You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ketika menghadapi pasien kita memerlukan etika sebagai aturan berperilaku
maupun bertingkah laku. Di dalam etika keperawatan membahas dua jenis prinsip yaitu
etika dan moral. di dalam moral kita ditentukan tentang sifat baik atau buruk, benar atau
salah dan juga layak atau tidak layak. Ketika mengambil keputusan secara etis kita
harus menentukan kerangka membuat keputusan, langkah-langkah membuat keputusan,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan secara etis. Untuk itulah
makalah ini dibuat agar calon perawat mengetahui dan memahami tentang keputusan
etis dan moral.
Keputusan adalah pilihan yang dibuat dari dua atau lebih pilihan. Pengambilan
keputusan biasanya terjadi atas adanya masalah ataupun suatu pilihan tentang
kesempatan.
Pengambilan keputusan dalam penyelesaian masalah adalah kemampuan
mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan. Tidak hanya
berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan, tetapi penting untuk
meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat pada semua tingkatan
posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil
keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin.
Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap
hakekat suatu masalah dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan alternatif
yang matang untuk mengambil suatu tindakan yang tepat.
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan bukan merupakan bentuk
sinonim. Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan
pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Pengambilan
keputusan merupakan upaya pencapaian tujuan dengan menggunakan proses yang
sistematis dalam memilih alternatif. Tidak semua pengambilan keputusan dimulai
dengan situasi masalah.

1
Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses pengambilan keputusan,
yang difokuskan untuk mencoba memecahkan masalah secepatnya. Masalah dapat
digambarkan sebagai kesenjangan diantara apa yang ada dan apa yang seharusnya
ada. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa
individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan mengembangkan dirinya dengan
adanya bimbingan dan role model di lingkungan kerjanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Habitual Konsep Dalam Pengambilan Keputusan?
2. Bagaimana Kerangka Pembuatan Keputusan?
3. Bagaimana Pendekatan Pengambilan Keputusan?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat memahami etika keperawatan tentang habitual
konsep dalam pengambilan keputusan masalah etik yang bertanggung jawab.
2. Tujuan khusus
a. Memahami habitual konsep dalam pengambilan keputusan
b. Kerangka pembuatan keputusan.
c. Pendekatan pengambilan keputusan

2
BAB II
ISI

A. Pengertian Habitual Model Pengambilan Keputusan


Habitual dalam arti lain tradisi (bahasa latin : traditio, diteruskan) atau
kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke
generasi baik tertulis maupun (seringkali) lisan. Karena tanpa adanya ini, suatu
tradisi dapat punah.
Pada tipe ini, pengambilan keputusan dilakukan terhadap masalah yang dibuat
didasarkan pada sebagian kecil dari kesadaran , sehingga terkadang kita mengambil
keputusan tanpa kita sadari hingga kita berhenti dan memperhatikan hasilnya
Model adalah percontohan yang mengandung unsur yang bersifat
penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika perlu). Pengambilan keputusan itu sendiri
merupakan suatu proses berurutan yang memerlukan penggunaan model secara cepat
dan benar.
Pentingnya model dalam suatu pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah hubungan yang bersifat tunggal dari unsur-unsur itu
ada relevansinya terhadap masalah yang akan dipecahkan diselesaikan itu.
2. Untuk memperjelas (secara eksplisit) mengenai hubungan signifikan diantara
unsur-unsur itu.
3. Untuk merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan-hubungan antar
variabel. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk matematika.
4. Untuk memberikan pengelolaan terhadap pengambilan keputusan.
Model merupakan alat penyederhanaan dan penganalisisan situasi atau system
yang kompleks. Jadi dengan model, situasi atau sistem yang kompleks itu dapat
disederhanakan tanpa menghilangkan hal-hal yang esensial dengan tujuan
memudahkan pemahaman. Pembuatan dan penggunaan model dapat
memberikan kerangka pengelolaan dalam pengambilan keputusan.

