare,
yaitu intervensi yang selain mengurangi penyebaran mikroorganisme penyebab diare juga
meningkatkan resistensi anak terhadap infeksi kuman ini.
Sejumlah intervensi telah diusulkan untuk mencegah diare pada anak, kebanyakan
meliputi cara yang berhubungan dengan cara pemberian makanan kepada bayi, kebersihan
perseorangan, kebersihan makanan, penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang aman dan
imunisasi. Ada 7 cara diidentifikasi sebagai sasaran untuk promosi, yaitu:
1. Pemberian ASI
2. Perbaikan makanan pendamping ASI
3. Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum
4. Cuci tangan
5. Penggunaan jamban
6. Pembuangan tinja bayi yang aman
7. Imunisasi campak.
Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enterik,
termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, penggunaan jas panjang
bila ada kemungkinan pencemaran dan sarung tangan bila menyentuh bahan yang terinfeksi.
Penderita dan keluarganya harus dididik mengenai cara penularan enteropatogen dan cara-
cara mengurangi penularan.

B. Bronkopneumonia
3.11 Definisi
Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Unair, Pneumonia didefinisikan sebagai
penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri,
virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang terinspirasi dengan akibat
timbulnya ketidakseimbangan antara ventilasi dengan perfusi (ventilation perfussion
missmatch). Pnemonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian
mengalami komplikasi dengan infeksi bakteri. Secara klinis susah membedakan pnemonia
bakterial dan viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pnemonia bakterial
awitannya cepat,batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis dan terdapat perubahan
yang nyata pada pemeriksaan radiologis

3.12 Epidemiologi
Berdasarkan Riskedas pnemonia merupakan penyakit penyebab kematian kedua

tertinggi setelah diare pada balita. Hal ini menunjukan bahwa pnemonia merupakan penyakit

yang menjadi masalah kesehatan utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka

kematian di Indonesia.5

(Riskesdas,2007)
Gambar 4.2 Proporsi penyebab kematian pada anak 1-4 tahun.5

Menurut data Riskesdas 2007, prevalens pneumonia pada bayi di Indonesia adalah
0,76% dengan rentang antar provinsi sebesar 0-13,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi
Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%), sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%

3.13 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan

sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan lain-lain). Pola kuman

penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien.3 Secara umum

bakteri yang paling berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,

haemophilus influenzae,Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik

klamidia dan mikoplasma.6

Tabel Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju4

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang

Lahir (0 hari) sampai 20 hari Bakteri Bakteri

E. coli Bakteri anaerob

Streptoccus group B Streptoccous group D

Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae

Streptococcus pnemoniae

Urea plasma urealyticum

Virus

Virus sitomegalo

Virus herpes simpleks

3 minggu sampai 3 bulan Bakteri Bakteri

Chlamydia trachomatis Bordetlla pertusis

Streptococcus pnemoniae Haemophilus influenzae tipe


B

4 bulan sampai 5 tahun Bakteri Bakteri

Chlamydia pnemoniae Haemophilus influenzae tipe


B
Mycoplasma pnemonia Moraxella catharalis

Virus Neisseria meningitidis

Virus Adeno Staphylococcus aureus

Virus Influenza Virus

Virus parainfluenza Virus varisela-zoster

Virus rino

Respiratory Syncytial virus

5 tahun sampai remaja Bakteri Bakteri

Chlamydia pnemoniae Haemophillus influenzae

Streptococcus pnemoniae Legionella sp

Staphylococcus aureus

Virus

Virus adeno

Virus epstain-barr

Virus influenza

Virus parainfluenza

Virus rino

Respiratory Syncytial virus

Virus varisela-zoster

3.14 Klasifikasi

1. Berdasarkan klinis dan epideologis:7


a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri

mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada

penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.


b. Pneumonia atipikal, Mikroorganisme penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae,

Chlamydia spp, Legionnela pneumofila, dan Ureaplasma urealyticium. Pneumonia

atipikal ini tidak responsif terhadap antibiotik golongan beta-laktam, umumnya

responsif terhadap antibiotik makrolid.

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada

penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.

Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh

obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat

disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.

c. Pneumonia interstisial merupakan peradangan pada interstitium, yang terdiri dari dinding

alveoli, kantung dan saluran alveolar, dan bronkiolus. Interstitial pneumonitis biasanya

disebabkan oleh infeksi virus akut, tetapi dapat menjadi proses yang kronis.

3.15 Faktor Resiko

A Faktor anak

1. Umur

Umur merupakan faktor resiko utama pada beberapa penyakit. Anak-anak yang

berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit penyakit pnemonia dibandingkan anak-

anak yang berumur diatas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan

lubang pernapasan yang masih relatif sempit. Umur yang sangat muda dan sangat tua juga

lebih rentan menderita pnemonia yang berat.


2. Jenis Kelamin

Berdasarkan Pedoman rencana Kerja Jangka Menengah Nasional

PenanggulanganPneumonia Balita tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa anak laki-laki

memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.

3. Status gizi

Studi WHO menunjukan bahwa insidens ISPA bagian bawah pada anak normal adalah

37 per 1000 balita, sedangkan 458 per 1000 terjadi pada anak dengan malnutrisi. Pada

Balita dengan status gizi buruk akan memiliki kekebalan tubuh yang rendah sehingga tidak

memiliki kemampuan yang cukup untuk mempertahankan diri terhadap infeksi

4. Pemberian ASI

ASI (Air Susu Ibu) merupakan sumber gizi yang ideal dan berkomposisi seimbang

sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan

yang paling sempurna bagi bayi. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi

dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi. ASI juga dapat

memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke

permukaan saluran pernafasan atas.

5. Status imunisasi

Pemberian vaksin merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai langkah

protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman terhadap antibiotik semakin

meningkat. WHO telah merekomendasikan penggunaan vaksin pnemokokus konjugasi

(PCV-7) disetiap negara dalam program imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan

mortalitas anak <5tahun mencapai 50 kematian per 1000 kelahiran atau mencapai lebih dari

50.000 kematian pertahunnya. Meskipun telah memperoleh izin edar dari badan POM.

Mentri kesehatn RI menyebutkan bahwa vaksin pnemokokus konjugasi belum ditetapkan

sebagai program imunisasi di Indonesia.


Dalam sebuah penelitian di Bekasi menemukan bahwa balita yang status imunisasinya

tidak lengkap 4,28 kali memiliki resiko untuk terkena pnemonia dibandingkan dengan anak

yang status imunisasinya lengkap.

B. Faktor lingkungan

1. Polusi udara didalam rumah

Polusi udara dalam rumah dihasilkan dari pembuangan asap seperti asap rokok dan

asap pembakaran kompor. Asap tersebut berptensi besar menimbulkan pajanan partikulat

seperti PM10 (Partikulat Matter 10 mikron). Jika terhirup, asap tersebut dapat mengganggu

pernapasan. Balita yang terpajan asap pembakaran beresiko 1,27 lebih besar untuk terkena

pnemonia dibandingan dengan anak yang tidak terpajan

2. Ventilasi rumah

Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan pengeluaran udara ke dan

atau dari suatu ruang secara alamiah maupun mekanis. Pertukaran udara secara mekanis

dilakukan melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam rumah.

Pada sebuah penelitian (Herman, 2012) diketahui balita yang tinggal pada rumah

dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki resiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena

pnemonia dibandingkan dengan balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi sehat.

3. Suhu Ruangan

Suhu 18C-30C adalah suhu ideal yang dimiliki oleh rumah sehat. Hal ini berarti,

apabila suhu ruangan rumah dibawah 18C atau diatas 30C keadaan rumah tersebut tidak

memenuhi syarat.Balita yang tinggal dirumah dengan suhu yang tidak ideal mamili resiko

sebesar 4 kali lebih tinggi terkena ganguang pernapasan dibandingkan dengan rumah

dengan suhu optimum.

3.16 Patogenesis
Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit

terminal dalam keadaan steril. Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme

yaitu: filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi

benda asing melalui refleks batuk,pembersihan ke arah kranial oleh selimut

mukosilier,fagositosis kuman oleh makrofag alveolar,netralisasi kuman oleh substansi imun

lokal, drainase melalui sistem limfatik. Pneumonia terjadi jika satu atau lebih mekanisme di

atas mengalami gangguan.

