You are on page 1of 40

LAPORAN KASUS BBDM

SEORANG ANAK PEREMPUAN 15 TAHUN


DENGAN LARINGOTRAKHEOBRONKHITIS AKUT

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan senior


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Pembimbing

Dr. Farokah, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:

1. Wulan Febriani 22010 111 200 145


2. Yossy Catarina BNS 22010 111 200 146
3. Rosalia Purbandari 22010 110 200 138
4. Arisyi Sunu Pradono 22010 111 200 040

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK-BEDAH KEPALA LEHER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PENDAHULUAN

Laringotrakheobronkhitis akut (Croup) adalah penyakit peradangan akut di

daerah subglotis laring, trakhea, dan bronkus. Penyakit ini merupakan penyakit

tersering obstruksi saluran nafas pada anak-anak. Penyakit ini sebagian besar

disebabkan oleh virus. Meskipun bersifat self limiting disease, namun penyakit ini

memiliki gejala klinis yang bervariasi dari mulai ringan hingga berat seperti

terjadinya obstruksi saluran nafas.

Croup (Laryngotracheitis dan spasmodik croup) adalah penyakit bayi dan

anak-anak lebih muda dari usia 6 tahun, dengan kejadian puncak antara usia 7-36

bulan. Penelitian di Amerika Serikat, selama tahun kedua kehidupan, kurang lebih

4,6 kasus per 100 anak mengalami croup, dan kurang lebih 1,3%-5% anak

penderita croup diharuskan rawat inap. Kejadiannya pada anak laki-laki adalah

sekitar 1,5 kali dibandingkan dengan anak perempuan. Data di atas menunjukkan

bahwa angka kejadian croup di luar negeri masih cukup tinggi, sedangkan di

Indonesia tidak didapatkan data yang jelas.

Croup biasanya diawali dengan gejala infeksi saluran nafas ringan, seperti

demam, pilek, dan batuk ringan. Selanjutnya dapat terjadi obstruksi saluran nafas

akibat inflamasi daerah subglotis dengan gejala suara serak, batuk kering seperti
mengonggong, dan stridor inspirasi dengan atau tanpa demam, bahkan respiratory

distress.

Dengan adanya komplikasi kegawatan pada penyakit ini, maka

kemampuan diagnosis dan penanganan awal pasien dengan croup menjadi sangat

penting. Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai diagnosis dan

penatalaksanaan croup.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Bagaimanakan penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada

laringotrakhoebronkhitis akut (croup)?

1.3 TUJUAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Mengetahui lebih jauh mengenai laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Mengetahui definisi dari laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

2. Mengetahui etiologi laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

3. Mengetahui patogenesis terjadinya laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

Mengetahui klasifikasi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang dari laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

4. Mengetahui penatalaksanaan laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

5. Mengetahui diagnosis banding dari laringotrakhoebronkhitis akut (croup)


1.3.3 MANFAAT

Dengan mengetahui dan menguasai berbagai hal mengenai

laringotrakhoebronkhitis akut (croup), maka diharapkan dapat membantu para

dokter dalam menegakkan suatu diagnosis, etiologi, komplikasi, dan pengobatan

laringotrakhoebronkhitis akut (croup)

.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : Nadya Putri

Nama Panggilan : Nadya

Tempat, Tanggal Lahir : Semarang , 5 Februari 1997

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Warga Negara : WNI

Suku : Jawa

Alamat Lengkap : Trangkil Baru RT 004/RW 003

Kelurahan Sukorejo, Kecamatan

Gunungpati, Kota Semarang

Sekolah : SMP

No. RM Irna : 7081119


2.2 DAFTAR MASALAH

NO MASALAH AKTIF NO MASALAH PASIF

1 Serak

2 Sesak nafas

3 Nyeri telan

4 Batuk menggonggong

5 Riwayat demam

6 Tonsil T1-T1 hiperemis

7 Mukosa faring hiperemis

8 Laringoskopi Rigid:

edema aritenoid,

mukosa laring hiperemis

9 Laringotrakheobronkhitis akut

(1,2,3,4,5,6,7,8)

2.3 DATA DASAR

2.3.1 ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan penderita dan ibu penderita,

tanggal 16 Oktober 2012, pukul 16.00 WIB

Keluhan utama: sesak nafas


Riwayat Penyakit Sekarang:

2 hari penderita mengeluh serak, makin lama makin serak hingga tidak

dapat berbicara.

3 hari penderita mengeluh nyeri telan hingga sulit makan makin lama

makin berat, demam (+), batuk seperti menggonggong makin lama makin

berat. Keluhan telinga (-), pilek (+) jarang. Penderita sudah berobat ke

dokter, diberi obat tetapi tidak membaik.

Beberapa jam sebelum masuk rumah sakit, Pasien merasa keluhan

semakin memberat, bahkan sampai tidak dapat bersuara, batuk (+) terus

menerus, nyeri tenggorok (+), kemudian mengeluh sesak nafas.