3
Jadi, habitual model pengambilan keputusan adalah sebuah model keputusan
yang seringkali dipilih dalam menentukan pemecahan masalah dalam pengambilan
keputusan dilema etik dalam praktik keperawatan di rumah sakit.

B. Model Pengambilan Keputusan Dilema Etik Secara Bertanggung Jawab


Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada
pengambilan keputusan etik yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat
ditantang ketika harus berhadapan dengan masalah dilema etik, untuk memutuskan
mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada jawaban benar atau
salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan
bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi
sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika
tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis
bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan
takut saat proses pengambilan keputusan rasional.
Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya
kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada tulisan ini akan
dibahas mengenai dilema etik pada kasus pasien dengan gagal ginjal terimnal yang
menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal.
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan
penyelesaian masalah / dilema etis adalah :
1. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan
membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan
yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut

4
pembedaan diri. Praktek profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat
menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.

2. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam
situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.

3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan

4. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan
psikologik. Segala tindakan yang dilakukan pada klien.

5. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk
meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani
perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya
batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien
untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa doctor knows best

5
sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan
informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun
hubungan saling percaya

6. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk
mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan
kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab
dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

7. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien
harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien
hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti
persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya
pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

Sikap Terhadap Kematian


Perawat dituntut untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakannya khususnya
selama melaksanakan tugas di rumah sakit, puskesmas, panti, klinik atau masyarakat.
Meskipun tidak dalam rangka tugas atau tidak sedang meklaksanakan dinas, perawat
dituntut untuk bertangungjawab dalam tugas-tugas yang melekat dalam diri perawat.
Perawat memiliki peran dan fungsi yang sudah disepakati. Perawat sudah berjanji
dengan sumpah perawat bahwa ia akan senantiasamelaksanakan tugas-tugasnya. Contoh
bentuk tanggung jawab perawat selama dinas; mengenal kondisi kliennya,melakukan
operan, memberikan perawatan selama jam dinas, tanggung jawab dalam

6
mendokumentasikan, bertanggungjawab dalam menjaga keselamatan klien, jumlah
klien yang sesuai dengan catatan dan pengawasannya, kadang-kadang ada klien pulang
paksa atau pulang tanpa pemberitahuan, bertanggung jawab bila ada klien tiba-tiba
tensinya drop tanpa sepengetahuan perawat.
Tanggung jawab perawat erat kaitanya dengan tugas-tugas perawat. Tugas
perawat secara umum adalah memenuhi kebutuhan dasar. Peran penting perawat adalah
memberikan pelayanan perawatan (care) atau memberikan perawatan (caring). Tugas
perawat bukan untuk mengobati(cure). Dalam pelaksanaan tugas di lapangan
adakalanya perawat melakukan tugas dari profesi lain seperti dokter, farmasi, ahli gizi,
atau fisioterapi. Untuk tugas-tugas yang bukan tugas perwatseperti pemberian obat
maka tanggung jawab tersebut seringkali dikaitkan dengan siapa yang memberikan
tugas tersebut atau dengan siapa ia berkolaborasi. Dalam kasus kesalahan pemberian
obat maka perawat harus turut bertanggung-jawab, meskipun tanggung jawab utama ada
pada pemberi tugas atau atasan perawat, dalam istilah etika dikenal dengan Respondeath
Superior.Istilah tersebut merujuk pada tanggung jawab atasan terhadap perilaku salah
yang dibuat bawahannya sebagai akibat dari kesalahan dalam pendelegasian. Sebelum
melakukan pendelegasian seorang pimpinan atau ketua tim yang ditunjuk misalnya
dokter harus melihat pendidikan, skill, loyalitas, pengalaman dan kompetensi perawat
agar tidak melakukan kesalahan dan bisa bertanggung jawab bila salah melaksanakan
pendelegasian.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar mampu
memahami tanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar
manusia. Konsep Kebutuhan dasar yang paling terkenal salah satunya menurut Maslow
sebagai berikut : etika keperawatan perawat memilki tanggung jawab (responsibility)
terhadap-tugas tugasnya terutama keharusan memandang manusia sebagai mahluk yang
utuh dan unik. Utuh artinya memiliki kebutuhan dasar yang kompleks dan saling
berkaitan antara kebutuhan satu dengan lainnya, unik artinya setiap individu bersipat
khas dan tidak bisa disamakan dengan individu lainnya sehingga memerlukan
pendekatan khusus kasus per kasus, karena klien memiliki riwayat kelahiran, riwayat
masa anak, pendidikan, hobby, pola asuh, lingkungan, pengalaman traumatik, dan cita-
cita yang berbeda. Kemampuan perawat memahami riwayat hidup klien yang berbeda-

