You are on page 1of 28

Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Kata Pengantar
Infeksi Human Immunodeficinecy Virus atau HIV, saat ini merupakan
masalah dunia karena prevalensinya dengan cepat meningkat keseluruh
dunia. Pengidap HIV dapat menularkan virus ini kepada orang lain tetapi
belum memunculkan gejala klinis kecuali sudah menjadi Acquired Immuno
Deficiency Syndrome atau AIDS, di mana pada tahap ini mortalitasnya
tinggi. HIV adalah virus yang mempunyai target organ sistim imun dalam
tubuh sehingga infeksi ini akan berdampak terhadap mudahnya tubuh
terinfeksi oleh mikroorganisme lainnya. Prevalensi HIV pada ibu hamil
sudah tentu sangat tergantung berapa besar prevalensi HIV di populasi,
khususnya pada wanita.
Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV
terhadap kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS didapatkan pengaruh
yang besar dengan terjadinya prematuritas , kematian janin dalam
kandungan. Diduga kondisi bayi dalam kandungan dipengaruhi oleh makin
memberatnya infeksi HIV. Dilaporkan tidak ada hubungan antara infeksi
HIV dengan makin meningkatnya cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan
menambah beban terhadap sistim tubuh yang sudah berat menghadapi HIV,
tetapi sampai sekarang belum ada bukti yang menunjukkan bahwa HIV.
makin menjadi progresif setelah adanya kehamilan.
Dengan masih maraknya penggunaan narkoba suntikan di Indonesia maka
di masa depan peningkatan kasus HIV pada keahlian diperkirakan akan
semakin tajam. Dengan demikian petugas kesehatan baik dokter, bidan
maupun perawat perlu mendapat informasi mengenai hal ini. Untuk
menambah jumlah informasi mengenai infeksi HIV pada kehamilan yang
berbahasa Indonesia maka kami menulis buku kecil ini. Buku ini merupakan
rangkuman informasi mengenai infeksi HIV pada kehamilan yang
disesuaikan dengan keadaan di negara berkembang khususnya di Indonesia

Malang, Mei 2012


Tim Penyusun

Prof. dr. H. Soetomo Soewarto, SpOG-K


Ketua

i
Tim Penyusun
Ketua : Prof. dr. H. Soetomo Soewarto, SpOG-K
Anggota : dr. H. Imam Wahjudi, SpOG-K
Dr. dr. Kusnarman Keman, SpOG-K
dr. Nugrahanti Prasetyorini, SpOG-K
dr. Bambang Rahardjo, SpOG
dr. Mukhamad Nooryanto, SpOG

Kontributor : HKFM Medan


HKFM Padang
HKFM Palembang
HKFM Jakarta
HKFM Bandung
HKFM Semarang
HKFM Jogjakarta
HKFM Surabaya
HKFM Surakarta
HKFM Malang
HKFM Denpasar
HKFM Ujungpandang
HKFM Manado

ii
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Daftar Isi
KataPengantari
TimPenyusunii
DaftarIsiiii
daftarsingkataniv

1. Pendahuluan1
1.1. Epidemiologi 1
1.2. Masalah HIV dari Segi Perinatologi 2
2. KonselingPrekonsepsi3
2.1. Pilihan Hamil pada ODHA 3
2.2. Screening HIV 3
3. PerawatanAntepartum5
3.1. Transmisi Vertikal HIV 5
3.2. Transmisi in utero 5
3.3. Pemberian antiretrovirus (ART) 6
3.4. Penatalaksanaan komprehensif untuk mencegah transmisi dari ibu
ke bayi 8
3.5. Algoritma Pemberian ART dalam Kehamilan & Menyusui 9
4. PerawatanIntrapartum11
4.1. Transmisi intrapartum 11
4.2. Penanganan intra partum 12
4.3. Pemberian ART intrapartum 13
4.4. Persalinan Pervaginam atau Persalinan Perabdominam 13
5. PerawatanPostPartum17
5.1. Transmisi pasca persalinan 17
5.2. Pemberian Air Susu Ibu 17
5.3. Kontrasepsi 19

Referensi20
LampiranError!Bookmarknotdefined.

iii
daftar singkatan
HIV : Human Immunodeficiency Virus
Odha : orang dengan HIV/AIDS
CD : cluster differentiation
AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome
PACTG : Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group
PCR : Polymerase Chain Reaction
DNA : Deoxyribonucleic acid
RNA : Ribonucleic acid
ART : Antiretrovirus Therapy
FDA : Food and Drug Administration
ZDV ; zidovudin
AZT : azidotimidin
NVP : nevirapin
NRTI : Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
NNRTI : Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
PI : Protease Inhibitor
PETRA : Perinatal Transmission Study
CDC : Centres for Disease Control and Prevention
ANRS : Agence Nationale de Reserche Scientifique
SAINT : South African Intrapartum Nevirapine Trial