Pasien kemudian dibawa ke UGD RSUP Dr. Kariadi.

Saat di UGD kondisi pasien sesak nafas, nafas berbunyi (-), cekungan

dinding dada (-), warna kulit kebiruan (-), pasien juga serak, demam (-),

batuk (+). Pasien merasa lebih baik dengan tiduran. Pasien kemudian

diberikan oksigen, obat dan nebulisasi. Keluhan sesak membaik, namun

masih serak.

Pasien kemudian dirawat inap di Bangsal B2 THT RSUP Dr. Kariadi.

Riwayat Penyakit Dahulu

o Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal

o Riwayat sering sakit tenggorokan, batuk pilek disangkal

o Riwayat alergi obat disangkal

o Riwayat trauma pada leher disangkal


Riwayat Penyakit keluarga

o Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini

Riwayat Sosial Ekonomi

o Ayah pasien bekerja sebagai buruh

o Ibu pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga

o Menanggung 2 orang anak yang belum mandiri.

o Biaya pengobatan ditanggung oleh Jamkesda

o Kesan sosial ekonomi kurang

2.3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Kesadaran : compos mentis

Aktivitas : aktif

Kooperativitas : kooperatif

Status gizi : normoweight

Kulit : tugor kulit cukup

Tanda Vital:

Nadi : 76x/menit

Tensi : 110/70 mmHg

Nafas : 20x/menit

Suhu : 37,2o C

Konjungtiva : anemis -/-


Paru : retraksi dinding dada (-), suara dasar vesikuler,

suara tambahan (-)

Jantung : dalam batas normal

Hati : tak teraba

Limpa : tak teraba

Anggota Gerak : simetris, dalam batas normal , sianosis (-)

Status Lokalis

Telinga

Kanan Kiri

Mastoid Nyeri tekan (-), Nyeri tekan (-),


nyeri ketok (-) nyeri ketok (-)
Pre aurikula Nyeri tekan (-), Nyeri tekan (-),
Fistel (-), abses (-) Fistel (-), abses (-)
Retro aurikula Fistel (-), abses (-) Fistel (-), abses (-)

Aurikula Nyeri tarik (-), Nyeri tarik (-),


Nyeri tekan (-), Nyeri tekan (-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE / MAE Edema (-), Edema (-),
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Discaj (-) (-)

Membrana Warna Putih mengkilat Putih mengkilat


Timpani seperti mutiara seperti mutiara
Reflex cahaya (+) jam 5 (+) jam 7
Perforasi (-) (-)

Lain-lain Bulging (-), retraksi (-) Bulging (-), retraksi (-)

Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Luar

Hidung : simetris, deformitas (-), benjolan (-), warna seperti kulit

sekitar , nafas cuping hidung (-)

Sinus : nyeri tekan(-), nyeri ketok (-)

Rinoskopi anterior

Kanan Kiri

Discaj (-) (-)

Mukosa livid (-), hiperemis (-) livid (-), hiperemis (-)

Konka edema (-), hipertrofi (-) edema (-), hipertrofi (-)

Tumor (-) (-)

Septum septum deviasi (-) septum deviasi (-)

Diafanoskopi

Tidak dilakukan pemeriksaan

Tenggorok

Orofaring

Palatum : simetris

Arkus Faring : simetris, uvula di tengah, reflex muntah (+)

Mukosa : hiperemis (-)


Tonsil Kanan Kiri

Ukuran T1 T1

Warna hiperemis (+) hiperemis (+)

Permukaan granulasi (+) granulasi (+)

Kripte tidak melebar tidak melebar

Detritus (-) (-)

Membran (-) (-)

Nasofaring (Rinoskopi posterior)

Tidak dilakukan pemeriksaan (pasien kurang kooperatif)

Laringofaring (Laringoskopi indirek)

Tidak dilakukan pemeriksaan (pasien kurang kooperatif)

Laring (Laringoskopi indirek)

Tidak dilakukan pemeriksaan (pasien kurang kooperatif)

Kepala dan Leher

Kepala : mesosefal

Wajah : deformitas wajah (-)

Leher anterior : pembesaran nnll (-), benjolan (-)

Leher lateral : pembesaran nnll (-), benjolan (-)

Gigi dan Mulut

Gigi geligi : karies (-)

Lidah : deviasi (-), hipersalivasi (-), atrofi papil (-)


Palatum : bombans (-)

