You are on page 1of 20

BATUK / COUGH

Penelitian
Akademi Keperawatan Bina Husada Tebing Tinggi - Sumut
GAMBARAN PERILAKU IBU TENTANG PENYAKIT BATUK REJAN PADA
BALITA DI PUSKESMAS KUTA BARU KELURAHAN RAMBUTAN
KOTA TEBING TINGGI
Josep Kristian Lubis, S.Kep, Ns (Akademi Keperawatan Bina Husada)

Abstrak
Menurut WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia 1 tahun telah
mendapatkan
imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu dan
booster di berikan pada usia 15-18 bulan dan 4-6 tahun untuk mempertahankan nilai
proteksinya. Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
perilaku ibu tentang penyakit batuk rejan pada balita berdasarkan pengetahuan di
Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi.
Desain penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kuta
Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi. sampel dalam penelitian ini adalah ibu-
ibu yang mempunyai anak balita. Instrumen dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan kuesioner. mayoritas tingkat pengetahuan mayoritas kurang 22 responden
(73,33%),. Mayoritas tingkat sikap responden cukup 13 responden (43,33%),. Mayoritas
tindakan responden cukup sebanyak 16 responden (53,33%), pengetahuan ibu tentang
penyakit mayoritas kurang 22 responden, dan minoritas cukup 4 responden (13,34%).
Mayoritas Sikap responden cukup 13 responden (43,33%). Diharapkan bagi instansi
pelayanan kesehatan juga untuk dapat meningkat supaya promotif berupa pemberian
penyuluhan dan informasi-informasi tentang penyakit batuk rejan.

Kata kunci : Perilaku Ibu, Batuk Rejan, Balita.

PENDAHULUAN
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah meningkatkan
kesehatan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar terwujud derajat
kesehatan yan optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Hal
ini ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan lingkungan sehat serta
memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata. Untuk mencapai hal tersebut diselenggarakan upaya kesehatan secara
menyeluruh, terpadu, dapat diterima dan terjangkau oleh seluruh masyarakat dengan
peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi tepat guna dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat
(Depkes RI, 2000) Menurut WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia 1 tahun telah
mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-
kurangnya 4 minggu dan booster di berikan pada usia 15-18 bulan dan 4 -6 tahun untuk
mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland, pembarian imunisasi dasar ada umur 3-
6 bulan dan booster pada umur 1 tahun dengan cakupan imunisasi sebesar 90%, praktis
penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian banyak terjadi hambatan, antara lain
anak tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak 3 kali dan juga jarak waktu vaksinasinya
tidak dapat cepat. Hal ini terutama banyak. Di dapat di Negara-negara yang sedang
berkembang menurut perkiraan WHO (1983) hanya 30 % anak anak Negara sedang
berkembang yang menerima vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis. (http://www.kti-
skripsi.co.cc, peroleh tanggal 4 Januari 2010)

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui gambaran perilaku ibu
tentang penyakit batuk rejan pada balita di Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan
Kota Tebing Tinggi Tahun 2010.

Lokasi Dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian adalah Wilayah Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota
Tebing Tinggi,di laksanakan bulan Januari-Maret Tahun 2009.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang mempunyai anak balita di
wilayah Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi Pada Tahun
2010

Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang mempunyai balita penderita
batuk rejan yang berkunjung di wilayah Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota
Tebing Tinggi pada saat dilakukan penelitian.

Pengumpulan Data
(1) Data primer, yaitu dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang di buat oleh
peneliti.data primer yang digunakan adalah semua data yang termasuk data variabel
independen, variabel dependen. Kemudian peneliti memeriksa kembali kelengkapan
kuesioner tersebut.
(2) Data sekunder, berupa data hasil laporan yang diperoleh dari Puskesmas Kuta Baru
Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi

Pengolahan dan Analisa Data


Pengelolahan data dilakukan setelah seluruh data terkumpul. Pengelolahan data dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut
(1) Editing, adalah pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyuntingan terlebih
dahulu untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau quisioner
(2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau
bilangan
(3) Entri data, yaitu jawaban-jawaban darimasing-masing responden yang dalam bentuk
kode angka atau huruf yang dimasukan dalam program komputer

Analisa data
Analisa data dilakukan dengan pengukuran terhadap masing-masing responden lalu
ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi kemudian dicari besarnya presentase untuk
masing-masing jawaban responden kemudian dilakukan pembahasan dengan
menggunakan dan teori pustaka yang ada.
a. Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa mayoritas pengetahuan kurang
sebanyak 22 reponden (73,33%) dan minoritas pengetahuan yang pengetahuan cukup
adalah 4 reponden (13,34%). Berdasarkan penelitian pengetahuan seseorang
menunjukkan dengan ketidak ingitahuan dalam mengenal suatu objek. Ini terlihat pada
kenyataan dilapangan dmana peneliti mengetahui bahwa ibu-ibu di Puskesmas Kuta
Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi masih ada yang tidak memiliki
keingintahuan tentang batuk rejan pada balita.
b. Sikap
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa mayoritas bersikap cukup sebanyak 13
responden (43,33%) dan minoritas bersikap baik adalah 7 responden (23,34%).
c. Tindakan
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa mayoritas bertindakan cukup sebanyak
16 responden (53,33%) dan minoritas bertindak baik adalah 4 responden (13,33%).
Dari hasil penelian yang dilakukan dapat diketahui bahwa tindakan ibu-ibu yang
mempunyai balita yang mengalami batuk rejan bila dilihat secara keseluruhan maka
didapatkan sebagian tindakan kurang sebanyak 10 responden (33,34%). Menurut teori
mengungkapkan bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seseorang,
makin pendidikan seseorang makin tinggi pula tingkat intelektualnya. Namun pendidikan
yang baik tidak mempengaruhi seseorang untuk bersikap baik.

SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang Gambaran Perilaku Ibu Tentang Penyakt
Batuk Rejan Pada Balita di Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing
Tinggi Tahun 2010 dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Berdasarkan pengetahuan
responden di dapatkan mayoritas berpengetahuan kurang responden (73,34%) dan
minoritas berpengetahuan cukup sebanyak 4 responden (13,34%), (2) Berdasarkan sikap
dapat di ketahui bahwa ibu- ibu yang mempunyai balita yang mengalami batuk rejan
mayoritas bersikap cukup sebanyak 13 responden (43,33%) dan minoritas baik sebanyak
7 responden (23,34%), (3) Berdasarkan tindakan dapat di ketahui bahwa ibu- ibu yang
mempunyai balita yang mengalami batuk rejan mayoritas bertindak cukup sebanyak 16
responden (53,33%) dan minoritasnya yang bertindak baik sebanyak 4 responden
(13,33%)

Artikel Review
Gejala Penyakit Batuk

Gejala Penyakit merupakan sesuatu yang harus kita waspadai dan tidak boleh
dianggap remeh serta segera dicari pengobatan yang paling tepat agar tidak berakibat
pada masalah yang lebih serius. Gejala yang dialami oleh setiap orang yang berakibat
oleh penyakit batuk berbeda-beda. Sebagian orang ada yang mengalami gejala batuk
yang berdahak dan kering. Dengan mengetahui gejala batuk, maka penderita semestinya
mencari obat yang Anda alami sehingga Anda dapat menemukan obat yang tepat sesuai
dengan gejalanya. Apabila tidak segera dilakukan maka penyakit batuknya pun dapat
berujung pada infeksi dan batuk ini semakin parah, ada kemungkinan batuk ini sulit
untuk diobati. Oleh karena itu, kenalilah gejala batuk yang Anda alami sehinggal Anda
dapat menemukan obat yang tepat agar penyakit batuk anda tidak semakin memburuk.

Kasus
Seorang supir taksi 52 tahun, mengeluh nyeri tenggorokan dan batuk disertai
salesma sejak dua minggu sebelumnya. Bersinnya sudah hilang, tetapi ia tetap batuk-
batuk, terutama malam hari. Ia perokok berat yang sudah sering dianjurkan untuk
menghentikan kebiasaan itu. Pada anamnesis dan pemeriksaan lebih lanjut tak ditemukan
kelainan selain tanda radang tenggorokan.
ANEMIA
Penelitian
Severe Anemia during Late Pregnancy
Mahenaz Akhtar and Ismail Hassan

Abstract
Vitamin B12 deficiency is uncommon in pregnancy, it occurs in 1028% of
uncomplicated pregnancies, and is associated with a few complications. We present a
case report of a 21-year-old patient with severe anaemia during late pregnancy caused by
vitamin B12 deficiency. At 38 weeks gestation and with a BMI of 48.9, a history of
rupture of membranes was given but not confirmed. On examination, she appeared pale
and therefore full blood counts were done. Interestingly her haemoglobin (Hb) levels
were 3.7g/dL. Folate and vitamin B12 levels were also found to be low, and the diagnosis
of anaemia caused by vitamin B12 deficiency was made. After treatment with vitamin
B12 injections, folic acid and blood transfusions, the patient's haemoglobin levels
improved from 3.7g/dL to 10.7g/dL. The conclusion is that effective history taking,
diagnosis, and management can prevent many complications that are usually associated
with vitamin B12 deficiency anaemia.

1. Introduction
Anaemia during pregnancy is common and has both maternal and foetal
consequences. The most common cause is iron deficiency anaemia, other causes include
infection, folate, and vitamin B12 deficiency. A diagnosis of anaemia can be made if
haemoglobin levels are less than 11.0g/dL in the last trimester of pregnancy. Anaemia
specifically caused by vitamin B12 deficiency occurs in 1028% of uncomplicated
pregnancies. Vitamin B12 can only be obtained from animal products. More than 1000g
of vitamin B12 is stored in fertile women eating a mixed diet. At term, foetal vitamin B12
stores should be 2550g. 20% of women show a physiological drop in vitamin B12
levels during pregnancy, with lowest levels reached at third trimester. We report the case
of a 21-year-old with severe anaemia caused by vitamin B12 deficiency at 38 weeks
gestation.

