You are on page 1of 8

A.

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES ABSORBSI


OBAT

Absorpsi obat merupakan cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah
lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular,
subkutan dan intraperitonial, melibatkan proses absorpsi obat yang berbeda-beda. Proses
absorpsi merupakan dasar yang penting dalam menentukan aktivitas farmakologi obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan memepengaruhi efek obat dan
menyebabakan kegagalan pengobatan.

1. Absorpsi obat melalui saluran cerna

Faktor-faktor yang memepengaruhi terhadap proses absorpsi obat pada saluran cerna
antara lain adalah:

a. Bentuk sedian

Dapat berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat, yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, suspensi,
emulsi, serbuk dan larutan, proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlebihan

Ukuran partikel bentuk sediaan juga memepengaruhi absorpsi obat. Makin kecil ukuran
partikel, luas permukaan bersinggungan dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan
melarut obat semakin besar. Dikarnakan adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu,
seperti bahan pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan emulgator, dapat memepengaruhi
waktu hancur dan melarut obat, yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat.

b. Sifat kimia fisika obat

Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf,
kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi obat

Contoh : penisilin V dalam bentuk garam K lebih mudah larut di banding penisilin V bentuk
basa

c. Faktor biologis

Faktor-faktor biologis yang mempengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna,
luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus,
serta banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi

d. Faktor lain-lain

Faktor lain yang mempengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain adalah umur, diet
(makanan), adanya interaksi obat dengan dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
2. Absorpsi obat melalui mata

Bila suatu obat di berikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi melalui
membran konjungtiva dan sebagian lagi melalui kornea. Kecepatan penetrasi tergantung pada
derajat inosiasi dan koefisien pertisi obat. Bentuk yang tidak terionisai dan mudah larut dalam
lemak cepat diabsopsi oleh membran mata. Oleh karana itu untuk obat yang bersifat asam
lemah penetrasi lebih cepat dalam suasana basa

3. Absorpsi obat melalui paru

Obat anestesi sistemik yang di berikan secara inhalasi akan diabsorpsi melalu epitel paru
dan membran mukosa saluran napas. Karena mempunyai luas permukaan besar maka absorpsi
melalui pembuluh darah paru berjalan dengan cepat.

4. Absorpsi obat melalui kulit

Penggunaa obat pada kulit bertujuan untuk mendapat kan efek sistemik. Absorpsi obat
melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena epidermis kulit
berfungsi sebagai membran lema biologis.

B. HUBUNGAN STURKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES


DISTRIBUSI OBAT

Distribusi obat merupakan sebuaha proses perpindahan suatau obat secara reversible
dari sirkulasi darah menuju ke interstisium (cairan ekstraseluler) dan/ atau sel-sel jaringann

Kecepatan dan besarnya distribusi obat dalam tubuh bervariasi dantergantung pada faktor-
faktor sebagai berikut :

Sifat kimia fisika obat, terutama kelarutan dalam lemak


Sifat membran biologis
Kecepatan distribusi aliran darah pada jaringan dan organ tubuh
Ikatan obat dengan sisi kehilangan
Adanya pengangkutan aktif dari beberapa obat
Masa atau volume jaringan

1. Struktur membran biologis

Membran biologis memiliki struktur yang sangat komleks dan dapat mempengaruhi
intensitas dan masa kerja obat, setelah pemberian obat secara oral, obat harus melalui sel
epitel saluran cerana, membran sistem peredaran tertuntu, melewati membran kapiler menuju
sel-sel organ atau reseptor obat.
Bila berkerja pada mikroorganisme yang patogen, obat harus menembus memebran sel
mikroorganisme untuk menghasilkan aktivitas yang diinginkan.

Membran biologis mempunyai dinding dua fungsi utama, yaitu.

