You are on page 1of 36

REFLEKSI KASUS

ENDOFTALMITIS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Delanggu

Diajukan Kepada :

Pembimbing :dr. Raharjo Kuntoyo, Sp.M

Disusun Oleh :

Rahmah Melati P.S. H2A012016P


Deviana Mutiara A. H2A012017P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT MATA

Refleksi Kasus

Endoftalmitis

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Di Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Delanggu

Disusun Oleh:

Rahmah Melati P.S. H2A012016P


Deviana Mutiara A. H2A012017P

Telah disetujui oleh Pembimbing:Tanggal ..................................

Nama pembimbing TandaTangan

dr. Raharjo Kuntoyo, Sp.M .............................

2
BAB I
PENDAHULUAN

Endoftalmitis termasuk kegawatdaruratan dalam bidang oftalmologi


meskipun bukan 5 besar penyebab terjadinya kebutaan. Endoftalmitis merupakan
peradangan berat dalam bola mata, biasanya akibat infeksi setelah trauma atau
bedah atau endogen akibat sepsis. Berbentuk radang supuratif di dalam rongga
mata dan struktur didalamnya. Peradangan supuratif didalam bola mata akan
memberikan abses didalam badan kaca. Penyebab endoftalmitis supuratif adalah
kuman dan jamur yang masuk bersama trauma tembus (eksogen) atau sistemik
melalui peredaran darah (endogen).1,2,3

Endoftalmitis jarang ditemukan namun merupakan komplikasi yang


membahayakan. Endoftalmitis sering terjadi setelah trauma pada mata termasuk
setelah dilakukannya operasi mata yang merupakan faktor risiko masuknya
mikroorganisme ke dalam mata. Mikroorganisme ini menyebabkan infeksi
intraokuler yang disebut endoftalmitis.1,2

Diagnosis endoftalmitis selalu berdasarkan kondisi klinis. Ini biasanya


ditandai dengan edema palpebra, kongesti konjungtiva, dan hipopion atau eksudat
pada COA. Visus menurun bahkan dapat menjadi hilang. Karena hasil pengobatan
akhir sangat tergantung pada diagnosis awal, maka penting untuk melakukan
diagnosis sedini mungkin. Pengobatan bukan untuk mengobati visusnya, karena
visus tidak dapat diperbaiki lagi. Cara yang paling muktahir dalam pengobatan
endoftalmitis adalah dengan melakukan vitrektomi.1,2

3
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Usia : 26 Tahun
Alamat : Mess Jatayu, Sungai Raya, Pontianak
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah

II. ANAMNESIS
Anamnese dilakukan secara autoanamnese pada tanggal 04 November
2017 di Bangsal Baru Atas kamar 2U Rumah Sakit Umum PKU
Muhammadiyah Delanggu (RSU PKU Muhammadiyah Delanggu)
Keluhan utama : Mata kiri nyeri dan bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSU PKU Delanggu tanggal 29 Oktober 2017 dengan
keluhan mata kiri nyeri dan bengkak. Keluhan dirasakan sejak + 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, keluhan dirasakan semakin memberat kemudian
ditambah dengan mata keluar darah.
+ 1 minggu sebelum pasien merasakan keluhan tersebut pasien
mengatakan bahwa pasien menderita belekan pada mata kiri dengan keluhan
mata merah saat bangun tidur pagi hari yang disusul dengan rasa nyeri dan
timbul belek/kotoran mata yang banyak dan kental. Pasien kemudian
menggunakan tetes mata insto hijau selama 1 hari, karena keluhan tidak
membaik, mata bertambah merah dan pandangan juga terasa kabur kemudian
pasien mengganti tetes mata dengan tetes mata erlamycentin yang digunakan
selama 1 hari. Keesokan harinya karena keluhan tidak membaik kemudian
tetes mata diganti dengan tetes mata cendo xitrol setelah digunakan selama 1
hari, pasien merasa bahwa keluhan berkurang, mata kiri tidak kemerahan dan

4
nyeri berkurang. Oleh karena itu kemudian pasien melanjutkan penggunakan
tetes mata cendo xitrol selama 1 minggu. Setiap harinya pasien merasakan
pandangan mata kiri sedikit kabur namun kemerahan sudah berkurang. Pada
hari ketujuh saat pasien bangun dipagi hari kelopak mata kiri sudah bengkak
besar, terasa nyeri, dan sedikit sulit membuka mata. Kemudian oleh pasien
diberikan tetes mata cendo xitrol 1 kali lagi. Setelah pemberian tetes mata
kemudian mata bertambah bengkak dan terasa sangat nyeri, kemudian
berdarah. Kemudian pasien segera berobat ke rumah sakit mata di Solo.
Sesampainya di rumah sakit solo pasien kemudian periksa dan diberi tetes
mata bius untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah itu oleh dokter disana
diberikan tetes mata levofloxacin yang harus diteteskan setiap 1 jam sekali
kemudian pasien diminta untuk kontrol lagi setelah 3 hari. Setelah sampai di
rumah, pasien menggunakan tetes mata seperti yang diinstrusikan oleh dokter.
Namun mata kiri pasien kemudian terasa mengganjal dan langsung bengkak
besar, kembali berdarah serta tidak dapat dibuka. Selain itu mata pasien juga
terasa nyeri ketika melihat cahaya. Pasien kemudian langsung berobat di RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu, kemudian diminta untuk rawat inap.
Selama 3 hari perawatan pertama di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
pasien mengatakan jika keluhan nyeri, bengkak dan mata berdarah sudah
berkurang jauh, namun kelopak mata belum dapat dibuka dan masih terasa
nyeri ketika melihat cahaya. Kemudian setelah obatnya diganti pada hari
keempat perawatan mata pasien dapat membuka sedikit dan pada hari kelima
perawatan pasien mulai dapat melihat dan menunjukan arah cahaya saat
dilakukan pemeriksaan dengan baik. Keluhan bengkak, mata sulit dibuka dan
nyeri ketika melihat cahaya sudah tidak ada.
Saat ini pada hari keenam perawatan pasien mengatakan merasa nyeri
yang dirasakan terutama ketika pasien mengedipkan mata. Keluhan mata
bengkak dan berdarah sudah tidak ada. Namun masih terdapat keluhan keluar
belek/kotoran mata yang kental terutama pada pagi hari setelah bangun tidur.
Keluhan lain seperti mata cekot cekot, nyeri ketika melihat cahaya, pusing,
demam, mual, muntah disangkal oleh pasien.

