You are on page 1of 39

EPILEPSI

I. DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten yang disebabkan oleh lepasan muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron-neuron secara paroksismal, didasari oleh berbagai faktor etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi dari bangkitan
serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked)
Sindroma epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang
terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan
(onset), jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.
Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan.
Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar
antara 0,5-4 % (WHO). Angka kejadian tahunan di negara berkembang berkisar
anatara 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Angka kesakitan di negara
berkembang dan dinegara maju berkisar 1%. Lebih dari dua pertiga kasus epilepsi
berawal pada usia anak-anak (terutama di tahun pertama kehidupan).

II. ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi
1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik.

1
2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simptomatik : disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat
Misalnya; cedera kepala, Infeksi ssp, Kelainan congenital, Lesi desak ruang,
Gangguan peredaran darah otak, Toksik (alkohol, obat), Metabolik, Kelainan
neurodegeneratif
Karena epilepsi ditandai dengan bangkitan atau kejang, maka untuk
mempermudah mencari penyebabnya, akan diklasifikasikan penyebab kejang
berdasarkan usia:
1. Neonatus ( <1 bulan)
- hipoksia perinatal dan iskemia
- perdarahan intrakranial
- gangguan metabolik {hipokalsemi, hipoglikemi, hipomagnesia,
defisiensi piridoksin,dll)
- trauma
- gangguan perkembangan atau genetik
2. Anak-anak (1bulan-10 tahun)
- kejang demam
- gangguan genetik (metabolik, degeneratif, sindrom epilepsi primer)
- infeksi SSP
- trauma
- gangguan perkembangan
- idiopatik
3. Remaja (10-18 tahun)
- trauma
- gangguan genetik
- infeksi SSP
- obat-obatan
- idiopatik

2
4. Dewasa muda (18-35 tahun)
- trauma
- withdrawl alkohol dan obat sedatif
- tumor otak
- idopatik
5. Dewasa (35-60 tahun)
- trauma
- tumor otak
- penyakit vaskular
- withdrawl alkohol dan obat-obatan
6. Orang tua (>60 tahun)
- penyakit vaskular
- tumor otak
- trauma

III. KLASIFIKASI
Berdasarkan International League Against Epilepsy tahun 1981, untuk tipe
bangkitan epilepsi berdasarkan data klinis dan EEG, dibagi sebagai berikut:
1. Bangkitan Parsial
1.1 Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Motorik
1.1.2. Sensorik
1.1.3. Otonom
1.1.4. Psikis
1.2 Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gagguan
kesadaran
1.2.2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal
bangkitan
1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana menjadi tonik klonik

3
1.3.2. Parsial kompleks menjadi tonik klonik
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik
2. Bangkitan Umum
2.1. Bangkitan absance (lena atau petit mal)
2.2. Bangkitan mioklonik
2.3. Bangkitan klonik
2.4. Bangkitan tonik
2.5. Bangkitan tonik-klonik (grandmal)
2.6. Bangkitan atonik
3. Bangkitan yang tidak terklasifikasi
Klasifikasi Sindroma Epilepsi (menurut ILAE tahun 1989) adalah sebagai
berikut:
I. Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
1.1. Idiopatik (primer)
1.1.1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes
1.1.2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal
1.1.3. Primary reading epilepsy
1.2. Simptomatik (sekunder)
1.2.1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood
(kojewnikows syndrome)
1.2.2. Syndrome characterized by seizures with spesific modes of
precipitation (sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh
suatu rangsangan seperti kurang tidur, alkohol, obat-obatan,
hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi,
membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporalis
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

4
II. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan
sesuai peningkatan umur
2.1. Idiopatik (primer)
2.1.1. Benign neonatal Familial convulsion
2.1.2. Benign neonatal convulsion
2.1.3. Benign myoclonic epilepsy in infancy
2.1.4. Childhood absance epilepsy (pyknolepsy)
2.1.5. Juvenile absance epilepsy
2.1.6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
2.1.7. Epilepsies with grandmal (GTCS) seizures on awakening
2.1.8. Others generalized idiopathic epilepsies not define above
2.1.9. Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of
activation
2.2. Kriptogenik/simptomatik
2.2.1. West syndrome (infantile spasm, blitz Nick-Salaam Krampfe)
2.2.2. Lennox-Gaustat syndrome
2.2.3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
2.2.4. Epilepsy with myoclonic absence
2.3. Simptomatik
2.3.1. Dengan etiologi yang non spesifik
- Early myoclonic encephalopathy
- Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst
- Other symptomatic generalized epilepsies not defined above
2.3.2. Sindroma spesifik
- Bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh penyakit lain

III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum


3.1. Bangkitan umum atau fokal
- Neonatal seizures
- Severe myoclonic epilepsy in infancy
- Epilepsy with continuous spike wave during slow-wave sleep

5
- Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
- Other undetermined epilepsies
Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

IV. Sindrom Khusus


Bangkitan yang berhubungan dengan situasi
- Kejang demam (febrile convulsion)
- Bangkitan kejang/ status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
- Bangkitan yang disebabkan oleh gangguan metabolik akut atau toksik,
alkohol, obat-obatan, eklampsi, hiperglikemi non ketosis.
- Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

IV. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya kejang pada epilepsi merupakan suatu proses yang
sangat kompleks. Dalam patofisiologi ini akan dibahas mengenai fokus epilepsi,
penjalaran dari lepas muatan listrik dan mekanisme terjadinya kejang.
Fokus Epilepsi
Fokus epilepsi adalah kumpulan dari sel-sel abnormal (sel neuron epileptik)
yang memberikan lepas muatan listrik epileptik paroksismal. Sifat elektrik dari
fokus epileptik adalah otonom.
Terdapat 3 jenis fokus epileptik :
1. Fokus epileptik primer, yaitu lesi epileptogenik lokal kronik.
2. Fokus epileptik sekunder, yaitu lesi epileptogenik yang dibangkitkan
secara sekunder pada kumpulan sel-sel neuron yang normal. Meskipun
demikian kumpulan neuron sekunder ini dapat mengeluarkan muatan
listriknya sendiri secara periodik.
3. Fokus epileptik proyeksi, disini semata-mata hanya terjadi proyeksi
dari fokus epileptik primer. Bila dirangsang akan menimbulkan evoked
potensial yang abnormal, akan tetapi tidak mampu untuk mengeluarkan lepas
muatan listriknya sendiri secara periodik

