You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

1. ANAMNESIS PASIEN
A. Identitas Pasien

Nama : Tn. Isnandar

No Rm : W1608097811

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 73 Tahun

Alamat : Mentikan Prajurit Kulon

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiun

B. Keluhan Utama

Autoanamnesis : Kadang-kadang cenut-cenut di daerah wajah


sisi kiri, juga terasa nyeri dan terasa kebal

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Autoanamnesis: cenat-cenut sudah dirasakan sejak 1 bulan ,wajah


kiri terasa nyeri kadang terasa panas setelah terinfeksi Herpes
Zoster, bersifat hilang timbul, kadang terasa gatal, dan terasa tebal
sampai setinggi alis kiri, kadang pusing.

1
2

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Autoanamnesis: Hipertensi, Diabetes mellitus disangkal, tidak ada


riwayat trauma sebelumnya.

2. PEMERIKSAAN

2.1 Pemeriksaan Fisik

A. Status Interna Singkat

Tekanan darah : mmHg


Nadi : 66x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 37oC
Kepala : a/i/c/d -/-/-/- tampak ruam infeksi herpes
zoster pada dahi atas kiri sampai alis kiri
Leher : DBN
Paru : Inspeksi : Simetris,
Perkusi: sonor +/+,
Auskultasi: vesikuler +/+, Ronchi -/-,
wheezing -/-
Jantung : S1 S2 tunggal, mur-mur (-)
Abdomen : Inspeksi : simetris
Palpasi : konsistensi supel, hepar, lien
tidak teraba
Extremitas : Akral hangat, tidak ada edema
B. Status Neurologis
1. Kesan Umum
a) Kesadaran
o Kwalitatif : compos mentis
o Kwantitatif : G C S : 4 5 6
3

b) Pembicaraan
o Disartria :+
c) Kepala
o Bentuk : oval
o Asimetri :-
o Torticolis : -
o Muka (mask) : -

2.2 Pemeriksaan Khusus

a) Rangsangan Selaput Otak


o Kaku kuduk :-
o Kernig :-
o Brudzinski tanda leher :-
o Brudzinski tanda kontralateral :-
o Brudzinski tanda pipi :-
o Brudzinski tanda symphisis pubis : -
b) Saraf Cranialis
Nervus I : tidak dilakukan
Nervus II:
Nervus III, IV, VI
Kedudukan bola mata: tengah (D) / tengah (S)
Pergerakan bola mata
Ke nasal : +/+
Ke temporal atas : +/+
Ke bawah : +/+
Ke Temporal bawah : +/+
Ptosis : -/-
Pupil : bulat/bulat
Diameter pupil : 3mm / 3mm
4

Perbedaan lebar : -/-


Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tak langsung : +/+
Reaksi kovergensi : +/+
Nervus V
Cabang motorik
Otot masseter : +/+
Otot temporal : +/+
Cabang sensorik
V. 1 : Raba :+/ menurun
Nyeri:+/menurun
V. 2 : Raba :+/ +
Nyeri:+/+
V. 3 : Raba :+/ +
Nyeri:+/+

Nervus VII : facial palsy (-)


Nervus VIII : (terdapat penurunan fungsi pendengaran
disisi kiri karena usia)
Nervus IX dan X
Disartria : (-)
Disfonia : (-)
Nervus XII
Mengangkat bahu : +/+
Memalingkan kepala : +/+
Nervus XII
Kedudukan lidah saat istirahat: tengah (tidak
ada lateralisasi)
Kedudukan lidah saat gerak : tengah (tidak
ada lateralisasi)
Atrofi : (-)
5

c) Extremitas
Superior
Inspkesi
Atrofi otot: -/-
Palpasi
Nyeri : -/-
Kontraktur: -/-
Konsistensi: DBN/ DBN
Motorik
Kekuatan otot:
5 5
Sensorik
Rasa raba : +/+
Rasa nyeri : +/+
Reflek Fisiologis
BPR : +2/+2
TPR : +2/+2
Reflek Patologis
Hoffman : -/-
Tromner : -/-

Inferior
Inspkesi
Atrofi otot : -/-
Palpasi
Nyeri : -/-
Kontraktur : -/-
Konsistensi : DBN/DBN
Motorik
6

