Professional Documents
Culture Documents
Konsep dasar
1. Pemeriksaan awal pasien trauma terbagi menjadi primary survey, secondary
survey, dan tertiary survey. Primary survey tidak boleh lebih dari 2-5 menit, dan
harus meliputi rangkaian ABCDE : airway, breathing, circulation, disability
neurologis, dan eksposure (lingkungan). Penilaian dan resusitasi harus
berjalan bersamaan. Resusitasi pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu : kontrol
pendarahan, dan terapi definitive untuk traumanya. Setelah primary survey
diikuti dengan secondary dan tertiary survey.
2. 5 kriteria adanya kecurigaan cedera leher : 1)nyeri leher, 2)severe distracting
pain/nyeri yang sangat hebat, 3).adanya defisit neurologist, 4).intoksikasi, 5).
kehilangan kesadaran pada saat kejadian fraktur cervical harus dicurigai bila
ada tanda tersebut. Meskipun telah menggunakan criteria ini, insidensi cedera
leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi 10% dengan adanaya
cedera kepala.
3. Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan belakang) harus
di hindari bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher
harus dilakukan pada saat pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization
atau MILS).
4. Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi
darah. IV kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in)
dipakai bila akses ke vena mudah.
5. Infus cepat dengan IV kateter besar dan cairan hangat sangat penting saat
tranfusi pada perdarahan hebat. Selimut hangat dan alat pemanas ruangan
akan menjaga kehangatan suhu tubuh. Hipotermi memperburuk
ketidakseimbangan asam basa , koagulopati, dan disfungsi miokard.
6. Pasien shock hemoragik dengan hipotensi harus diterapi agresif dengan
resusitasi cairan dan tranfusi darah, bukan dengan obat vasopresor, kecuali
bila hipotensinya tidak berespon dengan pemberian cairan, atau mungkin
adanya shock kardiogenik dan henti jantung.
7. Zat penginduksi yang biasa digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan
etomidate. Meski setelah resusitasi cairan yang adekuat , dosis induksi
propofol yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada pasien dengan trauma
mayor. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang normalnya
menstimulasi secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek
depresi jantung (cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat
Pendahuluan
Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia 1-35 tahun di USA.
Hingga 1/3 kasus di seluruh rumah sakit di USA berkaitan langsung dengan
trauma. 50 % kasus trauma berakhir kematian segera, dan 30% lainnya terjdi
beberapa jam setelah kejadian (golden hour). Dikarenakan banyak korban trauma
memerlukan operasi secepatnya, ahli anestesi mempengaruhi tingkat
keselamatan korban. Pada faktanya, ahli anestesi yang memberikan resusitasi
primer, dan memberikan tindakan anestesi sebagai tindakan selanjutnya. Adalah
penting bagi ahli anestesi untuk selalu waspada terhadap pecandu obat,
intoksikasi akut, hepatitis atau HIV. Bab ini menjelaskan kerangka berpikir tentang
penilaian awal pasien trauma dan tindakan anestesi dalam terapi pasien cedera
kepala leher, dada, perut, dan ekstemitas. Di akhir bab ada diskusi kasus tentang
luka bakar.
fraktur cervical harus dicurigai bila ada minimal salah satu tanda tersebut,
meski tidak ditemukan jejas di atas klavukula. Meskipun telah menggunakan
criteria ini, insidensi cedera leher sebesar 2%. Insidensi cedera leher naik menjadi
10% dengan adanaya cedera kepala. Untuk mencegah hiperekstensi leher,
manuver jaw thrust terpilih untuk membebaskan jalan nafas. Oropharing dan
nasofaring tube bisa menjaga patensi jalan nafas. Dalam Pasien tak sadar dengan
trauma berat selalu dipikirkan adanya aspirasi, jalan nafas harus segera dijaga
menggunakan ETT atau dilakukan trakeostomi.
Hiperekstensi leher dan traksi leher ke sumbu aksial (depan belakang) harus di
hindari bila ada kecurigaan cedera leher. Imobilisasi manual kepala leher harus
dilakukan pada saat pengunaan laringoskop (Manuai In Line Stabilization atau
MILS). Asisten diletakkan di kedua sisi kepala pasien, memegang occiput dan
menjaga jangan sampai kepala bergerak/berotasi. Hasil Penelitian bahwa terjadi
pergerakkan leher , terutama V. C1 dan V.C2 pada saat pemasangan sungkup
oksigen dan tindakan laringoskop meski telah dilakukan stabilisasi leher (contoh :
MILS, axial traction, kantung pasir, forehead tape, soft collar, Philadelphia collar).