6
Ketiga fokus ini sebenarnya saling berkaitan. Bila proyeksi dipertahankan
lama dapat menimbulkan aktivasi sekunder. Sedangkan fokus epileptik sekunder
bila bertahan untuk waktu yang lebih lama, akan terbentuk seperti fokus epileptik
primer.
Penjalaran dari lepas muatan listrik
Bentuk klinik dari bangkitan epilepsi yang berasal dari suatu fokus
ditentukan oleh :
1. Letak fokus primer
2. Sistem anatomis dan fisiologis yang terlibat dalam penjalarannya.
Kecepatan untuk menjalarnya lepas muatan listrik sangat bervariasi, dapat
merambat pada permukaan korteks serebri dengan kecepatan beberapa milimeter
permenit seperti yang terjadi pada bangkitan fokal motor dari Jackson. Dapat pula
menjalar melalui jaringan korteks dengan kecepatan 10 40 cm/detik. Pada
beberapa jenis bangkitan, penjalaran sangat cepat sehingga seluruh otak
termasuk kedua hemisfer serebri terlibat secara simultan disertai gerakan tonik
klonik yang masif.
Terdapat dua macam penjalaran, yaitu spread yaitu penjalaran
percontinuitatum dan propagation penjalaran melalui jaras aksonal. Disamping itu
terdapat cara penjalaran masih belum dapat dibuktikan sepenuhnya. lepas muatan
listrik dari fokus epilepsi di korteks serebri akan mengaktivasi bagian talamus,
kemudian talamus akan mengaktivasi daerah korteks serebri yang lain.
Bentuk klinik dari bangkitan epilepsi tergantung dari jaras-jaras mana yang
dilalui dalam penjalaran dari lepas muatan listrik.
Mekanisme Terjadinya Kejang
Meskipun epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai kelainan, bangkitan
epilepsi yang terjadi selalu disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal yang
hipersinkron dari sel-sel neuron yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
eksitasi dan inhibisi. Potensial membran sel neuron dipengaruhi oleh
keseimbangan antara EPSP (Exitatory Post Synaptic Potential) dan IPSP
(Inhibitory Post Synaptic Potential). Bila EPSP dan IPSP ini tidak seimbang akan
terjadi bangkitan epilepsi.

7
Lebih dari 100 neurotransmiter berperan dalam proses eksitasi. Exitatory
Amino Acid terutama L-glutamat, mempunyai peranan utama dalam terjadinya
bangkitan. Terdapat peningkatan pelepasan glutamat di otak yang berhubungan
dengan aktivitas epileptik. Gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan
neurotransmiter inhibisi yang utama di susunan saraf pusat. Inhibisi GABAergic
dapat terjadi di presinaptik (pelepasan GABA dari saraf terminal GABAergic ke
dalam presinaptik saraf terminal menyebabkan penurunan pelepasan
neurotransmiter) atau di postsinaptik (disebabkan oleh interaksi antara GABA
dengan reseptor spesifik postsinaptik). GABA berikatan dengan 2 macam reseptor
yaitu GABA A dan GABA B untuk menghasilkan inhibisi neuron. GABA
dikatabolisme di postsinaptik oleh GABA-transaminase. Tidak berfungsinya GABA
system ini dapat disebabkan oleh adanya defek pada pelepasan GABA di sinaps
atau reseptor GABA postsinap.
Pada kondisi normal, EPSP diikuti segera oleh inhibisi GABAergic.
Hipersinkronisasi sel-sel neuron terjadi bila mekanisme eksitasi lebih dominan.
Jika aktivitas sel-sel neuron yang hipersinkronisasi ini berjalan terus, akan lebih
banyak lagi sel-sel neuron yang teraktivasi dan menyebabkan bangkitan epilepsi.
Hipersinkronisasi yang abnormal dapat memberikan karakteristik yang abnormal
pada elektroensefalogram.
Hormon-hormon seks juga berpengaruh dalam mengatur transmisi
GABAergic pada susunan saraf pusat. Penelitian pada binatang dengan
infusestrogen menggambarkan adanya penurunan ambang rangsang kejang
sehingga terjadi bangkitan epilepsi. Progesteron mempunyai efek inhibisi, dimana
progesteron ini diduga bekerja melalui aktivasi langsung pada GABA kompleks
untuk meningkatkan efek GABA. Disamping itu progesteron juga dapat
menghambat aktivitas glutamat. Efek dari estrogen dan progesteron ini terlihat
pada epilepsi katamenial. Terdapat peningkatan frekuensi bangkitan sebelum
periode menstruasi dimana progesteron menurun dan sebelum ovulasi dimana
estrogen meningkat tanpa peningkatan progesteron. Pada akhir dari ovulasi,
progesteron meningkat kembali dan frekuensi bangkitan menurun kembali.

8
Mekanisme berbagai tipe kejang tidak sepenuhnya dimengerti. Pada
kenyataannya terdapat beberapa area di otak yang lebih sensitif dibandingkan
yang lain, seperti sistim limbik di lobus temporal, terutama hipokampus atau
pengaruh trauma sebelumnya yang menyebabkan sel-sel neuron lokal
hipereksitasi, yang berperan dalambangkitan parsial. Interaksi antara nucleus
talamik dan neokorteks melalui proyeksi thalamocortical dan corticotalamic
berperan dalam bangkitan umum dan bangkitan umum sekunder.
Patofisiologi bangkitan parsial berbeda dengan bangkitan umum. Secara
keseluruhan terjadi peningkatan eksitasi sel tetapi mekanisme sinkronisasi yang
terjadi berbeda secara bermakna. Bangkitan parsial berasal dari kumpulan neuron-
neuron yang terletak pada daerah spesifik di korteks serebri (fokus epilepsi) dan
gejala klinis yang tampak merupakan refleksi dari fungsi area yang terlibat.
Bangkitan parsial dapat berkembang menjadi parsial umum sekunder bila
aktivitas bangkitan menyebar dengan cepat ke struktur subkortikal (terutama
talamus) dan melibatkan daerah lain dari otak atau seluruh otak.
Gelombang fokal interiktal bentuk paku (spike) atau tajam (sharp)
merupakan ciri neurofisiologis klinis bangkitan parsial. Paroxysmal Depolarization
Shift (PDS) merupakan kortikal yang tunggal. PDS ini ditandai dengan depolarisasi
Ca yang memanjang, yang menyebabkan terjadinya potensial aksi Na multipel
selama fase depolarisasi.