Pipi : benjolan (-), simetris

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang/ Laboratorium Khusus

Pemeriksaan Patologi Klinik Tanggal 16 Oktober 2012

Pemeriksaan Darah

Hemoglobin 12,60 gr %

Hematokrit 38,4 %

Eritrosit 4,60 juta/mmk

MCH 27,40 pg

MCV 83,50 fl

MCHC 32,80 g/dl

Leukosit 6,20 ribu/mmk

Trombosit 248 ribu/mmk

Pemeriksaan Kimia Klinik

Glukosa sewaktu 102 mg/dl

Ureum 23 mg/dl

Kreatinin 0,68 mg/dl

Elektrolit

Natrium 143 mmol/L

Kalium 4,6 mmol/L

Klorida 114 mmol/L


Pemeriksaan Pendengaran

Tes Bisik : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes garpu tala

Konvensional

Kanan : AC pemeriksa ~ penderita

Kiri : AC pemeriksa ~ penderita

Schwabach

Kanan : BC pemeriksa ~ penderita

Kiri : BC pemeriksa ~ penderita

Weber : tidak ada lateralisasi

Audiometri : tidak dilakukan pemeriksaan

Timpanometri : tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Keseimbangan : tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Radiologik

X foto cervical AP/ lateral

Tidak tampak tanda thumb sign

Tidak tampak kelainan

Airway space baik

Pemeriksaan Patologi Anatomi, Mikrobiologik, Tes Alergi, dan Fungsi N.

Facialis : tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Endoskopik (Laringoskopi Rigid)

Terlihat edema di aritenoid, mukosa laring hiperemis (+), massa (-)


Gerak plica vocalis dalam batas normal (tension, approximasi,

vibrasi)

2.4 RINGKASAN

2 hari penderita mengeluh hoarsness, makin lama makin berat hingga

tidak dapat berbicara.

3 hari penderita mengeluh odinofagia sulit makan makin lama makin

berat, febris, batuk seperti menggonggong makin lama makin berat,

rinorrhea jarang. Penderita sudah berobat ke dokter, diberi obat tetapi

tidak membaik. Pasien merasa keluhan semakin memberat, batuk terus

menerus, odinofagia , kemudian mengeluh dispneu. Pasien kemudian

dibawa ke UGD RSUP Dr. Kariadi.

Saat di UGD kondisi pasien dispneu, hoarsness, batuk (+). Pasien merasa

lebih baik dengan tiduran. Pasien kemudian diberikan oksigen, obat, dan

nebulisasi. Keluhan dispneu membaik, namun masih serak.

Pasien kemudian dirawat inap di Bangsal B2 THT RSUP Dr. Kariadi.

Pemeriksaan Fisik : Tonsil T1-T1 hiperemis, faring hiperemis

granulasi

Pemeriksaan Penunjang : Laringoskopi Rigid edema aritenoid,

mukosa laring hiperemis


2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis Banding

1. Laringotrakheobronkhitis akut (Croup)

2. Laringitis akut

3. Epiglottitis

Diagnosis Sementara

Laringotrakheobronkhitis akut (croup)

2.6 RENCANA PEMECAHAN MASALAH

Laringotrakheobronkhitis Akut

Pemeriksaan Diagnostik S: -

O: -

Terapi Medikamentosa:

Infus RL 20 tpm

Injeksi Ceftriaxone 1x2gr

Injeksi Dexamethasone 3 x 1 ampul

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul

Diet 3x nasi

Pemantauan Keadaan umum

Tanda Vital

Keluhan: serak, sesak, anda-tanda obstruksi jalan nafas


Penyuluhan Edukasi kepada pasien dan keluarganya bahwa pasien

menderita infeksi pada tenggoroknya yang

menyebabkan seraknya suara

Edukasi kepada pasien untuk puasa bicara sementara

sampai dengan radang mereda

Edukasi kepada pasien agar tetap makan dan minum

agar nutrisi terjaga

2.7 PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Ad bonam

Quo ad sanam : Ad bonam

Quo ad fungsionam : Ad bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI LARING

Anatomi Larynx (Laring)

Anatomi Larynx

Larynx (laring) atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan

(tractus respiratorius). Laring membentang dari laryngoesophageal junction dan

menghubungkanfaring (pharynx) dg trachea. Laring terletak setinggi Vertebrae

Cervical IV VI.
Cartilago Larynx

Laring dibentuk oleh beberapa cartilage, antara lain :

- Cartilago yg berjumlah tunggal

Cartilago epiglottica

Cartilago elastic berbentuk daun terletak di posterior dari radix linguae.

Berhubungan dengan corpus ossis hyoidea di anteriornya dan cartilage

thyroidea di posteriornya. Sisi epiglottis berhubungan dengan cartilage

arytenoidea melalui plica aryepiglottica. Sedangkan di superiornya bebas

dan membrane mucosanya melipat ke depan dan berlanjut meliputi

permukaan posterior lidah sebagai plica glossoepiglottica mediana et

lateralis. Dimana diantaranya terdapat cekungan yang disebut dengan

valecullae
Cartilago thyroidea

Terdiri atas 2 lamina cartylago hyaline yang bertemu di linea

mediana anterior mjd sebuah tonjolan sudut V yang disebut dengan

Adams apple/ commum adamum/ prominentia piriformis (jakun).

Pinggir posterior tiap lamina menjorok ke atas membentuk cornu

superior dan ke bawah membentuk cornu inferior. Pada permukaan

luar lamina terdapat line oblique sebagai tempat melekatnya m.

sternothyroideus, m. thyrohyoideeus, dan m. constrictor pharyngis

inferior.

