You are on page 1of 6

INTERPROFESSIONAL EDUCATION SEBAGAI UPAYA

MEMBANGUN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM


BERKOLABORASI DENGAN TENAGA KESEHATAN LAIN
Posted on 10 Desember 2014by nersdicky
Dicky Kurniawan, Widya Addiarto, Dewi Rachmawati

Tenaga kesehatan merupakan tenaga profesional yang memiliki tingkat keahlian dan
pelayanan yang luas dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang berfokus pada kesehatan pasien (Steinert, 2005 dalam Bennett, Gum,
Lindeman, Lawn, McAllister, Richards, Kelton, & Ward, 2011). Tenaga kesehatan
memiliki tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu di era global
seperti saat ini. Pelayanan bermutu dapat diperoleh melalui praktik kolaborasi antar
tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah perawat, dokter, dokter gigi,
bidan, apoteker, dietisien, dan kesehatan masyarakat (Sedyowinarso, Fauziah,
Aryakhiyati, Julica, Munira, Sulistyowati, Masriati, Olam, Dini, Afifan, Meisudi, &
Piscesa, 2011).

Pelayanan kesehatan sering sekali ditemukan kejadian tumpang tindih pada tindakan
pelayanan antar profesi yang diakibatkan karena kurangnya komunikasi antar tenaga
kesehatan dalam kerjasama tim (Sedyowinarso dkk., 2011). Kurangnya komunikasi maka
akan membahayakan pasien dalam memberikan pelayanan yang bisa menyebabkan
pasien terjatuh atau dalam keadaan bahaya. Selain itu kurang nya komunikasi juga
menyebabkan terlambatnya dalam pemberian pengobatan dan diagnosis terhadap pasien
yang yang berpengaruh terhadap outcome pasien. Sehingga seorang mahasiswa perawat
harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang efektif terutama dalam
berkolaborasi dengan dokter atau tenaga kesehatan yang lain yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas pelayanan pasien. (American Association of Critical-Care
Nurses, 2005, dalam Poore, Cullen, Schaar, 2014).
Kurangnya kemampuan komunikasi tersebut terjadi karena tidak adanya pelatihan atau
pendidikan penerapan kolaborasi antar tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan, kemampuan kolaborasi antar tenaga kesehatan perlu ditingkatkan.
Salah satu strategi untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi antar tenaga kesehatan
adalah melalui perubahan proses pendidikan profesional. Metode yang dapat digunakan
adalah melalui interprofessional education (Liaw, Siau, Zhou, & Lau, 2014;
Sedyowinarso dkk., 2011; Steketee, Forman, Dunston, Yassine, Matthews, Saunder,
Nicol, & Alliex, 2014).
Interprofessional education (IPE) merupakan bagian integral dari pembelajaran
professional kesehatan, yang berfokus pada belajar dengan, dari, dan tentang sesama
tenaga kesehatan untuk meningkatkan kerja sama dan meningkatkan kualitas pelayanan
pada pasien. Peserta didik dari beberapa profesi kesehatan belajar bersama dalam
meningkatkan pelayanan kepada pasien secara bersama-sama (kolaborasi) dalam
lingkungan interprofesional. Model ini berfungsi untuk mempersiapkan tenaga
kesehatan yang memiliki kemampuan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain
dalam sistem kesehatan yang kompleks. (Becker, Hanyok, & Walton-Moss, 2014).
Sehingga, strategi pendidikan komunikasi melalui IPE antara perawat dengan dokter
atau tenaga kesehatan lainnya dapat membangun budaya komunikasi dan kolaborasi
yang efektif dalam memberikan pelayanan kepada pasien (Liaw, Siau, Zhou, & Lau,
2014).
Meskipun IPE ini dapat membangun budaya komunikasi dan kolaborasi yang efektif
dalam memberikan pelayanan kepada pasien, namun ada beberapa tantangan dalam
pelaksanaannya. Tantangan tentang pelaksanaan IPE menurut World Health
Organization tahun (2010) menyatakan bahwa banyak sistem kesehatan di negara-
negara di dunia yang sangat terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan
masalah kesehatan di negara itu sendiri. Hal ini kemudian disadari karena permasalahan
kesehatan sebenarnya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat
memecahkan satu persatu permasalahan tersebut atau untuk meningkatkan kualitas
kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem uniprofessional.
Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata memberi dampak positif dalam penyelesaian
berbagai masalah kesehatan (Pfaff, 2014). Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan
bahwa terdapat hambatan dalam penyelenggaraan IPE. Hambatan ini terdapat dalam
berbagai tingkatan dan terdapat pada pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi,
budaya ataupun sikap. Sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai
persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktik
kolaborasi hingga perubahan sistem pelayanan kesehatan (Becker, Hanyok, & Moss,
2014).
Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik, peraturan
akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah komunikasi,
bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan pengajar, sumber
keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan
dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik, kekuatan pengaturan,
promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan, beasiswa, sistem penggajian,
dan komitmen terhadap waktu (Pfaff, 2014). Selain itu menurut Sedyowinarso (2011)
hambatan yang terjadi pada penyelenggaraan IPE adalah dari ego masing masing profesi,
beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi kesehatan,
fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas, paradigma terhadap profesi
kesehatan , kekaburan identitas dan peran masing-masing profesi, belum adanya
kejelasan paying hokum tiap profesi kesehatan, serta budaya .