iv
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Pendahuluan
1.1. Epidemiologi
Pada akhir tahun 2008, UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat
33,4 juta orang yang hidup dengan HIV (ODHA), 15,7 juta diantaranya
perempuan dan 2,1 juta anak di bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2008
terdapat 2,7 juta kasus baru dengan terdapat 280.000 kematian anak yang
menderita HIV. Dari jumlah tersebut diperkirakan orang yang hidup
dengan HIV meningkat lebih dari 20% dibandingkan dengan tahun 2000.1
Faktor resiko penularan HIV terbanyak melalui hubungan seksual secara
bebas dan berganti pasangan, kebocoran dari kondom dan dapat juga
ditularkan melalui pekerja seks komersial, dimana dalam beberapa kasus
juga dapat ditularkan melalui donor darah yang terinfeksi HIV, Dimana
pada anak ditemukan 18,1% kasus HIV baru ditularkan melalui transmisi
dari ibu ke anak sedangkan sebanyak 37,3% kasus HIV baru didapatkan
melalui hubungan sexual dengan berganti-ganti pasangan. 2
Epidemi HIV di Indonesia termasuk yang paling cepat berkembang di Asia.
Pada akhir 2009, diperkirakan ada 333.200 orang yang hidup dengan HIV
(ODHA) di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan telah
meningkat tajam dari 2.682 kasus pada 2004 menjadi 19.973 pada
Desember 2009. Di antara kasus 25% adalah perempuan. Epidemi AIDS
sekarang mempengaruhi hampir seluruh wilayah Indonesia, seperti dapat
terlihat dari terbaru Depkes laporan. Pada tahun 2004 hanya 16 dari 33
propinsi yang melaporkan HIV. Namun, pada akhir tahun 2009, kasus AIDS
yang dilaporkan di 32 propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. Angka
peningkatan ini mencerminkan baik peningkatan penyebaran infeksi serta
adanya sistem pelaporan yang lebih baik.3
Penggunaan narkoba suntikan dan transmisi seksual tetap menjadi
mekanisme utama penularan HIV di Indonesia. Pada tahun 2009, data dari
Asia Wabah Modeling (AEM) menunjuk perlunya memberikan perhatian
terhadap berbagai isu seperti meningkatnya jumlah kematian terkait AIDS,
meningkatnya jumlah anak dengan HIV; kebutuhan yang berkembang untuk
kebutuhan ART dan peningkatan terkait pengeluaran nasional untuk
pengobatan.3
Dengan data tersebut AIDS masih merupakan prioritas kesehatan global
walaupun sudah banyak perkembangan yang signifikan telah tercapai dalam

1
PENDAHULUAN

mencegah terjadinya atau timbulnya infeksi kasus HIV baru dan juga
mencegah terjadinya kematian yang diakibatkan oleh HIV. 1
Infeksi HIV pada kehamilan : mengapa menjadi penting ?
- Efek pada kehamilan
- > 90 % kasus HIV anak ditularkan dari ibu
- Anak yang akan dilahirkan akan menjadi yatim piatu
- Sebagian besar ODHA adalah perempuan yang berada pada usia subur

1.2. Masalah HIV dari Segi Perinatologi


- Dengan makin meningkatnya prevalensi pengidap HIV di masyarakat
maka prevalensi HIV pada ibu hamil juga akan meningkat.
- Penularan vertikal/perinatal HIV memegang peranan penting terhadap
tingginya prevalensi HIV di masyarakat.
- Sampai sekarang belum didapatkan adanya vaksin untuk pencegahan
HIV.
- Menyusui bayi merupakan salah satu cara penularan perinatal, sehingga
perlu dilarang.
- Skrining HIV pada ibu hamil belum dilaksanakan secara menyeluruh.
- Penularan parenteral dari pasien ke petugas rumah sakit perlu menjadi
perhatian
Perjalanan penyakit bayi yang tertular HIV dari ibunya lebih progresif
dibandingkan dengan penderita dewasa karena paparan pertama terjadi
pada saat respons imun masih dalam tahap perkembangan. Kelainan
respons imun yang timbul antara lain limfopenia CD4+, berbagai defek
limfosit B dan T, hipergamaglobulinemia poliklonal. 4,5
Laporan awal infeksi HIV pada bayi menyebutkan prognosis yang sangat
buruk dengan angka harapan hidup setelah didiagnosis 9,4 bulan. Namun,
penelitian selanjutnya menunjukkan angka harapan hidup yang lebih baik
(median 60-120 bulan). Tanpa obat pencegahan, dua pertiga bayi yang
tertular HIV dari ibunya tetap asimtomatik sampai usia sekolah dan
perjalanan penyakitnya perlahan-lahan; 20-30 % sisanya penyakit lebih
progresif dan sudah bermanifestasi pada tahun pertama. Infeksi
oportunistik yang berat seperti pneumonia Pneumocystis carinii,
ensefalopati, dan gangguan pertumbuhan sudah tampak pada bayi tersebut.
Diduga saat penularan (intrauterine atau intrapartum) dan cara transmisi
yang berhubungan dengan tingginya kadar virus memegang peranan pada
dua macam perjalanan penyakit tersebut.6

2
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Konseling Prekonsepsi
1.3. Pilihan Hamil pada ODHA
Odha yang mempunyai pasangan sebaiknya menjalani konseling tentang
pilihan reproduksi mereka, apakah mempunyai anak atau tidak. Selanjutnya,
keputusan tetap ada di tangan Odha dan pasangannya. Alternatif terbaik
adalah tidak mempunyai anak atau adopsi. Namun, jika pasutri tersebut
memutuskan untuk mempunyai anak sendiri dengan kemungkinan infeksi
yang sudah disadari, pasangan tersebut sebaiknya pergi ke fasilitas
kesehatan yang menyediakan konseling, evaluasi, terapi, dan pemantauan
penularan perintal HIV. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah
pemakaian antiretrovirus, inseminasi dan pencucian sperma bagi suami,
operasi seksio sesarea, dan tidak menyusui bayi. 7,8,9,10,11,12,13

Diskusikan masalah fertilitas dengan semua wanita usia subur dengan


HIV secara berkesinambungan sepanjang perjalanan penyakit mereka
(AIII).
Sertakan informasi tentang metode kontrasepsi yang efektif dan tepat
untuk mengurangi kemungkinan kehamilan yang tidak diinginkan (AI).
Berikan informasi tentang praktek seksual yang lebih aman dan hindari
penggunaan alkohol dan narkoba, obat, dan merokok, yang penting
untuk kesehatan semua wanita serta untuk kesehatan janin / bayi (AII)

1.4. Screening HIV


Semua wanita hamil direkomendasikan untuk melakukan screening HIV
dalam setiap kunjungannya dalam kunjungan rutin. Kegiatan ini dapat
mendiagnosa secara dini infeksi HIV untuk segera melakukan intervensi
jika terdapat resiko transmisi ibu ke anak dan secara significant
meningkatkan kesehatan mereka. (A)
Semua wanita hamil yang telah HIV positif harus segera di rujuk ke
fasilitas kesehatan yang dapat menatalaksanaan HIV dan dapat segera di
tatalaksana dengan tim yang multidisiplin. (D)
Jika seorang wanita menolak untuk di screening maka wanita tersebut
harus di teliti lebih dalam kenapa menolak untuk dilakukan screening.

