You are on page 1of 6

Teologi Islam adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan

alam semesta menurut perspetif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran
Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam
merupakan berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa hal tersebut
memang identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama, berbicara tentang
kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, sebagai contoh termasuk soal wujud-Nya,
keesaannya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di
dalamnya, persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya. Ilmu yang
membicarakan mengenai aspek-aspek yang disebutkan ini, disebut Teologi, dan karena pembicaraannya
dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai Teologi Islam. Teologi Islam sebagai suatu disiplin
ilmu belumlah dikenal di zaman Nabi saw. Meski demikian, cikal bakal yang dapat mengarah kepada
lahirnya teologi Islam di kemudian hari, telah terdapat dalam ajaran dasar Islam sendir

Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran
agama atau kepercayaan. Pada sinkretismeterjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur
aliran atau faham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk
mencari keserasian, keseimbangan.

Bisa jadi ada yang mendapatkan limpahan rezeki namun ia adalah orang yang gemar maksiat. Ia tempuh
jalan kesyirikan lewat ritual pesugihan- misalnya, dan benar ia cepat kaya. Ketahuilah bahwa
mendapatkan limpahan kekayaan seperti itu bukanlah suatu tanda kemuliaan, namun itu
adalah istidraj. Istidraj artinya suatu jebakan berupa kelapangan rezeki padahal yang diberi dalam
keadaan terus menerus bermaksiat pada Allah.
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:



Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia
terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan
berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah. (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syuaib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits inihasan dilihat dari jalur lain).
Allah Taala berfirman,
Makna ayat-ayat diatas dapat diketahui bahwa istidraj adalah pemberian Allah SWT kepada
seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam didalam
lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka
kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah SWT.
Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia
bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah SWT, ia tidak
menyadari bahwa hal itu akan menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para sahabat
Nabi,saw., misalnya Salman al Farisi,ra, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di
suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila ia tidak dapat menjalankan amanah itu
dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud
syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu. Jadi istidraj adalah pisau
yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain
berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para
salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan
yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat
barokah dari sang guru. Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang
batin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : Musibah adalah,
bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya dijalan
agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah SWT
menyelipkan didalam hatinya istidraj. Dan beliau juga berkata : Celakalah orang yang
berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak
beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak
bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari
rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj.

Sedangkan ISTIDRAJ adalah suatu kelebihan/keunggulan yang diberikan oleh Allah pada para
hambanya yang bukan bertaqwa dan shalih, termasuk juga sebagian hambanya yang kafir dan
membangkang terhadap agamaNya. Kelebihan semacam itu sengaja diberikan oleh Allah
kepada mereka agar mereka bertambah jauh dari Allah dan tambah bermaksiat kepadaNya,
sampai pada batas dan waktu yang ditentukan. Yang pada umumnya diakhiri dengan akibat
buruk bagi orang itu. Misalnya saja Kekuasaan dan keunggulan yang diberikan kepada Firaun.
Yang mana dengan kekuasaan itu Firaun tidak bertambah taat kepada Allah. Bahkan makin
bertambah durhaka terhadapNya.

Ittiba adalah mengikuti satu pendapat dari seorang ulama dengan didasari pengetahuan dalil
yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah memberikan penjelasan yang
menukil dari perkataan Abu Dawud : Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan :
Ittiba adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam dan para shahabatnya radliyallaahu anhum [selesai lihat Ilamul-
Muwaqqiin 2/139].

Konsep ittiba inilah yang tercermin dari perkataan :

Al-Imam An-Numan bin Tsabit, Abu Hanifah :


Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari
mana kami mengambilnya [Hasyiyah Ibnu Abidin 6/293].