7
beda dikenal dengan Ability to know Life span History dan kemampuan perawat dalam
memandang individu dalam rentang yang panjang dan berlainan dikenal dengan
Holistic.

C. Tanggung Gugat (Accountability)


Akontabiliti dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat
suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat
hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia
menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan profesinya. Perawat harus.

1. Determination of clinical death (perkiraan kematian klinis)


Masalah etik yang sering terjadi adalah penentuan meninggalnya seseorang
secara klinis. Banyak kontroversi ciri-ciri dalam menentukan mati klinis. Hal ini
berkaitan dengan pemanfaatan organ organ klien yang dianggap sudah meninggal
secra klinis. Menurut rosdahl (1999), kriteria kematian klinis (brain death) di
beberapa Negara Amerika ditentukan sebagai berikut :
a. Penghentian nafas setlah berhentinya pernafasan artifisal selama 3 menit
(inspirasi-ekspiorsai)
b. Berhentinya denyut jantung tanpa stikulus eksternal
c. Tidak ada respon verbal dan non verbal terhadap stimulus eksternal
d. Hilangnya refleks-refleks (cephalic reflexes)
e. Pupil dilatasi
f. Hilangnya fungsi seluruh otak yang bisa dibuktikan dengan EEG

2. Quality of Life (kualitas dalam kehidupan)


Masalah kulitas kehidupan sering kali menjadi masalah etik. Hal ini
mendasari tim kesehatan untuk mengambil keputusan etis. Apakah seorang klien
harus mendapatkan intervensi atau tidak. Sebagai contoh bagaiamana bila di suatu
tempat tidak ada donor yang bersedia dan tidak ada tenaga ahli yang dapat
memberikan tindakan tertentu? Siapa yang berhak memutuskan tindakan

8
keperawatan pada klien yang mengalami koma. Siapa boleh memutuskan untuk
menghentikan resusitasi? Beberapa hal berikut dapat dijadikan pertimbngan
misalnya apabila klien sudah memapu untk bekerja, apabila klien sudah berfungsi
secra fisik, berdasarkan usia, berdasarkan mafaat terhadap masyarakat, berdasarkan
kepuasaan atau kegembiraan klien, kemaampuan untuk menolong dirinya sendiri,
pendapat keluarga klien terdekat atau penaggung jawab klien.
Contoh kasus apakah klien TBC tetap kita Bantu untuk minum obat padahal
ia masih mampu untuk bekerja? kalau ada dua klien bersamaan yang membutuhkan
satu alat siapa yang didahulukan ? Apabila banyak klien lain membutuhkan alat
tetapi alat tersebut sedang digunakan oleh klien orang kaya yang tidak ada harapan
sembuh apa yang harus dilakukan perawat ? apabila klien kanker merasa gembira
untuk tidak meneruskan pengobatan bagaiaman sikap perawat? Bila klien harus
segera amputasi tetapi klien tidak sadar siapakah yang harus memutuskan?

