You are on page 1of 10

SKROFULODERMA

Pendahuluan
Tuberkulosis kutis (tb kutis) merupakan salah satu penyakit kulit yang sulit untuk
ditegakkan diagnosisnya terutama bagi ahli kulit di negara-negara berkembang. Hal ini tidak
hanya dikarenakan banyaknya diagnosis banding yang harus dipikirkan namun juga
diakibatkan sulitnya untuk mendapatkan konfirmasi mikrobiologi untuk kasus ini. Secara
garis besar terdapat empat kategori dari tb kutis yaitu inokulasi dari faktor eksogen (inokulasi
tb primer dan tuberkulosis verukosa kutis), penyebaran secara endogen (skrofuloderma) atau
yang dikenal sebagai autoinokulasi (tuberkulosis kutis orifisialis), penyebaran secara
hematogen (lupus vulgaris, tuberkulosis miliar is akut dan tuberkulosis ulkus, guma atau
abses) dan tuberkulid (eritema induratum [Bazins disease], tuberkulid papulonekrotik, dan
liken skrofulosorum).
Skrofuloderma merupakan bentuk tertua tb kutis yang disebutkan dalam literatur
kedokteran dan dikenal sebagai the kings evil. Skrofuloderma adalah bentuk tb kutis tersering
di negara berkembang dan sebagian eropa. Penyakit ini menyerang semua usia mulai dari
anak-anak, dewasa muda hingga orang tua. Skrofuloderma merupakan hasil penjalaran secara
perkontinuitatum dari organ di bawah kulit yang menjadi fokus tuberkulosis. Biasanya berupa
kelenjar limfe, tulang atau sendi, kelenjar lakrimalis dan duktus yang terinfeksi tb
sebelumnya. Pada sebuah laporan kasus yang melibatkan dua puluh tiga pasien dengan
skrofuloderma, didapatkan hasil skrofuloderma yang terjadi berasal dari nodus limfe servikal,
lalu diikuti oleh aksila, inguinal, epitroklear, retroaurikular, tibia dan fibula. Wajah, leher dan
dinding dada adalah tempat predileksi utama lesi dari skrofuloderma.
Penegakan diagnosis skrofuloderma dibangun berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis skrofuloderma awalnya ditandai dengan
limfadenitis tuberkulosis, lalu timbul nodul subkutan, likuifaksi hingga terbentuknya jaringan
parut. Pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) menjadi pilihan utama terapi
skrofuloderma disamping terapi pembedahan. Walaupun skrofuloderma merupakan penyakit
yang bisa sembuh sendiri, namun dikarenakan tingginya insidensi penyakit ini dan
kemungkinan timbulnya jaringan parut yang dikenal sebagai typical cord-like scars.

1
Definisi
Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah
tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran
sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ
bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya limfadenitis
tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.

Gambar 1. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk karakteristik skar


yang berlipat/berkerut.

Epidemiologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan
manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah
dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. Kini skofuloderma
paling sering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-negara berkembang.
Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium bovis adalah
penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara berkembang. Prevalensinya lebih tinggi
pada anak, remaja, dan orang tua.

Etiologi
Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit (ekstensi
dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan jaringan kulit
dan luka terbuka). Mycobacterium tuberkulosis merupakan penyebab utama dari
skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam dan alkohol
yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini resisten terhadap
degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium bovis,

2
Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga
merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.

Patogenesis
Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit
yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah bening,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya pada tempat-
tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang tersering pada leher,
kemudian disusul di ketiak dan yang terjarang di lipatan paha.
Porte dentree skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak
maka kemungkinan porte dentree pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas
bawah. Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher,
ketiak dan lipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran secara
hematogen.
Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian
periadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat
bergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar-
kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus ke
permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau ireguler
dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan, dasar jaringan
yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut menghubungkan
daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-kadang di atas sikatriks
(jaringan parut) tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).

Gejala Klinis
Skrofuloderma paling sering timbul di regio parotid, submandibula, dan
supraklavicula, serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari
kelenjar getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila
dan inguinal.
Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-bulan,
liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus yaitu bentuk
memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung, sekitarnya berwarna merah

3
kebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar jaringan granulasi tertutup pus
seropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah kulit.

Gambar 2. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi purulen dan perkijuan.

Gambar 3. Skrofuloderma pada regio aksila: plak dan nodul dengan ulkus sentral yang
mengakibatkan skar dan retraksi.

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi
organ dalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher, dinding
dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. Jaringan parut
ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit normal dengan proses
penyembuhannya memakan waktu yang lama.

Diagnosis
Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:
1. Anamnesis
Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.

4
Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,
tempat kerja, dan lain-lain).
Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi tuberkulosis.
Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita, misalnya:
batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan menurun, kelainan
miksi, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan fisik
Pembesaran kelenjar getah bening
Abses dan multipel sinus
Ulkus yang khas
Jaringan parut
Jembatan kulit (skin bridge)
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal
dari paru.
Pemeriksaan bakteriologik.
Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud adalah pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap bahan yang
diambil dari dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau
inokulasi pada marmut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil
pemeriksaan BTA akan ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma,
misal Mycobacterium tuberculosis.