5
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Trauma : disangkal
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat penyakit gula : disangkal
- Riwayat penyakit mata : diakui, belekan pada usia 17 tahun
- Riwayat operasi sectio caesarea : diakui, + 6 bulan yang lalu
- Riwayat ISK : diakui, + 1 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat sakit serupa : disangkal
- Riwayat penyakit gula : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi
- Pasien berobat dengan biaya BPJS
- Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, tinggal bersama orang tua dan
anaknya.
- Merokok (-)
- Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
- Riwayat pemakaian softlens : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 04 November 2017 di Bangsal
Baru Atas kamar 2U Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Delanggu
(RSU PKU Muhammadiyah Delanggu)
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda Vital
- Tekanan darah : 120/80 mmhg

6
- Nadi : 81 x/menit
- Respiratory rate : 20 x/menit
- Suhu : 36C
4. STATUS GIZI
- Berat badan : 55 kg
- Tinggi Badan : 160 cm
5. STATUS GENERALIS
a. Kepala : dalam batas normal
b. Hidung : dalam batas normal
c. Mulut : dalam batas normal
d. Telinga : dalam batas normal
e. Leher : dalam batas normal
f. Thorax :dalam batas normal
g. Abdomen :dalam batas normal
h. Ekstremitas :dalam batas normal

6. STATUS OFTALMOLOGIS

OD OS
Visus koreksi 6/60 1/~ LP baik
Sensus Coloris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pergerakan bola Bebas segala arah Bebas segala arah
mata
Kedudukan bola Ortoforia Ortoforia
mata
Supersilia Madarosis (-) Madarosis (-)
Tumbuh penuh normal Tumbuh penuh normal

7
Silia Entropion (-) Entropion (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Distrikiasis (-) Distrikiasis (-)
Palpebra superior Oedem (-) Oedem (-)
Hematoma (-) Hematoma (+)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Sekret (-) Sekret (+) mukopurulen
Ulkus (-) Ulkus (-)
Pseudoptosis (-) Pseudoptosis (+)
Fisura Palpebra Normal Normal
Palpebra inferior Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Spasme (-) Spasme (-)
Massa (-) Massa (-)
Konjungtiva Sekret (-) Sekret (sulit dinilai)
palpebra superior Hiperemis (-) Hiperemis (sulit dinilai)
Cobble stone (-) Cobble stone (sulit dinilai)
Giant papil (-) Giant papil (sulit dinilai)
Udem (-) Udem (sulit dinilai)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (sulit dinilai)
Konjungtiva Sekret (-) Sekret (-)
palpebra inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Cobble stone (-) Cobble stone (-)
Giant papil (-) Giant papil (-)
Udem (-) Udem (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Konjungtiva forniks Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+)
dan bulbi Injeksi silier (-) Injeksi silier (+)
Sekret (-) Sekret (+) mukopurulen
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Sklera Ikterik (-) Ikterik (-)
Kornea Jernih Keruh
Infilrat (-) Infiltrat(-)
Ulkus (-) Ulkus (-)
Sensibilitas kornea (+) Sensibilitas kornea (+)

8
Udem (-) Udem (+)
Arkus senilis (-) Arkus senilis (-)
Neovaskularisasi (-) Neovaskularisasi (-)
COA Jernih Sulit dinilai
Tindal efek (-)
Kedalaman bagian bayangan pada
iris
Iris Kripte tidak melebar Sulit sinilai
Neovaskularisasi (-)
Sinekia anterior (-)
Udem (-)
Iris shadow (-)
Pupil Bulat, Sentral, Reguler Sulit dinilai
Isokor
Diameter 3 mm
Refleks direk/indirek (+/+) N
Lensa Jernih, Bentuk bikonveks Sulit dinilai
Fundus Refleks Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tekanan bolamata N+1 N+1
digital
Tes Fluorescein Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan darah rutin
- Leukosit : 5.400 /mm3
- Hb : 12,2 g%
- Hematokrit: 39,1/vol%
- Trombosit : 207.000/mm3
- Eritrosit : 4,38juta
- HbsAg : non reaktif

9
V. RESUME :
Pasien datang ke RSU PKU Muhammadiyah Delanggu pada
tanggal 29 Oktober 2017 dengan keluhan mata kiri nyeri dan bengkak,
keluhan dirasakan sejak + 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, semakin
hari dirasakan semakin berat.
Sebelumnya pasien mengatakan menderita belekan pada mata kiri
dengan keluahn mata merah, dan nyeri. Kemudian pasien membeli obat di
apotik. Awalnya pasien menggunakan tetes mata insto namun keluhan
tidak membaik. Setelah itu diganti dengan tetes mata erlamycentin keluhan
juga tidak berkurang. terakhir digunakan tetes cendo xitrol dan keluhan
membaik kemudian penggunaanya dilanjutkan hingga 1 minggu.
Setelah 1 minggu mendadak saat bangun tidur mata pasien
bengkak dan terasa nyeri, kemudian pasien menetesi cendo xitrol dan
keluhan bertambah berat ditambah dengan keluarnya darah dari mata dan
kelopak mata sulit dibuka. Selanjutnya pasien periksa ke RS Mata Solo
kemudian mendapatkan tetes mata levofloxacin dan diminta oleh dokter
untuk meneteskan setiap 1 jam. Setelah diteteskan kemudian bengkak
menjadi bertambah banyak dan pasien kemudian berobat ke RSU PKU
Delanggu dan diminta rawat inap.
Selama rawat inap pada hari pertama hingga hari ketiga bengkak
dan rasa nyeri serta perdarahan berkurang namun pasien emrasa nyeri
ketika diberikan cahaya pada mata yang sakit. kemudian pada hari
keempat diberikan tetes mata tambahan pasien dapat membuka mata
sedikit namun belum dapat melihat saat dilakukan pemeriksaan
penglihatan. Pada hari kelima pasien sudah dapat melihat dan menentukan
arah datang cahaya dengan baik. Keluhan bengkak, berdarah dan nyeri
berkurang.
Pada saat pemeriksaan dilakukan (hari keenam pasien dirawat)
keluhan bengkak sudah tidak ada, namun terdapat keluahn nyeri setiap kali
kelopak mata bergerak (berkedip). Keluhan lain seperti mata cekot
cekot, demam, mual muntah disangkal oleh pasien.

10
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, compos
mentis, tanda vital baik, status gizi baik, status generalis dalam batas
normal, status opthalmologis visus OD 6/60, OS 1/~ LP baik, pemeriksaan
OD dalam batas normal. Pemeriksaan OS didapatkan supersilia, silia,
dalam batas normal, palpebra pseudoptosis (+) dan hematoma (+),
conjungtiva Injeksi konjungtiva (+), Injeksi silier (+), Sekret (+)
mukopurulen, kornea keruh, odema (+), organ dibelakang kornea sulit
dinilai.