2. Case Report
A 21-year-old Caucasian woman, with an BMI of 48.9, gravida 2 para 1,
presented at 38 weeks and 2-days gestation with a 2 day history of vaginal leak
suggestive of rupture of membranes but this was not confirmed by speculum or
ultrasound scan. The presenting complaint also included feeling unwell, vomiting, and
abdominal pain over 3 weeks. Past obstetric history included an induced vaginal delivery
2 years previously.
On observation, BP was 130/67mmHg, heart rate was 101 beats per minute
(bpm), temperature was 37.3C, oxygen saturation was 97%, and respiratory rate was 16
breaths per minute, and she was also noted to look rather pale.
Blood samples were taken and showed an Hb of 3.7g/dL (normal 11.516.5g/dL)
and platelet count of 126 109/L (normal 150400 109/L). A blood film showed right
shifted neutrophils, occasional reactive lymphocytes and tear drop poikilocytes. At this
point anaemia caused by B12 and folate deficiency was highly suspected and more
bloods were tested. These blood tests showed an exceptionally high LDH at 4449u/L,
high ferritin levels at 654ng/mL, serum B12 levels were low at 180pg/mL (200
900pg/mL), and serum folate levels were low at 0.6ng/mL (312ng/mL). Blood tests also
showed decreased levels of potassium, creatinine, calcium, albumin, and urea. There
were increased levels of alkaline phosphatise, aspartate transaminase (AST), and
bilirubin. A differential diagnosis of vitamin B12 and folate deficiency anaemia was to be
supported.

Artikel Review
Anemia in the elderly
Himmelmann A, et al

Affiliation
OHZ Onko-Hmatologisches Zentrum Zug.

Abstract
Anemia is common in the elderly and its impact on various important health
outcomes has recently been clearly demonstrated. Although a causal relationship has not
yet been demonstrated, adequate diagnosis and treatment are important. Because of
ongoing changes in demographics an increasing number of anemic elderly patients is to
be expected. Despite this, many issues regarding the aetiology and the management of
anemia in older persons remain unresolved. The present review will focus on aspects
specific to the causes of anemia in the elderly and suggests an algorithm for the
management of this very common condition. Clearly evidence based guidelines on
anemia in this highest age group need to be developed. Treatment options for patients
with myelodysplastic syndromes are also discussed.

Kasus
STUDI KASUS KONTROL FAKTOR BIOMEDIS TERHADAP KEJADIAN
ANEMIA IBU HAMIL DI PUSKESMAS BANTIMURUNG MAROS TAHUN 2004
Ridwan Amiruddin, et al.

Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan


dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir
rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
hubungan faktor umur ibu, ANC, jarak kelahiran, paritas dan keluhan ibu hamil
terhadap kejadian anemia di wilayah puskesmas Bantimurung. Metode penelitian yang
digunakan adalah studi kasus kelola dengan sampel ibu hamil dan bersalin sebanyak
128 responden yang diambil secara purposive sampling. Uji statistik yang digunkan
adalah analisis Odds Ratio, dan logistik regresi. Hasil penelitian yang diperoleh sekitar
83.6 % responden mengalami anemia, dengan ANC sebagian besar kurang dari 4 kali
(72.7%). Hasil analisis bivariat ditemukan banhwa ANC tidak signifikan terhadap
anemia, OR. 1.251 (95%CI.0.574-2.729), demikian juga dengan keluhan dengan OR
1.354, 95 % CI. 0.673-2.725. begitu juga paritas kurang dari satu dan lebih 4 tidak
berefek terhadap anemia pada ibu hamil dengan OR 1.393 , 95%CI.0.474-4.096.
Sedangkan jarak kelahiran bermakna terhadap kejadian anemia dengan OR 2.343, 95%
CI.1.146-4.790. dan variabel Umur dengan OR 2.801, 95% CI 1.089-7.207. Kesimpulan
variabel yang berhubungan adalah jarak kelahiran dan umur ibu hamil, sedangkan
variabel paritas, ANCdan adanya keluhan tidak bermakna. Dengan demikian maka
disarankan bahwa untuk menekan kejadian anemia dengan berbagai dampaknya maka
pengaturan jarak kelahiran sangat diperlukan melalui perencanaan kelahiran melalui
keluarga berencana, begitu juga dengan umur ibu, sangat penting untuk diperhatikan
melahirkan pada usia 20- 35 tahun. (J Med Nus. 2004; 25:71-75)
IMPOTENSI

Penelitian
Bilateral Simultaneous Nonarteritic Anterior Ischemic Optic Neuropathy after Ingestion
of Sildenafil for Erectile Dysfunction
Anna Tarantini, Alessandra Faraoni, Francesca Menchini, and Paolo Lanzetta

Abstract
Purpose. To describe a patient who developed bilateral, simultaneous nonarteritic
anterior ischemic optic neuropathy (NAION) after ingestion of Sildenafil citrate (Viagra)
for erectile dysfunction. Methods. Observational case report. Results. A 60-year-old
diabetic man noted sudden decrease of vision in both eyes 16 hours after his third
consecutive 50mg daily Sildenafil ingestion. A diagnosis of bilateral NAION was made
and he was treated for three days with methylprednisolone 1 g/d intravenously, followed
by oral prednisone 75mg/d. Final visual acuity was 20/50 right eye (OD) and 20/20 left
eye (OS). He had preexisting diabetes. Conclusion. This is the first reported case of
simultaneous bilateral NAION occurred in a diabetic patient early after Sildenafil intake.
Patients with predisposing conditions such as diabetes have to be warned against the use
of PDE inhibitors.