5
Gambar 4. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah, pada tengah lapangan
pandang.

Pemeriksaan laboratorium darah


Hasil umumnya menunjukkan peningkatan laju endap darah (LED).
Pemeriksaan histopatologi
Saluran sinusoid pada skrofuloderma menunjukkan adanya inflamasi akut dan
kronik yang bersifat nonspesifik. Bagian tengah lesi didominasi oleh nekrosis
masif dan pembentukan abses. Namun, bagian perifer dari abses atau batas-
batas sinus mengandung granuloma tuberkuloid. Nekrosis perkijuan dengan
bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam.
Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.

Gambar 4. Skrofuloderma: tampak abses dikelilingi infiltrat predominan histiosit.

Tes tuberkulin.
Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein
tuberkulin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila

6
pasien memiliki sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes
akan positif antara 2 sampai 10 minggu setelah infeksi dan tetap positif setelah
bertahun-tahun. Biasanya dengan cara menyuntikkan Purified Protein
Derivative (PPD) 0.1 cc intrakutan dengan kekuatan 5 tuberkulin unit (TU).
Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk pasien Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif 5 mm], berarti sedang atau pernah
mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria
patogen lainnya. Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya
positif pada penderita skrofuloderma.
Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.
Dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37C. Jika
positif, koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

Diagnosis Banding
Skrofuloderma didiagnosis banding dengan limfadenitis Mycobacterium avium-
intraselular, guma sifilis, sporotrikosis, aktinomikosis, bentuk-bentuk berat dari akne
konglobata, dan hidradenitis supurativa.
Limfadenitis M. Avium intracellulare dan infeksi M. Scrofuloderma dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biakan bakteri. Jika didaerah aksila, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada daerah apokrin. Penyakit tersebut sering
didahului oleh trauma/mikrotrauma, misalnya banyak keringat, pemakaian deodorant, atau
rambut ketiak digunting. Hidradenitis supurativa bersifat akut disertai tanda-tanda radang
akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi, dan leukositosis.
Skrofuloderma di daerah inguinal kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu
limfogranuloma venereum. Perbedaan yang penting adalah pada limfogranuloma venereum
terdapat tersangka senggama pada anamnesis, disertai gejala konstitusi (demam, malaise,
artralgia), dan terdapat tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada limfogranuloma
venereum yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial dan perineal,
sedangkan pada skrofuloderma menyerang kelenjar getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada stadium lanjut, pada limfogranuloma venereum terdapat gejala bubo bertingkat yang
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fossa iliaca.

7
Skrofuloderma di daerah ektremitas harus dibedakan dengan sporotrikosis. Biasanya
pada sporotrikosis timbulnya nodul subkutan disertai dengan tanda-tanda radang, terdapat
indurasi, dan penyebarannya khas limfogen proksimal sesuai dengan perjalanan pembuluh
getah bening. Pada pembiakkan akan ditemukan jamur penyebabnya. Uji tuberkulin biasanya
negatif.

Penataelaksanaan
Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan durasi
yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh mikroorganisme yang
menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain bakteri tertentu terhadap obat
dan timbulnya rekurensi.
Tata laksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri
penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik. Tb kutis, termasuk
skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat pengobatan tb kategori III.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi tb kutis
menjadi 2 fase terdiri dari:
Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase inisial
dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.
Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-
3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk mengeliminasi
sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.

Tabel 1. Paduan OAT Kategori III

Tablet Tablet Tablet Tablet


Tahap Lama Jumlah kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan minum obat
(5mg/kgbb) (10mg/kgbb) (25mg/kgbb) (18mg/kgbb)
Tahap inisial
(dosis 8 minggu 1 1 3 1 60
harian)

8
Tahap 2 1

lanjutan
18 minggu Dosis: Dosis: - - 54
(dosis
3xseminggu) 10mg/kgbb 10mg/kgbb

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma


karena dapat mengurangi morbiditas.5

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)


BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru
dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya pada
pasien dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes
tuberkulinnya akan memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang
cukup lama. Tingkat efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan penambahan
usia.
Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk melaporkan hanya
27 pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang mengalami reaksi pada
kulit. Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei yang dilakukan di Perancis
tahun 1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari vaksin BCG adalah sebesar 0.59
tiap 1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan vaksinasi. Walaupun terdapat data
jumlah keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehatan,
rata-rata komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi, dengan
komplikasi serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi.
Secara umum komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu:
komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional yang berat,
lupus vulgaris, Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit diseminata dan
osteitis) dan komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan
konjungtivitis pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria,
eritema multiform, eksema, dan erupsi makula simpel).

9
Prognosis
Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara amat
lambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan sepenuhnya
oleh jaringan parut. Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang, kelenjar, dan paru
juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.

10

You might also like