3
KONSELING PREKONSEPSI

Keputusan untuk menolak screening harus di tulis di rekam medic dan


screening ditawarkan kembali pada usia 28 minggu (E)
Tes HIV ditawarkan sebagai bagian ANC rutin untuk strategi (A)
Skrening dilakukan atas dasar inform consent terlebih dahulu (A)
Skrening dilakukan sedini mungkin pada setiap kehamilan (A)
Jika tes skrening positif, konseling individual adalah elemen penting
dalam memberikan inform konsen (C)
Pada pasien resiko tinggi, jika tes diulangi setelah UK 12 minggu jika tes
awal negatif (C), atau sebelum 36 minggu jika tes awal negative (C)
3 macam strategi diperlukan untuk diagnosis HIV (C), untuk skrening
rapid tes/ enzyme immunoassay (EIA) atau ELISA direkomendasikan
(A), tes skrening positif harus diikuti tes aglutinasi (B), konfirmasi akhir
dengan LIA/ western blot
Skrening selama persalinan : dilakukan pada pasien yang belum pernah
dilakukan tes (C)
Setiap tes yang positif, harus diverifikasi dengan tes konfirmasi (A)

4
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Perawatan Antepartum
1.5. Transmisi Vertikal HIV
Tanpa intervensi, risiko penularan HIV dari ibu ke janinnya yang dilaporkan
berkisar antara 15-45%. Risiko penularan ini lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju (21-43% dibandingkan 14-
26%). Penularan dapat terjadi pada saat kehamilan, intrapartum, dan
pascapersalinan. Sebagian besar penularan terjadi intrapartum. Pada ibu
yang tidak menyusui, 24-40% penularan terjadi intrauterine dan 60-75%
terjadi selama persalinan. Pada ibu yang menyusui bayinya, sekitar 20-25%
penularan terjadi intrauterine, 60-70% intrapartum atau saat awal
menyusui, dan 10-15% sisanya setelah pesalinan. Risiko infeksi intrauterine,
intrapartum, dan pasca persalinan adalah 6%, 18% dan 4% dari seluruh
kelahiran ibu dengan HIV positif. 6,7

1.6. Transmisi in utero


Kejadian transmisi HIV pada janin kembar dan ditemukannya DNA HIV,
IgM anti-HIV, dan antigen p24 pada neonatus pada minggu pertama
membuktikan bahwa transmisi dapat terjadi selama kehamilan. Walaupun
masih belum jelas benar, mekanismenya diduga melalui plasenta.
Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi
HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu
sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan
sinsitiorofoblas, atau tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel
makrofag plasenta (sel Hofbauer) yang mempunyai reseptor CD4+. 14,15
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti-HIV-1 dengan mekanisme yang
masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta human chorionic
gonadotropin (hCG)- diduga melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa
cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi
apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1. Menurut Pediatric Virology
Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG), transmisi dikatakan in
utero/infeksi awal jika tes virologist positif dalam 48 jam setelah kelahiran
dan tes berikutnya juga positif. 14,15,16
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada
transmisi antepartum. Malnutrisi yang seringkali ditemukan pada Odha
akan meningkatkan risiko transmisi karena akan menurunkan imunitas,

5
PERAWATAN ANTEPARTUM

meningkatkan progresivitas penyakit ibu, meningkatkan risiko berat badan


lahir rendah dan prematuritas, dan menurunkan fungsi imunitas
gastrointestinal dan integritas fetus. Pada penelitian prospektif random
terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari 1,05 mol/L) yang
dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B ternyata berhubungan
dengan peningkatan transmisi HIV. Namun, penelitian Dreyfuss, dkk tidak
dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan meningkatkan
transmisi antepartum atau sebaliknya. 14,15
RekomendasipadawanitahamildenganHIV

Wanita dengan diagnosis HIV positif setelah 28 minggu harus dirujuk


ke RS secepatnya untuk mendapat ART (Rekomendasi C )
Pemberian ART, SC elektif dan menghindari pemberian ASI dapat
mengurangi transmisi ibu ke anak sebesar < 2% (Rekomendasi A)

1.7. Pemberian antiretrovirus (ART)


Berbeda dengan populasi Odha lainnya, ARTI direkomendasikan untuk
semua Odha yang sedang hamil untuk mengurangi risiko transmisi
prenatal. Hal ini berdasarkan bahwa risiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan risiko transmisi dapat diturunkan hingga
20% pada Odha yang dalam terapi ART. 21,22,23
Tujuan pemberian ART pada kehamilan adalah untuk memaksimalkan
kesehatan ibu dan mengurangi risiko transmisi HIV dengan cara
menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pada kehamilan, keuntungan
pemberian ARTI ini harus dibandingkan dengan potensi toksistes,
teratogenesis, dan efek samping jangka lama. Sayang sekali, efek penelitian
mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama ART pada
wanita hamil masih sedikit. 17,18,19 Efek samping tersebut diduga akan
meningkat pada pemberian kombinasi ART, seperti efek teratogenesis
kombinasi ART dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk.20
Namun, penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi ART tidak
meningkatkan risiko prematuritas, berat badan lahir rendah, atau kematian
janin intrauterine. Kategorisasi Food and Drug Administration (FDA) tentang
ART dapat dilihat pada tabel 1. 21,22,23