VI. ASSESMENT

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan


Penunjang
1. Mata kiri bengkak 10. Visus OS 1/~ LP baik -
2. Mata kiri hematoma 11. Palpebra pseudoptosis (+), hematoma
3. Mata kiri nyeri (+)
4. Mata kiri sulit 12. Injeksi siliar dan konjungtiva, sekret
membuka (+) mukopurulen
5. Mata kiri merah 13. Kornea keruh, udem
6. Pandangan kabur, 14. Organ dibelakang kornea sulit dinilai
hanya bisa melihat dan
menentukan arah
datang cahaya
7. R. Penggunakan tetes
mata steroid
8. R. Sectio ceaserea + 6
bulan yang lalu
9. R. ISK + 1 tahun yg
lalu

VII. DIAGNOSIS
Deferensial Diagnosis :
OS
1. OS Endoftalmitis

11
2. OS Panoftalmitis

Diagnosis Kerja:
1. OS Endoftalmitis

VIII. INSIAL PLAN


Diagnosis : OS Endoftalmitis
a. Lp. Dx
S :-
O : kultur cairan COA/sekret, USG Mata, pemeriksaan darah
lengkap, EKG jantung, X-Foto Thorax
b. Tata laksana farmakoterapi :
R/ Futrolit infus No. I
S imm (20 tpm)
R/ Cefotaxim injeksi vial No. II
S imm (2 dd 1 vial)
R/ Glaukon (Acetazolamide) 250 mg. Tab No. I
S 2 dd tab 1/2
R/ Metilprednisolon tab No. III
S 2-1-0
R/ Ketorolac injeksi ampul No. II
S imm (2 dd 1 ampul)
c. Tatalaksana non farmakologi
1) Rawat Inap
2) Edukasi cara membersihkan sekret dan menjaga kebersihan
d. Monitoring :
1) Monitoring penglihatan (tajam penglihatan )
2) Pengukuran tekanan intraocular
3) Evaluasi 1x24 jam tanda dan gejala klinis dan respon terapi.

12
e. Edukasi :
1) Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita memiliki prognosa yang
buruk yang mengancam bola mata dan penglihatan
2) Menjelaskan bahwa penyakit tersebut dapat mengenai mata lainnya,
sehingga perlu dilakukan pengawasan yang ketat tentang adanya
tanda-tanda inflamasi pada mata seperti mata merah, bengkak,
turunnya tajam penglihatan, kotoran pada mata untuk segera
3) Perlunya menjaga kebersihan gigi mulut, sistem saluran kencing yang
memungkinkan menjadi fokal infeksi dari endoftalmitis endogen

IX. PROGNOSIS

OD OS

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Badan Kaca ( Corpus Vitreus )


Corpus vitreus atau badan kaca menempati daerah belakang lensa. Corpus
vitreus merupakan bagian terbesar dari isi bola mata yaitu sebesar 4/5 dari isi
bola mata. Corpus vitreus merupakan masa gelatinosa dengan volume 4,3 cc,
bersifat transparan, tak berwarna, dengan konsistensi seperti gelatin dan
avaskular, terdiri atas air (kurang lebih 99%), sedikit kolagen dan molekul
asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Berfungsi mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa. Kebeningan corpus vitreus disebabkan tidak
terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya
kekeruhan corpus vitreus akan memudahkan melihat bagian retina pada
pemeriksaan oftamoskopi. Corpus vitreus dikelilingi oleh membran hyaloid
yang melekat pada kapsul posterior lensa, zonula, pars plana, retina, dan papil
nervus II.6

Gambar 1. Anatomi penampang sagital bola mata

Corpus vitreus berfungsi memberi bentuk bola mata dan merupakan salah
satu media refraksi (media bias), selain itu diduga untuk mencegah pelepasan

14
retina (ablasio retina) melalui sifat gelatinous shock absorber (peredam
kejut). Sebagian berisi O2 yang tinggi, terutama pada daerah perifer sekitar
koroid. Pada bagian tengah terdapat kanal hyaloid Cloquet yang berjalan dari
depan papil nervus II menuju tepi belakang lensa.6
Normalnya corpus vitreus sangat jernih sehingga tidak tampak apabila
diperiksa dengan oftalmoskop direk maupun oftalmoskop indirek. Apabila
terjadi perubahan dari struktur corpus vitreus seperti pada pencairan sel,
kondensasi, pengeratan, barulah keadaan ini dapat dilihat dengan slitlamp.6

B. Definisi Endoftalmitis
Endoftalmitis adalah peradangan berat yang terjadi pada seluruh jaringan
intra okular, yang mengenai dua dinding bola mata, yaitu retina dan koroid
tanpa melibatkan sklera dan kapsula tenon, yang biasanya terjadi akibat
adanya infeksi.2

C. Etiopatogenesis
Endoftalmitis terjadi akibat infiltrasi mikroorganisme patogen ke dalam
intraokuler. Perjalanan penyakit dan tingkat keparahan dipengaruhi oleh
virulensi dan jumlah inokulasi mikroorganisme patogen, keadaan imunologis
pasien dan waktu dilakukannya pemeriksaan.8
Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal mata, bersifat
relative tidak virulen, namun dilaporkan dapat menyebabkan penurunan tajam
penglihatan yang bermakna. Staphylococcus epidermidis memiliki protein
adhesive di permukaannya yang dapat melindunginya dari respon imun tubuh
dan antibiotik.9
Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme virulen.
Dilaporkan menyebabkan tajam penglihatan akhir 20/400 atau lebih buruk.
Staphylococcus aureus menghasilkan beberapa faktor virulen, yaitu adhesin,
toksin sitolitik dan enzim proteolitik yang diatur oleh regulator transkripsi
staphylococcal accessory regulator (sar) dan accessory gene regulator (agr).
Adhesin yang diproduksi memudahkan perlekatan dengan matriks

15
ekstraselular dan protein plasma. Staphylococcus aureus menghasilkan toksin
alfa, beta, gamma, delta dan Panton-Valentine leukocidin (PVL) yang
berperan dalam perusakan sel dan pelepasan mediator inflamasi. Beberapa
penelitian menyebutkan toksin alfa merupakan faktor virulen Staphylococcus
aureus yang terpenting.9
Pseudomonas aeruginosa mampu menginvasi sel epitel dan hidup serta
bermultiplikasi di dalamnya. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin yang
menghambat sintesis protein dan merusak membran sel. Enzim protease yang
dihasilkan menghancurkan matriks ekstraselular stroma kornea dan sel-sel
imun.8
Terdapat tiga fase infeksi pada endoftalmitis, yaitu fase inkubasi, fase
akselerasi dan fase destruksi. Fase inkubasi awal berlangsung selama 16-18
jam, dimana belum terdapat gejala klinis. Selanjutnya, inokulasi
mikroorganisme patogen intraokuler diatas batas kritis akan diikuti dengan
kerusakan barier akuos, ditandai dengan eksudasi fibrin dan infiltrasi neutrofil
ke bilik mata depan. Fase inkubasi ini ditentukan oleh waktu regenerasi
mikroorganisme patogen dan karakteristik spesifik mikroorgansime patogen
seperti produksi toksin. Infiltasi tertinggi terdapat pada Staphylococcus
aureus dan Staphylococcus epidermidis, yang terjadihanya dalam 3 hari
setelah infeksi.10
Reaksi imun yang terjadi juga mengakibatkan edema kornea, infiltrasi sel
inflamasi ke badan vitreus dan periflebitis retina. Reaksi inflamasi pada
segmen anterior diikuti dengan reaksi imun spesifik infiltrasi makrofag dan
limfosit di vitreus. Hanya dalam 3 hari setelah infeksi intraokuler, akan
dihasilkan antibodi spesifik terhadap mikroorganisme patogen. Antibodi ini
berkontribusi membasmi mikroorganisme patogen dengan opsonisasi dan
fagositosis dalam waktu 10 hari. Pada saat ini pemeriksaan kultur cairan
akuos atau vitreus dapat negatif disebabkan reaksi inflamasi yang berat
sedang berlangsung. Fase ini merupakan fase detruksi, dimana mediator dan
sel inflamasi akan menimbulkan efek destruktif pada retina dan proliferasi
vitreoretina.10