Kekuatan otot :
5 5

Sensorik
Rasa raba : +/+
Rasa nyeri : +/+
Reflek Fisiologis
KPR : +2/+2
APR : +2/+2
Reflek Patologis
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
d) Gerakan involunter
Tremor
Waktu istirahat : - (negatif di keempat extremitas)
Waktu gerak : - (negatif di keempat extremitas)
e) Refleks Primitif
Grasp refleks :-
Snout refleks :-
Sucking refleks :-
f) Susunan saraf otonom
Miksi : DBN
Salivasi : DBN
Defekasi : DBN

3. DIAGNOSA
Diagnosa Klinis: Post Herpetic Neuralgia, Parastesi Facial Sinistra
Diagnosa Topis: Nervus Trigeminal cabang 1
Diagnosa Etiologis: Herpes Zoster
7

4. RENCANA TERAPI
Alpentin 2x100mg
Xepaneuron 2x1
Paracetamol 3x500mg

5. PEMANTAUAN PERKEMBANGAN PASIEN


12 Agustus 2016

S O A P
KU : GCS : 456, Kes: CM -Dx Klinis: Hipoestesi P/o:
Baik, TD: 120/70 facial sinistra -Alpentin
tidak Nadi: 66x/menit -Dx Topis: Nervus 2x100mg
ada RR: 18x/menit Trigeminalis 1 -Xepaneuron
keluhan Temp: 37C -Dx Etiologis: Post Herpetic 2x1
Status Neurologis: Neuralgia -Paracetamol
-Dx Sekunder : Herpes 3x500mg
Zooster
Mot :
Pm N. Kranialis:
N. V.1 Sensorik raba
dan nyeri sinistra
(menurun)
N.VII Fasial palsy: (-
)
N. IX&X : Lingual
palsy (-)
N.XII : Tidak ada
lateralisasi
8

18 Agustus 2016

S O A P
KU : GCS : 456, Kes: CM -Dx Klinis: Hipoestesi P/o:
Baik, TD: 100/70 facial sinistra -Alpentin
tidak Nadi: 72x/menit -Dx Topis: Nervus 2x100mg
ada RR: 20x/menit Trigeminalis 1 -Xepaneuron 2x1
keluhan Temp: 36,9C -Dx Etiologis: Post -Paracetamol
Status Neurologis: Herpetic Neuralgia 3x500mg
-Dx Sekunder : Herpes
Zooster

Mot :
Pm N. Kranialis:
N. V.1 Sensorik raba
dan nyeri sinistra
(menurun)
N.VII Fasial palsy: (-
)
N. IX&X : Lingual
palsy (-)
N.XII : Tidak ada
lateralisasi
9

BAB II

PEMBAHASAN

1. NYERI
A. Definisi
Nyeri adalah suatu gejala dalam merasakan subyek dan
pengalaman emosional serta termasuk suatu komponen sensori,
komponen diskriminatori, respon-respon yang mengantarkan
ataupun reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh stimulus dalam suatu
kasus nyeri. Biasanya dirasakan hanya dalam bentuk suatu sensasi,
dengan gambaran yang dapat dibandingkan dengan sensasi lain
(seperti sentuhan atau penglihatan) yang mengikuti untuk
membedakan kualitas, lokasi, durasi dan intensitas dari suatu
stimulus. Nyeri sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh
yang timbul bilamana jaringan sedang dirusak dan menyebabkan
individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri ini.

B. Proses terjadinya nyeri


Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf.
Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas.
Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan
oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul
molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron
ke neuron berikutnya
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi
ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama
10

sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa


augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi
sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, atensi, serta
makna atau arti dari suatu rangsang
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah
mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran,
selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan
terhadap nyeri tersebut.
11

C. Jenis Nyeri
Nyeri terbagi menjadi nyeri adaptif atau nyeri nosiseptif, atau
nyeri akut dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut
sebagai nyeri neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik.
Nyeri akut atau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan
jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat
perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik
disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik
abnormal yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri
idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik
maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik
memenuhi somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan
sebagainya.
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi
jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh
beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat khemoterapi)
metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes
zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada
neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan
stimulus atau juga kombinasi.
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik. Nyeri ini
dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi
terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang
berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ viseral.
Stimulus ini bisa berupa mekanik, kimia dan termis, demikian juga
infeksi dan tumor. Reaksi stimulus ini berakibat pada sekresi
neurotransmiter seperti prostaglandin, histamin, serotonin,
substansi P, juga somatostatin (SS), cholecystokinin (CCK),
vasoactive intestinal peptide (VIP), calcitoningenen-related peptide
(CGRP) dan lain sebagainya. Nyeri neuropatik adalah non-self-
limiting dan nyeri yang dialami bukan bersifat sebagai protektif
12

biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam proses


patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama
yakni bulan sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga juga
berdampak luas dalam strategi pengobatan termasuk terapi
gangguan psikologik.