6
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Saat ini di Indonesia beberapa ART tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dengan harga yang lebih murah, antara lain zidovudin, lamivudin,
nevirapin dan stavudin

Tabel1.KategoriFDAantiretrovirusuntukdigunakanpadakehamilan
Golongan Obat KategoriFDA
NucleosideReverse Zidovudin/ZDV/AZT C
TranscriptaseInhibitor(NRTI) Zalsitabin/ddC C
Didnosin/ddl B
Stavudin/d4T C
Lamivudin/3CT C
Abacavir/ABC C
TenofovirDF B
NonnucleosideReverse Nevirapin C
TranscriptaseInhibitor(NNRTI) Delavirdin C
Efavirenz C
ProteaseInhibitor(PI) Indinavir C
Ritonavir B
Saquinavir P
Nelfinavir B
Amprenavir C
Lopinavir C
Golonganlain Hidroksiurea D
Keterangan:
KategoriB: Tidak terdapat risiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum
terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan
menunjukkanefek samping yang tidaksesuaidenganpenelitiankontrol pada
wanita trimester pertama (dan tidak terbukti berisiko pada trimester
berikutnya)
KategoriC: Pada penelitianhewan ditemukan efeksamping pada janin(teratogenik atau
embriosidal,ataulainnya)danbelumterdapatpenelitiankontrolpadawanita
hamil,ataubelumterdapatpenelitianefeksampingobatpadahewanataupun
wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi
risikopotensialpadajanin.
KategoriD: Terdapat bukti positif risiko efek samping pada janin manusia, namun
keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan risikonya,
terutamauntukpenyelamatanjiwa

7
PERAWATAN ANTEPARTUM

1.8. Penatalaksanaan komprehensif untuk mencegah


transmisi dari ibu ke bayi

ANC pada semua wanita hamil

Wanita dengan hasil test HIV Wanita dengan status HIV Wanita diketahui HIV positif
sebelumnya negatif tidak diketahui

Tes ulang Tawarkan tes dan konseling HIV Lihat kembali manajemen klinisnya

HIV (-) HIV (+) Belum menerima Sudah menerima


ART ART

Melakukan upaya Tentukan status klinis dan Lanjutkan ARV, ganti ARV jika terbitti
preventif . test ulang 36 imunologis teratogen, lanjutkan ART selama
minggu lagi persalinan, profilaksis cotromoxazole jika
ada indikasi

Belum indikasi Indikasi ART


ART

ART tak tersedia ART tersedia

Jika ada indikasi Mulailah pemberian ART


Profilaksis ARV untuk profilaksis untuk ibu,
PMTCT, profilaksis
cotrimoxazole

8
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

1.9. Algoritma Pemberian ART dalam Kehamilan & Menyusui 17,22

Menentukan status HIV ibu


hamil

Diketahui HIV (+) dan telah Hasil Test HIV positif Hasil Test HIV negatif
menerima ART

Lanjutkan ART Menentukan kelayakan ART*

Layak untuk mendapat ART Tidak layak menerima ART; butuh


profilaksis ARV

AZT+3TC+NVP atau Pilihan A: profilaksis AZT


maternal mulai dari usia
TDF+3TC(FTC)+NVP atau
kehamilan 14 minggu
AZT+3TC+EFV** atau
( ) **

Lanjutkan ART Sd-NVP saat awal persalinan Lanjutkan profilaksis tripel


dan AZT+3TC 2x sehari ARV

Menyususi atau tidak Menyususi Menyusui


menyusui.
Ibu: lanjutkan AZT+3TC Ibu: lanjutkan profilaksis tripel
Ibu: lanjutkan ART sampai 1 minggu paska ARV sampai 1 minggu setelah
persalianan disapih
Bayi: NVP atau AZT 2x sehari
sejak saat lahir sampai usia 4-6 Bayi: NVP sejak saat lahir Bayi: NVP atau AZT 2 x sehari
minggu (tanpa memandang sampai 1 minggu setelah sejak saat baru lahir sampai usia
modus makanan bayi) disapih lagi atau jika menyusui 4-6 minggu
berhenti sebelum 6 minggu,
selama minimal 4-6 minggu
setelah kelahiran

Tidak menyusui
Ibu: lanjutkan AZT+3TC
sampai 1 minggu paska
persalinan
Bayi: NVP +AZT 2 x sehari
sejak saat baru lahir sampai usia
4-6 minggu