Cartilago cricoidea

Merupakan cartilage yang berbentuk cincin utuh dan terletak di

bawah dari cartilago thyroidea. Cartilage ini mempunyai arcus

anterior yang sempit dan lamina posterior yang lebar. Pada bagian

lateral nya ada facies articularis sirkular yang akan bersendi dengan

cornu inferior cartilage thyroidea. Sedangkan di bagian atasnya


terdapat facies articularis yang akan bersendi dengan basis cartilage

arytenoidea.

- Cartilago yg berjumlah sepasang

Cartilago arytenoidea

Merupakan cartilage kecil berbentuk pyramid yang terletak di

belakang dari larynx pada pinggir atas lamina cartilage cricoidea.

Masing-masing cartilago memiliki apex di bagian atas dan basis di

bagian bawahnya. Dimana bagian apex nya ini akan menyangga

cartilage coeniculata, sedangkan pada bagian basis nya bersendi

dengan cartilage cricoidea. Pada basis nya terdapat 2 tonjolan yaitu

processus vocalis yang menonjol horizontal ke depan merupakn

perlekatan dari ligamentum vocale, dan processus muscularis yang

menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan dari m.

crycoarytenoideus lateralis et posterior.


Cartilago cuneiformis

Merupakan cartilage kecil berbentuk batang yg terdapat di dalam 1

plica aryepiglottica yang berfungsi untuk menyokong plica tsb.

Cartilago corniculata

Dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan apex cartilaginis

arytenoidea dan merupakan tempat lekat plica aryepiglottica

sehingga menyebabkan pinggir atas plica aryepiglottica dextra et

sinistra agak meninggi.

Aditus Laryngis

Merupakan pintu masuk larynx yg menghadap ke dorsocranial dan

menghadap ke laryngopharynx. Aditus laryngis memiliki syntopi :

Ventral : pinggir atas epiglottis

Lateral : plica aryepiglottica.

Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea.


Cavitas Laryngis

Cavitas laryngis terbentang dari aditus laryngis hingga ke pinggir bawah

cartilage cricoidea dan di bagi menjadi tiga bagian :

Bagian atas (vestibulum laryngis), terbentang dr aditus laryngis hingga ke

plica vestibularis. Rima vestibularis adalah satu celah di antara plica

vestibularis. Sedangkan, ligamentum Vestibulare terletak dalam plica

vestibularis.
Bagian tengah (Recessus laryngeus)

Terbentang dr plica vestibularis hingga setinggi plica vocalis yang berisi

ligamentum vocalis. Rima glottidis adalah celah di antara plica vocalis.

Diantara plica vestibularis dan plica vocalis ini terdapat recessus kecil

yaitu sinus laryngis dan ventriculus laryngis.

Bagian bawah. (Fossa infraglottidis)

Innervasi Larynx

Di atas dr plica vocalis dinnervasi oleh n. laryngis internus cabang dari n.

laryngis superior cabang dari n. vagus (X). Sedangkan di bawahnya

diinnervasi oleh n. leryngis recurrens, kec. M. crycothyroideus yg

diinnervasi oleh R. laryngeus externus n. laryngeus superior.

Vaskularisasi Larynx

Suplai arteri berasal dari R. laryngeus superior a. thyroidea superior. Dan

bagian bawah divaskularisasi oleh R. laryngeys inferior a. thyroidea


inferior. Sedangkan aliran limfe nya bermuara ke nodi lymphoidei

cervicales profundi.

3.2 FISIOLOGI LARING

1. Bersuara fonasi

Fungsi laring adalah untuk fonasi, dengan membuat suara serta

menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh

ketegangan plika vokalis. Plika vokalis harus dapat aduksi dan abduksi

dengan baik atau aproksimasi baik, ketegangannya baik, serta memiliki

fibrasi yang baik. Bila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka

akan terjadi kelainan suara, dari disfoni hingga afoni. Dengan adanya

fungsi menghasilkan suara ini, laring berfungsi untuk mengekspresikan

emosi.

2. Respirasi

Laring merupakan saluran nafas atas sekaligus saluran nafas bawah. Rima

glotis adalah celah yang paling sempit, sehingga gangguan pada laring

akan mempengaruhi aliran udara. Gangguan ini menyebabkan orang tidak

cukup terpenuhi kebutuhan oksigennya sehingga terjadi sesak yang gejala

awalnya stridor. Tekanan dari percabangan trakhea bronkhus dan

parenkim menyebabkan suatu aksi poma dari sirkulasi darah.

3. Proteksi terhadap benda asing

Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda

asing masuk ke dalam trakhea dengan cara menurup aditus laring dan rima
glotidis secara bersamaan. Terjadinya penutupan laring merupakan

mekanisme spincter akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal

ini artilago aritenois bergerak ke depan akibat kontraksi m. tiroaritenoid

dan m. aritenoid. Penutupan rima glotis terjadi karena aduksi plika vokalis.