Berdasarkan Mekanisme Nyeri, Nyeri dapat diklasifikasikan


dalam 3 jenis yaitu :
1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang
tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan
menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah
terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi
nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang
dialami.
2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat
kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami
inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif
berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin,
prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung.
Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi
nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan
salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar
pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien
mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat
stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau
saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan.
3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan
adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang
diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan
13

metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada


Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang
dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga
menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan
tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA
(mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya
menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).

2. POST HERPETIC NEURALGIA (PHN)


A. Definisi
Neuralgia post herpetik (PHN) merupakan komplikasi yang
serius dari herpes zooster yang sering terjadi pada orang tua.
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris
atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan
dapat sampai tahunan. The International Association for Study of
Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri
kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau
nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya
malignitas.
Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri
neuropatik yang sangat mengganggu akibat infeksi Herpes zoster.
NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan dan usia
lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan
erupsi (cacar). NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang
timbul lebih dari 30 hari setelah onset (gejala awal) erupsi zoster
terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar
(burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching),
bahkan yang lebih berat lagi terjadi allodinia (rabaan atau
hembusan angin dirasakan sebagai nyeri) dan hiperalgesia (sensasi
14

nyeri yang dirasakan berlipat ganda). Pada pasien dengan NPH,


biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena.
Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area erupsi
yang sangat sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal
terhadap sentuhan ringan, nyeri atau temperature pada area kulit
yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan (allodinia
mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada
penelitian lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik
berhubungan dengan beratnya nyeri. Selain itu, pasien dengan
NPH lebih cenderung mengalami perubahan sensorik dibanding
penderita dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.
B. Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia
paska herpertika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat.
Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi
dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua
sampai empat kali lebih banyak pada individu dengan usia lebih
dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita
imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6
kasus per 1000; sedangkan untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan
4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunidefisiensi (HIV) atau
anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak
dibandingkan kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997
melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah
onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari
setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan
penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia paska
herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada
60 hari per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per
tahunnya.
15

Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia


Australia dan Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan
epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan
mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika
Serikat. Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami
nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia paska herpetika.
Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun
dilaporkan mencapai 48%.
C. Etiologi
Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus
herpes zooster. Virus varisella zoster merupakan salah satu dari
delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini
termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari
sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung
lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella
zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster
adalah infeksi virus yang terjadi senantiasa pada anak-anak yang
biasa disebut dengan varicella (chicken pox). Tipe Virus yang
bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3),
biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini
berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion
kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion
gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada
ganglion genikulatum.
Herpes zoster merupakan infeksi virus (yang sifatnya
terlokalisir) dari reaktivasi infeksi virus varicella-zoster endogen
(telah ada sebelumnya dalam tubuh seseorang). Virus ini bersifat
laten pada saraf sensorik atau pada saraf-saraf wajah dan kepala
(saraf kranialis) setelah serangan varicella (cacar air) sebelumnya.
Reaktivasi virus sering terjadi setelah infeksi primer, namun bila
sistem kekebalan tubuh mampu meredamnya maka tidak nampak
16

gejala klinis. Sekitar 90% orang dewasa di Amerika Serikat pada


pemeriksaan laboratorium serologik (diambil dari darah)
ditemukan bukti adanya infeksi varicella-zoster sehingga
menempatkan mereka pada kelompok resiko tinggi herpes zoster.
Angka insidens zoster dalam komunitas diperkirakan mencapai 1.2
hingga 3.4 per-1000 orang tiap tahunnya. Dari angka tersebut,
diperkirakan insidennya bisa mencapai lebih dari 500,000 kasus
tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan mengalami
NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko
perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas
60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000 orang pertahun,
sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan
mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan
bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru akibat
disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan
kualitas hidup. Sekali NPH terjadi, akan sangat sulit melakukan
penatalaksanaan secara efektif.