9
PERAWATAN ANTEPARTUM

10
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Perawatan Intrapartum
1.10. Transmisi intrapartum
Infeksi lambat/intrapartum didiagnosis jika pemeriksaan virologist negatif
dalam 48 jam pertama setelah kelahiran, dan tes 1 minggu berikutnya
menjadi positif dan bayi tidak menyusui. Selama persalinan, bayi dapat
tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui
paparan trakeobronikal atau tertelan pada jalan lahir. HIV ditemukan pada
cairan servikovaginal 23,1% Odha yang hamil dan pada cairan aspirasi
lambung 10% bayi yang dilahirkan. Terdapatnya HIV pada cairan
servikovaginal berhubungan dengan duh vagina abnormal, kadar CD+ yang
rendah, dan defisiensi vitamin A akan menurunkan integritas plasenta dan
permukaan mukosa jalan lahir, sehingga akan memudahkan terjadi trauma
pada jalan lahir dan transmisi HIV vertikal. 8,13
Besarnya paparan pada jalan lahir juga dikaitkan dengan ulkus serviks atau
vagina, korioamnionitis, ketuban pecah dini, persalinan prematur,
penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps,
episiotomy dan rendahnya kadar CD4+ ibu. Ketuban pecah lebih dari 4
jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko transmisi antepartum
sampai dua kali lipat dibanding jika ketuban pecah kurang dari 4 jam
sebelum persalinan.8,13,22
Diantara faktor-faktor tersebut, kadar HIV ibu pada saat persalinan atau
menjelang persalinan merupakan prediktor paling penting. Karena itu,
risiko penularan lebih tinggi terjadi pada ibu hamil dengan infeksi HIV
primer. Namun, belum ada hamil dengan infeksi HIV primer. Namun,
belum ada angka pasti pada kadar HIV berapa penularan dapat terjadi.
Penelitian dari the Women and Infants Transmission Study menunjukkan
pada kadar HIV ibu < 1000 kopi/mL menjelang atau saat persalinan, meski
tanpa pemakaian obat antiretrovirus, kemungkinan transmisi sangat kecil
atau tindak terjadi; sedang PACTG 185 menunjukkan angka < 500
kopi/mL. Garcia, dkk melaporkan 21% penularan HIV pada ibu dengan
kadar HIV menjelang atau saat persalinan < 100.000/ml, sedangkan pada
ibu dengan kadar HIV > 100.000/ ml penularan yang terjadi 63%. John, dkk
menemukan penularan empat kali lebih tinggi pada ibu dengan kadar viral
load > 43000 kopi/ mL. Namun, kadar HIV yang rendah atau tidak
terdeteksi tidak menjamin bahwa bayi tidak akan tertular karena pada
beberapa kasus penularan tegap terjadi. John, dkk p ada penelitiannya

11
PERAWATAN INTRAPARTUM

mengemukakan transmisi yang terjadi pada tiga orang ibu dengan kadar
HIV <5000 kopi/mL, sedangkan transmisi tidak terjadi pada seorang ibu
dengan kadar HIV > 1 juta kopi/mL. Selain itu, kadar HIV ibu sebelum dan
saat persalinan juga akan menentukan kadar HIV pada bayi yang
ditularkannya. Wiener, dkk mengemukakan hubungan linear kadar HIV ibu
dan kadar HIV bayi pada 3 bulan pertama kehidupannya. 13,15
Selain faktor ibu, faktor janin ternyata juga mempengaruhi transmisi
perinatal. Prematurias dan berat badan lahir rendah diduga berperan
karena sistem imunitas pada bayi tersebut belum berkembang baik.
Beberapa penelitian menghubungkan kelahiran prematur dengan stadium
penyakit HIV ibu, penggunaan kokain atau opiat. Pada bayi kembar, urutan
kelahiran juga memegang peranan. Menurut Duliege, dkk bayi yang lahir
pertama kali mempunyai risiko penularan dua kali lebih tinggi dibandingkan
bayi yang lahir kedua. Hal tersebut disebabkan bayi yang lahir pertama
lebih lama berada di jalan lahir dan biasanya berukuran lebih besar,
sehingga secara tidak langsung membersihkan jalan lahir untuk bayi yang
lahir berikutnya. 13,15

1.11. Penanganan intra partum


Kewaspadaan menyeluruh atau Universal Precaution harus diperhatikan
untuk memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi,
penolong maupun petugas kesehatan lainnya.
Hindari memecahkan ketuban pada awal persalinan, terjadinya partus lama
dan laserasi pada ibu maupun bayi. Karena itu pada kemacetan persalinan
maka tindakan Seksio Sesarea adalah lebih baik dari memaksakan
persalinan per vaginam.
Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan vynil, bukan saja pada
pada pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah ,
bekas air ketuban dan bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV.
Penolong persalinan harus memakai kaca mata pelindung, masker, baju
operasi yang tidak tembus air dan sering kali membersihkan atau mencuci
tangan. Membersihkan lendir atau air ketuban dari mulut bayi harus
memakai mesin isap, tidak dengan catheter yang diisap dengan mulut. Bayi
yang baru lahir segera dimandikan dengan dengan air yang mengandung
dasinfectan yang tidak mengganggu bayi

Prosedur invasif (seperti amniosentesis, sampling villi korialis) pada


wanita hamil dengan HIV tidak direkomendasikan (A)

12
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

1.12. Pemberian ART intrapartum


Intrapartum AZT intravena AZT direkomendasikan untuk semua
perempuan hamil terinfeksi HIV, terlepas dari rejimen antepartum,
untuk mengurangi penularan perinatal HIV (AI).
Wanita yang menerima antiretroviral antepartum (ART) rejimen obat
harus meneruskan obatnya selama persalinan (AIII)
perempuan dengan status HIV tidak diketahui harus menjalani rapid
test (AII). Jika hasilnya positif, tes HIV konfirmasi harus dilakukan
sesegera mungkin dan ART ibu / bayi ART diberikan menunggu hasil uji
konfirmasi (AII). Jika tes HIV konfirmasi positif, ART bayi harus
dilanjutkan selama 6 minggu (AI), jika tes ini negatif, ART bayi harus
dihentikan.
AZT intravena direkomendasikan untuk ibu terinfeksi HIV yang dalam
persalinan yang belum menerima ART antepartum (AII)