Kartilago aritenoid kanan kiri mendekat karena aduksi otot intrinsik.

Selain itu, dengan refleks batuk benda asing yang telah telah masuk dapat

dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan batuk, sekret yang berasal dari

paru dapat dikeluarkan.

4. Deglutasi

Laring membatu proses penelanan pada waktu makanan sudah mencapai

faring. Elevasi laring , epiglotis tertahan dipangkal lidah menyebabkan

makanan akan meluncur ke bawah

5. Fiksasi

Laring merupakan alat fiksasi dengan organ-organ sekitarnya. Selain itu,

dengan adanya penutupan rima glotis, penekanan rongga paru, laring juga

berfungsi sebagai fiksasi udara apabila orang mengejan atau memanjat.

3.3 PEMERIKSAAN LARING

Pemeriksaan laring disebut sebagai laringoskopi. Laringskopi ada dua

macam, yaitu laringoskopi indirek dan laringoskopi direk.


a. Laringoskopi Indirek

Laringoskopi indirek adalah cara melihat laring secara tidak langsung

dengan bantuan kaca laring. Laringoskopi indirek merupakan pemeriksaan

rutin yang sangat penting untuk menemukan kelainan pada laring. Adapun

alat-alat yag digunakan dalam pemeriksaan laringoskopi indirek adalah

lampu kepala, kaca laring, penyemprot anestesi, serta spatel tongue.

Penderita disuruh duduk, kemudian membuka mulut untuk menentukan

ukuran kaca larig yang akan digunakan. Selanjutnya, penderita diminta

untuk menjulurkan lidah, kemudian lidah dipegang dengan jari tengah dan

jari telunjuk tangan kiri yang telah memegang kasa. Kemudian tangan

kanan memasukkan kaca laring yang telah dipanasi hingga berada dalam

posisi dekat dinding belakang orofaring.

b. Laringoskopi Direk

Laringoskopi direk adalah pemeriksaan laring secara visual langsung

dengan menggunakan laringoskop atau alat lain sebagai laringoskop.

Dikenal ada dua macam laringoskop, yaitu laringoskopi rigid dan

laringoskopi flexible.
Laringoskopi rigid merupakan tabung dari logam dengan lampu

penerangan yang terletak di ujung depan atau belakang dengan sudut 900

sehingga dapat secara jelas melihat bagian dari laring Kesan visual yang

didapatkan lebih natural dan alami dibandingkan dengan laringoskopi

direk. Laringoskopi fleksibel dilakukan dengan memasukkan ujung

laringoskop melalui hidung ke arah nasofaring dan turun ke orofaring

hingga laring.

3.4 LARINGOTRAKHEOBRONKHITIS (CROUP)

3.4.1 EPIDEMIOLOGI

Laringotrakheobronkhitis akut (Croup) adalah penyakit peradangan akut di

daerah subglotis laring, trakhea, dan bronkus. Penyakit ini merupakan penyakit

tersering obstruksi saluran nafas pada anak-anak. Penyakit ini sebagian besar

disebabkan oleh virus. Croup (Laryngotracheitis dan spasmodik croup) adalah

penyakit bayi dan anak-anak lebih muda dari usia 6 tahun, dengan kejadian

puncak antara usia 7-36 bulan. Penelitian di Amerika Serikat, selama tahun kedua

kehidupan, kurang lebih 4,6 kasus per 100 anak mengalami croup, dan kurang
lebih 1,3%-5% anak penderita croup diharuskan rawat inap. Kejadiannya pada

anak laki-laki adalah sekitar 1,5 kali dibandingkan dengan anak perempuan.

3.4.2 Etiologi

Croup terutama disebabkan oleh parainfluenza virus tipe 1,2 dan 3, yaitu

kurang lebih 50-75% kasus Selain parainfluenza virus, virus influenza tipe A,

adenovirus, enterovirus, dan respiratory sincytial virus juga ditemukan pada

penderita croup. Menurut Ewig, measles virus dapat menyebabkan croup berat

terutama pada anak kurang dari 2 tahun. Gejala croup terjadi paling sering dua

hari setelah exsanthem, tetapi dapat terjadi sebelum erupsi kulit. Herpes simplex

virus menyebabkan prolonged croup khususnya jika dihubungkan dengan

gingivostomatitis. Bakteri juga dapat ditemukan pada penderita croup, jika terjadi

infeksi sekunder. Umumnya Streptococcus pyogenes, S. Pneumonia. Setelah

infeksi virus berlangsung, dapta terjadi infeksi bakteri sekunder oleh organisme

dari hidung.

