Professional Documents
Culture Documents
BRONCHOPNEUMONIA
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Tidar Magelang
Diajukan kepada:
dr. Anto Artsanto, Sp.A
Disusun oleh:
Ricky Andy Setyawan
20090310169
Disusun Oleh:
Ricky Andy Setyawan
20090310169
Dosen Pembimbing
Puji syukur penulis ucapkan atas limpahan karunia Tuhan Yang Maha Esa, penulis telah
menyelesaikan Long Case yang berjudul BRONCHOPNEUMONIA. Penulis berharap
semoga tulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi temam-teman sejawat
yang sedang menempuh pendidikan kepaniteraan umum. Tidak lupa penulis ucapkan banyak
terima kasih kepada :
1. dr. Anto Artsanto, Sp.A yang telah memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat
selama penulis mengikuti kepaniteraan umum.
2. dr. Chrisna Hendrawati, Msi.Med, Sp.A yang telah memberikan bimbingan dan ilmu
yang bermanfaat selama penulis mengikuti kepaniteraan umum.
3. Keluarga yang mendukung dengan doa.
4. Kolega bagian kesehatan anak di RSUD Tidar Magelang & RSB Budi Rahayu atas
bimbingannya.
5. Pihak-pihak lain yang membantu, namun tidak bisa disebutkan satu persatu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
Tanggal anamnesis : 19 maret 2014 pukul 09.00 WIB
Macam anamnesis : alloanamnesis dengan ibu pasien
Keluhan utama : batuk
a. Identitas Pasien
Nama : Fajar Isyra
Tempat, Tanggal Lahir : Magelang, 23 mei 2013
Jenis Kelamin : laki laki
Nama Ibu : Sri Indah
Usia Ibu : 26 tahun
Pendidikan Terakhir : tamat SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama Ayah : Muljati
Usia Ayah : 30 tahun
Pendidikan Terakhir : tamat SD
Pekerjaan : buruh
Agama : Islam
Alamat : Ngabean Trasan, RT 2 / RW 2, Bandongan
Tanggal Masuk RS : 18 maret 2014
Tanggal Keluar RS : 21 maret 2014
f. Riwayat perkembangan
g. Riwayat nutrisi
0-6 bulan : bayi minum ASI dan pendamping ASI
6 bulan 10 bulan : anak minum ASI, PASI dan bubur tim
II . PEMERIKSAAN FISIK
mual/muntah (-), BAB/BAK (+) normal, makan sulit, minum ASI (+)
Objektif :
- Keadaan Umum : Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Vital Sign : Nadi: 110 X/Min
Suhu: 39 0C
Laju Respirasi: 42x/Min
- Berat badan/ Tinggi badan : 8 kg/ 70 cm
- Status gizi:
BB/U = berdasarkan z score menunjukkan nilai 0 : baik
BB/U = berdasarkan z score menunjukkan nilai +1 : baik
Kesimpulan : status gizi baik.
- Kepala : Mesochepal, rambut hitam lurus mudah dipilah
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
- Telinga : ottorhea (-), nyeri telinga (-)
- Hidung : discharge (-), nafas cuping hidung (-)
- Mulut & Bibir : hiperemis faring (-), sianosis (-), pucat (-)
- Leher : Normocoli, tidak ada peningkatan JVP
- Thorax : Inspeksi: simetris ka-ki
Palpasi: Ketinggalan gerak (-), Vocal Fremittus (+)
Perkusi: Sonor (+/+)
(+)
Cor : S1/S2 (+/+) Reguler
- Abdomen : Inspeksi : perut distensi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien ttb
Perkusi : Timpani (+)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik,
Edema di keempat ekstremitas (-), sianosis (-)
- Kulit : Ikterik (-), Hiperpigmentasi (-)
- Genital : laki laki , tidak ada kelainan.