D. Patofisiologi
Informasi sensorik dari reseptor perifer dihantarkan melalui
system saraf dalam serangkaian neuron yang tersusun sedemikian
rupa sehingga membentuk sistem jaras asendens.
Badan sel neuron tingkat pertama : ganglion radiks dorsalis.
Neuron ini menghantarkan impuls dari reseptor ke medula spinalis,
(bila reseptor neuron tingkat pertama terletak pada daerah yang
dipersarafi oleh saraf-saraf kranial, maka aksonnya akan masuk
kebatang otak dan tidak berlanjut ke medula spinalis)
Badan sel neuron tingkat kedua terletak pada berbagai
substansia grisea medula spinalis atau batang otak dan
menghantarkan impuls lewat substansia alba medula spinalis ke
thalamus. Neuron tingkat ketiga menghantarkan impuls dari
17

thalamus ke korteks serebri dan badan sel nya terletak dalam


thalamus.
Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat
berlainan pada setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang
berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika juga berlainan.
Awalnya penderita herpes zoster ada terjadi cedera pada
neuronnya, tapi tidak perlu renercasi karena tidak membuat resolusi
nyeri. Cedera ini mengakibatkan neuron perifer mengadakan
discharge spontan dengan menurunkan ambang aktivasi untuk
menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak
menyebabkan nyeri.
Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan
respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan
kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara
sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan
inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus
menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai
area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan
sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut
saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini
menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun,
menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar.
Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak
sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang
pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai
respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C
karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A
yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan
superfisial kornu dorsalis medula spinalis.
18

Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf


A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C,
sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.

Beberapa penelitian yang menggunakan uji saraf sensorik


secara kuantitatif menunjukkan bahwa terdapat variabilitas
hilangnya sensoris yang lebih luas pada pasien NPH. Penelitian ini
mengkonfirmasi bahwa nyeri dan abnormalitas sensorik pada NPH
seringkali meluas dari dermatom yang terkena erupsi HZ.
Rowbotham dkk dan Field dkk menyebutkan bahwa terdapat dua
mekanisme patofisiologis yang berbeda pada berkembangnya
NPH: sensitisasi dan deaferensiasi. Baik sensitisasi perifer dan
sentral terlibat dalam patofisiologi NPH. Sensitisasi perifer terjadi
terutama pada serabut nosiseptor C tidak bermielin yang kecil.
Sensitisasi ini bertanggung jawab terhadap terjadinya nyeri seperti
terbakar spontan dan hiperalgesia namun dengan hilangnya
sensibilitas yang minimal. Alodinia pada sebagian pasien NPH
diduga disebabkan karena penjalaran ektopik dari serabut
nosiseptor C yang rusak dalam mempertahankan keadaan
sensitisasi sentral.
Deaferensiasi berkaitan dengan hilangnya sensoris dan
alodinia pada daerah yang mengalami parut. Deaferensiasi ini
menyebabkan alodinia yang diperantarai system saraf pusat.
Dugaan bahwa hilangnya hubungan sistim saraf pusat dengan
ganglion radiks dorsalis pada beberapa pasien, nyeri mungkin
disebabkan adanya perubahan sistem saraf pusat.
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni
nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada
sistem saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer
dan perubahan sinyal sistem saraf pusat, sehingga terjadi letupan
19

potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan


peningkatan respon terhadap stimulus.

E. Gejala Klinis
Tanda khas dari herpes zoster pada fase prodromal adalah
nyeri dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena.
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung
ke dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung
gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa
demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian,
setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah
bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai
intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan
ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu
penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi
akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi
biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai
berminggu-minggu.

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya.


Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia.
Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita,
tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi
kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien.
Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu
sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat
disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
20

respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti


terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara
lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal
yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam
menanggapi rangsang yang berulang.

