You are on page 1of 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penting bagi kita untuk mengetahui penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH), karena hampir setiap 50% pria diatas 60 tahun mengalami hiperplasia
prostat, atau yang disebut dengan pembesaran pada kelenjar prostat. Salah satu tanda
dan gejala pada penyakit BPH ini adalah sulit untuk Buang Air Kecil (BAK).
Penyakit BPH ini belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron di dalam
prostat. (Elizabeth, 2009). Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) menurut Marilyn
(2000) merupakan pembesaran progresif pada kelenjar prostat yang terjadi pada pria
berusia diatas 50 tahun, menyebabkan derajat obstruktif uretral dan pembatasan
aliran urinarius. (Rudi, 2012). Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perawat
mempunyai peran yang penting dalam pencegahan dan pengobatan pasien BPH.
Menurut data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif. Salah satunya adalah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak
19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus. Yang ditemukan
pada pria dengan usia lebih dari 65 tahun dan dilakukan pembedahan setiap
tahunnya. Tingginya kejadian BPH di Indonesia telah menempatkan BPH sebagai
penyebab angka kesakitan nomor 2 terbanyak setelah penyakit batu pada saluran
kemih. Tahun 2013 di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, diantaranya diderita
pada pria berusia di atas 60 tahun. Di Jawa Timur tepat 672.502 kasus BPH pada
tahun 2013. Di Ngawi jumlah klien yang ada di ruang bedah pada tahun 2013
sebanyak 70 kasus. Pada tahun 2014 sebanyak 45 kasus BPH (Riskesdas, 2013).
Menurut Mansjoer Arif (2000) umumnya pembesaran prostat terjadi setelah
usia pertengahan akibat proses penuaan dan perubahan hormonal. Jika penyakit BPH
ini tidak segera di tangani maka akan mengalami pembesaran secara perlahan pada
traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi
perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher
vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya
serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam
mukosa buli-buli akan terlihat seperti balok. Penonjolan serat detrusor yang terlihat
seperti balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan
sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar diantara serat detrusor sehngga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila
berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi, dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine yang akan
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Rudi, 2012).
Pencegahan penyakit BPH itu sendiri dapat diterapkan dengan
membudidayakan pola hidup sehat seperti mengkonsumsi buah yang mengandung
antioksidan, makanan rendah lemak dan kaya serat, olahraga teratur serta melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala. Tidak semua pasien yang mengalami
hiperplasia prostat harus menjalani operasi atau tindakan medik. Terkadang merekan
hanya mengeluh (Lower Urinary Tract Symptoms) atau LUTS ringan, namun dapat
sembuh sendiri tanpa terapi. Tetapi jika keadaan klien tersebut sudah parah maka
harus segera dilakukan tindakan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan
endroulogi. Sebagai perawat dalam memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien
BPH dalam upaya kuratif yaitu memberikan obat sesuai dengan petunjuk, pemberian
antikolinergik bertujuan untuk mengurangi spasme kandung kemih serta pemberian
cairan infus dan cairan oral untuk pengeluaran urine. Sedangkan dalam upaya
rehabilitatif diperlukan agar klien mampu memelihara kesehatannya sendiri dan
mampu beraktivitas kembali dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
gangguan eliminasi dengan cara pemantauan dalam pemasangan kateter, perawatan
kateter menggunakan teknik aseptik, dan mencegah distensi kandung kemih yang
menyebabkan perdarahan. Sangat diperlukan peran serta keluarga dalam pemberian
asuhan keperawatan klien dengan post prostatektomy baik di rumah sakit maupun di
rumah karena ini merupakan peran perawat sebagai edukator (Nursalam & Fransisca,
2006).

You might also like