3.4.3 Patofisiologi

Virus yang menyebabkan croup yang menyebar melalui inhalasi baik

langsung dari dan batuk / bersin atau atau kontaminasi tangan dengan kemudian

menyentuh mukosa mata, hidung, dan / atau mulut. Virus kemudian masuk ke

hidung dan nasofaring. Infeksi menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan

trakea.
Peradangan dan edema pada laring dan trakea subglottic, terutama di dekat

kartilago krikoid, yang paling signifikan secara klinis. Histologi, daerah yang

terlibat adalah pembengkakan, dengan infiltrasi seluler terletak di lamina propria,

submukosa, dan adventitia, mengandung limfosit, histiosit, sel plasma, dan

neutrofil. Virus Parainfluenzae mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat

penyerapan natrium di epitel trakea, berkontribusi terhadap edema saluran napas.

Bagian ini adalah bagian tersempit dari saluran napas anak, oleh karenanya,

pembengkakan signifikan dapat mengurangi diameter, membatasi aliran udara.

Hal ini menyebabkan keluhan berupa batuk seperti mengonggong, stridor, dan

retraksi dada.

Kerusakan endotel dan hilangnya fungsi silia terjadi. Sebuah eksudat

fibrinosa sebagian menyumbat lumen trakea. Penurunan mobilitas dari pita suara

akibat edema mengarah ke suara serak terkait. Pada penyakit yang parah, eksudat

fibrinosa dan pseudomembranes dapat mengembangkan, menyebabkan obstruksi

jalan napas yang lebih besar. Hipoksemia mungkin terjadi dari penyempitan

lumen progresif dan ventilasi alveolar gangguan dan ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi.

3.4.3 Penegakan Diagnosis

3.4.3.1 Anamnesis

Croup biasanya diawali dengan gejala pernapasan nonspesifik, termasuk

Rhinorrhea, sakit tenggorokan, dan batuk. Demam umumnya tidak terlalu tinggi

(38-39 C), tetapi dapat melebihi 40 C. Dalam 1-2 hari, tanda-tanda karakteristik
suara serak, batuk menggonggong, dan inspirasi stridor berkembang, sering tiba-

tiba, bersama dengan tingkat variabel gangguan pernapasan. Gejala biasanya

sembuh dalam 3-7 hari, tetapi bisa berlangsung selama 2 minggu.

3.4.3.2 Pemeriksaan Fisik

Presentasi fisik croup luas bervariasi. Kebanyakan anak memiliki tidak

lebih dari batuk "croupy", menangis serak, dan tanda-tanda nasofaringitis.

Beberapa mungkin memiliki stridor hanya pada aktivitas atau agitasi, sedangkan

yang lain memiliki stridor terdengar saat istirahat dan bukti gangguan pernapasan,

seperti nafas cuping hidung, retraksi dinding dada, dan meningkatnya respiratory

rate. Gejala anak berkisar dari stridor inspirasi minimal untuk kegagalan

pernafasan yang parah sekunder obstruksi jalan napas. Dalam kasus ringan, suara

pernapasan saat istirahat normal,. Namun, mengi ekspirasi ringan dapat didengar.

Anak-anak dengan kasus yang lebih parah memiliki stridor inspirasi dan ekspirasi

saat istirahat dengan retraksi suprasternal, interkostal, dan subkostal.Oksigen

menjadi sangat sedikit yang dapat masuk. Lesu dan agitasi mungkin karena

hipoksemia.Tanda-tanda peringatan lain dari memburuknya gejala adalah

tachypnea, takikardia tidak sesuai dengan demam, dan hipotonia. Anak-anak

mungkin tidak dapat menjaga asupan oral yang memadai, yang menghasilkan

hidrasi terganggu dan menyebabkan dehidrasi.

Dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, dapat

dilakukan klasifikasi tingkat keparahan yang akan menentukan terapi selanjutnya

sebagai berikut:
Ringan Batuk menggonggong

Tidak terdengar stridor saat istirahat

Tidak ada retraksi dinding dada

Sedang Batuk menggonggong

Terdengar stridor saat istirahat

Terdapat retraksi suprasternal dan sternal saat istirahat

Tidak tampak gelisah

Berat Batuk menggonggong

Stridor inspirasi dan ekspirasi

Retraksi sternal yang nyata

Tampak gelisah

Ancaman Gagal Nafas Batuk menggonggong

Stridor terdengar sangat nyata

Retraksi sternal

Letargi atau penurunan kesadaran

3.4.3.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan darah, dapat ditemukan adanya peningkatan jumlah sel

darah putih, dan pada gambaran darah tepi dapat ditemui PMN dominatnt yang

merupakan indikasi infeksi. Pemeriksaaan foto polos leher menunjukkan adanya

steeple sign yaitu penyempitan jalan nafas di area subglotis yang terlihat pada

penampakan anteroposterior. Daerah hipofaring menjadi lebih lebar pada

penampakan lateral, tetapi gambaran radiologis tersebut hanya ditemukan pada


50% kasus, banyak kasus croup yang gambaran radiologisnya dalam batas

normal.

Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan tekanan parsial CO2

meningkat, tekanan parsial O2 menurun, dan pH darah bergeser ke asam.

Laringoskopi direk tampak daerah subglotis berwarna merah difus, licin, dan

udem, serta adanya sekret kental. Daerah glotis dan subglotis dapat berwana

kemerahan, tetapi umumnya dalam batas normal.