Pada masa gelembung gelembung herpes menjadi kering,


orang sakit mulai menderita karena nyeri hebat yang yang
dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat
neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri
neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam
hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba tiba dan
tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan serangan kecil
dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang
atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita
datang sebelum gelembung gelembung herpes timbul, untuk
meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali.
Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala
defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri
khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat
tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia,
justru tempat tempat bekas herpes yang anestetik itu yang
dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post
herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi
dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun
telinga neuralgia postherpatikum otikum.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah
penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit
dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan
21

sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas


hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya
erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri
seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit
(disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan
terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri
yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

F. Diagnosis
Diagnosis Post Herpetic Neuralgia merupakan diagnosis klinis.
Adanya riwayat Herpes zoster diikuti nyeri yang menetap dikaitkan
dengan dermatom yang terkena atau daerah yang berdekatan
merupakan ciri khas NPH. Namun pada beberapa kasus tidak
terdapat riwayat erupsi Herpes Zooster. Pada kasus seperti ini
diagnosis definitif berdasarkan pemeriksaan serologik serial yang
kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik klinis. Uji diagnostik
ini berguna dalam penelitian yang dapat membantu dalam
penetapan protokol terapi. Uji diagnostik ini meliputi uji sensoris
kuantitatif, biopsi kulit dan uji konduksi saraf.
Pemeriksaan fisik harus termasuk perbandingan fungsi
sensorik didermatom yang terkena dengan yang di sisi
kontralateral. Hilangnya fungsi sensorik dalam menanggapi untuk
kedua rangsangan mekanik dan termal adalah umum pada pasien
dengan neuralgia postherpetic, sebagai amplifikasi sensorik
patologis (misalnya, allodynia dan hiperalgesia).

G. Terapi
Terapi pada Post Herpetic Neuralgia
22

a) Antidepresan trisiklik
Antidepresan trisiklik yang biasa digunakan di praktik sehari-hari
adalah amin tersier (amitriptilin, doksepin) dan amin sekunder
(desipramin, nortriptilin).
Mekanisme kerja ATS adalah menghambat uptakenoerepinefrin
dan serotonin, menghambat kanal kalsium serta sebagai antagonis
NMDA (N-methyl-D aspartic acid); dimana diketahui bahwa nyeri
juga ditransmisikan melalui reseptor NMDA disusunan saraf pusat.
Selain itu, ATS juga bermanfaat bagi pasien NPH karena efek
sedatifnya (antihistaminergik) dan efek ansiolitiknya, yang dapat
menangani gangguan tidur dan kecemasan. Antidepresan trisiklik
ini telah terbukti efikasinya pada penatalaksanaan NPH namun
tidak mendapatkan persetujuan FDA untuk terapi NPH. Faktor
utama yang membatasi penggunaan ATS adalah efek sampingnya.
Efek samping yang biasa
dijumpai antara lain: mulut kering, fatigue, dizziness, sedasi,
konstipasi, retensi urin, palpitasi, hipotensi ortostatik, kenaikan
berat badan, penglihatan kabur dan pemanjangan QT. Penggunaan
obat golongan ini harus lebih hati-hati pada orang tua dan pasien
dengan riwayat aritmia kordis atau penyakit jantung. Dosis awal
10mg setiap malam (2 jam sebelum tidur) dengan titrasi
ditingkatkan 20mg setiap 7 hari menjadi 50 mg kemudian menjadi
100mg dan 150mg tiap malam

b) Penghambat Kanal Kalsium

Baik gabapentin dan pregabalin telah terbukti efikasi dan


keamanannya dalam terapi NPH pada randomized controlled trial.
Keduanya tergolong dalam ligand alfa-2-delta yang telah
digunakan secara luas dan disetujui oleh Food and Drug
Administration(FDA). Mekanisme kerja keduanya dalam
23

menghasilkan efek analgesik diduga dengan mengikat secara


selektif pada subunit alfa-2-delta pada kanal kalsium tipe-L
sehingga mengurangi influks Ca2+ kedalam ujung saraf
presinaptik yang akan menghambat pelepasan neurotransmiter
pronosiseptif seperti glutamat dan substansi P yang berperan pada
sensitisasi sentral. Penggunaan gabapentin dapat menurunkan
derajat nyeri, memperbaiki gangguan tidur, mood dan kualitas
hidup secara bermakna. Dosis gabapentin yaitu 100mg 3x per hari
dengan titrasi 100-300mg ditingkatkan setiap 5 hari sampai dosis
1800-3600mg per hari.Efek samping yang sering dijumpai pada
penggunaan gabapentin adalah somnolens, dizziness, edema
perifer, gangguan pada penglihatan, cara berjalan atau
keseimbangan. Dosis pregabalin 75mg 2x per hari dengan titrasi
dosis ditingkatkan sampai 150mg 2x per hari dalam 1 minggu.
Sedangkan efek samping pregabalin adalah kenaikan berat badan,
dizziness dan somnolens. Karena sebagian besar pasien NPH
adalah orang tua sangat perlu diperhatikan tentang titrasi dosis
pada obat-obatan ini