Patofisiologis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang,

mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.

Di antara semua pneumonia, patogenesis pneumonia pneumokokus yang paling banyak

diteliti. S. pneumonia mencapai alveolus melalui infeksi droplet.Bila pertahanan tubuh tidak

kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan

radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di

alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

1. Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan

permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai

dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast

setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur

komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal

ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga

terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di

antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering

mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh

sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)sebagai

bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya

penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah, pada

stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan

bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih

mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi

di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini

eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti.

4. Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,

sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan

kembali ke strukturnya semula.

3.17 Menifestasi Klinis

Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak

terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi

gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala pulmonal,pleural, atau ekstrapulmonal.

Gejala nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa

pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau

sakit perut. Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah

gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan
timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk

umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Frekuensi napas

merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan

untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi

napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan

untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk,

frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus

memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak

mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup

pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.Suara napas yang melemah seringkaliditemukan

pada auskultasi. Ronkhi basah halus yangkhas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidakterdengar

pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karenakecilnya volume toraks biasanya suara napas

salingberbaur, dan sulit untuk diidentifikasi.Secara klinis pada anak sulit membedakanpneumonia

bakterial dengan pneumonia viral.

Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwapneumonia bakterial awitannya cepat, batuk

produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, danperubahan nyata pada pemeriksaan

radiologis.Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.

(Riskesdas,2007)
Gambaran chest indrawing pada anak
3.18 Diagnosis

1. Anamnesis

Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen

bahkan bisa berdarah.

Sesak nafas

Demam

Kesulitan minum/makan

Tampak lemah

Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi

imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma

2. Pemeriksaan fisik

Penilaian keadaan umum anak, frekuensi nafas, dan nadi harus dilakukan pada

saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak

gelisah atau rewel.

Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan

makan/minum.

Gejala distress pernafasan seperti takipnea, retraksi subcostae, batuk, krepitasi,

dan penurunan suara paru.

Demam dan sianosis.

Anak dibawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang

klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang

diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala pernafasan tak

teratur dan hipopnea.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan

infeksi saluran nafas bawah akut ringan tanpa komplikasi.

Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang

dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.

Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya

kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang

menetap atau memburuk, atau tidak ada respon terhadap antibiotik.

Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk

membantu menentukan pemberian antibiotik.

Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum dengan kualitas yang baik

direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia berat.

Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan,

tetapi direkomendasikan pada pasien inap dengan kondisi berat dan pada

setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.

Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi

antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.

Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleuradan dilakukan

pemeriksaan mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas

tersedia) untuk penegakan diagnosis dan menentukan mulainya pemberian

antibiotik.
Pemeriksaan CRP, LED, dan pemeriksaan fase akut lain tidak dapat

membedakan infeksi virus dan bakteri dan tidak direkomendasikan sebagai

pemeriksaan rutin.

Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat

kontak dengan penderita TBC dewasa.

Pemeriksaan lain

Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan

pemeriksaan pulse oxymetry.

Klasiifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):16

Bayi kurang dari 2 bulan:

Pneumonia berat: nafas cepat atau retraksi yang berat

Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis,

demam, atau hipotermia, bradipnea, atau pernafasan ireguler.

Anak umur 2 bulan- 5 tahun


Pneumonia ringan: nafas cepat

Pneumonia berat: retraksi

Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,

malnutrisi

Atau dapat juga dalam bentuk klasifikasi:17

4 Pneumonia Ringan

Di samping batuk atau kesulitan bernafas, hanya terdapat nafas cepat saja.

