You are on page 1of 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN SPONDILITIS TB DI
RUANGAN TRAUMA CENTER RSUP DR M. DJAMIL PADANG

Oleh :
Arselina Riski Herdika, S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2017
SPONDILITIS TUBERKULOSIS

1. Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang
bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu
Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat
menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara
penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini
disebut juga sebagai penyakit Pott.
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal
pula dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada
vertebra C1 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit
neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling
jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga
jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).
Dari beberapa definisi spondilitis tuberjulosis dapat disimpulkan bahwa
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosisdisebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa
yang meng nai tulang vertebra.

2. Klasifikasi
Menurut kumar membagi perjalanan penyakit ada lima stadium yaitu :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6
8 minggu. Kedaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak
anak umumnya pada daerah sentral vertebrata.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk
masa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23
bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berbentuk sekuestrum
serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama
disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis
mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu
dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak atau aktifitas penderita serta hipoestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris, disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi
oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi
jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau
sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif
dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi
dan gangguan vesikuler vertebra. Derajat I III disebut sebagai
paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di
sebelah depan.

3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis,
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat
lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari
tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosis
atipik. Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering
tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang
bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal
bawah dan lumbal atas, sehingga di duga adanya infeksi sekunder dari suatu
teberkulosis traktus urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
peravertebralis.

4. Manifestasi Klinis
Menurut Tachdijan, 2005 gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
2. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
3. Pada awal dijumpai nyeri intercostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
4. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal.
5. Deformitas pada punggung (gibbus).
6. Pembengkakan setempat (abses).
7. Adanya proses TBC.

Kelainan neurologis yang terjadi pada 50% kasus spondilitis tuberkulosa karena
proses distruksi lanjut berupa:
1. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medulla spinalis
yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
2. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya
batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal.

5. Patofisiologi
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius.
Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat
terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut
di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons
imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian
menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.
Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang.
Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan,
atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang
menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan
pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya.
Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung
menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan
vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini
dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis
ligament yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap
tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk
massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla
spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar
masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada
bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau
regio glutea.

6. WOC /Pathway

Mycobacterium
tuberculosa
Invasi mikroorganisme melalui
sirkulasi darah

Masuk ke tulang
Invasi ke tulang dan sendi

Spondilitis
tuberkulosis
Proses inflamasi

Kerusakan Jaringan tulang


jaringan tulang dan medulla
Infeksi berlebihan Iskemia dan
nekrosis tulang
Abses tulang
Deformitas tulang Pembentukan
abses tulang
Ketidakmampuan melakukan
pergerakan Nyeri Resiko infeksi
Hambatan
mobilitas fisik

7. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein
Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi
pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium.
Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm3 di sekitar tempat suntikan 48-72 jam
setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus dengan
tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas
selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai
penyakit lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),
sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru
yang aktif)
d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-
streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada
kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang
cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
e. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan
kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial
akan memberikan hasil yang lebih baik.

2. Pemeriksaan Radiologis :
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
a. Foto Rontgen
1) Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang
abnormal).
2) Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat
terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.
b. Computed Tomography (CT Scan)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan
iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior
seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang
belakang.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis. Pada vertebra lumbal maka nanah akan
turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces
(Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis

9. Penatalaksanaan
Menurut Graham, 2007 pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa
harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah
atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts
paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medulla spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest) dapat berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapai
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium.
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
e. Pemberian nutrisi yang bergizi.

2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita
diberikan obat antituberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka, debridement, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, CT scan atau MRI ditemukan
adanya penekanan pada medulla spinalis.

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita


spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal seperti apabila terdapat cold abses, lesi tuberkulosa, paraplegia,
dan kifosis.

10. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan
diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung
bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal
dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri
dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat
pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa
mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) ,
keringat dingin dan penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasanya pada klien di
dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab
timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang
menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang
menderita penyakit menular tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan
kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan
dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah
cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai
penderita.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan
mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang
dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya.
Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan
juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi
dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah
dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin
meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada status
nutrisinya.

c. Pola eliminasi
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa
ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan
adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB
dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya
perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses
eliminasi.
d. Pola aktivitas
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung
serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien
membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam
melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan
tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau
tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam
keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya
hubungan interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap
bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan
terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal
curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara
merawat sehari-hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.