1. Introduction
Sildenafil citrate (Viagra, Pfizer Pharmaceuticals, New York, NY) inhibits
selectively cyclic guanosine monophosphate (cGMP) specific phosphodiesterase type 5
(PDE 5) and is used to treat erectile dysfunction. Sildenafil is able, by enhancing the
effect of nitric oxide and cGMP pathway, to lead to smooth muscle relaxation in the
corpus cavernosum, allowing inflow of blood during sexual stimulation. PDE-5 inhibitors
have been reported to cause transient changes in colour perception (objects have blue or
blue-green tinges) or changes in lightness perception (usually an increased sensitivity),
blurred vision, and transitory ERG changes. Possible additional ocular side effects
associated with Sildenafil or other PDE 5 inhibitors such as Vardenafil and Tadalafil use
are mydriasis, retinal vascular accidents, conjunctival hyperemia, ocular pain,
subconjunctival hemorrhage, and ischemic optic neuropathy. With regard to severe ocular
adverse effects, PDE-5-inhibitors-associated nonarteritic anterior ischemic optic
neuropathy (NAION) has been reported in 49 subjects. Forty-four are related with the use
of Sildenafil, 4 with the use of Tadalafil, and 1 with the use of Vardenafil. Few bilateral
sequential cases have been reported. More recently, Moschos and Margetis described a
single case with bilateral simultaneous anterior ischaemic optic neuropathy which
occurred in a man with unremarkable medical history 8 months after continuous use of
Sildenafil
The purpose of the present case report is to describe a diabetic patient who developed a
simultaneous bilateral NAION early after ingestion of Sildenafil for erectile dysfunction.
2. Case Report
A 60-year-old diabetic man took one 50mg tablet of Sildenafil in the evening for
2 consecutive days without any effects and he was unable to have intercourse. On the
third day he discontinued antiglycaemic medications, took another 50mg tablet and
engaged in sexual activity. Sixteen hours later he noted sudden decrease of vision in both
eyes with a pronounced worsening in the right eye. He was admitted in a nearby hospital
where a CT brain and a chest radiography were performed. They were unremarkable as
well as complete blood count and the erythrocyte sedimentation rate. His medical history
was significant for noninsulin-dependent diabetes for 7 months and his medication was
metformin. He was discharged from hospital with a new prescription of 100mg daily
aspirin.
Seven days after the onset of symptoms, the patient was hospitalized at our
department. Visual acuity was 20/63 right eye (OD) and 20/32 left eye (OS). On fundus
examination, optic disc edema and peripapillary nerve fiber layer hemorrhages were
disclosed in both eyes. Serous macular detachment was present in OD whereas
peripapillary cotton wool spots were found in OS. No evidence of diabetic retinopathy
was noted. Blood pressure was within normal limit during the admission period.
Humphrey visual field testing showed superior altitudinal and central defects OD and
inferior altitudinal defect OS. A fluorescein angiogram showed late leakage in the optic
disc of both eye. Symptoms of giant cell arteritis were not present and no relative afferent
pupillary defect was detected. A diagnosis of bilateral NAION was made and he was
treated for three days with methylprednisolone 1g/d intravenously, followed by oral
prednisone 75mg/d. The prednisone dose was tapered and discontinued over one month.
Two weeks after the last steroid i.v. administration, visual acuity had increased to 20/50
OD and 20/20 OS. Optic disc edema, sub-retinal fluid and serous macular detachment
resolved in OD and optic disc edema improved in OS. No sign of dye leakage of the optic
disc was found in eyes and visual field testing disclosed altitudinal defects in both eyes.
Three months later, visual acuity was stable and the optic disc was pale in OD.

Artikel Review
Sexual Dysfunction Following Radical Prostatectomy.
AuthorsBenson CR, et al.

Abstract
Prostate cancer is the most common cancer in men and the second leading cause
of cancer death. A favored treatment option for organ confined prostate cancer in a
middle aged healthy man is radical prostatectomy (RP). Despite advances in techniques
for RP, there remain concerns among physicians and patients alike on its adverse effects
on sexual function. While post-RP erectile dysfunction (ED) has been extensively
studied, little attention has been focused on the other domains of sexual function, namely
loss of libido, ejaculatory dysfunction, orgasmic dysfunction, penile shortening, and
Peyronie's disease. The aim of this review is to discuss the most recent literature
regarding the post-RP sexual dysfunctions.