9
Patofisiologi Kejang

Sistemik:pirexia,drugs Local trauma: trauma infection,


metabolik,photosentivity vascular degeneration

Instability of neuronal cell membrane

Reduction in GABA activity&increase acetylcholine&glutamate activity

Large group of neuron are actived repetitively and hypersynchronously (paroxymal


neuronal change)

Seizure

xcitatory neurotransmitter : acetylcholine, norephinephrine, glutamate, aspartate


Inhibtory neurotransmitter: GABA, dopamine, glycine

10
Defect in ion transport Alteration in (int& ext) Imbalance of (inhibitory & excitatory)
channel environment of neuron neurotransmitter which govern neuronal
responsiveness&firing

Defect in ion conductance

Neuronal membrane instability

Abnormal firing of neuron

Synchronous firing of large population of neurons

Seizure (epilepsy)

Mekanisme yang menyebabkan penurunan inhibisi


1. Kerusakan inhibisi GABA-A
Reseptor GABA-A berpasangan dengan saluran klorida (chloride
channels) dan merupakan salah satu target utama yang dimodulasi oleh
antikonvulsan. Potensial pembalikan klorida adalah -70 mV. Keterlibatan
saluran klorida selama membran potensial istirahat (rest potential) sangat
sedikit karena pada membran potensial istirahat yang mendekati -70 mV tidak
dterdapat kekuatan elektromotif yang signifikan untuk aliran klorida. Aliran
klorida ini lebih penting pada saat depolarisasi. Saluran klorida ini membuat

11
ambang batas potensial membran aksi sulit dicapai dan berpengaruh terhadap
meningkatnya potensial membran. Sel-sel neuron menjadi lebih depolarisasi
melalui penjumlahan dari EPSP
EPSP dimediasi oleh pelepasan asam amino glutamat eksitatori dari
elemen presinaptik. Efek pelepasan glutamat pada postsinaptik dimediasi oleh
3 reseptor utama yaitu N-methyl-D-aspartic acid (NMDA), alpha-amino-3-
hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid (AMPA)/kainite dan metabotropic
yang berpasangan melalui mekanisme yang berbeda pada beberapa saluran
depolarisasi. Reseptor tadi diatur oleh IPSP yang dimediasi terutama dengan
pelepasan GABA pada celah sinaps dengan aktivasi post sinaptik resptor
GABA.
2. Kerusakan inhibisi GABA-B
Reseptor GABA-B berpasangan dengan saluran kalium dan mempunyai
masa kerja yang lebih panjang dibandingkan arus yang ditimbulkan klorida
dengan aktivasi reseptor GABA-A. Karena masa kerja yang panjang tersebut,
perubahan pada reseptor GABA-B diduga berperan dalam peralihan antara
interiktal yang abnormal dan bangkitan parsial. Struktur molekul dari kompleks
reseptor GABA-B terdiri dari 2 subunit dengan 7 daerah transmembran.
Reseptor GABA-B berpasangan dengan saluran kalium dimediasi oleh
proteinG. Pada beberapa kasus reseptor GABA-B terletak pada elemen
presinaptik dari proyeksi eksitasi. Pelepasan GABA dari interneuron terminal
menghambat neuron postsinaptik melalui 2 mekanisme :
a) Langsung : dengan merangsang SSP
b) Tidak Langsung : dengan menghambat pelepasan
neurotransmiter
eksitasi pada presinaptik proyeksi aferen.
Perubahan pada subunit yang berbeda atau pada molekulnya dapat
menyebabkan penurunan ambang kerja atau kecenderungan kejang berulang.
3. Gangguan pada aktivasi neuron-neuron GABA
Neuron-neuron GABA diaktivasi melalui proyeksi umpan ke depan
(feedforward) dan umpan balik (feedback) oleh sel-sel neuron eksitasi. Aktivasi

12
neuron-neuron GABAergic menyebabkan terjadinya IPSP yang menghambat
badan sel (soma) atau axon hillock dari CA1 neuron-neuron pyramidal secara
simultan dari dendrit bagian apikal ke axonhillock. Proyeksi umpan ke depan
menghambat depolarisasi sel-sel pyramidal dan cetusan potensial aksi.
Inhibisi umpan balik merupakan sistem lain yang menyebabkan sel-sel
GABAergic dapat mengontrol cetusan berulang pada neuron utama seperti sel-
sel pyramidal dan sel sekitarnya.
4. Gangguan pada penyangga (buffer) kalsium
Kejang berulang yang ditimbulkan oleh beberapa metoda percobaan pada
binatang pengerat, menggambarkan adanya pola hilangnya interneuron pada
daerah hillar polymorphic dengan menurunnya jumlah ikatan Ca-Protein.
Percobaan lain pada hippocampal tikus terlihat bahwa interneuron tersebut
tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara hiperpolarisasi resting
membran potential. Eksperimen dengan mikroelektrodamenggunakan Ca
chelator BAPTA memperlihatkan adanya kelainan pada membran potensial
yang menunjukkan bahwa peranan ikatan Ca-protein sangat penting.
Mekanisme yang meningkatkan eksitasi
1. Peningkatan aktivasi reseptor NMDA
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi utama di otak. Pelepasan
glutamat akan menyebabkan terjadinya EPSP pada postsinaptik yang diaktivasi
oleh reseptor glutaminergik AMPA/kainat, NMDA dan metabotropik. Transmisi
saraf yang cepat dicapai melalui reseptor NMDA dan AMPA, sedangkan
reseptor metabotropik lebih lambat dengan durasi yang lebih lama. Reseptor
AMPA membuka saluran untuk kation monovalen (seperti natrium dan kalium),
sedangkan NMDA berpasangan dengan saluran untuk kation divalent (seperti
kalsium).
Kalsium merupakan katalis untuk berbagai macam reaksi sel. Beberapa
pasien epilepsi dapat mempunyai predisposisi yang diturunkan untuk aktivasi
NMDA yang lebih cepat atau lama dan mempengaruhi perubahan ambang
rangsang kejang.