Kemampuan bekerjasama secara interprofesi (interprofessional teamwork) tidak muncul


begitu saja, melainkan harus ditemukan dan dilatih sejak dini mulai dari tahap
perkuliahan agar mahasiswa mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan. Dalam
dunia kesehatan, IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai program
studi di bidang kesehatan serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama mengenai konsep
pelayanan kesehatan dan bagaimana kualitasnya dapat ditingkatkan demi kepentingan
masyarakat luas. Secara spesifik, IPE dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu
kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya melalui diskusi
interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat diaplikasikan
secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka mata masing-
masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan kesehatan, seorang
pasien menjadi sehat bukan karena jasa dari salah satu profesi saja, melainkan
merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan asuhan
kesehatan.
Pengembangan IPE di institusi pendidikan kesehatan tidak terlepas dari konsep berubah.
Perubahan merupakan suatu proses di mana terjadinya peralihan atau perpindahan dari
status tetap (statis) menjadi status yang bersifat dinamis. Perubahan dapat mencakup
keseimbangan personal, sosial maupun organisasi untuk dapat menerapkan ide atau
konsep terbaru dalam mencapai tujuan tertentu. Kurt Lewin (1951) dalam Hidayat
(2008) mengungkapkan bahwa seseorang yang akan berubah harus memiliki konsep
tentang perubahan yang tercantum dalam tahap proses perubahan agar perubahan
tersebut menjadi terarah dan mencapai tujuan yang ada. Tahapan tersebut meliputi
unfreezing, moving dan refreezing. Tahap Pencairan (Unfreezing) merupakan tahap awal.
Pada kondisi ini mulai muncul persepsi terhadap hal yang baru. Persepsi mencakup
penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus dan penterjemahan atau penafsiran
stimulus yang telah terorganisir yang akhirnya mempengaruhi pembentukan sikap.
Walgito (2004) mengungkapkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.

Faktor internal terdiri dari karakteristik individu, pengalaman dan pengetahuan.


Sedangkan faktor eksternal yaitu stimulus dan lingkungan sosial. Sikap dapat diartikan
sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek tertentu, apabila dihadapkan pada
suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap dosen yang positif terhadap IPE
mendorong untuk berperilaku mendukung sistem IPE yang baru. Berikutnya merupakan
tahap bergerak (Moving). Pada tahap ini sudah dimulai adanya suatu pergerakan ke arah
sesuatu yang baru. Tahap ini dapat terjadi apabila seseorang telah memiliki informasi
yang cukup serta kesiapan untuk berubah, juga memiliki kemampuan dalam memahami
masalah serta mengetahui langkah-langkah dalam menyesuaikan masalah atau
hambatan dalam penerapan IPE. Akhirnya, tahap pembekuan (freezing), yaitu ketika
telah tercapai tingkat atau tahapan yang baru. Proses pencapaian yang baru perlu
dipertahankan dan selalu terdapat upaya mempertahankan perubahan yang telah
dicapai. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perubahan yaitu proses penerimaan
terhadap model pembelajaran terintegrasi setelah dilakukan pergerakan dan merasakan
adanya manfaat dari pembelajaran IPE ini.
Bagan 1. Pengembangan IPE menurut Kurt
Lewin (1951) dalam Hidayat (2008)
Menurut Tyastuti, Onishi, Ekayanti, Kitamura (2013) bahwa untuk mengembamngkan
program IPE ini agar berhasil maka diperlukan beberapa langkah antara lain:

1. Melakukan seleksi program IPE


Seleksi ini untuk mengidentifikasi situasi dan kondisi setting intervensi dan pendidikan
yang akan diberikan serta menyeleksi metode yang tepat untuk program implementasi
yang akan dilakukan.