16
D. Klasifikasi Endoftalmitis
Endoftalmitis infeksi diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan
waktu awitan. Klasifikasi endoftalmitis secara luas yaitu endoftalmitis pasca
operasi, endoftalmitis pasca trauma dan endoftalmitis endogen. Endoftalmitis
pasca operasi diklasifikasikan menjadi: 1) endoftalmitis akut pasca operasi, 2)
endoftalmitis kronik pasca operasi dan 3) endoftalmitis pasca operasi filtrasi
antiglaukoma.7
1. Endoftalmitis Pasca Operasi
a. Endoftalmitis akut pasca operasi
Endoftalmitis akut pasca bedah katarak adalah bentuk paling sering
dari endoftalmitis, dan hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri.8
Endoftalmitis akut pasca operasi katarak merupakan endoftalmitis yang
terjadi dalam waktu enam minggu setelah operasi katarak.7 Namun,
dalam 75-80% kasus muncul di minggu pertama pasca operasi, sekitar 56-
90% dari bakteri yang menyebabkan akut endoftalmitis adalah gram
positif, dimana yang paling sering adalah Staphylococcus epidermis,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus. Pada pasien dengan
endoftalmitis akut pasca operasi ditemui injeksi silier, hilangnya refleks
fundus, hipopion, pembengkakan kelopak mata, fotofobia, penurunan
visus dan kekeruhan vitreus.8

Gambar 2. Endoftalmitis akut pasca operasi

17
b. Endoftalmitis Pseudofaki kronik
Endoftalmitis pseudofaki kronik biasanya berkembang empat
hingga enam minggu. Biasanya, keluhan pasien ringan hingga sedang
dengan tanda-tanda mata merah, penurunan ketajaman visus dan
adanya fotofobia.
Sedangkan tanda-tanda khas adanya kapsul putih dan kekeruhan
di badan vitreus lebih kurang dibandingkan endoftalmitis akut.
Penyebab endoftalmitis pseudofaki kronik adalah beberapa bakteri
dengan virulensi rendah. Mikroorganisme yang sering ditemukan
sebagai penyebab diantaranya Propionibacterium acnes,
Staphylococcus koagulase negatif dan jamur.7

Gambar 3 Endoftalmitis Pseudofaki Kronik


c. Endoftalmitis pasca operasi filtrasi antglaukoma
Diantara semua kasus endoftalmitis pasca operasi, komplikasi ini
terjadi pasca operasi filtrasi antiglaukoma yang terjadi sebanyak 10%
dari kasus. Dari total jumlah kasus dengan operasi filtrasi antiglaukoma,
endoftalmitis terjadi dalam persentase yang sama seperti di Katarak
(0,1%). Trabeculectomy dan trepanotrabeculectomy, sebagai metode
yang tersering, membentuk filtrasi fistula yang mengarahkan cairan ke
ruang bawah konjungtiva.
Akumulasi cairan ini memungkinkan menjadi tempat peradangan
yang dapat disebabkan oleh inokulasi bakteri selama operasi, atau bisa
terjadi selama periode pasca operasi. Tanda-tanda endoftalmitis muncul

18
empat minggu setelah operasi pada 19% pasien, atau bahkan kemudian
dalam sebagian besar kasus. Infeksi juga dapat terjadi satu tahun
berikutnya setelah operasi. Manfestasi klinis yang terjadi sangat mirip
dengan salah satu endoftalmitis akut dengan tanda-tanda kumpulan pus
di tempat akumulasi cairan dan kerusakan nekrotik dari sclera sebagai
konsekuensi dari efek toksik. Bakteri penyebab paling umum adalah
jenis Streptococcus dan Staphylococcus aureus, disamping itu
Haemophilus influenza juga menjadi salah satu penyebabnya.7

2. Endoftalmitis Pasca Trauma


Setelah terjadi cedera mata, endoftalmitis terjadi dalam persentase
tinggi (20%), terutama jika terkait dengan adanya benda asing intraokular.
Manifestasi klinis endoftalmitis pasca trauma adalah rasa sakit, injeksi
siliaris, hipopion dan kekeruhan di vitreus. Agen bakteri yang paling
sering menyebabkan endoftalmitis post trauma adalah dari kelompok
Bacillus dan Streptococcus.9
Dalam endoftalmitis post traumatic, khususnya dengan masuknya
benda asing, sangatlah penting untuk dilakukan vitrektomi segera, dengan
membuang benda asing intraokular dan aplikasi terapi antibiotik yang
kuat.9

3. Endoftalmitis Endogen
Bentuk endoftalmitis ini tidak berhubungan dengan operasi atau pun
trauma. Endoftalmitis endogen biasanya disebabkan oleh penyakit
sistemik, baik melalui mekanisme penurunan pertahanan host atau adanya
fokus potensial infeksi. Penyebab tersering adalah sepsis, pasien dengan
penurunan kekebalan tubuh kronis, penggunaan kateter dan kanula
intravena. Agen bakteri yang biasanya menyebabkan endoftalmitis
endogen adalah Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan spesies
Streptococcus. Namun agen yang paling sering menyebabkan

19
endoftalmitis endogen adalah jamur (62%), bakteri gram positif (33%),
dan bakteri gram negatif (5%) kasus.9

Gambar 4 Endoftalmitis Endogen


4. Fungal Endoftalmitis
Fungal endoftalmitis dapat berkembang melalui mekanisme endogen
setelah beberapa trauma atau prosedur bedah dengan inokulasi langsung
ke ruang anterior atau vitreous body, atau transmisi secara hematogen
dalam bentuk candidemia. Tidak seperti fungal chorioretinitis yang
disebabkan oleh kandidiasis, yang disertai dengan tanda peradangan
minimal pada vitreous body, fungal endoftalmitis merupakan penyakit
serius dengan karakteristik tanda-tanda endoftalmitis akut.