13
2. Peningkatan sinkronisasi dan atau aktivasi terhadap eksitasi kolateral yang
berulang
Studi neuropatologi pada pasien yang intractable menunjukkan adanya
abnormalitas pada sistem limbik, khususnya formasio hipokampus. Yang paling
sering adalah adanya sklerosis hipokampus yang terdiri dari gliosis dan
hilangnya neuron neuron terutama pada daerah hillar polimorfik.
Mekanisme-mekanisme di atas dapat terjadi dalam kombinasi yang
berbeda dan menyebabkan bangkitan parsial.
Bangkitan Umum
Bangkitan umum primer melibatkan kedua hemisfer serebri. Ini terlihat dari
gambaran iktal EEG berupa hilangnya aktivitas normal elektroensefalografik pada
kedua hemisfer diganti oleh bangkitan-bangkitan epileptiform.
Beberapa penelitian memperlihatkan terdapat hubungan yang erat antara
bysynchronous epileptiform discharges dan bangkitan umum. Jasper dan
Kershman menghubungkan antara manifestasi bangkitan klinis dengan gambaran
EEG interiktal bilaterally synchronous spike-wave discharges timbul pada 84%
pasien absance dan 48% pasien bangkitan umum tonik-klonik.
Spikes-wave merupakan bysynchronous epileptiform discharges paling
sering, terdiri dari satu atau lebih electronegative spikes dengan lembah yang
diikuti gelombang negatif yang luas. Bacaud et al dan Goldring melaporkan
penelitian dengan implantasi elektroda pada manusia, bahwa bangkitan umum
motorik pada umumnya berasal dari bagian frontal korteks dan struktur subkortikal
terlibat secara sekunder.

Aktifitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada


otak, dan ditentukan oleh derajat dan lokasi dari lesi. Pada tingkat membran sel,
neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia tertentu. Beberapa diantaranya
adalah:
1. ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan
2. neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah
terangsang, dan terangsang secara berlebihan

14
3. mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi,
atau terhentinya repolarisasi)
4. ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada
waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal, mengalami
perubahan. Ketidaksetimbangan ini akan menyebabkan membran neuron
mudah mengalami depolarisasi
Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa terdapat peran glutamat
dalam eksitasi sel neuron. Hal ini akan menyebabkan timbulnya depolarisasi
dengan mengaktivasi reseptor yang akan memfasilitasi influks ion Na, K, Ca.
Gamma-aminobutyric acid (GABA) memiliki peran penting dalam menginhibisi
cetusan abnormal di kortikal dan mencegah timbulnya bangkitan umum.
Ada hipotesa yang menduga bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi
karena adanya kelompok neuron yang secara intrinsik terdapat kelainan pada
membrannya, ini bisa karena didapat atau diturunkan. Neuron abnormal tersebut
akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian melalui
hubungan yang efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian neuron di
sekitarnya. Bila proses inhibisi juga mengalami gangguan, entah karena suatu
cedera, hipoksik iskemia, atau genetis akibat gangguan mutasi, maka kumpulan
neuron yang hampir bersamaan melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah
bangkitan.
Pada bangkitan umum primer, letak massa neuron yang abnormal belum
diketahui, ada dugaan terletak di kelompok sel-sel subkortikal, sedangkan pada
bangkitan parsialis, massa neuron abnormal terletak di korteks atau hipokampus.
Suatu bangkitan parsialis dapat menjadi bangkitan umum bila massa neuron
abnormal di neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di
subkortikal.

V. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik pada beberapa bentuk bangkitan epilepsy adalah sebagai berikut:
Bangkitan parsial
1. Bangkitan parsial sederhana

15
- tidak tejadi perubahan kesadaran
- bangkitan mulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral/fokal) kemudian
menyebar pada sisi yang sama (Jacksonian march)
- kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
2. Bangkitan parsial kompleks
- bangkitan fokal disertai dengan gangguan kesadaran
- sering diikuti oleh automatisme yang stereotipik seperti mengunyah,
menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas.
- kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
3. Bangkitan umum sederhana
- berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang
dalam waktu singkat menjadi bangkitan umum
- bangkitan parsial dapat berupa aura
- bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik klonik
Bangkitan umum
Bangkitan timbul dari struktur subkortikal dan menyebar ke kedua hemisfer.
Bangkitan umum dibagi dua tipe yaitu konvulsif dan non konvulsif. Yang
termasuk bangkitan konvulsif adalah tipe tonik klonik, tonik, klonik. Sedangkan
tipe non konvulsif adalah bangkitan absance, mioklonik dan atonik.
1. Bangkitan umum lena
- gangguan kesadaran secara mendadak (absence) berlangsung
beberapa detik
- selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa
reaksi
- mata memandang jauh ke depan
- mungkin terdapat automatisme
- pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
- sesudah itu pasien menunjukkan aktivitas semula

16
2. Bangkitan umum mioklonik
- ditandai dengan adanya kontraksi singkat dan tiba-tiba yang mungkin
terjadi secara umum atau khusus pada wajah, dada, atau pada salah
satu atau lebih anggota gerak, atau bahkan pada otot-otot individual
atau sekelompok otot
- menyebabkan pasien jatuh ke lantai atau tanah, atau bergerak-gerak
seperti tremor
3. Bangkitan umum tonik
- meningkatnya tonus pada otot-otot ekstensor
- durasinya lebih lama dari bangkitan mioklonik
4. Bangkitan klonik
- terjadi kontraksi otot ritmik ataupun semi ritmikyang khasnya terjadi pada
ekstrimitas atas, leher dan wajah
5. Bangkitan umum atonik
- tonus otot menghilang secara tiba-tiba sehingga pasien terjatuh
6. Bangkitan umum tonik klonik
- dapat didahului prodormal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
- pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik,
diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase
klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
- selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flasid) dan tampak
bingung
- pasien sering tidur setelah bangkitan