Ittiba
Ittiba artinya yang asal, ialah menurut. Dan arti yang dipakai oleh ulama, yaitu menurut apa-apa
perintah, larangan dan perbuatan Rasul, dan perbuatan sahabat-sahabatnya, maupun ia dapat perintah,
larangan, dan perbuatan itu dari membaca sendiri ataupun ia dapat karena bertanya kepada ulama, bukan
bertanya fikiran ulama. Orang yang menurut seperti yang tersebut itu dinamakan
Muttabi . Muttabi itu tidak perlu tahu bahasa Arab karena keperluannya hanya untuk mengerti sesuatu
hukum yang biasa buat beramal, bukan untuk memeriksa dalam-dalam buat qiyas mengqiyas, memberi
fatwa dan sebagainya. Kewajiban umat Islam di dalam hal berpegang kepada agama itu, hanya atas dua
jalan, yaitu berijtihad atau ber-ittiba, tidak lain. Di antara sahabat-sahabat Nabi tidak berapa banyak
Mujtahid, tetapi selain dari Mujtahid itu, semuanya muttabi, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang
muqollid, karena kalau mereka tidak tahu sesuatu hukum, lantas mereka bertanya kepada Nabi sendiri
atau kepada sahabat-sahabt Nabi, bagaimana perintah Nabi di perkara itu. Orang yang iitiba itu kalau
berjumpa dua keterangan yang berlawanan, maka pada masa itu, wajib ia periksa betul-betul mana yang
kuat.Umpamanya ada orang yang berkata, bahwa ada hadist mengatakan, membaca Al-Fatihah di
belakang imam itu wajib dan ada lain orang alim pula berkata, bahwa ada hadits mengatakan tidak boleh
membaca Al-Fatihah di belakang Imam, maka pada masa itu, si muttabi wajib memeriksa mana yang
lebih kuat keterangannya, karena di antara dua hadits itu, tentu ada yang lemah. Jangan ia berkata: Saya
tak bisa periksa, karena saya bukan orang alim.Kalau mau, semua bisa! Ingatlah, kalau ada tersiar khabar
tentang terbit uang palsu, maka pada masa itu, masing-masing yang mempunyai uang memeriksa dengan
sungguh-sungguh hingga bisa ia kenal antara yang palsu dengan yang tidak palsu.
Mengapakah tidak ia berkata: Saya tak tahu memeriksa uang palsu, karena saya bukan orang bank?
Mengapakah di perkara akherat saja orang-orang suka berkata: Saya tak bisa?
Taqlid
Taqlid artinya yang asal, ialah meniru; dan artinya yang digunakan oleh ahli agama, yaitu menurut
perkataan atau perbuatan seseorang di dalam hal agama. Dengan tidak mengetahui keterangan dari Al-
Quran atau Al-Hadits di tentang itu. Orang yang menurut orang lain seperti yang tersebut itu,
dinamakanMuqollid. Taqlid itu dilarang oleh agama. Firman Allah:





Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.
(QS Bani Israil/17: 36).

melepaskan diri dari ikatannya. Hal inilah yang sering menimbulkan sikap fanatisme (taashub) dalam
bermadzhab

Karena hal itulah, Taqlid memiliki kesamaan arti dengan kata-kata Ittiba dan Iqtida, hanya saja kata
Taqlid lebih banyak dipakai dalam arti mengikuti perbuatan-perbuatan (al-Syaukani, Irsyad, Op-Cit,
hal.265), dan Ittiba sering digunakan dalam masalah mengikuti faham-faham (Wahbah Ushul, Op-
Cit, Juz II, hal.1149), dan Iqtida lebih sering dipakai untuk istilah-istilah dalam ilmu sosiologi dengan
menggunakan istilah Taqalid yang berarti tradisi atau perbuatan-perbuatan yang bersifat tradisional dan
tidak berdasar pada landasan syariah (Ibid).
Sedangkan menurut istilah, Taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain dalam urusan keagamaan tanpa
menyelidiki dalil-dalilnya dari al-Quran dan al-Hadits (al-Ghazali, al-Mustasfa, Op-Cit, Juz II hal.122
dan al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqqi min Ilm al-
Ushul, Beirut Dar al-Fikr, Tth, hal.265 dan Ba Alawy, Abdurrahman bin Muhammad bin Umar al-
Hadlramai, Bughyah al-Mustarsyidin, hal.10) atau berarti mengikuti dan menerima hasil ijtihad para ahli
tanpa upaya pemeriksaan terhadap dalil-dalil atau argumentasi-argumentasi yang dipakai oleh para
mujtahid (Wahbah Ushul., Op-Cit, Juz II, hal.1148). Begitu juga dalam kitab al-Tarifat
mendefinisikannya sebagai berikut;

Taqlid adalah suatu ungkapan yang mencerminkan sikap seseorang yang mengikuti orang lain, baik
dalam pendapatnya maupun dalam perbuatannya dengan meyakini realitasnya tanpa melakukan
penyelidikan dan pemikiran terhadap dalilnya (al-Jurjani, al-Tarifat, hal.65)