1.13. Persalinan Pervaginam atau Persalinan Perabdominam


Untuk mengurangi resiko transmisi HIV yang terutama terjadi pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara
Odha yang menjalani seksio sesarea dengan partus pervaginam. Persalinan
dengan seksio sesarea dipikirkan dapat mengurangi paparan bayi dengan
cairan servikovaginal yang mengandung HIV. 13, 16
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi
HIV yang lebih rendah pada Odha yang menjalani Seksio sesarea
dibandingpan partus pervaginam (11,7% dibandingkan 17,6%) tanpa
membedakan seksio elektif dan seksio emergensi. Namun, ternyata
penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna secara statistik. Women and Infants Transmission Study
mengemukakan bahwa lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih
bermakna daripada seksio sesarea untuk menurunkan transmisi vertikal
(risiko relatif 1,81 dibanding 1,13). 13,16
Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan risiko transmisi pada
partus pervaginam, seksio sesarea emergensi dan seksio elektif. European
Mode of Delivery Collaboration membandingkan transmisi prenatal pada
Odha yang melahirkan pervaginam dan seksio sesarea elektif. Ternyata
seksio sesarea elektif dapat menurunkan risiko transmisi hingga 80
dibandingkan partus pervaginam (1,8% dibandingkan 10,5%). Demikian juga

13
PERAWATAN INTRAPARTUM

hasil metaanalisis dari the International Perinatal HIV Group terhadap 15


penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di berbagai negara. 23
Seksio sesarea elektif akan lebih bermakna jika disertai dengan pemberian
antiretrovirus. Risiko transmisi akan berkurang sekitar 87%. Karena itu,
saat ini seksio sesarea dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial
terhadap transmisi HIV vertikal. Untuk lebih mengurangi kemungkinan
transmisi intrapartum, Towers, dkk mencoba teknik seksio sesarea dengan
perdarahan minimal. Namun, pada penelitian tersebut ternyata seksio
sesarea dengan pendarahan minimal hampir sama dengan pemberian
antiretrovirus (transmisi HIV 6,3% dibanding 7,9%). Cara ini mungkin dapat
menjadi alternatif pada ibu yang tidak mendapat terapi antiretrovirus.
13,15,16,17

Dalam suatu randomized clinical trial, rasio bayi lahir terinfeksi dari wanita
yang menjalani SC dan perslinan pervaginam adalah 1,8% : 10,5% (P
<0,001). Dengan pemberian ART, Sc menurunkan resiko transmisi HIV
sebesar 80%. SC cito tidak memberikan efek yang diharapkan untuk
menurunkan transmisi HIV (AOR 1,0; 95% CI, 0,3-3,7). Hasil dari meta-
analisis 15 penelitian kohort prospektif juga menunjukkan manfaat
kelahiran sesar dijadwalkan dengan penurunan 50% pada resiko transmisi
HIV. Berdasarkan data ini, American College of Obstetricians dan
Gynecologists telah merekomendasikan pertimbangan SC elektif untuk
HIV ibu hamil yang terinfeksi HIV sejak tahun 1994.20,22,23
Namun, pertimbangan untuk melakukan seksio sesarea tanpa indikasi
obstetrik lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi
seksio yang mungkin terjadi pada Odha, terutama pada stadium lanjut.
Laporan PACTG 185 menyebutkan bahwa komplikasi minor seksio
sesarea seperti endometritis, infeksi luka, dan infeksi traktus urinarius lebih
banyak terjadi pada Odha dibandingkan dengan kelompok non HIV.
Namun, tidak ada perbedaan kejadian komplikasi mayor seperti
pneumonia, efusi pleura, ataupun sepsis.22,23
Selain seksio sesarea, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan risiko
transmisi intrapartum pada Odha. Salah satunya adalah pencucian jalan
lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata
cara ini tidak dapat mengurangi risiko transmisi partus pervaginam.

14
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Seksio sesarea terjadwal pada usia kehamilan 38 minggu


direkomendasikan untuk wanita dengan tingkat viral load HIV> 1.000
kopi / mL pada saat persalinan, terlepas dari pemberian ART, dan untuk
wanita dengan kadar viral load yang tidak diketahui mendekati waktu
persalinan (AII).
Seksio sesarea terjadwal tidak direkomendasikan untuk wanita dengan
tingkat viral load HIV > 1.000 kopi / mL pada saat persalinan, kurangnya
data yang mendukung manfaat SC pada kelompok ini dan angka
transmisi perinatalpun rendah (BII)
Belum jelas manfaat SC setelah pecah ketuban atau kondisi inpartu,
keputusan SC didasarkan pada lamanya pecah ketuban, kemajuan
persalinan, tingkat plasma HIV RNA, rejimen ARV saat ini, dan faktor
klinis lainnya (BII)
Lamanya waktu pecah ketuban meningkatkan resiko transmisi perinatal
(A), karena itu SC kurang bermanfaat setelah 4 jam pecah ketuban (C)
Hanya perempuan dengan viral load kurang dari 50 kopi / ml yang
ditawarkan persalinan pervaginam.
Persalinan operatif pervaginam dengan forsep atau vakum ekstraktor
dan / atau episiotomi harus dilakukan hanya jika ada indikasi obstetri
yang jelas (BIII)
Prosedur invasif (seperti amniosentesis, sampling villi korialis) pada
wanita hamil dengan HIV tidak direkomendasikan (BIII)
Tidak ada bukti desinfeksi vagina dapat menurunkan transmisi HIV dari
ibu ke bayi (A)