Sebagai penghalang dengan sifat permeabilitas yang khas


Sebagai tempat untuk reaksi biotranformasi energi.

a. Komponen membran sel

Membran sel terdiri dari komponen komponen yang terorganisasi, yaitu:

1) Lapisan lemak bimolekul

2) Protein

3) Mukopolisakarida

b. Model membran sel

Dari berbagai model struktur membran sel, ada tiga model yang penting untuk diketahui.

1) Model struktur membran Dauson-Danielli

2) Model struktur membran robertson

3) Model struktur membran Singer dan Nicholson

2. Hubungan struktur, sifat kimia fisika dengan proses distrubusi obat

Pada umumnya distribusi obat terjadi dengan cara menembus membtan biologis melalui
proses difusi.

Proses difusi dibagi menjadi 2 yaitu

a. Difusi pasif

Penembusan membran biologis secara difusi pasif dibedakan menjadi 3 difusi yaitu:

1) Difusi melalui pori (cara penyaringan)

2) Difusi pasif dengan cara melarut pada lemak penyusun membran

3) Difusi pasif dengan fasilitas

b. Difusi aktif
Penembusan memebran secara difusi aktif dibedakan menjadi 2 yaitu:

1) Sistem pengangkutan aktif

2) Pinositosis

C. HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES EKSKRESI


OBAT

Eksresi adalah proses pengeluaran zat-zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Zat
tersebut merupakan zat kimia obat yang telah mengalami proses metabolisme di dalam hati
dan organ lain ditubuh. Ekskresi baik obat yang tak berubah maupun metabolit merupakan
tempat-hilang yang irreversibel. Akan tetapi perubahan metabolik mengakibatkan metabolit
mempunyai aktivitas dipertinggi, menurun atau sama sekali tak berubah.

Salah satu jalur pokok eksresi adalah melalui ginjal dengan jalan adanya atau
terbentuknya senyawa yang larut dalam air. Sesudah mengalami filtrasi glomerulus, resorbsi
tubular kedalam plasma betul-betul lengkap untuk zat yang koefisien partisinya tinggi
(lipid/air). Karena semua obat aktif (sebetulnya kemampuan mereka mengadakan penetrasi
dalam membran selular lipid) itu larut dalam lipid, konversi metabolik umumnya dihati,
menjadi bentuk yang lebih polar menjadi lebih penting untuk diekskresikan.

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau kedalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih
cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi dari obat yang
dikeluarkan dengan jalan filtrasi glomeruli sangat diperlambat, karena hanya obat bebas
mengalami filtrasi. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan,
misalnya benzilpenisilin (PP ca 50%) hampir diekresi seluruhnya dengan cepat. Ekskresi
adalah parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi
glomeruler terganggu oleh penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama tereliminasi
melalui mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih
panjang.

Ekskresi merupakan pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama


dilakukan oleh ginjal melalui air seni. Kebanyakan obat dikeluarkan melalui air seni dan
lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan
asli yang utuh, misalnya penisilin, tetrasiklin, digoksin, dan salisilat. Zat-zat dalam keadaan
ion yang mudah larut di air seni diekskresi dengan mudah. Zat-zat lipofil dan zat-zat tak
terionisasi lebih lambat ekskresinya, untuk meningkatkan sifat hidrofilnya maka pada
biotransformasi dimasukkan gugus -OH dan atau COOH kedalam molekulnya.

Selain itu eksresi dapat pula dilakukan dengan cara lain yaitu melalui kulit, paru-paru,
empedu, usus. Eksresi melalui kulit dikeluarkan bersama keringat, misalnya paraldehid dan
bromida (sebagian). Ekskresi melalui paru-paru dilakukan melalui pernapasan yang biasanya
hanya pada zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehid, dan anestetika (kloroform, halotan,
siklopropan). Untuk ekskresi melalui empedu terjadi pada obat yang dikeluarkan secara aktif
oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein (pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus
dengan empedu obat diresorpsi lagi. Sedangkan untuk ekskresi pada usus terjadi pada zat-zat
yang tidak atau tak lengkap diresorpsi usus dikeluarkan dengan tinja, misanya sulfasuksidin,
neomisin, dan sediaan-sediaan besi.

Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.

Macam Ekskresi :

Sebagian besar obat diekskresikan keluar tubuh melalui paru, ginjal, empedu atau hati,
sebagian kecil dengan kadar yang rendah diekskresikan melalui air liur dan air susu.

1. Eksresi obat melalui Paru-paru

Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang digunakan secara inhalasi,
seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, eter, kloroform, dan enfluran. Sifat fsik yang
menentukan kecepatan ekskresi obat melalui paru adalah koefisien partisi darah atau udara.
Obat yang mempunyai koefisien partisi darah atau udara kecil, seperti siklopropan dan
nitrogen oksida, diekskresikan dengan cepat, sedang obat dengan koefisien partisi darah atau
udara besar, seperti eter dan halotan, diekskresikan lebih lambat.

2. Ekskresi obat melalui ginjal

Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi obat melalui
ginjal melibatkan 3 proses, yaitu:

a. Penyaringan Glomerulus

Ginjal menerima 20-25 % cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2-1,5 liter darah
per menit dan 10% disaring melalui glomerulus. Membran glomerulus mempunyai pori
karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah 40 , erat
molekul lebih kecil dari 5000 dan obat yang mudah larut dalam cairan plasma tau obat yang
bersifat hidrofil.

Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewatkan semua zat yang lebih
kecil dari albumin melalui celah antar sel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat
protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organic (penisilin,
probenasid, salisilat, konyugat, glukuronid, dan asam urat) disekresi aktif melalui system
transport untuk asam organic, dan basa organic (neostigmin, kolin, histamine) disekresi aktif
melalui system transport untuk basa organic. Kedua system transport tersebut relative tidak
selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam orgain dan antar basa organic dalam system
transportnya masing-masing. Untuk zat-zat endogen misalnya asam urat, system transport ini
dapat berlangsung dua arah, artinya seksresi dan reabsorpsi. Ekskresi dapat diperlancar
dengan memperkuat disosiasi obat yang kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan
derajat ionisasi agak ringan. Misalnya untuk asam seperti barbital dapat diberikan natrium
bikarbonat hingga air seni bereaksi basa. Untuk alkaloida pemberian ammonium klorida akan
meningkatkan keasaman air seni, sehingga obat tersebut lebih banyak ionisasinya.
b. Penyerapan Kembali secara Pasif pada Tubulus Ginjal.

Sebagian besar obat diserap kembali dalam tubulus ginjal melalui proses difusi pasif.
Penyerapan kembali molekul obat ke membran tubulus tergantung sifat kimia fisika, seperti
ukuran molekul dan koefisien partisi lemak/air. Obat yang bersifat polar sukar larut dalam
lemak dan tidak diserap kembali oleh membran tubulus. Penyerapan kembali pada tubulus
ginjal sangat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat lektrolit lemah pada urin normal,
pH = 4,8-7,5, sebagian besar terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi dan mudah larut dalam
lemak sehingga mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.

Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu
untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli
yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih
banyak, sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya bila
urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam
ekskresi basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya
dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbital.

Obat yang bersifat asam lemah, seperti asam salisilat, fenobarbital, nitrofurantoin, asam
nalidiksat, asam benzoat dan sulfonamida, ekskresinya akan meningkat bila pH urin dibuat
basa dan menurun bila pH urin dibuat asam. Contoh: waktu paro biologis sulfaetidol yang
bersifat asam lemah pada pH urin = 5 adalah 11,5 jam , sedang pada pH urin = 8, waktu
paronya menurun menjadi 4,2 jam.

Asam kuat, dengan pKa lebih kecil dari 2,5 dan basa kuat, dengan pKa lebih besar dari
12, terionisasi sempurna pada pH urin sehingga sekreksinya tidak terpengaruh oleh perubahan
pH urin.

c. Sekresi Pengangkutan Aktif pada Tubulus Ginjal

Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui membran tubulus ginjal dengan
mekanisme pengangkutan aktif. Contoh:

1). Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti asam salisilat, penisilin, probenesid,
diuretika turunan tiazida, asam aminophirupat, konjugat sulfat, konjugat asam glukuronat,
indometasin, klorpropramid, dan furosemid.