Gambar 5 Fungal Endoftalmitis


E. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Endoftalmitis
Pengenalan dini terhadap kecurigaan endoftalmitis memegang peranan
penting dalam penegakan diagnosis. Berdasarkan anamnesis, didapatkan

20
riwayat operasi intraokuler dalam waktu 6 minggu terakhir atau trauma
tembus. Manifestasi klinis yang paling sering dikeluhkan menurut studi EVS
diantaranya penurunan tajam penglihatan pada 94% pasien, mata merah pada
82% pasien, nyeri pada 74% pasien dan edem palpebra pada 35% pasien.
Gejala lain yang dapat ditemukan diantaranya fotofobia dan lesi putih pada
kornea.10
Temuan klinis endoftalmitis akut pada pemeriksaan diantaranya defek
pupil aferen, konjungtiva kemosis dan hiperemis, edema dan infiltrasi kornea,
sel dan dan flare pada bilik mata depan, hipopion (Gambar2). EVS
melaporkan hipopion ditemukan pada 86% pasien. Kelainan segmen posterior
dapat ditemukan berupa penurunan atau bahkan hilangnya reflex fundus,
vitritis, retinitis, ablasi retina dan periflebitis retina.8
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan diantaranya adalah
pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas antimikroba dengan sampel cairan
akuos dan vitreus.8 Pemeriksaan kultur mikrobiologi tidak dapat
mengidentifikasi seluruh kasus infeksi. Pada studi yang dilakukan di Inggris,
dilaporkan kultur positif hanya didapatkan sebesar 55%. Kultur cairan akuos
saja tidak cukup menunjang diagnosis, karena terdapat 57% kultur akuos
negatif pada endoftalmitis pasca operasi katarak dengan kultur vitreus
positif.8 Berlainan dengan hal tersebut, dilaporkan oleh Mollan et al dan
survey British Ophthalmological Surveillance Unit (BOSU) terdapat 60%
kasus kultur akuos positif, dengan kultur vitreus negatif.12
Pemeriksaan biologi molekuler, teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pemeriksaan kultur.
Diantaranya dapat mendeteksi bakteri dalam jumlah kecil dari sampel yang
sedikit, dapat memberikan informasi kuantitatif dan bahkan dapat mendeteksi
bakteri pada pasien yang telah diberikan antibiotik intravitreal.12

21
Gambar 4. Ultrasonografi mata Dikutip dari kepustakaan 12
(a) kekeruhan vitreus; (b) membran vitreus; (c) penebalan korioretina; (d)
choroidal detachment
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah
ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ultrasonografi dapat bermanfaat terutama
bila sulit menilai segmen posterior karena kekeruhan segmen anterior.
Ultrasonografi dapat mendeteksi kekeruhan vitreus, membran vitreus,
penebalan korioretina, ablasi retina, choroidal detachment dan sisa masa
lensa.12

F. Profilaksis
Antiseptik memiliki aktivitas mikrobisidal yang luas terhadap bakteri,
jamur, protozoa dan virus. Antiseptik bersifat tidak selektif, biasa digunakan
topikal dan dapat membunuh mikroba dengan menghancurkan membran sel.
Larutan povidone-iodine merupakan antiseptik yang sangat baik, paling
sering digunakan secara universal sebagai prevensi endoftalmitis pasca
operasi katarak dan dapat membunuh 96,7% bakteri dalam waktu 1 menit
irigasi. Povidone-iodine sangat efektif terhadap bakteri, jamur, virus,
protozoa dan spora.8
Berbeda dengan antiseptik, antibiotik memiliki target biologis spesifik
seperti enzim replikasi, sintesis ataupun metabolik yang unik terhadap
mikroba patogen sehingga dapat digunakan lebih aman pada jaringan hidup.
Dibandingkan antiseptik, antibiotik memerlukan waktu yang lebih lama untuk

22
menimbulkan efeknya dan resistensi merupakan masalah yang sering
dijumpai karena pathogen berevolusi dan bermutasi. Antibiotik dapat
diberikan secara topikal sebelum dan sesudah operasi atau diinjeksi
intrakameral atau subkonjungtiva saat operasi.8
Rasionalisasi penggunaan antibiotik topikal preoperasi adalah untuk
mensterilisasi permukaan okuler dan untuk penetrasi ke dalam bola mata agar
mencapai konsentrasi terapeutik pada intraokuler. Isolasi konjungtiva
preoperasi dimana lebih dari 90%-nya sensitif terhadap cefotaksim,
levofloksasin, imipenem, meropenem, vankomisin dan aminoglikosida
kecuali neomisin. Florokuinolon memiliki spektrum luas, penetrasi yang baik
terhadap bilik mata depan dan efek samping yang rendah. Studi yang
dilakukan di Amerika Serikat, Jerman dan Jepang menunjukkan penggunaan
topikal ofloksasin dan levofloksasin preoperasi secara bermakna mengurangi
jumlah bakteri berdasarkan scrapping sakus konjungtiva. Studi yang
dilakukan ESCRS menunjukkan tidak ada keuntungan yang bermakna pada
penggunaan levofloksasin 1 jam sebelum operasi. Saat ini terdapat
florokuinolon generasi keempat, seperti moxifloksasin dan gatifloksasin.
Kedua obat ini memiliki spektrum yang lebih luas dan penetrasi yang lebih
baik dibandingkan generasi sebelumnya.13
Studi yang dilakukan di Spanyol tahun 1999-2008 menunjukkan
penurunan insidens endoftalmitis pasca operasi dari 0,30% hingga 0,043%
setelah penggunaan rutin cefuroxime intrakameral. Pada studi ESCRS
penggunaan 0,9% cefuroxime infus intrakameral memiliki pengurangan
resiko 5 kali lebih rendah dibandingkan dengan plasebo atau penggunaan
topikal levofloksasin preoperasi. Injeksi subkonjungtiva merupakan salah satu
cara pemberian antibiotik perioperasi untuk mencegah endoftalmitis. Hasil
eksperimen menunjukkan injeksi vankomisin dan ceftazidim subkonjungtiva
dapat mencapai konsentrasi yang baik di akuos untuk mengurangi resiko
endoftalmitis walaupun penetrasi vitreus tidak cukup.13

23
G. Penatalaksanaan Endoftalmitis
Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan
tatalaksana yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi
penglihatan. Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun
operasi.14
Tujuan utama tatalaksana endoftalmitis adalah eradikasi
mikroorganisme patogen, mengatasi komplikasi dan mengembalikan atau
mempertahankan fungsi penglihatan terbaik. Tujuan tambahan dari
tatalaksana endoftalmitis diantaranya menghilangkan keluhan, mencegah
panoftalmitis dan mempertahankan integritas bola mata.14
Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai
terapi definitif. Cara pemberian obat ini dapat dengan injeksi intravitreal,
injeksi subkonjungtiva, topikal ataupun sistemik. Terapi medikamentosa
lainnya seperti obat anti glaukoma dan sikloplegik dapat diberikan sebagai
terapi suportif.14
1. Injeksi Antibiotik Intravitreal
Injeksi antibiotik intravitreal merupakan terapi utama endoftalmitis
akut.8 Konsentrasi antibiotik intraokuler setelah injeksi intravitreal lebih
tinggi dibandingkan cara pemberian lain. Injeksi antibiotic subkonjungtiva
dan antibiotik topikal tidak mencapai konsentrasi obat intravitreal yang
cukup.8