15
PERAWATAN INTRAPARTUM

16
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Perawatan Postpartum
1.14. Transmisi pasca persalinan
Air susu ibu diketahui mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak.
Konsentrasi median sel yang terinfeksi HIV pada ibu yang menderita HIV
adalah 1 per 104 sel. Partikel virus dapat ditemukan pada komponen sel
dan non-sel air susu ibu. Pada penelitian Nduati, dkk, HIV ditemukan pada
58% pemeriksaan kolostrum dan air susu ibu. Kadar HIV tertinggi dalam
air susu ibu terjadi mulai minggu pertama sampai tiga bulan setelah
persalinan. HIV dalam konsentrasi rendah masih dapat dideteksi pada air
susu ibu sampai 9 bulan setelah persalinan. Risiko penularan pada bayi yang
disusui paling tinggi pada enam bulan pertama, kemudian menurun secara
bertahap pada bulan-bulan berikutnya. 10,11,12
Kadar HIV pada air susu ibu dipengaruhi kadar HIV serum ibu, CD4+ ibu,
dan definisi vitamin A. Semba, dkk mengemukakan bahwa kadar HIV di
dalam air susu ibu lebih tinggi pada ibu yang anaknya terinfeksi HIV dari
pada yang tidak. Berbagai macam faktor lain yang dapat mempertinggi
risiko transmisi HIV melalui air susu ibu antara lain mastitis atau luka di
putting susu, abses payudara, lesi di mukosa mulut bayi, prematuritas, dan
respons imun bayi. 10,11,12

Konseling kontrasepsi harus dimasukkan sebagai aspek penting dari


perawatan pasca melahirkan (AIII).
Keputusan tentang melanjutkan antiretroviral (ART) setelah
melahirkan harus mempertimbangkan kadar CD4, viral load HIV,
kepatuhan, atau pilihan pasien (AIII).

1.15. Pemberian Air Susu Ibu


Penularan HIV melalui air susu ibu diketahui merupakan faktor penting
transmisi pascapersalinan dan meningkatkan risiko transmisi dua kali lipat.
Miotti, dkk pada penelitian di Malawi membuktikan air susu ibu
meningkatkan insidens transmisi HIV 0,7% per bulan pada usia 0 sampai 5
bulan, 0,6% pada usia 6-11 bulan, lalu 0,3% per bulan pada usia 12-17 bulan.
penelitian di Nairobi yang membandingkan bayi dari ibu dengan HIV yang
disusui dengan air susu ibu dibandingkan dengan susu formula
menunjukkan probabilitas kumulatif infeksi HIV pada usia 24 bulan 36,7%

17
PERAWATAN POSTPARTUM

dibandingkan 20,5%. Namun, angka kematian setelah 2 tahun pada kedua


kelompok ternyata sama. Penelitian Leroy, dkk di berbagai negara
menyebutkan risiko transmisi HIV melalui air susu ibu yang diperkirakan
adalah 3,2 per 100 anak-tahun. 10,11,12, 21,22
Di negara maju, upaya untuk menghindari menyusui bayi dari ibu penderita
HIV seperti yang dianjurkan tidak mengalami kendala. Namun, hal tersebut
sulit dilakukan di negara berkembang mengingat keterbatasan dana untuk
membeli susu formula, kesulitan mencari air bersih dan menyediakan botol
yang bersih, selain norma-norma di masyarakat tertentu. Ternyata tidak
selamanya susu formula lebih efektif daripada air susu ibu untuk mencegah
penularan HIV, tetapi tergantung dari cara pemberiannya. Penelitian
Coutsoudis, dkk di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi yang
mendapatkan air susu eksklusif selama 3 bulan mempunyai transmisi HIV
lebih rendah (14,6%) dibandingkan dengan bayi yang mendapat air susu
formula dan air susu ibu (24,1%), bahkan menyamai risiko pemberian susu
formula saja. Hal ini diperkirakan karena air dan makanan terkontaminasi
yang diberikan pada bayi yang menerima dua macam susu tersebut
merusak usus bayi, sehingga HIV dari air susu ibu dapat masuk ke tubuh
bayi.10,11,12,21,22
Rekomendasi pada tahun 2009 menyatakan bahwa intervensi secara efektif
ARV pada ibu menyusui dengan HIV(+) perlu dilakukan agar ibu bisa
memberikasn ASI kepada bayinya. Dan diharapkan pemberian ASI sampai
usia bayi 12 bulan, akan menyediakan nutrisi yang adekuat, meningkatkan
angka harapan hidup bayi, serta mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi.
Kebijakan ini berbeda dengan rekomendasi tahun 2006 dimana tidak
terdapat intervensi ARV pada ibu dengan HIV (+), menyatakan bahwa ASI
harus dihentikan begitu bayi sudah mencapai usia 6 bulan, atau ketika
kondisi tertentu. 10,11,12
Ibu yang telah diketahui terinfeksi HIV (dan memiliki bayi yang tidak
terinfeksi atau tidak diketahui status infeksi HIV-nya)
Sebaiknya berikan ASI eksklusif kepada bayi mereka sampai usia bayi
mereka 6 bulan, kemudian kenalkan bayi dengan makanan pendamping
ASI sampai dengan usia 12 bulan. ASI dapat dihentikan jika tersedia
makanan pengganti ASI yang keamanan dan nutrisi yang terkandung
adekuat

Jika bayi atau anak yang telah diketahui terinfeksi HIV

18
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Ibu sebaiknya dihimbau untuk memberikan ASI ekslusif sampai usia


bayi mereka 6 bulan, kemudian lanjutkan pemberian ASI sampai
dengan rekomendasi yang ada pada populasi tersebut, bisa sampai 2
tahun atau kurang