VI. DIAGNOSA
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosa epilepsi, yaitu:
- Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan
- Langkah kedua: apabila terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan apa (lihat klasifikasi)

17
- Langkah ketiga: pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan
tadi, atau epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar anamnesis baik auto maupun
aloanamnesis karena pada pemeriksan fisik jarang ditemukan adanya gambaran
epilepsi. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila
memungkinkan.
Anamnesa
1. Mengenai bangkitan:
- apakah ada tanda atau gejala peringatan sebelum timbulnya bangkitan?
- Apakah ada gangguan kesadaran saat timbulnya bengkitan/ selama
bangkitan/ setelah bangkitan?
- Apakah awitannya berasal dari satu bagian tubuh tertentu (awitan fokal
dari wajah kana/kiri, lengan kanan/kiri, tungkai kanan/kiri?
- Apakah awitan bangkitan adalah umum?
- Apakah awitan bangkitan fokal (sederhana atau kompleks) yang
berkembang menjadi umum sekunder?
- Berapa lama bangkitan terjadi?
- Apakah pasien mengalami sensasi epigastrik, muka kemerahan, muka
pucat, berkeringat, dilatasi pupil, diaporesis, piloereksi, mual, muntah,
borborrygmus, atau inkontinensia?
- Apakah terdapat bentuk non bangkitan seperti aura, automatisme,
perubahan tingkah laku, bengong, melamun, atau gagguan lain seperti
disfasia, dismensia, gejala-gejala pada proses kognitif, gejala afektif,
ilusi, atau halusinasi structural?
- Bagaimana keadaan paska bangkitan? Adakah penurunan kesadaran,
Todds paralise, gangguan sensorik, atau perubahan tingkah laku?
- Bagaimana bentuk atau tipe bangkitan (parsial: sederhana/
kompleks/umum sekunder, umum : tonik/ klonik/ tonik-klonik/ atonik/
mioklonik/ lena/ atau tidak terklasifikasi)?
2. Usia onset (bangkitan pertama)

18
3. Faktor yang mempresipitasi dan factor-faktor lain yang menyertai bangkitan
(panas, infeksi, perubahan tidur, menstruasi, gangguan metabolik, alkohol,
obat-obatan, pemakaian bahan toksik, cahaya/ computer/ TV, suara, membaca,
aktifitas fisik atau psikis)
4. Apakah bentuk bangkitan pertama sama dengan bangkitan yang sekarang?
5. Riwayat prenatal, natal, antenatal. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan?
6. Riwayat bangkitan demam, trauma kepala, infeksi SSP, tumor, penyakit
serebrovaskular, penyakit metabolik (misalnya diabetes mellitus,dll)
7. Riwayat bangkitan dalam keluarga
8. Riwayat pengobatan dan alergi terhadap obat

Pemeriksaan fisik
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol
atau obat terlarang, dan kanker

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat tidur, dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (diluar bangkitan) pada orang
dewasa dapat ditemukan sekitar 29-38%, pada pemeriksaan ulang gambaran
epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%.
Bila EEG pertama menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan
epilepsi sangat tinggi, EEG ulangan dilakukan dalam 24-48 jam setelah
bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya dengan
mengurangi tidur atau dengan menghentikan obat anti epilepsi.
Indikasi pemeriksaan EEG
- membantu menegakkan diagnosa epilepsi
- menentukan prognosis pada kasus tertentu

19
- pertimbangan dalam penghentian OAE
- membantu dalam menentukan letak fokus
- bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan yang
sebelumnya)
2. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)
Indikasi:
- semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologis fokal
- Epoilepsi dengan bangkitan parsial
- Bangkitan pertama diatas usia 20 tahun
- Untuk persiapan pembedahan
MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan
sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibandingkan dengan CT scan.
3. Pemeriksaan laboratorium
- Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi kadar
glukosa darah, fungsi hati, ureum, kreatinin, pemeriksaan elektrolit yaitu
natrium, kalium,kalsium, magnesium. Ini dilakukan untuk mendeteksi
adanya kelainan metabolik.
- Lumbal Punksi juga dilakukan untuk kecurigaan terhadap infeksi SSP.
- Beberapa tes lainnya seperti tes beban jantung, Holter monitor, tilt table
testing, monitoring jantung jangka panjang juga pemeriksaan saat tidur
penting untuk mengesampingkan penyakit lain yang menyerupai
epilepsi.

VII. DIAGNOSA BANDING


Pada neonatus dan bayi
- jittering
- Apneic spell
Pada anak
- breth holding spells

20
- sinkope
- migren
- bangkitan psikogenik/ konversi
- prolonged QT sindrome
- night terror
- tics
- hypercyanotic attack (pada tetralogi fallot)
Pada dewasa
- sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenik, sinkope
hipovolemik, sinkope hipotensi, dan sinkope saat miksi
- Serangan iskemik sepintas (TIA)
- Vertigo
- Transient global amnesia
- Narkolepsi
- Bangkitan panik, psikogenik
- Sindrom menier
- Tics

VIII. PENATALAKSANAAN
I. EPILEPSI
Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal
untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik
maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan
beberapa upaya antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan
kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE.

Prinsip Terapi
Terapi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.

21
Terapi mulai diberikan bila diagnosis epilepsi telah ditegakkan dan setelah
pasien dan atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
dan kemungkinan efek samping ( terapi diberikan seawal mungkin)
Terapi dimulai dengan monoterapi menggunakan OAE pilihan sesuai jenis
bangkitan, dan jenis sindrom epilepsi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma ditentukan
bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Pada prinsipnya terapi dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila
diperlukan penggantian obat, maka dosis obat kedua dinaikkan secara
bertahap kemudian dosis obat pertama diturunkan secara bertahap
Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukati bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksiamal kedua OAE pertama
Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila :
- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
- Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan.
- Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak.
- Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung, kecuali kejang
demam sederhana.
- Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai
penurunan kesadaran.
- Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
Efek samping OAE perlu diperhatikan demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar

22
Pemilihan obat anti-epilepsi didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek
samping, interaksi antara obat anti-epilepsi.

Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi

TIPE KEJANG OBAT LINI PERTAMA OBAT LINI KEDUA

Kejang sederhana dan Carbamazepine, Levetiracetam,


kejang parsial valproate dan phenytoin Acetazolamide, clobazam,
kompleks, kejang clonazepam, ethosuximide*,
umum tonik-klonik gabapentin, lamotrigine, ,
primer dan sekunder oxcarbazepine,
phenobarbital, primidone*,
tiagabine*, topiramate,
vigabatrin
Generalized absence Valproate, ethosuximde* Acetazolamide, clobazam,
seizures clonazepam , lamotrigine,
phenobarbital, primidone*
Atypical absence, Valproate Acetazolamide,
tonic and clonic carbamazepine, clobazam,
seizures clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,
oxcarbazepine,
phenobarbital, phenytoin,
primidone*, topiramate
Myoclonic seizures Valproate Clobazam, clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,

23
phenobarbital, piracetam,
primidone*
Obat tersebut belum tersedia di Indonesia

Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa

DOSIS JUMLAH
DOSIS
OBAT INDIKASI HARIAN DOSIS
AWAL
UMUM(mg) PERHARI

Carbamazepine Parsial & KUTK 400 600 2-3*

Phenytoin Parsial & KUTK atau status 300 300 1


epilepticus

Valproic acid Parsial & KUTK 500- 1000 2


1000

Phenobarbital Parsial & KUTK, 60-90 120 1


kejang neonatal, atau
status epilepticus

Primidone Parsial & KUTK 100-125 500 3

Ethosuximide Kejang absans umum 500 1000 2

Clonazepam Epilepsi mioklonik, 1 4 1 atau 2


sindroma L-G, spasme
infantil, atau status
epilepsticus

* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik) L-G (Lennox Gastaut) : dewasa


: anak-anak

24
Pedoman dosis obat anti-epilepsi klasik pada anak-anak

DOSIS
JUMLAH
DOSIS RUMATAN
DOSIS/
OBAT INDIKASI AWAL STANDAR
HARI
(RANGE)
Mg/kg/hari Mg/kg/hari
Carbamazepin Parsial & KUTKS 5 10-25
e
Phenytoin Parsial & KUTKS atau status 5 5-15 1 or 2
epilepsi
Valproic acid Parsial & KUTKS 5 15-40 1-3
Phenobarbital Parsial & KUTKS, kejang 4 4-8 1 or 2
neonatal, atau status epileptikus
Clonazepam Epilepsi mioklonik, sindroma 0.025 0.025-0.1 2 or 3
Lennox-Gastaut, spasme
infantil, atau status epileptikus

Efek samping obat anti-epilepsi klasik

Efek samping
Obat
TERKAIT DOSIS IDIOSINKRETIK
Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri Ruam morbiliform,
kepala, mual, agranulositosis, anemia
mengantuk, neutropenia, aplastik, efek
hiponatremia hepatotoksik, Sindroma
Stevens-Johnson,
teratogenecity
Phenytoin Nistagmus, ataxia, mual, Jerawat, coarse facies,
muntah, hipertrofi gusi, hirsutism, cariasis, lupus-
depresi, mengantuk, like syndrome, ruam,
paradoxical increase in Sindroma Stevens-
seizure, anemia Johnson, Dupuytrens
megaloblastik contracture, efek
hepatotoksik,
teratogenicity
Valproic acid Tremor, berat badan Pankreatitis akut, efek
bertambah, dispepsia, hepatotoksik,
mual, muntah, trombositopenia,
kebotakan, ensefalopati , udem
tetratogenicity perifer

25
Phenobarbital Kelelahan, listlesness, Ruam makulopapular,
depresi, insomnia (pada exfoliation, nekrosis
anak), distractability epidermal toksik, efek
(pada anak), hiperkinesia hepatotoksik, arthritic
(pada anak), irritability changes, Dupuytrens
(pada anak) contracture,
teratogenicity
Pirimidone Kelelahan, listlessness, Ruam, agranulositosis,
depresi, psikosis, libido trombositopenia, lupus-
menurun, impoten like syndrome,
teratogenicity
Ethosuximide Mual, anoreksia, muntah Ruam, eritema
agitasi, mengantuk, nyeri multiformis, Sindroma
kepala, lethargy Steven-Johnson, lupus-
like syndrome,
agranulositosis, anemia
aplastik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, Ruam, trombositopenia
mengantuk, dizziness,
agresi (pada anak)
hiperkinesia (pada anak)

Pengobatan epilepsi pada wanita


a. OAE pada kehamilan
Pada paseien yang berencana ingin hamil sebaiknya menggunakan OAE
yang efek teratogeniknya minimal
Pada pasien epilepsi yang telah terkontrol, tidak perlu ganti OAE
Penolong persalinan perlu diberi informasi mengenai kondisi epilepsi dari
pasien
Suplemen asam folat 5 mg/hari diberikan kepada semua wanita pasien
epilepsi terutama sebelum dan selama trimester I kehamilan, untuk
mencegah defek tuba neural pada janin.
b. Pemakaian obat kontrasepsi
Perlu diingat adanya interaksi OAE dengan obat kontrasepsi terutama yang
mengandung esterogen.
c. Pengaruh pada laktasi
Penggunaan OAE tidak merupakan halangan untuk menyusui

26
Penghentian OAE
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan dan sesuai prognosis, tergantung
bentuk bangkitan.
Gambaran EEG normal / membaik.
Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan.
Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada:
- Semakin tua usia kemungkinan kekambuhan semakin tinggi
- Epilepsi simptomatik
- gambaran EEG masih abnormal
- tergantung jenis bangkitan : kekambuhan 5-25% pada epilepsi lena pada
masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simptomatik, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak
- penggunaan lebih dari satu OAE.
- masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan
tiga sampai lima tahun, atau lebih dari lima tahun
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.