Maksud samiyat adalah perkara yang tidak dapat digambarkan dengan pancaindera manusia
dan hanya dapat diketahui melalui al-quran dan al-hadis. Perkara samiyat juga boleh diberi
maksud perkara yang berlaku di luar batas akal fikiran manusia yang wajib dipercayai
sepenuhnya oleh umat Islam

ILMU USHULUDDIN
Ushul : pokok, fondmen, prinsip, aqidah, peraturan.
Aiddiin : agama
Ushuluddin adalah pokok-pokok atau dasar-dasar agama.
Ilmu tauhid dapat pula dikatakan ilmu ushuluddin karena menguraikan pokok-pokok kepercayaan dalam
agama islam.
Fathonah artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan 6.236
ayat Al Quran kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan
yang luar biasa.
Nabi harus mampu menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya sehingga mereka mau
masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan
cara yang sebaik-baiknya.
Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari bangsa Arab yang bodoh dan
terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan
berpengetahuan dalam 1 negara yang besar yang dalam 100 tahun melebihi luas Eropa.
Negara tersebut membentang dari Spanyol dan Portugis di Barat hingga India Barat.
Itu semua membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.

Trinitas adalah sebuah doktrin yang mendasar bagi iman Kristen; Kepercayaan atau
ketidakpercayaan pada Trinitas menandai Kekristenan sejati atau bukan. Namun demikian
penalaran manusia tidak dapat memahami Trinitas, demikian pula logika tidak dapat
menjelaskannya. Meskipun kata Trinitas tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi doktrin itu secara
gamblang diajarkan di Alkitab. Sejarah meneguhkan kebenaran ajaran Trinitas ini, sekalipun
sejak abad gereja mula-mula telah timbul ajaran yang berusaha untuk menentang ajaran
Trinitas ini.

DEFINISI TRINITAS

Istilah Trinitas berasal dari kata Inggris triunity merupakan gabungan dari kata tree yang
berarti tiga dan unity yang berarti kesatuan. Jadi kata ini digunakan untuk menekankan
kesatuan di antara pribadi dalam Trinitas tetapi juga menekankan keterpisahan dan kesetaran
dari tiga pribadi dalam Trinitas. Sebuah definisi yang baik tentang Trintas menyatakan Ada
satu Allah yang benar dan satu-satunya, tetapi di dalam keesaan dari Keallahan ini ada tiga
Pribadi yang sama kekal dan setara, sama di dalam hakekat tetapi beda di dalam Pribadi
(Ryrie, Teologi Dasar, Jilid 1, hal. 72).

Assamiyyat menurut bahasa berarti sesuatu yang ghaib yang hanya bisa diketahui secara
benar dengan cara ikhbari (berita yang didengar), yakni apa yang didengar dan diberitakan oleh
Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Atau dalam arti lain suatau perkara yang
tertera dalam al-Quran dan disebut dalam hadits Nabi saw sedangkan perkara itu tidak bisa
diterima oleh akal manusia biasa atau sesuatu yang ghaib yang tidak bisa ditangkap oleh panca
indra manusia biasa tapi harus dipercayai oleh setiap muslim akil dan baligh. Adanya perkara
ini demi untuk meyakinkan kepastian adanya risalah yang dibawa Rasulallah saw.
Hal yang menyangkut samiyyat ini banyak sekali diantaranya adanya para Malaikat, kitab kitab
yang diturunkan kepada para nabi, adanya qadha dan qadar, adanya mukjizat mukjizat yang
diberikan kepada para nabi, menyakini bahwa nabi Muhammad saw itu adalah nabi terakhir dan
nabi yang paling sempurna, adanya hari kiamat, siksa kubur, pahala dan dosa, hari
kebangkitan, hari dikumpulkan manusia di padang mahsyar, syafaat Nabi saw, hari
perhitungan, hari pertimbangan, telaga, jembatan (shirat), surga dan neraka, Arsy, Kursi, Lauhul
Mahfudh, penarikan Al-Quran, Isra Miraj, kehidupan para syuhada dalam kubur, dan lain
lainnya.

Semua ini adalah samiyyat atau perkara yang berhubungan dengan alam ghaib yang tidak bisa
ditangkap oleh panca indara manusia biasa, tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba dan kita hanya
mendengar dari kitab suci yang diturunkan kepada Nabi saw dan hadisth beliau atau semua
yang telah diterangkan oleh para nabi sehubungan dengan perkara tadi. Perkara perkara ini
merupakan ujian bagi manusia selama dia hidup di dunia.

You might also like