3.4.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien dengan laringotrakheobronkhitis (croup) pada saat

kegawatan pada dasarnya adalah disesuaikan dengan derajatnya. Penatalaksanaan


bertujuan untuk mengurangi udem, melunakkan sekret, dan melancarkan jalan

nafas. Prindip utama pengobatan croup adalah manajemen jalan anafas. Saat ini

standar pengobatan croup meliputi humidifikasi, epinefrin rasemik, dan steroid.

1. Humidifikasi

Humidifikasi merupakan salah satu terapi utama dalam pengobatan croup.

Namun efektivititas dari metode ini masih dipertanyakan. Penelitian

terbaru menyebutkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

pemberian efek kelembaban pada anak dengan croup ringan terhadap score

croupnya.

2. Kortikosteroid

Terapi kortikosteroid kini rutin direkomendasikan oleh banyak ahli.

Kortikosteroid berfungsi untuk mengurangi tingkat peradangan dan

kerusakan sel, walaupun viral load meningkat, durasi shedding tidak

berkepanjangan. Regimen yang paling sering digunakan adalah dosis

tunggal deksametason (0,6 mg per kilogram berat badan diberikan secara

oral atau intramuskular) dan nebulasi budesonide (2 mg dalam 4 ml air).

Beberapa studi telah memberikan tambahan dosis (hingga empat dosis

deksametason atau budesonide nebulized diberikan selama 2 hari).

3. Epinefrin

Epinefrin nebulasi telah dipelajari secara ekstensif

untuk pengobatan croup. Epinefrin diberikan untuk menstimulasi -

adrenergic reseptor, terutama untuk croup stadium berat Pemberian

epinefrin rasemat 2,25% (0,5 ml dalam 2,5 ml saline) oleh intermiten


tekanan positif pernapasan mengakibatkan penurunan yang signifikan

dalam skor croup dalam waktu kurang dari 2 jam. Namun hati-hati dengan

efek rebound phenomenonnya sehingga harus dipantau dalam 3-4 jam

setelah pemberian. Efek sampingnya dapat berupa takikardia dan

hipertensi.

5. Terapi lainnya

a. Anak dengan croup derajat sedang atau berat dan dalam kondisi hipoksia

(<92%) dapat diberikan terapi oksigen. Terapi ini paling baik digunakan

dengan blow-by teknik.

b. Terapi Heliox (Helium-Oksigen Mixture) juga telah diteliti memperbaiki

skor croup. Tetapi terapi ini tidak lebih baik dan justru lebih mahal

dibandingkan terapi dengan epinefrin rasemik.

c. Antitusif dan dekongestan tidak pernah diteliti dalam penatalaksanaan

croup, dan tidak ada indikasi dalam penggunaannya. Karena croup

sebagian besar merupakan infeksi virus, pemberian antibiotik tidak

direkomendasikan, kecuali pada infeksi yang diuga terdapat infeksi

sekunder di dalamnya.

d. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi jarang dilakukan sejak penggunaan

steroid secara luas. Tindakan ini dilakukan bila gejala tidak respon

terhadap pengobatan awal. Keputusan dilakukkanya tindakan ini berdasar

pada kriteria klinik adanya hiperkarbsia dan gagal nafas mengancam,

termasuk peningkatan stridor inspirasi, frekuensi respirasi, denyut jantung,

adanya retraksi, tanda sianosis, atau terjadinya penurunan kesadaran.


Karena udem laring, maka pipa endotrakeal digunakan sebaiknya lebih

kecil dibandingkan anak sehat untuk mencegah penekanan berlebihan pada

trakhea yang dapat berakibat nekrosis dan stenosis subglotis.

Bagan penatalaksanaan Croup di UGD:

3.5 Diagnosis Banding

Daignosis banding dari laringotrakheobronkhitis (croup) antara lain adalah

epigottitis dan laringitis. Adapun perbedaanya dapat dilihat dalam tabel di bawah

ini:
Epiglottitis Croup Laringitis akut

Usia Semua usia 6 bulan-6 tahun Semua usia

Awitan Mendadak Perlahan Perlahan

Lokasi Supraglotis Subglotis Supraglotis

Suhu Demam tinggi Demam tak tinggi Demam tak tinggi

Disfagia Berat Ringan/ tak ada Ringan/ Tak ada

Dispnea dan drooling Ada Ada Tak ada

Batuk Jarang Khas Sering

Gambaran Radiologis Positive thumb sign Positive steeple sign


BAB IV

PEMBAHASAN

Laringotrakheobronkhitis akut (Croup) adalah penyakit peradangan akut di

daerah subglotis laring, trakhea, dan bronkus. Penyakit ini merupakan penyakit

tersering obstruksi saluran nafas pada anak-anak. Penyakit ini memiliki gejala

klinis yang bervariasi dari mulai ringan hingga berat seperti terjadinya obstruksi

saluran nafas.