3. Ethical issues in treatment (isu masalah etik dalam tindakan keperawatan)


Apabila ada tindakan yang membutuhkan biaya besar apakah tindakan
tersebut tetap dilakukan meslipun klien tersebut tidak mampu dan tidak mau ?
apabila tim kesehatan yang memutuskan maka hal ini dikenal dengan mencari
keuntungan atau berbuat kerusakan (Beneficience), Apabila klien yang memutuskan
maka hal ini mungkin termasuk hak otonomi klien (autonomy), dapatkah klien
menolak sesuatu. Masalah-masalah etik yang sering muncul seperti :
a. Klien menolak pengobatan atau tindakan yang direkomendasikan (refusal of
treatment) misalnya menolak fototerapi, menolak operasi, menolak NGT,
menolak dipasang kateter
b. Klien menghentikan pengobatan yang sedang berlangsung (withdrawl of
treatment)misalnya DO berobat pada TBC, DO kemoterapi pada kanker
c. Witholding treatment misalnya menunda pengobatan karena tidak ada donor
atau keluarga menolak misalnya transplantasi ginjal aatau cangkok jantung.

9
D. Pendekatan Dalam Pengambilan Keputusan
1. Pendekatan Teleologik
Pendekatan teleologik adalah suatu doktrin yang menjelaskan fenomena dan
akibatnya, dimana seseorang yang melakukan pendekatan terhadap etika dihadapkan
pada konsikuensi dan keputusan kepurusan etis. Secara singkat, pendekatan
pendekatan tersebut mengemukakan tentang hal hal yang berkaitan dengan the and
justifies the means (pada akhirnya, membenarkan secara hokum tidnakan atau
keputusan yang di ambil untuk kepentingan medis).
Penggunaan istilah teleology dan intuitionism kadang-kadang diperlukan walaupun
keduanya di anggap sebagai bagisn dari teleoogi yang mempunyai pemikiran yang
sama tentang the and justifies the means and the greatest number (keputusan oral
yang di buat berdasarkan konsekuensi tindakan dan bukan kebenaran tndakan). Pada
umunya, pelaksanaan riset medis mendukung dilakukannya pendekatan ini dalam
menghadapi masalah masalah medis.
Contoh:
a. Dalam situasi dan kondisi dimana seorang pasien harus segera di operasi,
sedangkan tidak ada ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang tersebut,
dokter akhli bedah yang belum berpengalaman sekalipun tetap dibenarkan untk
melakukan tindakan pembedahan sesuai denag pengetahuan yang dimiliknya. Hal
ini dilakukan demi keselamatan pasien.
b. Seorang oerawat yang harus menghadapi kasus kebidanan karena tidak aa bidan
dan jarak untuk rujukan terlalu jauh, data memberikan pertolongan sesuai dengan
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya demii keselamatan pasien.

2. Pendekatan Deontologik
Pendekatan Deontologik merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban moral.
Simplifikasi dari penekatan deontologik adalah moralitas dari suatu keputusan etis
yang sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya.

10
Contoh:
Seorang oerawat yang berkeyakinan bahwa menyampaikan suatu kebenara
meupakan hal yang sangat penting dan tetap harus disampaikan, tanpa pedui apakah
hal tersebut mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok.

Perbedaan dari kedua pendekatan di atas dapat dilihat pada penerapannya dalam
kasus-kasus etis , misalnya pada kasus aborsi seperti di bawah ini.
a. Seseorang yang menggunakan pendekatan teleologik, terhadap isu etis aborsi,
mungkin mempertimbangkan bahwa tujuan menyelamatka kehiudpan ibu
merupakan hal yang dibenarkan untk dilakukannya aborrsi.
b. Seseorang yang melakukan pendekatan deontologi, terhadapp aborsi, mungkin
akan empertimbangkan bahwa secara morl aterminasi kehidupan merupakan hal
yang buruk untuk dilakukan. Oleh karena itu, orang tersebut tidak akan
mencelakakan janin yanga da dalam kandungaan tanpa mempertimbangkan
konsikuensinya bagi si ibu. Pendekatan tersebut dapat dilakukan tanpa menentuka
keputusan.