Dari semua teknik yang dipakai MILS merupakan teknik yang paling efektif, tetapi
juga membuat tindakan laringoskop menjadi lebih sulit. Karena hal itu ada
Breathing
Penilaian ventilasi nafas yang terbaik yaitu dengan cara look (dilihat), listen
(didengar), feel (dirasakan). Dilihat apakah ada cianosis, retraksi dinding dada, flail
chest, trauma tembus atau trauma tidak tembus (sucking) dada. Dengarkan
apakah suara nafas ada atau tidak, atau terdengar lemah. Rasakan apakah ada
emfisema subkutan, pergeseran trakea, dan iga yang patah. Klinisi harus selalu
waspada akan tension pneumothorax dab hematotorax, biasanya hal ini terjadi
pada pasien dengan (gagal nafas) respiratory distress. Drainase pleura mungkin
diperlukan sebelum foto torax dilakukan.
Circulation
Adekuatnya atau tidaknya sirkulasi bisa dilihat dari frekuensi nadi, kuat atau
tidaknya nadi, tekanan darah dan perfusi perifer. Tanda tidak adekuatnya sirkulasi
yaitu takikardi, lemah atau tak terabanya arteri perifer, hipotensi, ekstremitas yang
pucat, dingin dan sianosis. Prioritas utama dalam menciptakan sirkulasi adekuat
adalah menghentikan perdarahan, prioritas selanjutnya yaitu mengganti cairan
intravaskular. Henti jantung pada saat di jalan atau segera sesudah sampai di
rumah sakit, karena trauma tembus dada, segera memerlukan emergency room
Perdarahan (hemorrhage)
Asal perdarahan harus segera dicari dan dihentikan dengan cara balut
tekan. Perdarahan ekstremitas mudah dihentikan dengan cara balut tekan, torniket
bisa menyebabkan reperfusion injury (trauma reperfusi). Perdarahan trauma dada
biasanya berasal dari arteri intercostal dan biasanya berkurang atau berhenti
setelah paru-paru mengembang (setelah dipasang CTT). Perdarahan trauma
abdomen, tergantung tingkat keparahannya, bisa berhenti sendiri, bisa diberikan
resusitasi cairan dan tranfusi darah, bersamaan dengan tindakan operasi. Pakaian
antishok pneumatic (pneumatic antishock garment) bisa mengurangi perdarahan di
perut dan ekstemitas bawah, meningkatkan resistensi vascular, dan meningkatkan
perfusi jantung dan otak. Perdarahan diatas pakaian ini (dada dan kepala)
dikontraindikasikan untuk menggunakan pakaian ini, karena resiko bertambahnya
perdarahan .
Shock merupakan kegagalan sirkulasi yang menyebabkan tidak adekuatnya
perfusi organ dan pemenuhan oksigen jaringan (oksigen delivery). Ada berbagai
macam shock, dan pada pasien trauma biasanya merupakan shok hipovolemik.
Respon fisiologis perdarahan yaitu hipotensi, takikardi, capillary refill buruk,
penurunan tekanan nadi, takipnea, dan delirium (table 41-2). Hematokit serum dan
kadar hemoglobin tidak akurat dalam menentukan banyaknya perdarahan akut.
Stimulasi somatic tepi somatik dan kerusakan hebat jaringan mengurangi cardiac
output dan isi sekuncup (stroke volume) pada pasien dengan shok hipovolemik.
Ketidakstabilan hemodinamik ini membutuhkan tekanan darah arterial invasif.
Pada hipovolemik yang berat, nadi dapat menghilang pada saat inspirasi. Tingkat
hipotensi pada saat operasi berkaitan erat dengan tingkat kematian.
Hypovolemic shock
Loss of blood (hemorrhagic shock)
External hemorrhage
Trauma
Gastrointestinal tract bleeding
Internal hemorrhage
Hematoma
Hemothorax or hemoperitoneum
Loss of plasma
Burns
Exfoliative dermatitis
Loss of fluid and electrolytes
External
Vomiting
Diarrhea
Excessive sweating
Hyperosmolar states (diabetic ketoacidosis, hyperosmolar nonketotic coma)
Internal ("third-spacing")
Pancreatitis
Ascites
Bowel obstruction
Cardiogenic shock
Dysrhythmia
Tachyarrhythmia
Bradyarrhythmia
Pump failure (secondary to myocardial infarction or other cardiomyopathy)
Acute valvular dysfunction (especially regurgitant lesions)
Rupture of ventricular septum or free ventricular wall
Obstructive shock
Tension pneumothorax
Terapi utama dari shock hemoragik adalah resusitasi cairan dan transfusi
darah. IV kateter dengan diameter besar (no 14-16) dan pendek (1,5-2in) dipakai
bila akses ke vena mudah. Pasien dengan kemungkinan trauma vena cava atau
hepar sebaiknya akses cairan menggunakan ke dua sistem vena cava, apabila
dibutuhkan penutupan (cross clamping) pembuluh darah dalam tindakan operasi.