Nafas cepat jika:

a. Pada anak umur 2 bulan 11 bulan: 50 kali/menit

b. Pada anak umur 1 tahun 5 tahun: 40 kali/menit

5 Pneumonia Berat

Batuk atau kesulitan bernafas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:

a. Kepala terangguk-angguk

b. Pernapasan cuping hidung

c. Tarikan dinding dada bagian bawah

d. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia

e. Nafas cepat:

- Anak umur < 2 bulan: 60 kali/menit

- Anak umur 2-11 bulan: 50 kali/menit

- Anak umur 1-5 tahun: 40 kali/menit

- Anak umur > 5 tahun: 30 kali/menit

f. Suara nafas merintih (grunting) pada bayi

g. Pada auskultasi terdengar:

- Crackles (ronkhi)

- Suara pernapasan menurun


- Suara pernapasan bronkial

h. Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai:

- Tidak dapat menyusu atau makan dan minum, atau memuntahkan

semua makanan

- Kejang, letargis, dan tidak sadar

- Distres pernapasan berat

3.19 Tatalaksana

Kriteria rawat inap:

Bayi

Saturasi oksigen <92%, sianosis

Frekuensi nafas > 60 x/menit

Distress pernafasan, apnea intermitten, atau grunting

Tidak mau minum/menetek

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Anak:

Saturasi oksigen <92%, sianosis

Frekuensi nafas >50 x/menit

Distress pernafasan

Grunting

Terdapat tanda rehidrasi

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana Umum

Pasien dengan saturasi oksigen <92% pada saat bernafas dengan udara kamar harus

diberikan terapi oksigen dengan nasal kanul, head box, atau sungkup untuk

mempertahankan saturasi >92%.


Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan

dilakukan balance cairan ketat.

Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan

pneumonia

Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan

mengontrol batuk

Nebulisasi dengan B2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki

mucocilliary clearance.

Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,

termasuk pemeriksaan saturasi oksigen

Pemberian antibiotik

Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun

karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia

pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-

amoxiclav, ceflacor, eritromisin, clarithromisin, dan azitromisin.

M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik

golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >

5 tahun.

Makrolid diberikan jika M. Pneumoniae atau C. Pneumoniae dicurigai sebagai

penyebab

Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S.pneumoniae sangat

mungkin sebagai penyebab.

Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi

flucloxacillin dengan amoksisilin


Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima

obat per-oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat

Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-

amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime

Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah

mendapat antibiotik intravena.

Rekomendasi UKK Respirologi

Antibiotik untuk community acquired pneumonia:

Neonatus-2 bulan: ampisilin + gentamisin

> 2 bulan:

o Lini pertama ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat

ditambahkan kloramfenikol

o Lini kedua seftriaxone

Blia klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik

golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

4.3 Tabel Antibiotik, dosis berdasaran patogen penyebabnya


Nutrisi

Pada anak dengan distress pernafasan berat, pemberian makanan peroral harus

dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau intravena. Tetapi harus

diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernafasan, khususnya pada

bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan,

sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.

Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami

overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon

antidiuretik.

Kriteria pulang

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan peroral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah

Tatalaksana Berdasar klasifikasi pneumonia menurut WHO:

Pneumonia Ringan

Pasien dirawat jalan

Diberikan antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari

selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Untuk pasien pneumonia dengan HIV diberikan selama 5 hari.

Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa

kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak

memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.


Ketika anak kembali jika pernapasannya membaik (melambat), demam

berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya

3 hari.

Pneumonia Berat

Anak dirawat di rumah sakit

Terapi antibiotik :

a. Beri ampisilin atau amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6

jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak

memberi respon baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi

dilanjutkan dirumah atau dirumah sakit dengan amoksisilin oral (15

mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

b. Bila keadaan memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat

(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,

kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka

ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

c. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan

pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.

d. Sebagai alternatif diberikan, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV

sekali sehari).

e. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto

dada.

f. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin

(7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan klosasilin (50 mg/kgBB IM atau IV

setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila

keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau diklosasilin) secara oral


4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, lalu

klindamisin oral selama 2 minggu.

Terapi Oksigen

a. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.

b. Bila tersedia pulse oximetri, gunakan sebagai panduan untuk terapi

oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%). Lakukan

periode tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil, hentikan

pemberian bila saturasi tetap >90%. Pemberian oksigen setelah saat ini

tidak berguna lagi.

c. Gunakan nasal prongs,kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

d. Pengggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan

oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak

direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap

waktu.

e. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan

dinding dada bagian bawa ke dalam yang berat atau napas >70/menit)

tidak ditemukan lagi.

f. Sebaiknya memeriksa setiap 3 jam bahwa kateter atau prongs tidak

tersumbat oleh mukus dan berada ditempat yang benar serta memastikan

semua sambungan baik.