2). Bentuk terionisasi oat yang bersifat basa, seperti morfin, kuinin, meperidin, prokain,
histamin, tiamin, dopamin dan turunan amonium kuartener.

Proses pengangkutan aktif obat di tubulus dapat memberi penjelasan mengapa


antibiotika turunan penisilin cepat diekskresikan dari tubuh.

Kombinasi probenesid dengan penisilin akan meningkatkan masa kerja penisilin


karena probenesid dapat menghambat sekresi pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif
sehingga ekskresi penisilin menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan
menimbulkan aktivitas lebih lanjut.
3. Ekskresi Obat melalui Empedu

bat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisis menjadi
senyawa yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati, melewati empedu, menuju ke usus
dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi
dengan asam glukuronat, asam sulfat atau glisin. Di usus bentuk konjugat tersebut secara
langsung diekskresikan melalui tinja atau mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri
usus menjadi senyawa yang bersifat non polar sehingga diserap kembali ke plasma darah.
Dari plasma senyawa akan kembali ke hati, dimetabolisis, dikeluarkan lagi melalui empedu
menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus, yang dinamakan
siklus enterohepatik. Siklus ini menyebabkan masa kerja obat menjadi lebih panjang. Zat
warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan
disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang
berguna memberi warna pada tinja dan urin.

Ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein
(pencahar). Setelah tiba kembali dalam usus dengan empedu, obat diresorpsi lagi. Siklus
enterohepatis ini memperpanjang eksistensi obat dan lama kerjanya, tetapi akhirnya dengan
induksi enzim diubah menjadi metabolit yang mudah diekskresi ginjal. Adakalanya obat di
dalam usus diionisasi hingga tidak diresorpsi kembali dan dikeluarkan dengan tinja. Contoh
lain adalah zat-zat asam (asam empedu, asam organik iod, yang digunakan sebagai obat
diagnostic saluran empedu) dan antibiotika penisilin, eritromisin serta rifampisin, yang
melarut baik dalam empedu dan digunakan pada infeksi saluran empedu. Pada umumnya
tubuh condong mengeliminasi melalui empedu obat dengan berat molekul diatas 600 dalton.

Contoh obat yang mengalami proses siklus enterohepatik antara lain adalah hormon estrogen,
indometasin, digitoksin dan fenolftalien, sedang obat yang langsung diekkresikan melalui
empedu melalui mekanisme pengangkutan aktif antara lain adalah penisilin, rifampisin,
streptomisin, tetrasiklin, hormon steroid dan glikosida jantung.

4. Ekskresi Obat melalui kulit

Obat dapat dieliminasikan dari berbagai rute salah satu diantaranya adalah kulit. Organ
utama proses ekskresi obat tentunya terjadi di ginjal, tetapi ekskresi obat juga terjadi di paru-
paru, di kulit melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan ekskresi minyak pada rambut.
Ekskresi obat pada kulit melalui keringat dan minyak jumlahnya sangat kecil, sehingga tidak
berarti besar dalam pengakhiran efek obat, ekskresi obat melalui ginjal berperan sangat besar
pada pengakhiran efek obat dalam tubuh.

Sangat sedikit sekali senyawa obat yang di ekskresikan ke luar tubuh melalui kulit bersama
keringat misalnya paraldehida dan sebagian bromida, kebanyakan dari obat bersifat tidak larut
dalam air memasuki jalur metabolisme dalam hati sehingga struktur obat menjadi polar dan
mudah diekskresi. Ekskresi melalui kelenjar minyak dirambut digunakan kedokteran forensik
untuk mendeteksi kematian akibat keracunan dengan adanya logam toksik seperti arsen pada
rambut.
Sumber: soekardjo, bambang.2008.kimia medicinal 1.airlangga university press.surabaya

You might also like