j. Pola penaggulangan stres


Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya,
akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan
rasa stres, klien akan bertanya-tanya tentang penyakitnya untuk
mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan
ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai
dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula
sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas
bawah, kelemahan fisik (anggota gerak)
2. Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan
terhadap pathogen; kerusakan jaringan

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Perencanaan
keperawatan
Intervensi Rasional

1 Hambatan Setelah dilakukan 1. Kaji keluhan nyeri, 1. Membantu dalam


mobilitas perawatan klien perhatikan lokasi, mengidentifikasi
fisik b.d dapat menunjukan lamanya, dan derajat
Nyeri, cara melakukan intensitas (skala 0 - ketidaknyamanan dan
paraplegia, mobilisasi secara 10). Perhatikan kebutuhan untuk
paralisis optimal sesuai petunjuk verbal dan /keefektifan analgesic.
ekstremitas dengan kondisis non-verbal.
bawah, daerah spondilitis. 2. Dorong penggunaan 2. Meningkatkan
kelemahan teknik manajemen sirkulasi umum,
fisik Dengan kriteria hasil stress, contohnya mengurangi area
(anggota : Klien mampu relaksasi progresif, tekanan dan kelelahan
gerak) melakukan aktivitas latihan nafas dalam, otot.
perawatan diri sesuai imajinasi visualisasi
dengan tingkat dan sentuhan
kemampuan, terapeutik. 3. Membantu dalam
mengidentifikasi 3. Kaji kemampuan mengantisipasi dan
individu atau dan tingkat merencanakan
masyarakat yang penurunan dalam pertemuan untuk
dapat membantu, melakukan kebutuhan individual.
klien terhindar dari mobilisasi. 4. klien dalam keadaan
cidera, nyeri 4. Hindari apa yang cemas dan tergantung
berkurang. tidak dapat sehingga hal ini di
dilakukan klien dan lakukan untuk
bantu bila perlu. mencegah frustasi dan
menjaga harga diri
klien.
5. Atur posisi 5. Memberikan data
fisiologis, meliputi : dasar tentang
Kaji kesejajaran dan kesejajaran tubuh dan
tingkat keyamanan kenyamanan klien
selama klien untuk perencanaan
berbaring sesuai selanjutnya.
dengan daerah
spondilitis.
6. Lakukan latihan 6. Latihan yang efektif
ROM. dan
berkesinambungan
akan mencegah
terjadinya kontraktur
sendi dan atrofi otot
yang sering terjadi
pada klien spondilitis
TB.
7. Kolaborasi dengan 7. Diberikan untuk
dokter pemberian mengurangi nyeri dan
analgetik. spasme otot.
8. Kolaborasi 8. Pemberian regimen
pemberian OAT. OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) sesuai
panduan akan
mengatasi masalah
utama pada klien
spondilitis.
9. Kolaborasi tindakan 9. Memberikan stabiltas
operatif. pada tulang belakang
dengan tindakan
pembedahan
2 Resiko Setelah dilakukan 1. Tekankan 1. Mencegah
penyebaran tindakan pentingnya tehnik kontaminasi
infeksi b.d keperawatan cuci tangan yang silang/menurunkan
peningkatan diharapkan resiko baik untuk semua resiko infeksi.
pemajanan infeksi berkurang individu yang datang
lingkungan sampai dengan kontak dengan
terhadap hilang. pasien.
2. Mengurangi resiko
pathogen; Kriteria Hasil : tidak
anggota keluarga
kerusakan ada tanda-tanda 2. Mengintruksikan
untuk tertular dengan
jaringan infeksi, suhu tubuh kepada pasien jika
penyakit yang sama
normal, hasil batuk atau bersin,
dengan pasien.
pemeriksaan maka ludahkan ke 3. Penyimpanan sputum
laboratorium tissue/kain. pada wadah yang
(leukosit, LED) 3. Menganjurkan terdesinfeksi dan
normal. penggunaan tissue penggunaan masker
untuk membuang dapat meminimalkan
sputum. Mereview penyebaran infiksi
pentingnya melalui droplet.
mengontrol infeksi,
misalnya dengan 4. Peningkatan suhu
menggunakan menandakan
masker. terjadinya infeksi
4. Monitor suhu sesuai sekunder.
indikasi.

DAFTAR PUSTAKA
NANDA International. 2011. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan
Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC Edisi 7. Jakarta: EGC.
https://www.scribd.com/doc/273690334/LP-Spondilitis-TB

You might also like