1. Mengembangkan program
Pengembangan program pembelajaran difokuskan pada sikap, keterampilan dan praktik
untuk mencapai kesuksesan dalam program IPE. Dalam program ini, mahasiswa
diberikan kesempatan untuk melakukan praktik kolaborasi secara langsung di setting
pelayanan klinik. Selain itu, pengembangan program ini, dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dalam bekerja secara kelompok untuk
meningkatkan kompetensi dan kemampuan yang mumpuni sehungga, peserta didik
mencapai tujuan kompetensi pendidikan. Dalam program IPE ini dapat mengembangkan
program formasi kognitif, tingkah laku dan kemampuan praktik kolaborasi.

1. Tujuan objektif dari program IPE


Prinsip dari model pembelajaran ini, adalah meningkatkan kemampuan berkomunikasi
mahasiswa dengan keluarga, dokter dan tenaga kesehatan yang lain serta memahami
peran sebagai perawat profesional.

1. Tutor dalam Program IPE adalah seorang yang berkompeten dan memiliki
kemampuan dalam komunikasi dan membentuk tim profesional, sebagai role model
dan mampu mendidik mahasiswa sesuai dengan level kompetensi mahasiswa.
2. Pendukung program IPE
Meliputi pembuatan scenario pembelajaran, scenario yang tepat, metode implementasi
program yang interaktif dan ice breaking activity, serta simulasi model yang mampu
meningkatkan skill kompetensi.

Berikut ini gambaran model pembelajaran IPE yang dapat dikembangkan:

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPE merupakan pembelajaran


yang efektif dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berkolaborasi dan
berkomunikasi secara efektif dengan tenaga kesehatan yang lain dalam memberikan
pelayan kesehatan yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Becker, K.L, Hanyok, L.A, Walton-Moss, B. (2014). The turf and baggage of nursing and
medicine: Moving forward to achieve success in interprofessional education. The
Journalfor Nurse Practitioners, 10:4, 240-244
Bennet, P.N, Gum, L., Lindeman, I., Lawn, S., McAllister, S., Richards, J., Kelton, M.,
Ward, H. (2011). Faculty perceptions of interprofessional education, Nurse Education
Today, 31, 571-576
Buring et al. (2009). Interprofessional Education: Definitions, Student Competencies,
and Guidelines for Implementations. Am J Pharm Educ, 73(4).
Liaw, S.Y, Siau, C., Zhou, W.T, Lau. (2014). Interprofessional simulation-based education
program: A promising approach for changing stereotypes and improving attitudes toward
nurse-phisician collaboration. Applied Nursing Research, 27, 258-260.
Pfaff, Michele A. (2014). Learning together: The image gently interprofessional
simulation for nursing and allied health students. Teaching and Learning in
Nursing, 9 (1), 108114.
Poore, J.A, Cullen, D.L, Schaar, G.L. (2014). Simlation-based interprofessional education
guided by Kolbs experiential learning theory. Clinical Simulation in Nursing, 10, e241-
e247
Sedyowinarso, M., Fauziah, F.A., Aryakhiyati, N., Julica, M.P, Munira, L., Sulistyowati,
E., Masriati, F.N., Olam, S.J., Dini, C., Afifah, M., Meisudi, R., Piscesa, S. (2011). Persepsi
dan kesiapan mahasiswa & dosen profesi kesehatan terhadap model pembelajaran
pendidikan interprofesi: Kajian nasional mahasiswa ilmu kesehatan Indonesia. Proyek
HPEQ Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Steketee, Forman, Dunston, Yassine, Matthews, Saunder, Nicol, & Alliex. (2014).
Interprofessional health education in Australia: Three research projects informing
curriculum renewal and development. Applied Nursing Research, 27, 115-120
Tyastuti, Dwi, Onishi, Hirotaka, Ekayanti, Fika and Kitamura, Kiyoshi. (2013) An
Educational Intervention of Interprofessional Learning in Community Based Health Care
in Indonesia: What did We Learn from the Pilot Study?, Journal of Education and
Practice, 4 (25)

Sumber :

(Kurniawan, 2014)

You might also like