Pada pasien ini diagnosis Laringotrakheobronkhitis akut (Croup) ditegakkan

berdasarkan anamnesis seorang anak perempuan 15 tahun datang dengan keluhan

sesak nafas. 3 hari penderita mengeluh odinofagia sulit makan makin lama

makin berat, febris, batuk seperti menggonggong makin lama makin berat,

rinorrhea jarang, kemudian sejak 2 hari penderita mengeluh hoarsness, makin

lama makin berat hingga tidak dapat berbicara. Pasien merasa keluhan semakin

memberat, batuk terus menerus, odinofagia, kemudian mengeluh dispneu . Dari

pemeriksaan fisik didapatkan tonsil T1-T1 hiperemis, faring hiperemis granulasi,

serta dari pemeriksaan penunjang didapatkan laringoskopi Rigid edema aritenoid,

mukosa laring hiperemis.

Dilihat dari segi epidemiologis, usia penderita yang sudah >6 tahun dan

jenis kelamin perempuan, sebenarnya tidak menunjukkan adanya kecenderungan

untuk terjadinya croup. Gejala ini sesuai dengan patofisiologi croup dimana virus

masuk melalui hidung dan meynyebar melalui nasofaring hingga ke laring dan

subglotis. Infeksi virus ke nasofaring ditandai dengan adanya odinofagia,


rhinorrea, demam, batuk, serta tonsil yang hiperemis dan faring hiperemis dengan

granulasi. Infeksi yang telah sampai ke laring dan subglotis ditandai dengan

adanya hoarsness yang kemudian disertai dengan dispneu, serta dari pemeriksaan

penunjang berupa membengkaknya kartilago aritenoid dan hiperemis mukosa

dengan fungsi plica vokalis yang masih baik. Tidak adanya disfagia (sulit telan),

demam tinggi, serta tidak ada gambaran thumb sign juga menggambarkan bahwa

penyakit ini bukanlah epiglottitis.

Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan kegawatan di UGD berupa

pemberian oksigen nasal kanul 3lpm dan nebulisasi untuk mengatasi sesak

nafasnya. Setelah di Bangsal B2 THT, kondisi pasien sudah tidak sesak, sehingga

pemberian nebuliasasi belum mutlak diperlukan. Pasien ini diberikan

medikamentosa infus RL 20 tpm dikarenakan kondisi pasien yang sulit makan

sehingga perlu rehidrasi, injeksi Ceftriaxone 1x2gr karena diduga adanya infeksi

bakteri, injeksi Dexamethasone 3 x 1 ampul sebagai kortikosteroid yang akan

mengirangi dampak inflamasi pada laring, serta injeksi Ranitidin 2x1 ampul

sebagai perlindungan terhadap lambung.

Prognosis pada pasien ini ditinjau dari quo ad vitam, quo ad sanam, dan

quo ad fungsionamnya adalah ad bonam. Hal ini karena etiologi dari penyakit ini

adalah virus yang merupakan self limiting disease, derajat severitas pada pasien

yang mengalami perbaikan saat perawatan di bangsal, serta dari terapi yang

adekuat.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pada kasus BBDM yang telah kami buat ini, mengenai seorang anak

perempuan 15 tahun dengan laringotrakheobronkhitis (croup) dan usulan

penatalaksanaan berupa pemberian medikamentosa rehidrasi, antibiotik, serta

kortikosteroid. Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang yang telah dibahas sebelumnya. Prognosis penderita

dalam kasus ini Quo ad vitam, quo ad sanam, quo ad fungsionamnya adalah ad

bonam.

5.2 Saran

Gejala Croup yang bervariasi mulai dari paling ringan hingga terjadinya

kegawatan yang dapat mengancam nyawa, membutuhkan kemampuan diagnosis

yang tepat dan membutuhkan penanganan awal yang cepat dalam mengatasi

kegawatannya. Stabilisasi pasien dan penatalaksanaan yang benar dapat

mengantisipasi tingginya angka kegawatan pada penderita ini.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993.
2. Staf Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Diktat
anatomi situs thoracis, ed. 2007. Semarang
3. Bambang SS. Laringologi. 1993. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Semarang.
4. Efiaty A, Nurbaiti I, Jenny B, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. 2007. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Tony RB. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and
expanded. 2003. Thieme Stuttgart New York.
6. Rudolf P, Gerhard G, Iro H. Basic Othorhilolryngology. 2006. Thieme
Stuttgart: New York.
7. Adams GL, Boies LR, Hilger PA. Boeies. Buku Ajar Penyakit THT Edisi
6. 1997. EGC: Jakarta
8. Cherry JD, Croup. New England Journal Medicine 2008;358:384-91.
9. Dharmawan BA. Laringotrakeobronkhitis (Croup). CDK 163/ Vol 35
No.4. 2008. Bagian THT Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jendral Soedirman: Purwokerto.
10. Defendi GL. Croup. . In: Medscape References. cOct 2011. [cited 2012
Nov 1]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/962972-

clinical#showall. golog

7.

You might also like