3. Pendekatan Intiutionism
Pendekatan ini menyatakan pandangan atau sifat manusia dalam mengetahui hal
yang benar dan salah. Hal tersebut terlepas dari pemikiran rasional atau irisionalnya
suatu keadaan. Contoh:
Seorang perawat sudah tentu mengetahui bahwa menyakiti pasien merupakan
tindakan yang tidak benar. Hal tersebut tidak perlu diajarkan lagi kepada perawat
karena sudah mengacu pada etika dari seoang perawat yang diyakini dapat
membedakan yang mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan.

11
E. Metode Pengambilan Keputusan Dilema Etis
Menurut Fry (1991) dalam Suhaemi (2004) metode pengambilan keputusan dilema etis
adalah :

Tahap Keterangan
1 Identifikasi masalah. Ini berarti klasifikasi masalah dilihat dari nilai dan konflik
hati nurani. Perawat juga harus mengkaji keterlibatannya pada masalah etika
yang timbul dan mengkaji parameter waktu untuk proses pembuatan keputusan.
Tahap ini akan memberikan jawaban pada perawat terhadap pernyataan, Hal
apakah yang membuat tindakan benar adalah benar? Nilai-nilai diklasifikasi
dan perawat dalam situasi yang terjadi diidentifikasi.
2 Perawat harus mengumpulkan data tambahan.Informasi yang dikumpulkan
dalam tahap ini meliputi orang yang dekat dengan klien, yang terlibat dalam
membuat keputusan bagi klien, harapan/keinginan klien dan orang yang terlibat
dalam pembuatan keputusan. Perawat kemudian membuat laporan tertulis kisah
dari konflik yang terjadi.
3 Perawat harus mengidentifikasi semua pilihan atau alternative secara terbuka
kepada pembuat keputusan. Semua tindakan yang memungkinkan harus terjadi,
termasuk hasil yang mungkin diperoleh beserta dampaknya. Tahap ini
memberikan jawaban atas pertanyaan, Jenis tindakan apa yang benar?
4 Perawat harus memikirkan masalah etis secara berkesinambungan. Ini berarti
perawat mempertimbangkan nilai dasar manusia yang penting bagi individu,
nilai dasar manusia yang menjadi pusat masalah, dan prinsip etis yang dapat
dikaitkan dengan masalah. Tahap ini menjawab pertanyaan, Bagaimana aturan
tertentu diterapkan pada situasi tertentu?
5 Pembuat keputusan harus membuat keputusan. Ini berarti bahwa pembuatan
keputusan memilih tindakan yang membuat keputusan mereka paling tepat.
Tahap ini menjawab pertanyaan etika, Apa yang harus dilakukan pada situasi
tertentu?
6 Tahap akhir adalah melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Habitual adalah sebuah kebiasaan dan model adalah percontohan yang


mengandung unsure yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika
perlu). Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan suatu proses berurutan
yang memerlukan penggunaan model secara cepat dan benar. Jadi, habitual
model pengambilan keputusan adalah sebuah model keputusan yang seringkali
dipilih dalam menentukan pemecahan masalah dalam pengambilan keputusan
dilema etik dalam praktik keperawatan di rumah sakit.

B. Saran

Dalam menghadapi kasus dilema etik diharapkan perawat lebih tenang


dalam menentukan alternatif pilihan tindakan yang bertanggung jawab dengan
meminimalkan kerugian terhadap semua aspek yang ada.

13
DAFTAR PUSTAKA

Budiarti, Titis et.al. Habitual Konsep Dengan Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan


Dengan Konsep Pasien Kritis. (http://vi.scribd.com./mobile/doc/124312426/
Habitual-Konsep-Dengan-Peraturan-Perundang-2) (Diakses pada tanggal 2
November 2017 pukul 16.20 WITA)

Cholil Uman, 1994, Agama menjawab tentang berbagai masalah Abad modern,
Surabaya : Ampel Suci
Ismani, Nila, Hj. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri Monogragi
No:05. Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama dengan The Ford
Foundation.
Suhaemi, mimin.2004. Etika Keperawatan Aplikasi pada Praktik. Jakarta : EGC

14

You might also like