II. TERAPI STATUS EPILEPTIKUS


Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan
harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan.
Klasifikasi
- SE konvulsif (bangkitan umum tonik klonik)

27
- SE non - konvulsif (bangkitan bukan umum tonik klonik)

Dosis obat untuk status epileptikus konvulsif

Cara
OAE Dosis dewasa Dosis anak
pemberian
Diazepam IV Bolus 10-20 mg pada pemberian< 5 0,25-0,5 mg/kg
Rectal mg/menit pada pemberian 2-5
IV Infus 10-30 mg mg/menit
3 mg/kg/hari 0,5-0,75 mg/kg
200-300 g/kg/hari
Pentobarbital IV Infusa 5-20 mg/kg pada rentang
pemberian < 25 mg/menit,
dilanjutkan 0,5-1,0 mg/kg/jam
meningkat sampai 1-3
mg/kg/jam
Phenytoin IV Bolus / 15-18 mg/kg pada rentang
Infusa pemberian < 50 mg/kg

Propofol IV Infusa 2 mg/kg, dilanjutkan 5-10


mg/kg/jam, kemudian
diturunkan menjadi 1-3
mg/kg/jam untuk rumatan burst
suppression
Thiopental IV Infusa 100-250 mg bolus diberikan
lebih dari 20 detik, kemudian
dilanjutkan 50 mg bolus tiap 2-
3 menit sampai kejang dapat
dikendalikan. Kemudian
pemberian lewat infus untuk
rumatan burst suppression (3-5

28
mg/kg/jam)

Protokol penanganan SE
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-respirator
Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi

Stadium II (0-60 menit) Memasang infus pada pembuluh darah besar


Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
lab.
Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10-20
mg iv ( kecepatan pemberian < 2-5 mg/menit
atau rectal dapat diulang 15 menit kemudian .
Memasukan 50 cc glukosa 50% dengan atau
tanpa thiamin 250 mg intravena
A. Menangani asidosis
Stadium III (0-60 90
menit)
Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah
pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv
15-18 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila
diperlukan
Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit)

Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60


menit, transver pasien ke ICU, beri Propofol
( 2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopentone (100-250 mg bolus iv pemberian

29
dalam 20 menit , dilanjutkan dengan bolus 50 mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
maintenance

Pada umumnya sekitar 80% pasien dengan SE konvulsius dapat terkontrol


dengan pemberian benzodiazepine atau phenytoin. Bila bangkitan masih
berlangsung, yang kita sebut sebagai status epileptikus refrakter, maka
diperlukan pengangan ICU untuk dilakukan tindakan anestesi.

Tindakan anestesi untuk status epileptikus refrakter


Obat Dosis Dewasa
Midazolam 0,1-1 mg/kg BB dengan kecepatan pemberian 4mg/menit dilanjutkan
dengan pemberian 0,05-0,4 mg/kgBB/jam melalui infus
Thiopenthone 100-250 mg bolus diberikan dalam 20 detik, kemudian dilanjutkan
dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai bangkitan teratasi.
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian dalam infus 3-5
mg/kgBB/jam
Phenobarbital 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit, kemudian 0,5-1
mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3 mg/kgBB/jam
Propofol 2 mg/kgBB kemudian ditingkatkan jadi 5-10mg/kgBB/jam

Status epileptikus non kolvusif ditemukan pada 1/3 kasus status epileptikus.
Dapat dibagi menjadi SE lena, SE parsial kompleks, SE nonkolvusius pada pasien
dengan koma, dan SE pada pasien dengan gangguan belajar.

Terapi status epileptikus non-konvulsif


Tipe Terapi pilihan Terapi lain

30
SE lena Benzodiazepine Valproate IV
IV/oral
SE parsial Clobazam oral Lorazepam/ phenytoin/ phenobarbital
kompleks IV
SE lena atipikal Valproat oral Benzodiazepine, lamotrigine,
topitamate, methylphenidate, steroid
oral
SE tonik Lamotrigine oral Methylphenidate, steroid
SE nonkolvusif Phenytoin IV atau Anestesia dengan thiopentone,
pada pasien koma Phenobarbital phenobarbital, propofol, atau
midazolam

III. TERAPI EPILEPSI REFRAKTER


Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai kadar
terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Bangkitan tersebut benar-
benar akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis
yang tidak tepat, ketidaktaatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan
dalam formulasi.
Penanganannya dapat dengan terapi bedah, stimulasi nervus vagus,
modifikasi tingkah laku, relaksasi, dan mengurangi dosis OAE.

IV. TERAPI BEDAH EPILEPSI


Tujuan :
terutama adalah membuat penderita terbebas kejang
meningkatkan kualitas hidup pasien
menurunkan morbiditas
menurunkan kecacatan psikososial
meminimalkan defisit neurologik fokal
Indikasi dan kriteria
Epilepsi refrakter
IQ > 70
Tidak ada kontra-indikasi pembedahan

31
Usia < 45 tahun
Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
Pada epilepsi dengan durasi lama
Mengganggu kualitas hidup
Manfaat operasi lebih besar dibanding resiko

Kontra Indikasi
a. Absolut
- penyakit neurologis yang progresif
- sindroma epilepsi yanhg benigna, dimana diharapkan terjadi remisi di
kemudian hari
b. relatif
- ketidakpatuhan terhadap pengobatan
- psikosis interiktal
- mental retardasi
IX. PROGNOSA
Prognosa dipengaruhi oleh:
1. etiologi
bangkitan yang disebabkan oleh infeksi memiliki prognosa lebih baik
daripada yang disebabkan oleh trauma, neoplasma, atau gangguan
vaskuler
2. tipe epilepsi
epilepsi tipe mioklonik lebih sulit untuk dikontrol
3. umur pasien
pasien yang mengalami serangan umum sekunder pada usia anak-anak
lebih resisten terhadap terapi.