Perawatan penunjang

a. Bila anak disertai demam ( 39 C) beri parasetamol.

b. Bila ditemukan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat.

c. Bila terdapat sekret kental ditenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan

oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan.


d. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak,

tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan.

e. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.

f. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan

rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering, jika asupan cairan oral

mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan

asupan, karena akan meningkatkan resiko pneumonia aspirasi.

g. Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri

makanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak dalam

menerimanya.

Pemantauan

a. Anak diperiksa perawat paling sedikit setiap 4 jam dan oleh dokter paling

sedikit 1 kali sehari.

b. Jika tidak ada komplikasi maka dalam 2 hari akan tampak perbaikan klinis

(bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada, bebas demam,

anak dapat makan dan minum)

Tatalaksana terkini pnemonia pada anak ( Indonesian Pediatric Respirology Meeting)

Pemilihan antibiotik empiris menurut World Health Organization (WHO)

didasarkan dari derajat keparahan pnemonia. WHO merekomendasikan penggunaan

amoksisilin dosis 40 mg/kgBB/kali yang diberikan 2x sehari sebagai terapi pnemonia.

Sebagian pasien pnemonia menjalani rawat inap dengan beverapa pertimbangan

diantaranya kebutuhan antibiotik parenteral, kemungkinan anak mengalami perburukan,

hipoksia, kebutuhan nutrisi dan cairan yang adekuat. Antibiotik yang direkomendasikan

WHO pada pasien rawat inap diantaranya adalah ampisilin dan gentamisin.
Pertimbangan pemilihan antibiotik berdasarkan kepekaan terhadap dugaan kuman

penyebab secara in vitro. (lampiran tabel 1)

Respon awal yang harus dievaluasi dalam terapi awal pnemonia dapat dilihat dari

perkembangan klinisnya yaitu: laju pernapasan berkurang, demam turun dan kemampuan

makan minum anak membaik. Evaluasi sebaiknya dilakukan dalam 72 jam setelah terapi

empiris awal. Anak yang menunjukan perbaikan yang lambat atau kondisi anak yang

memburuk terhadap terapi awal dimasukan sebagai anak yang tidak menunjukan

perbaikan terhadap terapi awal (unresponsive to initial treatment). Kriteria lain untuk

menentukan tidak respon terhadap terapi apabila dalam 48 jam terdapat: 1) Tidak ada

perbaikan atau perburukan dari gejala takipnea atau tarikan dinding dada bagian bawah

ke dalam (lower chect indrawing) 2) Muncul lagi atau tidak membaik atau perburukan

dari tanda bahaya danger sign seperti tidak mampu minum, letargi, sianosis sentral

atau kejang; 3)munculnya komplikasi (pnemotoraks,abses paru, meningitis, gagal napas).

Jika tidak menunjukan perbaikan terhadap terapi awal maka ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan yaitu: 1) kemungkinan ada penyebab yang lain termasuk disini

diagnosis banding;2) adanya penyakit penyerta; 3) adanya komplikasi dari pnemonia itu

sendiri.

4.9 Komplikasi

Komplikasi pnemonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,

pnemototaks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.

Beberapa komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut:17

Pneumonia Stafilokokus. Curiga ke arah ini jika terdapat perburukan klinis secara cepat

walaupun sudah diterapi, yang ditandai dengan adanya pneumatokel atau

pneumotoraks dengan efusi pleura pada foto dada, ditemukannya kokus Gram positif
yang banyak pada sediaan apusan sputum. Adanya infeksi kulit yang disertai

pus/pustula mendukung diagnosis.

o Terapi dengan kloksasilin (50 mg/kg/BB IM atau IV setiap 6 jam) dan

gentamisin (7.5 mg/kgBB IM atau IV 1x sehari). Bila keadaan anak mengalami

perbaikan, lanjutkan kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kali sehari selama 3

minggu.