Meski CVP bisa menentukan status volume tubuh, tetapi tindakan ini
menghabiskan banyak waktu dan kemungkinan terjadinya komplikasi mengancam
jiwa ( misal, pneumothorax). Akses intra vena perifer biasanya cukup untuk
resusitasi.
Perdarahan hebat mengurangi kompartemen intravaskular. Cairan akan
berpindah dari kompartemen interstitial ke kompartemen intravaskular untuk
mempertahankan hemodinamik tubuh, dan kompartemen interstitialpun akan
bergerak memasuki sel. Metabolisme anaerob akan menyebabkan penurunan
ATP, disfungsi Na-K-ATP dependent, dan menyebabkan edema sel.
Terapi cairan
Pemilihan terapi cairan ditentukan pertama kali oleh ketersediaan cairan itu
sendiri. Meskipun cross-match tranfusi darah (whole blood) sangat ideal, tetapi
waktu untuk cross match sekitar 45-60 menit. Golongan darah spesifik bisa
menyebabkan reaksi antibodi, tetapi merupakan terapi yang baik, dan diberikan
segera setelah tersedia (5-10 menit). Tranfusi golongan darah O-negatif sebaiknya
diberikan kepada pasien perdarahan yang mengancam jiwa dan tidak tercukupi
dengan resusitasi cairan (contoh, exsanguination). Komplikasi dari trnfusi pada
perdarahan hebat dibhas di bab 29.
Cairan kristaloid selalu tersedia dan harganya murah. Resusitasi cairan
membutuhkan jumlah cairan banyak, dikarenakan cairan kristaloid tidak bertahan
lama di kompartemen intravaskular. Injeksi ringer laktat lebih sedikit menyebabkan
asidosis hiperkloremik dari pada NaCl fisiologis, meski kalsium sedikit lebih cocok
untuk tranfusi darah. Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik
dan sebaiknya dihindari bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat
pun sedikit hipotonik dan apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat
edema cerebral. Cairan hipertonik seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk resusitasi
cairan dan menyebabkan edema cerebral lebih sedikit dari pada RL dan NaCl
fisiologis pada kasus cedera otak. Dan pemberian kecil cairan NaCl hipertonis,
akan cepat meningkatkan volume plasma, penggunaannya dibatasi jangan sampai
terjadi hipernatremi. Vasodilatasi dan hipotensi sementara sebaiknya di observasi.
Cairan koloid lebih mahal daripada cairan kristaloid, tetapi lebih efektif
dalam meningkatkan volume intravaskular. Kekurangan cairan interstitial karene
Disability
Evaluasi untuk mengetahui disabilitas neurology, dengan pemeriksaan
cepat neurologis. Dikarenakan untuk menilai GCS lama, maka digunakan system
AVPU : awake, verbal responsive, pain responsive, dan unresponsive.
Exposure
SECONDARY SURVEY
Secondary survey dimulai bila ABC sudah stabil. Di Secondary survey
pasien di nilai dari kepala sampai ujung kaki (head to toe) dan tes lainnya ( foto
Rontgen, tes laboratorium, dan prosedur invasive dianostik) yang dibutuhkan.
Pemeriksaan kepala mencari jejas di scalp, mata, dan telinga. Pemeriksaan
neurologis mencakup GCS dan evaluasi system motorik sensorik dan reflek. Pupil
dilatasi (fixed dilated pupils)tidak selalu menunjukkan kerusakan otak ireversibel.
Dada di inspeksi dan di auskultasi lagi, untuk mencari apakah ada fraktur dan
integritas fungsional (flail chest). Suara nafas yang menurun menunjukkan adanya
pneumothorax yang membuthkan CTT. Suara jantung menghilang, perbedaan
tekanan sistolik dan diastolik yang dekat, teregangnya vena leher kemungkinan
adanya tamponade pericardial, dan harus dilakukan pericardiocentesis. Meski
pada pemeriksaan awal (primary survey) normal, tetap tidak menyingkirkan hal ini.
Pemeriksaan abdomen terdiri dari inspeksi, auskultasi dan palpasi. Ekstremitas di
periksa, apakah ada fraktur, dislokasi dan terabanya nadi perifer. Kateter urin dan
NGT biasanya dipasang pada pasien trauma.