Kasus
Pak Budi sudah berobat kemana-mana, baik medis, alternatif, bahkan ke dukun.
Seorang dukun mengatakan bahwa penyakitnya itu karena diguna-guna oleh WIL-nya.
Pak Budi sepertinya percaya sekali dengan dukun itu, walaupun cara yang dilakukan sang
dukun belum bisa mengatasi masalahnya. Pak Budi percaya omongan dukun tersebut
karena memang benar impotensinya dimulai setelah dia kenal dengan Wanita Idaman
Lain (WIL) yang tidak sengaja bertemu di sebuah seminar.
Sebagai hypnotherapist, kami tentu tidak boleh ikut-ikutan percaya begitu saja.
Kami pun menjelaskan kemungkinan faktor psikologis yang melandasi masalah
impotensi tersebut. Ketika hypnotherapy dilakukan, menjadi jelas bahwa impotensi yang
diderita Pak Budi sebetulnya berawal dari rasa marah, jengkel, dan bosan kepada istri
yang galak, selalu curiga, boros, terlalu mengatur dan berkata kasar pada suami. Pak Budi
sebenarnya dendam terhadap istrinya, ingin membalas perlakuan buruk istrinya dan kalau
bisa ingin bercerai saja.
Namun karena besarnya rasa sayang terhadap anak-anak, Pak Budi tidak pernah
mengungkapkan rasa marahnya terhadap istri dan tetap menjaga keutuhan rumah tangga.
Kalau istrinya sedang "kumat" dia hanya diam saja atau keluar rumah untuk cari angin
segar. Akhirnya setelah Pak Budi menemukan wanita yang bisa membuatnya bahagia,
impotensi itu muncul sebagai salah satu cara untuk membalas dendam. Dengan cara
inilah istrinya Pak Budi tidak mendapatkan jatah kepuasan seksual.
OBESITAS
Penelitian
Tuboovarian Abscess due to Colonic Diverticulitis in a Virgin Patient with Morbid
Obesity: A Case Report
Zafer Seluk Tuncer, et al.

Abstract
Since tuboovarian abscess is almost always a complication of pelvic inflammatory
disease, it is rarely observed in virgins. A 30-year-old virgin patient presented with pelvic
pain, fever, and vaginal spotting for the previous three weeks. Her abdominopelvic
computed tomography scan revealed bilateral multiseptated cystic masses with prominent
air-fluid levels suggesting tuboovarian abscesses. The sigmoid colon was lying between
two tuboovarian masses, and its borders could not be distinguished from the ovaries. The
patient was presumed to have bilateral tuboovarian abscesses which developed as a
complication of the sigmoid diverticulitis. She was administered intravenous antibiotic
therapy followed by percutaneous drainage under ultrasonographic guidance. She was
discharged on the twenty second day with prominent clinical and radiological
improvement. Diverticulitis may be a reason for development of tuboovarian abscess in a
virgin patient. Early recognition of the condition with percutaneous drainage in addition
to antibiotic therapy helps to have an uncomplicated recovery.

1. Introduction
A tuboovarian abscess reflects an agglutination of pelvic organs including the
tube, ovary, and bowel forming a palpable complex. It represents an end-stage process of
acute pelvic inflammatory disease. Tuboovarian abscess has been reported to complicate
1834% of patients with pelvic inflammatory disease. Risk factors for tuboovarian
abscess are similar to that of pelvic inflammatory disease and include multiple sexual
partners, intrauterine device, and low socioeconomic status. Since the disease commonly
is caused by the sexually transmitted microorganisms, intercourse with a partner having
infection is the most important risk factor in tuboovarian abscess formation. However,
gynecologic surgery, genital malignancy, in vitro fertilization treatment, and perforated
appendicitis have also been shown to cause tuboovarian abscess in the literature.
Diverticulosis is a common condition in elderly population. It is defined as a
pocket of mucosa which herniates through areas of weakness usually at vascular entry
sites. One of the complications of diverticulosis is diverticulitis which will develop in
approximately 10% of the patients. Occasionally acute diverticulitis will involve the
female reproductive organs which lie in close proximity to the sigmoid colon resulting in
tuboovarian abscess.
A case of tuboovarian abscess associated with diverticulitis and treated with
percutaneous drainage in addition to antibiotic therapy in a young virgin patient with
morbid obesity was reported.
2. Case Presentation
A 30-year-old virgin patient presented with pelvic pain, fever, and vaginal
spotting for the previous three weeks. She was also suffering from malodorous vaginal
discharge and constipation. Her past medical history was unremarkable except for morbid
obesity. The patient was 160kg with a BMI of 35.5.
Physical examination demonstrated fever (39C) and mild tachycardia
(110/minute) with bilateral lower abdominal quadrant tenderness. Her blood analysis
revealed an elevated white blood count (20.600/mm3) and anemia (8.5g/dL). Her
erythrocyte sedimentation rate was 90mm/h. Pelvic ultrasonography showed bilateral
cystic pelvic mass, but the result was considered to be unsatisfactory due to morbid
obesity. CA 125 level was 233IU/mL. Her blood and urine cultures were found to be
negative.
Her abdominopelvic computed tomography scan revealed bilateral complex
adnexal masses. The left and right lesions were measured to be 19 11cm and 8.5
10cm in size, respectively. Both of the lesions were multiseptated with prominent air-
fluid levels suggesting tubo-ovarian abscesses (Figures 1(a), 1(b), and 1(c)). The sigmoid
colon was lying between two tuboovarian masses, and its borders could not be
distinguished from the ovaries. The mesentery of the sigmoid colon was also found to be
thickened due to inflammation. The uterus was found to be normal without any sign of
pelvic inflammatory disease.