Catatan: Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotik anti-stafilokokal lain

seperti oksasilin, flukloksasilin, atau dikloksasilin.

Empiema. Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda

klinis dan gambaran foto dada yang mendukung:

o Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal

o Pekak pada perkusi.

o Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada.

o Jika terdapat empiema, demam menetap meskipun sedang diberi antibiotik dan

cairan pleura menjadi keruh atau purulen.

Tatalaksana: Drainase. Empiema harus didrainase. Mungkin diperlukan

drainase ulangan sebanyak 2-3 kali jika terdapat cairan lagi. Penatalaksanaan

selanjutnya bergantung pada karakteristik cairan. Jika memungkinkan, cairan

pleura harus dianalisis terutama protein dan glukosa, jumlah sel, jenis sel,

pemeriksaan bakteri dengan pewarnaan Gram dan Ziehl-Nielsen.

Bila pasien datang sudah dalam keadaan empiema, tatalaksana sebagai

pneumonia, tetapi bila merupakan komplikasi dalam perawatan, terapi

antibiotik sesuai dengan alternatif terapi pneumonia.

Jika terdapat kecurigaan infeksi Staphylococcus aureus, beri kloksasilin

(dosis 50 mg/kgBB/kali IM/IV diberikan setiap 6 jam) dan gentamisin (dosis


7.5 mg/kgBB IM/IV sekali sehari). Jika anak mengalami perbaikan,

lanjutkan dengan kloksasilin oral 50-100 mg/kgBB/hari. Lanjutkan terapi

sampai maksimal 3 minggu.

3.20 Prognosis dan Pencegahan

Sebagian besar anak-anak yang mengalami pneumonia sembuh dengan cepat dan

sempurna. Kelainan pada radiografi kembali normal dalam waktu 6 sampai 8 minggu. Dalam

beberapa kasus, pneumonia dapat bertahan lebih dari 1 bulan atau mungkin berulang.

Sebagian besar bronkopneumia yang di sebabkan oleh virus dapat sembuh spontan

tanpaterapi spesifik.Bronkopneumonia yang disebabkan oleh bakteri biasanyamemberikan

respon cepat terhadap terapi antibiotik.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang

sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar,

upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.

a. Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian

bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain dengan pemberian

imunisasi.

b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai

berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar

ruangan.

d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk orang telah sakit agar

sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi

ketidakmampuan.

Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga

dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara

lain :

a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik

benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.

b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.

c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan

rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :

a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.

b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses

pemberian makan.

c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.

d. Tingkatkan pemberian ASI.

e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.

f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit, pernapasan

menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tanda-

tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Athena Anwar, Ika Dharmayanti,2014. Pneumonia among Children Under Five Years
of Age in Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8, Mei 2014.
2. Setiawati L, Setyoningrum RA, Makmuri MS, 2008. Pneumonia dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Edisi ke-3, Buku ke-1, RSU
dokter Soetomo, Surabaya.
3. Said, M. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak Ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
4. Kemenkes RI.2010. Buletin Jendela Epidemiologi Pnemonia Balita volume
3,2010.ISSN 2087-1546.
5. Behrman, R.E et.all. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition. International Edition.
Saunders 2004. p 1239-1241
6. Budiarso, Aswita.dkk. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare . Jakarta:
Departement Kesehatan R.I PPM & PLP. 2009
7. Depatemen Kesehatan. Diare Pada Anak . Kamis, 31 September 2010
www.depkes.go.id
8. Ganna, Herry. Melinda, Heda. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Edisi 3. Bandung : 2005
9. Santoso, N. Budi, Diare Pada Bayi Dan Anak, Lab/SMF. Ilmu Kesehatan Anak FK.
Unibraw/RSU Dr. Saiful Anwar Malang. 2001
10. Pusponegoro. H, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2004
11. Behrman RE, Vaughan VC. 1992.Nelson IlmuKesehatanAnak, Bagian II, Ed 12.
Jakarta: EGC.
12. Departemen Kesehatan. 2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta:
Depekes RI.
13. Rasad S., 2005, Radiologi Diagnostik (2nd edition), Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
14. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 1985, Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

You might also like