Gambar 6. Injeksi Intravitreal

24
Tatalaksana awal yang cepat sangat penting dalam keberhasilan
tatalaksana endoftalmitis akut pasca operasi katarak sehingga antibiotik
harus diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Vankomisin memiliki
spektrum luas terhadap bakteri gram positif termasuk MRSA dan
B.aureus. Vankomisin tidak bersifat toksik pada dosis terapi 1mg/0,1 mL
dan memiliki waktu paruh yang panjang. Studi EVS melaporkan 100%
bakteri gram positif sensitif terhadap vankomisin.8
Pilihan terbaik antibiotik terhadap bakteri gram negatif masih
kontroversial. Aminoglikosida (gentamisin 0,1 mg/0,1 mL atau amikasin,
0,4 mg/0,1mL) sebelumnya penggunaannya direkomendasikan untuk
bakteri gram negatif. Beberapa studi melaporkan bahwa aminoglikosida
bersifat toksik terhadap retina dan RPE pada dosis tidak jauh dari dosis
terapi. Amikasin dilaporkan kurang toksik dibandingkan gentamisin.
Ceftazidim direkomendasikan terhadap bakteri gram negatif karena
memiliki spektrum luas, toksisitas terhadap retina lebih rendah 2,36 dan
100% bakteri gram negatif sensitif terhadap ceftazidim. Kelebihan
ceftazidim lainnya yaitu ceftazidim lebih efektif dibandingkan amikasin
dalam suasana asam dan hipoksik yang ditemukan pada vitreus dengan
endoftalmitis. Pemberian antibiotik vankomisin dan ceftazidim intravitreal
kombinasi harus dengan spuit terpisah karena jika digabungkan akan
mengalami presipitasi.8
Vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang dapat diberikan bila tidak
ada perbaikan atau terjadi perburukan dalam 48-72 jam.15 EVS
melaporkan kasus dengan vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang maupun
prosedur tambahan lainnya memiliki derajat penyakit yang lebih berat
sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk.8

25
Injeksi intravitreal

24-36 jam pertama


setelah injeksi

Bertambah buruk Bertambah buruk (-)

Konsul Spesialis Lanjutkan terapi oral /


topikal

to
Pars plana vitrectomy Tidak ada perubahan Membaik
(PPV) signifikan

Ulangi injeksi Refleks fundus (+) Reaksi


intravitreal COA, Lanjutkan terapi

Gambar 6. Alur Follow up Intravitreal Antibiotik


2. Injeksi Antibiotik Subkonjungtiva dan Antibiotik Topikal
Injeksi antibiotik subkonjungtiva dan antibiotik topikal sering
diberikan sebagai tambahan injeksi antibiotik intravitreal pada kasus
endoftalmitis pasca operasi katarak. Rasionalisasi pendekatan ini adalah
untuk mendapatkan konsentrasi antibiotik intraokuler yang lebih tinggi
dan mencapai konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi pada segmen
anterior dibandingkan dengan injeksi intravitreal saja. Pemberian
antibiotik topikal memiliki daya penetrasi vitreus yang sangat buruk
walaupun pada mata afakik.Regimen antibiotik yang diberikan disesuaikan
hasil kultur dan sensitifitas, diantaranya 1) vankomisin subkonjungtiva
(25mg dalam 0,5 mL) dan ceftazidim subkonjungtiva (100mg dalam 0,5
mL) dan 2) vankomisin topikal (50mg/mL) dan ceftazidim (100 mg/mL)
tiap setengah hingga 1 jam.16

26
3. Antibiotik Sistemik
Pemberian antibiotik intravena masih kontroversi mengenai
manfaatnya. Sawar darah okuler tidak intak pada keadaan inflamasi,
namun tidak jelas apakah konsentrasi antibiotik intravitreal cukup setelah
pemberian antibiotik intravena. EVS melaporkan pemberian antibiotik
intravena tidak bermanfaat sebagai tambahan injeksi antibiotik intravitreal
pada kasus endoftalmitis akut pasca operasi katarak, tidak terdapat
perbedaan tajam penglihatan akhir dan kejernihan media.8
Penggunaan antibiotik intravena berdasarkan pertimbangan temuan
klinis, misalnya pada pasien dengan 1 mata fungsional yang mengalami
infeksi hebat atau pada pasien dengan immunocompromised, dapat
diberikan vankomisin atau cefazolin untuk bakteri gram positif dan
ceftazidim untuk bakteri gram negatif.2 Vankomisin memberikan spektrum
luas terhadap bakteri gram positif. Konsentrasi intraokuler setelah
pemberian intravena dapat mencapai dosis terapi pada mata yang
mengalami inflamasi. Dosis vankomisin yang dapat diberikan yaitu 1 g
intravena setiap 12 jam dan kombinasi dengan ceftazidim 1-2g intravena
setiap 8 jam, selama 7 hari. Vankomisin dan ceftazidim diekskresikan oleh
ginjal sehingga diperlukan dosis yang disesuaikan pada pasien dengan
kelainan ginjal dan sebaiknya dilakukan evaluasi fungsi ginjal selama
pemberian obat.8
Ciprofloksasin oral dapat diberikan pada pasien rawat jalan
terutama terhadap Staphylococcuskoagulase negatif. Obat ini memiliki
spektrum luas dan penetrasi vitreus yang baik, namun dikatakan saat ini
efektivitasnya telah berkurang.15 Gatifloksasin, florokuinolon generasi
keempat dilaporkan memiliki potensi yang lebih baik terhadap bakteri
gram positif dan memiliki daya penetrasi mata yang baik.15
4. Kortikosteroid
Tujuan pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis akut adalah
untuk mengurangi efek perusakan dari inflamasi yang berat.