3. Discussion
Since tuboovarian abscess is almost always a complication of pelvic inflammatory
disease, it is rarely observed in virgins. However, a review of the literature revealed that
tuboovarian abscess may also develop due to other rare causes including poor perineal
hygiene, previous gynecologic surgery, coexisting genital malignancy, appendicitis, and
diverticulitis.
The possibility of diverticulitis as an etiology of tuboovarian abscess is not
usually considered initially. Diverticulitis is usually observed in elderly population, but it
may also be diagnosed in younger patients with less incidences. According to [10], the
5566% of the women with diverticular disease were over 80 years of age and only 10%
were younger than 40 years of age. Recently, the frequency of diverticular colonic
disease increased in patients younger than 50 years of age.
A 31-year-old woman was reported to undergo left salpingo-oophrectomy for a
tuboovarian abscess, but she underwent a second surgery because of a recurrent pelvic
abscess due to underlying diverticulitis which was undiagnosed at the first operation.
Diverticulitis with abscess formation can be very insidious, and reports of presentation as
only chronic diarrhea and even brain abscess have been described. A recent case of 63-
year-old patient with diverticulitis misdiagnosed to have a primary gynecological abscess
subsequently developed colonic perforation.
Pelvic pain, signs of infection, and mass at ultrasonography in the presented case
easily made the diagnosis of bilateral tuboovarian abscess. Since the patient is virgin, rare
causes of tuboovarian abscess were investigated. Computed tomography scan revealed
the diagnosis of diverticulitis complicated by tuboovarian abscess. Conservative
management with antibiotic therapy and percutaneous drainage resulted in significant
clinical improvement of the patient. Since the pelvic inflammatory infection is usually
caused by the sexually transmitted microorganism N. gonorrhoeae and C. trachomatis,
isolated microorganisms further confirmed the diagnosis of abscess resulting from
diverticulitis.

4. Conclusions
Diverticulitis may be a reason for development of tuboovarian abscess in a virgin
patient. Early recognition of the condition with percutaneous drainage in addition to
antibiotic therapy helps to have an uncomplicated recovery.

Artikel Review
Obesity and pulmonary hypertension: a review of pathophysiologic mechanisms.
Friedman SE, et al.

Abstract
Pulmonary hypertension (PH) is a potentially life-threatening condition arising
from a wide variety of pathophysiologic mechanisms. Effective treatment requires a
systematic diagnostic approach to identify all reversible mechanisms. Many of these
mechanisms are relevant to those afflicted with obesity. The unique mechanisms of PH in
the obese include obstructive sleep apnea, obesity hypoventilation syndrome, anorexigen
use, cardiomyopathy of obesity, and pulmonary thromboembolic disease. Novel
mechanisms of PH in the obese include endothelial dysfunction and hyperuricemia. A
wide range of effective therapies exist to mitigate the disability of PH in the obese

Kasus
Pada remaja putri, kegemukan menjadi permasalahan yang cukup berat, karena keinginan
untuk tampil sempurna yang seringkali diartikan dengan memiliki tubuh
ramping/langsing dan proporsional, merupakan idaman bagi mereka. Hal ini semakin
diperparah dengan berbagai iklan di televisi, surat kabar dan media massa lain yang
selalu menonjolkan figur-figur wanita yang langsing dan iklan berbagai macam ramuan
obat-obatan, makanan dan minuman untuk merampingkan tubuh
PENYAKIT JANTUNG

Penelitian
Kesimpulan: Operasi bedah katup pada anak PJR tidak sering dilakukan, namun
mempunyai keluaran jangka pendek yang baik dengan komplikasi dan kematian yang
rendah. Fraksi ejeksi, fraksi pemendekan, dan dimensi akhir diastolik ventrikel kiri tidak
dianjurkan dipakai untuk evaluasi jangka pendek fungsi ventrikel kiri. Pemantauan lebih
lanjut diperlukan untuk mengetahui outcome jangka panjang.