Differential
Parameter Nilai Satuan
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
Neutrofil 64 %
Limfosit 27 %
Monosit 9 %
Assesment : Bronkopneumonia
Plan :
Infuse D5 NS 8tpm
Injeksi Cefotaxim 2x 200 mg
Paracetamol drop 3x 0,8cc
Ambroxol syr 3x cth
Lasal sirup 2 x cth
B. FOLLOW UP
Tabel. 1. Follow up pasien selama 4 hari
Tgl Subjektif Objektif Assesment Plan
18 4 Batuk (+) darah KU : sedang Bronkopneumonia Infuse D5 NS
-2014 (-),demam (+) pilek KS : compos mentis Inj. Cefotaxim
(-) sesak nafas(+), mata: konjungtiva 2x200 mg
sulit makan, minum anemis (-/-), sclera Ambroxol syr 3
ASI (+), BAB/BAK ikterik (-/-) x cth
(+) normal leher: lnn ttb Paracetamol
thorax : simetris, KG drop 3x 0,8cc
(-), ronchi basah (+/
+), wheezing (-/-)
abdomen : supel, BU
(+) normal, H/l ttb
ekstremitas : akral
hangat, nadi kuat,
CRT<2 detik
19 4 - Batuk (+) darah (-) KU : cukup Bronkopneumonia Infuse D5 NS
2014 dahak (+), pilek KS : compos mentis Inj. Cefotaxim
(-),sesak nafas(-) mata: konjungtiva 2x200 mg
sulit makan, minum anemis (-/-), sclera Ambroxol syr 3
ASI (+), BAB 1 kali ikterik (-/-) x cth
tadi pagi berwarna leher: lnn ttb Paracetamol
kehitaman, lengket, thorax : simetris, KG drop 3x 0,8cc
BAK normal (-), ronchi basah (+/ Lasal syr 2 x
+), wheezing (+/+) cth
abdomen : supel, BU
(+) normal, H/l ttb
ekstremitas : akral
hangat, nadi kuat,
CRT<2 detik
20 4 - Batuk (+)berkurang KU : cukup Bronkopneumonia Infuse D5 NS
2014 darah (-) , dahak (-), KS : compos mentis Inj. Cefotaxim
pilek (-), mau mata: konjungtiva 2x200 mg
makan, minum ASI anemis (-/-), sclera Ambroxol syr 3
(+), BAB (+) 1 kali, ikterik (-/-) x cth
BAK normal leher: lnn ttb Paracetamol
thorax : simetris, KG drop 3x 0,8cc
(-), ronchi basah (+/ Lasal syr 2 x
+), wheezing (+/+) cth
abdomen : supel, BU Nebulasi dengan
(+) normal, H/l ttb ventolin 3 x 1
ekstremitas : akral respul + nacl 3
hangat, nadi kuat, cc
CRT<2 detik
tinggal bersama 4 orang anggota keluarga lain dalam 1 rumah yaitu Ibu, kakak
kandung, kakek, nenek, ayah pasien tidak tinggal satu rumah karena sedang
lantai semen, dinding genteng, dan tembok permanen. Ayah pasien sebagai buruh
di Kalimantan tidak tentu mendapat pekerjaan tiap bulan, sementara ibu pasien
sebagai ibu rumah tangga yang sesekali memberikan jasa cuci baju.
Sehari-hari pasien hanya tinggal di rumah bersama ibunya karena belum
bersekolah. Pasien mendapat cukup perhatian dari ibu,kakek dan neneknya, setiap
ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan
sampai 2 tahun, . Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman atipik Chlamydia
pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. 9
PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi,
hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi infeksi
dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang- lubang sehingga
cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke
dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi
dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari
alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi
padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.5
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan
bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel
pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri
yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh
alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.2,14
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. 6
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator- mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)7
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.15 8
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra
abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah
steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.2
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui sistem limfatik.13
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa sangat
berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda pneumonia
meliputi gejala infeksi pada umumnya demam, menggigil, sefalgia, rewel, dan
gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti
muntah, kembung, diare, atau sakit perut. 9 Walaupun tanda pulmonal paling berguna,
namun mungkin tanda-tanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu
meliputi nafas cuping hidung (neonatus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu
nafas interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada
anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia berupa retraksi
(penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan
peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas melemah
13
dan ronkhi. Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau
tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau
tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya
menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut :
- usia kurang dari 2 bulan : 60 kali per menit
- usia 2 bulan -1 tahun : 50 kali per menit
- usia 1 5 tahun : 40 kali per menit. 9
Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi.
Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara nafas saling
berbaur dan sulit diidentifikasi.13
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi),
dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi
muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan
kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri
abdomen disertai muntah.3,8
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang
sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. 8 Pada
anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif /
produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.8
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga
> 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis.
Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara
yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak
kecil.9,13
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk
menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan
pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh
Staphylokokus pneumonia.3
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat
pada paru kanan
b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP
digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non
infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang- kadang
digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. 10
c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada
infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.10
d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu
dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing,
sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali
kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman
penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.13
KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Terapi
suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan terutama
dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin
yang harus diberikan. 9
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik
secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik,
tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan
bakteri. 9
KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia
dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi
yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.
DIAGNOSA BANDING
a. Bronkiolitis
b. Asma Bronchiale
c. Tb paru primer
PROGNOSIS
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil berkisar
dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%. 13 Dengan
pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai
kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Alberta Medical Association. 2001. Guideline for The Diagnosa and Management
of Community Acquired Pneumonia Pediatric. http:/www.albertadoctor.org.
2. Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.
3. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya.
4. Coder, J. 2008. Bronkopneumonia. http:/www.IyaLaMedicalInformation.com
5. Departemen Kesehatan RI. 2002.Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta.
6. Feldman, William. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and Bronchiolitis.
University of Toronto: Canada.
7. Guyton & Hall. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta.
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Badan Penerbit IDAI : Jakarta
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2007. Simposium Penatalaksanaan Penyakit Paru
Pada Anak Terkini. Jember.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit
IDAI : Jakarta
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1537.A / MENKES/ SK/XII/ 2002
Tanggal : 5 Desember 2002. Pemberantasan Penyakit ISPA
12. Laskmi, A. 2006. Pneumonia pediatric.http://www.emedicine.com.
13. PP IDAI UKK Pulmologi Bagian IKA FK USU/RS HAM MEDAN. 2003.
Tatalaksana Mutakhir Penyakit Respiratorik pada Anak. Medan.
14. Sarma, S. 2005. Pneumonia, bacterial. http:/www.emedicine.com.
15. Soegijanto, Soegeng dr.SpA(K). 2002. Ilmu Penyakit Anak Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Penerbit Salemba Medika : Jakarta
16. Rector & Visitors of the University of Virginia.2003. Pneumonia. www.med-
ed.virginia.edu/.../pathology3chest.html