1.16. Kontrasepsi
Kontrasepsi tidak hanya mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi
juga berperan dalam pencegahan penularan HIV secara seksual termasuk
HIV. Masalah-masalah yang berkaitan dengan kontrasepsi dan HIV lebih
kompleks daripada perempuan yang tidak terinfeksi.13, 18,23
Konsisten, penggunaan kondom yang benar telah terbukti memberikan
tingkat perlindungan yang tinggi terhadap penularan HIV. Penggunaan
kondom cukup efektif dengan tingkat kegagalan sebesar 3%, serta memiliki
efek perlindungan terhadap infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Hal ini
dikenal sebagai "perlindungan ganda". Ada interaksi antara obat terapi ARV
dan kontrasepsi hormonal dengan peningkatan risiko kegagalan
kontrasepsi. Penggunaan Kontrasepsi Intra Uterine (IUD) tidak secara
signifikan mengubah prevalensi transmisi HIV. Oleh karena itu penggunaan
IUD tampaknya aman dari sudut pandang pasangan seksual. Komplikasi
secara keseluruhan rendah pada perempuan yang terinfeksi setelah
pemasangan AKDR. Spermisida menawarkan perlindungan yang sangat
terbatas dari kehamilan dan dapat meningkatkan risiko penularan HIV.
Secara etis, tidak ada alasan medis untuk menolak atau memaksa sterilisasi
untuk pasien dengan HIV 13,18,23

Kondom merupakan satu-satunya pilihan metode kontrasepsi terbukti


mencegah kehamilan dan transmisi HIV secara seksual (A)
Jika IUD dan kontrasepsi hormonal menjadi pertimbangan, harus
digunakan bersama dengan kondom (B)
Tidak ada indikasi medis untuk KB steril pada individu yang terinfeksi
HIV (B)

19
PERAWATAN POSTPARTUM

Referensi
1. UNAIDS/WHO, AIDS epidemic update December 2008. Genewa: Joint United United Nations
Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) and World Health Organization (WHO), 2008
2. Wabwire-mangen,fred, et all, HIV modes of transmission and prevention response analysis,
march 2009.
3. National AIDS Commission Republic of Indonesia. 2009. Country Report on the Follow up to the
Declaration of Commitmen On HIV/AIDS (UNGASS)Reporting Period 2008 2009
4. Greenfield,Ronald et all Pediatrics HIV infections clinical presentation, 2012
5. Mofenson LM, Brady MT, Danner SP, Dominguez KL, Hazra R, Handelsman E, et al. Guidelines
for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections among HIV-exposed and HIV-
infected children: recommendations from CDC, the National Institutes of Health, the HIV
Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America, the Pediatric Infectious
Diseases Society, and the American Academy of Pediatrics. MMWR Recomm Rep. Sep 4
2009;58:1-166
6. Kourtis AP, Lee FK, Abrams EJ, Jamieson DJ, Bulterys M. Mother-to-child transmission of HIV-1:
timing and implications for prevention. Lancet Infect Dis 2006;6:72632
7. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG committee opinion scheduled
Cesarean delivery and the prevention of vertical transmission of HIV infection. Number 234, May
2000 (replaces number 219, August 1999). Int J Gynaecol Obstet. 2001 Jun;73(3):279-281
8. World Health Organization, Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescents
(2010 revision). 2010
9. World Health Organization, Essential prevention and care interventions for adults and
adolescents living with HIV in resource-limited settings. 2008
10. World Health Organization. Principles and recommendations on HIV and infant feeding. 2010
11. London JW. Breast feeding safer than mixed feeding for babies of HIV mothers. BMJ 2001 ; 322 :
511.
12. Nduati R, Richardson BA, John G, M bori-Ngacha D, Mwatha A, Ndinya-Achola J, et al. effect of
breastfeeding on mortality among HIV-1 infected women : a randomised trial. Lancet 2001 ; 357-
1651-55
13. Royal College of Obstetrician and Gynecologist (RCOG). Management HIV in Pregnancy. June
2010.
14. Warszawski J, Tubiana R, Le Chenadec J. Mother-to-child HI transmission despite antiretroviral
therapy in the ANRS French Perinatal Cohort. AIDS 2008;22:28999
15. Burgess T, Determinants of transmission of HIV from mother to child. Clin Obstet Gynecol
2001;44:198-209.
16. Duliege A-M, Amos CI, Felton S, Biggar RJ, The International Registry of HIV-exposed twins,
Goedert JJ. Birth order delivery route and concordance in the transmission of human
immunodeficiency virus type 1 from mothers to twins. J Pediatr 1995:126:625-32.
17. World Health Organization: Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing
HIV Infection in Infants: Towards Universal Access. Recommendations for Public Health
Approach: 2010 Version. Geneva, Switzerland: WHO; 2010.
18. Minkoff H. Prevention of mother-to-child transmission of HIV. Clin Obstet Gynecol 2001;44:210-
23.
19. Watts DH. Maternal therapy for HIV in pregnancy. Clin Obstet Gynecol 2001; 44:182-97
20. Jungmann EM, Mercey D, DeRuiter A, Edwards S, Dohoughue S, Booth T, et al. Is first trimester
exposure to the combination of antiretroviral therapy and folate antagonists a risk factor for
congenital abnormalities? Sex Transm Inf 2001:77:441-3
21. Toumala RE, Shapira DE, Mofenson LM, Bhyson Y, Culnane M, Hughes MD, et. al. Antiretroviral
therapy during pregnancy and the risk of an adverse outcome. N Engl J Med 2002:346:1863-70
22. World Health Organization. Antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children
(2010 revision). 2010
23. UNAIDS and World Health Organization. AIDS epidemic update 2009. 2009 [cited; Available
from: http://data.unaids.org/pub/Report/2009/JC1700_Epi_Update_2009_en.pdf.

20
Pedoman HIV pada Kehamilan di Indonesia

Lampiran
Lampiran 1. Kelas rekomendasi

Lampiran 2. Level bukti

21
PERAWATAN POSTPARTUM

22

You might also like