Artikel
Kenali Penyebab Gagal Jantung Kongestif dan Perawatannya

Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure(CHF) adalah keadaan di


mana jantung tidak dapat memompa darah secara maksimal agar dapat disalurkan ke
seluruh tubuh yang memerlukan.
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit yang melemahkan atau
menyebabkan kekakuan pada otot-otot jantung dan penyakit-penyakit yang meningkatkan
permintaan oksigen diluar kemampuan jantung untuk memberikannya.Berbagai penyakit
seperti hemochromatosis atau amyloidosis dapat menyebabkan otot jantung menjadi kaku
dan mengganggu fungsi jantung. Tekanan darah tinggi yang berkepanjangan juga dapat
mengakibatkan penebalan jantung (hypertrophied). Semua hal tersebut dapat menjadi
pemicu gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif dapat berakibat buruk pada
organ-organ tubuh. Otot-otot jantung yang melemah mungkin tidak mampu mensuplai
darah yang cukup ke ginjal. Akibatnya, fungsi ginjal untuk mengekskresi garam (sodium)
dan air terganggu sehingga tubuh menahan lebih banyak cairan. Paru-paru mungkin
menjadi padat dengan cairan. Kondisi ini dikenal dengan istilah pulmonary edema.
Cairan juga mungkin terkumpul dalam hati, dengan demikian mengganggu
kemampuannya untuk menghilangkan racun-racun dari tubuh dan menghasilkan protein-
protein penting. Usus-usus mungkin menjadi kurang efisien dalam menyerap nutrisi-
nutrisi dan obat-obat. Ya, jika tidak dirawat, gagal jantung kongestif yang memburuk
akan mempengaruhi setiap organ dalam tubuh yang tentu saja mengancam kehidupan.

Apa Saja Gejala Gagal Jantung Kongestif?


Gagal jantung kongestif terjadi dalam beberapa tahap. Pada awalnya, penderita
gagal jantung kongestif akan mengalami kelelahan, lemas, dan sakit ketika penderita
beraktivitas cukup berat. Celakanya, gejala gagal jantung kongestif semacam ini sering
diabaikan sehingga tidak terdeteksi lebih awal karena dianggap tidak berbahaya.
Tahap selanjutnya, penderita gagal jantung kongestif mencapai tingkat lanjut
yaitu jantung berdebar secara cepat dan tidak normal. Orang tersebut tidak dapat lagi
melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Jika merasa lelah sedikit saja, maka
palpitasi akan terjadi. Maka, orang yang mengalami gagal jantung akan lebih sering
menghabiskan waktu di tempat istirahat.
Berikutnya, akan terjadi pembengkakan (edema) di pergelangan-pergelangan kaki
atau perut karena penimbunan cairan di dalam tubuh akibat gagal jantung kongestif dan
di malam hari, penderita akan lebih sering buang air kecil. Jika cairan berakumulasi
dalam paru-paru, penderita akan mengalami sesak napas, terutama selama
olahraga/latihan dan ketika berbaring rata.
Pada beberapa kasus, pasien bisa jadi terbangun di malam hari karena sesak
napas. Bila cairan terkumpul dalam hati dan usus maka akan menyebabkan mual, nyeri
perut, dan nafsu makan yang berkurang. Pengidap gagal jantung kongestif juga akan
merasakan sakit luar biasa serta ketidakmampuan menjalankan kegiatan sehari-hari dan
gejala-gejala yang menyertai gagal jantung kongestif akan semakin meningkat
intensitasnya.
Bagaimana perawatannya? Perawatan gagal jantung kongestif diberikan
berdasarkan situasi dan kondisi pasien. Pada tahap pertama, penderita gagal jantung
kongestif diberi obat penghambat ACE. Obat ini berfungsi untuk memperbesar pembuluh
darah dan membantu lancarnya aliran darah. Jika penderita juga mengalami tekanan
darah tinggi, ia akan diberi Beta blockers untuk mengontrol tekanan darah.
Selain obat-obat kimia tersebut, beberapa tanaman obat dapat membantu Anda
yang mengalami gagal jantung kongestif diantaranya Noni Juice dan Sarang Semut.
Kedua herbal tersebut dapat membantu mengatasi gejala-gejala gagal jantung kongestif.
Mekanismenya ialah dengan menyehatkan pembuluh darah yang menyempit dan
melancarkan peredaran darah serta dengan merevitalisasi sel-sel jantung yang mungkin
rusak. Jika obat-obatan medis dan herbal tidak lagi dapat mengatasi gangguan gagal
jantung kongestif, operasi dan transplantasi jantung merupakan pilihan terakhir bagi
kehidupan Anda.