c) Analagetik opioid

Saat ini golongan analgetik opioid direkomendasikan


sebagai terapi lini kedua atau ketiga untuk nyeri neuropatik seperti
NPH. Hal ini karena adanya perhatian terhadap penyalahgunaan
dan kekerasan dalam penggunaan golongan ini. Selain itu, hal yang
perlu diperhatikan adalah tolerabilitas terhadap sedasi dan keluhan
konstipasi yang sering dijumpai pada penggunaan obat ini
rekomendasi klinis penggunaan analgetik opioid pada NPH adalah
menggunakan dosis sekecil mungkin. Diawali dengan terapi
menggunakan agen kerja singkat. Bila pasien menunjukkan
tolerabilitas, dapat diganti opioid kerja panjang. Analgetik opioid
yang biasa digunakan adalah oksikodon, tramadol, tapentadol dan
24

morfin. Tramadol, suatu derivat sintetik kodein, merupakan


analgetik yang bekerja sentral memiliki sifat seperti analgetik
opioid dan ATS. Secara khusus, tramadol bekerja sebagai agonis
reseptor- yang lemah, menghambat re-uptakeserotonin dan
norepinefrin dan memfasilitasi pelepasan serotonin neuronal. Sifat
multimekanistik tramadol menghasilkan sifat antinosiseptif sentral.
Perbaikan nyeri dan kualitas hidup dengan tramadol telah
dibuktikan pada randomized controlled trial. Dosis yang
direkomendasikan adalah 50mg/hari dengan titrasi dosis dapat
ditingkatkan sampai 150mg 2 x per hari dalam 1 minggu. Reaksi
simpang yang umum dijumpai antara lain nausea, konstipasi, sakit
kepala dan somnolens. Penelitian Gilron dkk menunjukkan
penggunaan terapi kombinasi gabapentin dan morfin memberikan
efek analgesia yang lebih baik dengan dosis masing-masing obat
lebih kecil dibandingkan dengan terapi tunggal dengan efek
samping yang paling sering dilaporkan konstipasi, sedasi dan mulut
kering.

H. Prognosis
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada
tindakan perawatan sejak dini. pada umumnya pasien dengan
neuralgia post herpetika respon terhadap analgesik seperti
antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang
menetap dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka
diperlukan pencarian obat lanjutan untuk mencari terapi yang
sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia
paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang
terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik.
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
25

didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik


seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko
berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan
dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik
kemungkinan timbul kembali kecil.
26

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. DASAR DIAGNOSA KLINIS


Dari hasil anamnesis pasien diketahui bahwa gejala yang dialami pasien
yaitu berupa terasa cenat-cenut yang sudah dirasakan sejak 1 bulan ,wajah
kiri terasa nyeri kadang terasa panas setelah terinfeksi Herpes Zoster,
bersifat hilang timbul, kadang terasa gatal, dan terasa tebal sampai setinggi
alis kiri, kadang pusing. Hal ini memenuhi kriteria diagnose klinis dari
post herpetic neuralgia yaitu dengan gejala klinis berupa gangguan
sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan
hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia.

2. DASAR DIAGNOSA TOPIS


Merupakan dermatom di wajah yang mengenai persarafan nervus
trigeminal cabang 1 yaitu oftalmikus, dimana dermatom tersebut
menyebabkan adanya lesi pada radiks ganglion dorsalis sehingga pasien
merasakan nyeri.

3. DASAR DIAGNOSA ETIOLOGIS


Diagnosis Post Herpetic Neuralgia merupakan diagnosis klinis. Adanya
riwayat Herpes zoster diikuti nyeri yang menetap dikaitkan dengan
dermatom yang terkena atau daerah yang berdekatan merupakan ciri khas
NPH.

You might also like