Pemeriksaan laboratorium dasar meliputi pemeriksaan darah rutin
(hematokrit atau hemoglobin), elektrolit, glukosa, ureum dan kreatinin. Analisa gas
darah pun sangat membantu. Foto torax sebaiknya dilakukan pada semua pasien
dengan trauma berat. Untuk menyingkirkan cedera leher, maka ketujuh vertebra di
foto posisi lateral dan posisi swimmers. foto cervical hanya mendeteksi 80-90%
terjadinya faktur, dan dengan CT-Scan alat yang reliable (dapat dipercaya) untuk
menentukan ada atau tidaknya cedera leher. Foto tambahan lainnya yaitu foto
kepala, pelvis dan foto tulang panjang. A focused assessment with sonogaraphy
for trauma (FAST) scan adalah alat yang cepat, portable, pemeriksaan
ultrasonografi untuk mengidentifikasi perdarahan intraperitoneum atau tamponade
pericardial. FAST dipakai untuk memeriksa cairan di 4 daerah yaitu: perihepatic,
perisplenic, pelvis dan pericardium. Tergantung dari trauma dan kondisi
hemodinamik pasien, pemeriksaan lain (seperti, CT-scan dada atau angiografi)
atau tes diagnostik seperti diagnostic Lavage (DPL) bisa dilakukan.
TERTIARY SURVEY
Banyak pusat trauma memakai tertiary survey untuk menghindari cedera
yang terlewat. Antara 2-50% trauma bisa terlewat dengan primary dan secondary
survey, biasanya pada trauma tumpul multiple (seperti, kecelakaan mobil). Tertiary
survey adalah evaluasi pasien yang mengidentifikasi semua cedera yang dialami
Pertimbangan umum
Anestesi regional tidak praktis dan tidak pada tempatnya untuk pasien yang
hemodinamiknya tak stabil dengan trauma mengancam jiwa.
Bila pasien sampai ke kamar operasi telah diintubasi, maka posisi ETT
harus diperiksa kembali. Pasien dengan suspek cedera kepala diberikan
hiperventilasi untuk menurunkan tekanan intra kranial. Ventilasi mungkin
berkurang karena adanya pneumothorax, flail chest, sumbatan ETT, atau cedera
paru-paru.
Bila pasien tidak diintubasi maka prinsip manajemen airway seperti di atas
harus dilakukan di kamar operasi. Bila cukup waktu maka hipovolemia sebaiknya
telah dikoreksi meski sebagian ,sebelum dilakukan anestesi umum. Resusitasi
cairan dan tranfusi darah harus diteruskan selama induksi dan tindakan anestesi.
Zat penginduksi yang biasa digunakan untuk pasien trauma yaitu ketamin dan
etomidate. Meski setelah resusitasi cairan yang adekuat , dosis induksi propofol
yang dibutuhkan 80-90% lebih rendah pada pasien dengan trauma mayor.
Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide yang normalnya menstimulasi
secara tidak langsung fungsi jantung, bisa menimbulkan efek depresi jantung
(cardio depressan) pada pasien shok atau sudah mendapat stimulasi simpatik
maksimal. Hipotensi bisa juga dialami setelah pemberian etomidate.
Tindakan anestesi pada pasien tak stabil yang utama menggunakan muscle
relaxant (neuromuscular blocking agent), dengan anestesi umum dipakai
tergantung respon pasien (MABP >50-0 mmHg) untuk menciptakan sekurang-
kurangnya amnesia pasien. Dosis kecil intermiten ketamin (25mg setiap 15 menit)
biasanya di toleransi dengan baik dan menurunkan insidence of recall, khususnya
bila dipakai dengan zat volatil konsentrasi rendah (< 0,5 minimum alveolar
Trauma Ekstremitas
Trauma ekstremitas bisa mengancam jiwa, karena rusaknya pembuluh
darah dan karena infeksi sekunder. Trauma vascular bisa menyebabkan
perdarahan massif dan membahayakan viabiitas dari ekstremitas. Contohnya,
Fraktur femur kehilangan darah 2-3 labu, dan fraktur pelvis tertutup bisa
menyebabkan kehilangan darah lebih banyak lagi dan menyebabkan shok
hipovolemik. Penanganan yang terlambat atau salah memposisikan pasien bisa
memperparah dislokasi dan kerusakan saraf lebih lanjut. Emboli lemak karena
fraktur pelvis dan tulang panjang bisa menyebabkan insufficiency paru, disritmia,
peteki kulit, perubahan kesadaran 1-3 hari setelah kejadian. Diagnosis
laboratorium emboli paru berdasar pada kenaikan serum lipase, adanya lemak di
urin dan trombositopenia.
Sindroma kompartemen bisa terjadi pada hematom intramuskular luas, luka
remuk (crush injury), fraktur dan luka amputasi. Peniningkatan tekanan fascia
interna dan penurunan tekanan arteri menyebabkan iskemik, hipoksia jaringan,