Kasus
Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
bulan Juli 2008, dengan keluhan sesak nafas sejak satu bulan terakhir, yang terasa
memberat dua hari SMRS. Sesak nafas bertambah dengan aktifitas ringan seperti mandi
atau berjalan kurang lebih sejauh sepuluh meter, keluhan sedikit berkurang dengan
istirahat, pasien juga merasakan tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, dan
lebih nyaman bila tidur dengan dua bantal. Pasien baru melahirkan anak ketiga sekitar
satu bulan yang lalu secara spontan pervaginam, keluhan seperti ini dirasakan pertama
kali sejak pasien hamil sembilan bulan, namun tidak seberat sekarang disertai dengan
sembab seluruh badan. Selama trimester pertama dan trimester kedua pasien tidak pernah
merasakan sesak nafas. keluhan terasa sedikit berkurang setelah melahirkan namun
kembali memberat dalam satu bulan ini. Pasien mengira ini adalah keadaan normal
karena hamil, oleh sebab itu pasien tidak segera memeriksakan diri ke dokter. Pasien
menyangkal pernah merasakan sakit seperti ini pada kehamilan sebelumnya. Pasien
mengaku status kesehatan sebelumnya adalah baik, dan tidak pernah mengeluh cepat
lelah pada aktifitas atau pun sesak nafas sampai satu bulan terakhir kehamilan. Keluhan
disertai batuk-batuk berdahak sejak 2 minggu SMRS, dahak berwarna putih berbuih.
Batuk lebih sering dirasakan pada malam hari saat akan tidur. Sebelum datang ke Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita, pasien berobat ke klinik dan ditangani oleh dokter umum
dan diberikan obat Ventolin dan Salbutamol tapi keluhan menetap. Keluhan tidak disertai
nyeri dada, dada terasa berdebar-debar ataupun kaki bengkak.Selama hamil antenatal care
teratur, dan selama persalinan tidak ada riwayat darah tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
TOPIK: BATUK
Isselbacker, K.J, et al. 2007. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 (vol: 1)
halaman 199. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lubis, J.K. 2009. Gambaran Perilaku Ibu Tentang Penyakit Batuk Rejan Pada Balita Di
Puskesmas Kuta Baru Kelurahan Rambutan Kota Tebing Tinggi. Available from:
http://www.bina-husada.ac.id/bina_husada-_jurnalID-104-
gambaran_perilaku_ibu_tentang_penyakit_batuk_pada_balita_di_puskesmas_kuta_baru_kelurah
an_rambutan_kota_tebing_tinggi_ (diakses pada 25 September 2012)

Vernanda. 2012. Gejala Penyakit Batuk. Available from:


http://artikeltentangkesehatan.com/gejala-penyakit-batuk.html (diakses pada 25 September 2012)

Westwood, V. 2008. Suntik. Available from: http://fkunlam03.tripod.com/ilmudasar.html


(diakses pada 25 September 2012)
DAFTAR PUSTAKA
TOPIK: ANEMIA

Akhtar, M. Hassan, I. 2012. Severe Anaemia during Late Pregnancy. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3439950/ (diakses pada 26 September 2012)

Amiruddin, R. 2004. New Paradigm of Public Health-Studi Kais Kontrol Anemia Ibu Hamil
(Jurnal Medika Unhas). Available from: http://ridwanamiruddin.com/2007/05/24/studi-kasus-
kontrol-anemia-ibu-hamil-jurnal-medika-unhas/ (diakses pada 26 September 2012)

Himmelmann A, et al. 2012. Anemia in the elderly. Available from:


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22991150/?i=4&from=anemia%20review%20article
(diakses pada 26 September 2012)

Isselbacker, K.J, et al. 2007. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 (vol: 1)
halaman 358. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
DAFTAR PUSTAKA
TOPIK: IMPOTENSI
Benson, C.R, et al. 2012. Sexual Dysfunction Following Radical Prostatectomy. Availble from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22744864/?i=5&from=impotence%20review%20article
&filter=loattrfree%20full%20text (diakses pada 26 September 2012)

Hypnosis45. 2009. Ejakulasi Dini dan Impotensi. Available from:


http://www.hypnosis45.com/ejakulasi_dini.htm (diakses pada 26 September 2012)

Isselbacker, K.J, et al. 2007. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 (vol: 1)
halaman 303. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tarantini, A. 2012. Bilateral Simultaneous Nonarteritic Anterior Ischemic Optic Neuropathy


after Ingestion of Sildenafil for Erectile Dysfunction. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3313560/ (diakses pada 26 September 2012)
DAFTAR PUSTAKA
TOPIK: OBESITAS
Friedman, S.E, et al. 2012. Obesity and pulmonary hypertension: a review of pathophysiologic
mechanisms. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/22988490/?i=3&from=%22obesity%22%20review%20
article&filter=loattrfree%20full%20text (diakses pada 26 September 2012)

Isselbacker, K.J, et al. 2007. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 (vol: 1)
halaman 497. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tambunan, R. 2001. Contoh Kasus Obesitas. Available from: http://www.e-


psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=367 (diakses pada 26 September 2012)

Tuncer, Z.C, et al. 2012. Tuboovarian Abscess due to Colonic Diverticulitis in a Virgin Patient
with Morbid Obesity: A Case Report. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3431136/ (diakses pada 26 September 2012)
DAFTAR PUSTAKA
TOPIK: PENYAKIT JANTUNG
Deherba.com. 2011. Kenali Penyebab Gagal Jantung Kongestif dan Perawatannya. Available
from: http://www.deherba.com/kenali-penyebab-gagal-jantung-kongestif-dan-perawatannya.html
(diakses pada 25 september 2012)

Isselbacker, K.J, et al. 2007. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13 (vol: 1)
halaman 223. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kuswiyanto, R, et al. 2011. Profil Klinis dan Keluaran Penyakit Jantung Reumatik pada Anak
yang Menjalani Bedah Katup. Available from: http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/13-3-
8.pdf (diakses pada 26 september 2012)

Ramadhani, E. 2011. Case of the Week. Available from : http://www.kardiologi-


ui.com/newsread.php?id=386 (diakses pada 24 september 2012)

You might also like