32
ASPEK PSIKOSOSIAL, MEDIKO-LEGAL DAN KESEHATAN
REPRODUKSI

- Aspek sosial
Pasien epilepsi secara umum mempunyai kendala dalam hubungan sosial
dan kemasyarakatan karena :
1. Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit : kutukan, turunan,
dsb.
2. Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi : overproteksi,
penolakan, dimanjakan, dsb.
3. Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi :
penolakan, direndahkan, diisolasikan, dsb
4. Keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakit : dalam bidang pendidikan,
kemasyarakatan, seni dan olah raga, dsb.
Beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan :

1. Karakteristik penyakit : tidak menular, paroksismal, dapat disembuhkan,


dsb.
2. Karakteristik bangkitan: umum, parsial sederhana, partial kompleks,
atonik dsb.
3 3. Karakteristik pasien : kepribadian, pendidikan, keluarga, dsb
4 4. Sistem Sosial dan Hukum : adat istiadat, budaya, undang-undang,
dsb
5. Sosialisasi penyakit pada instansi terkait : pendidikan, tenaga kerja,
kepolisian, dsb

- Aspek pekerjaan
Epilepsi dapat menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja serta
meningkatkan risiko kecelakaan kerja, maka bangkitan harus terkontrol
Prinsip pilihan pekerjaan :
1. Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan.
2. Resiko kerja yang paling minimal.

33
3. Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan
4. Jadwal kerja yang teratur.
Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi pasien dan
dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi
jangan dirahasiakan.

- Aspek Olahraga
1. Pasien Epilepsi masih diperbolehkan melakukan olahraga.
2. Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan :
- Dilakukan di lapangan / gedung olah raga.
- Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, dll),
di ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll) sebaiknya dihindari.
- Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk
beberapa jenis olah raga, seperti : renang, atletik, senam, dsb.

- Aspek mengemudi
Resiko kecelakaan tergantung pada jenis dan frekuensi bangkitan.
Yang penting penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih
besar dibandingkan penyakit jantung, kencing manis, gangguan mental,
alkoholisme dan penyalahgunaan obat.
Pemberian Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) pada pasien epilepsi bervariasi sesuai
hukum tiap negara dengan prinsip :
- Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE
- Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu ( 24 bulan berdasarkan
pedoman POLRI ).
- Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku.
- Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian ijin
mengemudi dengan pertimbangan-pertimbangan :
- Pasien sudah terkontrol bangkitannya dan bebas bangkitan dalam jangka
tertentu ( perlu kesepakatan dengan pertimbangan berbagai aspek di atas ).

34
- Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih
pendek ( 6 12 bulan ) dapat dipertimbangkan, seperti bangkitan parsial
sederhana dan melibatkan anggota tubuh non dominan atau epilepsi
nokturnal.
- Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan
mungkin diperlukan syarat tambahan, seperti : berobat secara rutin,
rekaman EEG, Psikotes, atau masa bebas bangkitan lebih lama.
- Perlu ditentukan batas waktu maksimal mengemudi bagi pasien epilepsi
untuk menghindarkan stres fisik / psikis yang berlebihan ( maksimal 6
jam menurut pedoman POLRI)
- Perlu adanya komunikasi serta kerjasama dengan pihak pimpinan
/perusahaan tempat bekerja mengenai seluk beluk penyakit yang
diderita untuk dapat memberikan pengawasan langsung ( jadwal kerja,
lama kerja, lingkungan kerja, diet dsb ).
- Perlu antisipasi khusus terhadap epilepsi refleks ,diperlukan tes
povokasi

- Aspek Hukum
Prinsip umum : perlu ada perbedaan perlakuan hukum tertentu bagi
pasien epilepsi, khususnya pada hak dan kewajiban hukum,
pemberian asuransi kesehatan dan ijin mengemudi.
Perlu adanya komunikasi dan advokasi antara pihak / instansi yang
terkait untuk meletakkan pasien epilepsi pada posisi sebenarnya.

- Aspek perkawinan dan reproduksi


Pasien epilepsi diperbolehkan untuk menikah
Epilepsi mempengaruhi dan dipengaruhi keseimbangan hormonal ( estrogen
dan progesteron )
Hiposeksual sering terjadi pada pasien epilepsi, khususnya Epilepsi Lobus
Temporal (ELT)

35
Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada ELT dan
Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore,
oligomenore dan interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin
reproduksi meliputi : sindroma ovarium polikistik, hipogonadisme hipotalamik,
menopause prematur dan hiperprolaktinemia.
Pada catamenial epilepsy (bangkitan kejang yang ada hubungannya dengan
siklus haid) diterapi dengan azetasolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah
haid, atau diberikan clobasam.
Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 85 % dari yang diharapkan.
Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat
menurunkan tingkat dehidro-epiandrosteron sulfat dan indeks androgen
bebas, meningkatkan tingkat hormon steroid yang terikat globulin, dan
penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap Gonadotropin
releasing Hormon.
Fenitoin menurunkan Dehidro-epiandrosteron Sulfat ( DHEA-S).
Penggunaan valproat jangka lama berkaitan dengan kenaikan testosteron
serum dan DHEA-S.
Fenitoin, Fenobarbital, Karbamazepin dan pirimidon menurunkan efek
kontrasepsi oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal.
Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50
mikrogram etinilestradiol.
Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dapat mengurangi kejang.
Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak
mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral.
Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 4 kali.
Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman
pada perempuan hamil pasien epilepsi.
Suplemen asam folat 4-5 mg/hari dianjurkan saat hamil untuk mengurangi
risiko defek neural tube akibat OAE.
Pada semua perempuan pasien epilepsi yang berpotensi melahirkan anak
dianjurkan untuk diberi asam folat 0,4-4 mg mg/hari.

36
Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan
valproat menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar
obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara
berturut-turut (28%, 31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat
meningkat 25%.
Pada perempuan hamil pasien epilepsi trimester akhir dianjurkan untuk diberi
Vit K oral 20 mg/hari.
Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan pada ibu
yang menggunakan OAE penginduksi enzim.
Perempuan pasien epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum.
Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam
intravena.
Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5
%, karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%,
ethsuximide 90%.
Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi
menjadi malas minum.

37
CLINICAL SCIENCE SESSION
EPILEPSI

Pembimbing :
N. LAILLIYAH ., dr., Sp.S

Penyusun :
Risa Crisanti C1105266
Lucia Suhono C1105210
Centery 1301-1206-081
Putri Widnis 1301-1206-084
Rani Setyorini 1301-1206-087
Suci R 1301-1206-096
Hindiyati Nuriah 1301-1206-100

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF

38
R.S. DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2007

39

You might also like