27
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik, topikal, injeksi intravitreal
maupun injeksi subkonjungtiva kombinasi dengan pemberian antibiotik.8
Studi yang dilakukan oleh Das dkk, ditemukan injeksi
deksametason intravitreal bermanfaat dalam mengurangi inflamasi, namun
tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir. Sebaliknya, studi yang
dilakukan oleh Shah dkk melaporkan tajam penglihatan akhir setelah
injeksi intravitreal steroid justru menurun. Beberapa studi
merekomendasikan pemberian prednison 1 mg/kg berat badan secara oral
tiap pagi selama 3-5 hari. Selain itu dapat juga diberikan deksametason
intravitreal (400g/0,1mL) pada saat biopsi vitreus atau vitrektomi.
Prednison asetat 1 % topikal tiap 1-2 jam juga dapat diberikan. Pemberian
injeksi kortikosteroid subkonjungtiva yang dapat diberikan diantaranya
deksametason 4-8mg.8
5. Terapi suportif
Pemberian obat obatan siklopegik disarankan tetes mata atropin
1% atau bisa juga hematropine 2% 2-3 hari sekali. Selain itu dapat pula
diberikan obat obat antiglaucoma untuk pasien dengan peningkatan
tekanan intraokular. Contohnya acetazolamide (3 x 500 mg) atau timolol
0,5% 2 kali perhari.
6. Vitrektomi
Sebagai salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis, vitrektomi
pars plana memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengeluarkan
organisme penyebab dan toksinnya, materi inflamasi dan kekeruhan,
menghilangkan membran vitreus yang dapat menyebabkan ablasi retina,
pengambilan sampel untuk kultur serta perbaikan distribusi antibiotik
intravitreal.17 Dibalik keuntungan tersebut, tidak adanya vitreus
menyebabkan peningkatan toksisitas obat dan terdapat komplikasi setelah
vitrektomi pars plana, yaitu perdarahan, katarak, glaukoma dan ablasi
retina.16

28
Gambar 7. Vitrektomi Pars Plana

Studi EVS (Endhophthalmitis vitrectomy study)menunjukkan


bahwa vitrektomi awal pada endoftalmitis akut pasca operasi katarak tidak
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan biopsy vitreus sederhana
dan injeksi antibiotik intravitreal apabila tajam penglihatan awal 1/300.
Pasien dengan tajam penglihatan awal persepsi cahaya, vitrektomi segera
memiliki prognosis tajam penglihatan akhir yang lebih baik.8
Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold
standard untuk endoftalmitis akut. Vitrektomi bermanfaat dalam diagnosis
dini dan mengurangi kebutuhan operasi ulang. Keadaan dimana vitrektomi
dini tidak dapat dilakukan, misalnya jika operator vitreoretina atau
ruangan operasi vitreoretina tidak tersedia, maka tatalaksana dini adalah
dengan injeksi antibiotik intravitreal.10

H. Prognosis
Penelitian yang dilakukan EVS mengungkapkan terdapat beberapa
factor resiko yang dihubungkan dengan prognosis tajam penglihatan
buruk. Faktor resiko paling kuat adalah tajam penglihatan awal persepsi
cahaya. Faktor resiko lainnya diantaranya usia tua, diabetes mellitus,
robekan pada kapsul posterior, tekanan intraokuler yang rendah atau
tinggi, defek pupil aferen, rubeosis dan tidak adanya refleks fundus.18
Dilaporkan tajam penglihatan akhir mencapai 20/100 pada
endoftalmitis dengan bakteri penyebab kokus gram positif koagulase
negatif sebanyak 84%, Staphylococcus aureus 50%, Streptococcus 30%,

29
Enterococcus 14% dan organisme gram negatif 56%. Dilaporkan terdapat
beberapa mikroorganisme dapat steril secara spontan selama proses respon
inflamasi okuler.18
Tatalaksana dini endoftalmitis penting terhadap hasil tajam
penglihatan akhir. Aziza melaporkan kasus endoftalmitis pasca operasi di
RSCM periode Januari 2007-Juli 2010 dengan tajam penglihatan akhir
6/12 atau lebih baik didapatkan pada tindakan vitrektomi dengan injeksi
antibiotik intravitreal sebesar 30% dan injeksi antibiotik intravitreal saja
sebesar 26,2%. Faktor yang mempengaruhi tajam penglihatan akhir lebih
buruk dari 6/12 adalah riwayat diabetes mellitus, komplikasi intra operasi
(prolaps vitreus), awitan terjadinya endoftalmitis dan rentang waktu
diangnosis hingga mendapatkan terapi.18

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis endoftalmitis pada penderita ini ditegakkan berdasarkan


anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi. Dari anamnesis diperoleh data berupa
gejala yang dikeluhkan penderita seperti nyeri pada mata, adanya penurunan
penglihatan disertai mata merah. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOS :
1/~ LP baik, palpebra superior edema minimal, ada injeksi konjungtiva, edema
dan kemosis pada kornea. Sedangkan pada COA, iris, pupil dan lensa sulit
dievaluasi karena tertutup edema kornea. Segmen anterior sulit dievaluasi. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan bahwa manifestasi klinis dari endoftalmitis yang
paling sering dikeluhkan menurut studi EVS diantaranya penurunan tajam
penglihatan pada 94% pasien, mata merah pada 82% pasien, nyeri pada 74%
pasien dan edem palpebra pada 35% pasien. Gejala lain yang dapat ditemukan
diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea.10
Endoftalmitis diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan waktu
awitan. Klasifikasi endoftalmitis secara luas yaitu endoftalmitis pasca operasi,
endoftalmitis pasca trauma dan endoftalmitis endogen.7 Endoftalmitis endogen
termasuk dalma jenis endoftalmitis yang jarang. Manifestasi klinis endoftalmitis
endogen adalah rasa sakit, injeksi siliaris, hipopion dan kekeruhan di vitreus.
Agen bakteri yang paling sering menyebabkan endoftalmitis endogen adalah dari
kelompok jamur (62%), gram positive bakteri (33%), dan gram negatif bakteri
dalam 5%.9 Pada pasien ini terjadi kemungkinan endoftalmitis endogen dilihat
dari adanya riwayat konjungtivitis yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan
steroid tetes mata tanpa pengawasan yang dapat meningkatkan kemungkinan
tumbuhnya jamur.
Diagnosis banding dari endoftalmitis pada penderita ini adalah
panoftalmitis. Panoftalmitis merupakan peradangan seluruh bola mata termasuk
sklera dan kapsul tenon sehingga terjadi abses pada seluruh rongga mata.
Panoftalmitis biasanya disebabkan oleh masuknya organisme piogenik ke dalam
mata melalui luka pada kornea secara kebetulan atau akibat operasi atau

31
mengikuti perforasi suatu ulkus kornea. Pneumococcus adalah organisme yang
paling sering menyebabkan panoftalmitis.19
Endoftalmitis dapat berakibat menjadi panoftalmitis. Pada pemeriksaan
fisik pada panoftalmitis ditemukan kongesti konjungtiva dengan injeksi siliar
hebat. Chemosis konjungtiva selalu ada dan kornea tampak keruh. COA hipopion.
Pupil mengecil dan menetap. Terjadi peningkatan tekanan intraokular. Proptosis
derajat sedang serta gerakan bola mata terbatas disebabkan peradangan pada
kapsul Tenon (Tenonitis).19
Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana
yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan.
Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi. Tujuan
utama tatalaksana endoftalmitis adalah eradikasi mikroorganisme patogen,
mengatasi komplikasi dan mengembalikan atau mempertahankan fungsi
penglihatan terbaik. Tujuan tambahan dari tatalaksana endoftalmitis diantaranya
menghilangkan keluhan, mencegah panoftalmitis dan mempertahankan integritas
bola mata.14
Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai
terapi definitif. Cara pemberian obat ini dapat dengan injeksi intravitreal, injeksi
subkonjungtiva, topikal ataupun sistemik.14 Pada penderita diberikan antibiotik
sistemik yaitu Cefotaxim 1 gr injeksi 2x1 gr (iv), Tobroson eye drop 1 gtt/ jam
yang mengandung Tobramycin.
Penderita diberikan terapi kortikosteroid berupa Methylprednisolon 2-1-0.
Tujuan pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis akut adalah untuk
mengurangi efek perusakan dari inflamasi yang berat. Kortikosteroid dapat
diberikan secara sistemik, topikal, injeksi intravitreal maupun injeksi
subkonjungtiva kombinasi dengan pemberian antibiotik.8 Studi yang dilakukan
oleh Das dkk, ditemukan injeksi deksametason intravitreal bermanfaat dalam
mengurangi inflamasi, namun tidak mempengaruhi tajam penglihatan akhir.
Pemberian injeksi kortikosteroid subkonjungtiva yang dapat diberikan diantaranya
deksametason 4-8mg.8

32
Pada pasien juga diberikan Glaucon tablet (Acetazolamid) 2 x 125 mg.
Pemberian obat antiglaukoma diberikan pada pasien dengan tekanan intraokular
yang meningkat.
Vitrektomi merupakan salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis.
Vitrektomi pars plana memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengeluarkan
organisme penyebab dan toksinnya, materi inflamasi dan kekeruhan,
menghilangkan membran vitreus yang dapat menyebabkan ablasi retina,
pengambilan sampel untuk kultur serta perbaikan distribusi antibiotik
intravitreal.17
Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard
untuk endoftalmitis akut. Vitrektomi bermanfaat dalam diagnosis dini dan
mengurangi kebutuhan operasi ulang. Keadaan dimana vitrektomi dini tidak dapat
dilakukan, misalnya jika operator vitreoretina atau ruangan operasi vitreoretina
tidak tersedia, maka tatalaksana dini adalah dengan injeksi antibiotik
intravitreal.10
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam et sanam adalah ad bonam
sedangkan quo ad functionam dubia ad malam. Ini dikarenakan terjadi inflamasi
yang hebat pada OS.19

33
BAB V
PENUTUP

Demikianlah telah dilaporkan kasus Endoftalmitis pasca trauma OS pada


seorang wanita 26 tahun yang datang berobat berobat di Poliklinik Mata RSU
PKU Muhammadiyah Delanggu disertai dengan pembahasan tentang penanganan
pada kasus endoftalmitis.
Endoftalmitis ditandai dengan penurunan tajam penglihatan pada 94%
pasien, mata merah, nyeri, dan edema palpebra. Gejala lain yang dapat ditemukan
diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea (hipopion).
Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana
yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan.
Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi.
Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai
terapi definitif. Vitrektomi merupakan salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis.
Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard untuk
endoftalmitis akut.
Pasien ini dilakukan penanganan medikamentosa dengan antibiotik sistemik
dan menunjukan perbaikan sehingga masih dipertimbangkan untuk terus
dilakukan pengobata. Namun tidak menyingkirkan kemungkinan dilakukannya
vitrectomy. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam et sanam adalah ad bonam
sedangkan quo ad functionam dubia ad malam. Ini dikarenakan terjadi inflamasi
yang hebat pada OS.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Scheidler V, Scott IU, Flun HW. Culture-proven endogenous


endophtalmitis:Clinical features and visual acuity outcomes. Am
J Ophtalmol 2004;137:4.
2. Ilyas, S.H. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 2006. hal 175-8.
3. Ilyas, S.H., Mailangkay, T.H. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter dan
Mahasiswa Kedokteran. Edisi Kedua. Jakarta, CV. Sagung Seto, 2002. hal
98-101.
4. Aziza Y. Insiden dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
penatalaksanaan endoftalmitis pasca operasi intra okuler di RSUP dr.
Cipto Mangunkusumo periode januari 2007- juli 2010 [Penelitian
Deskriptif].Jakarta: Universitas Indonesia. 2010.
5. Kresloff MS, Castellarin AA, Zarbin MA. Major review: Endophthalmitis.
Surv Ophthalmol. 1998; 43 (3): 193-217.
6. Cooper Ba, Holekamp Nm, Bohigian G, Thompson PA. Case - control
study of endophthalmitis after cataract surgery comparing scleral and
cornealwounds. Am J Ophtalmol 2003; 136: 300-5.
7. Wejde G, Montan P, Lundstrm M, Stenevi U, Thorburn W.
Endophthalmitis following cataract surgery in Sweden: national
prospective survey 1999-2001.Acta Ophthalmol Scand 2005;83(1):7-10.
8. Kresloff MS, Castellarin AA, Zarbin MA. Major review: Endophthalmitis.
Surv Ophthalmol. 1998; 43 (3): 193-217.
9. Sherwood Dr, Rich WJ, Jacob JS. Bacterial contamination of intraocular
andextraocular fluids during extracapsular cataract extraction. Eye
1989;3:308-12.
10. ESCRS. ESCRS Guidelines on prevention, investigation and management
of post-operative endophthlmitis. Barry P, Behrens-Baumann W, Pleyer U,
Seal D, editors: ESCRS; 2007.

35
11. Post operative endophthalmitis. [homepage on the internet]. No date [cited
2017 November 04]. Available from
http://www.slideworld.org/viewslides.aspx/Post-operative-
Endophthalmitis-%5B-POE-ppt-2346
12. Endophthalmitis: Etiology, classification, and clinical approach.
[homepage on the internet]. No date [cited 2017 November 04]. Available
from http://www.authorstream.com/Presentation/aSGuest32418-279416-
endoph-entertainment-ppt-powerpoint/29
13. Yiu G, Young L, Gilmore M. Prophlaxis against postoperative
endophthalmitis in cataract surgery. International Ophthalmology Clinics.
2011; 51 (4): 67-78.
14. Kanski JJ. Endophtalmitis. In: Kanski JJ. Clinical ophthalmology, a
systemic approach. 7th edition. 2011.
15. Post cataract endophthalmitis.[homepage on the internet]. No date [cited
2017 November 04 ]. Available from
http://www.eophtha.com/eophtha/ppt/Post%20cataract%20endophthalmiti
s.swf
16. Yam JCS, Kwok AKH. Update of the management of postoperative
endophthalmitis. Hong Kong Med J.2004;10:337-43.
17. Ehlers J P, Shah C P. The Wills Eye Manual Office and Emergency Room
Diagnosis and Treatment of Eye Disease. Edisi Kelima. Lippincott
Williams & Wilkins USA 2011; 12: 363-4.
18. The pathogenesis of infectious endophthalmitis. [homepage on the
internet].No date [cited 2017 November 04]. Available from
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v8/v8c048.
html#pat

36

You might also like