You are on page 1of 13

Penyalahgunaan Opioid pada Pasien Pasca-Operasi Ortopedik

Anup Gangavalli, MD, Ajith Malige, BS, George Terres, BS, Saqib Rehman, MD,
dan Chinenye Nwachuku, MD

Tujuan: Sehubungan dengan peningkatan kecenderungan peresepan opioid baru-


baru ini, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola penyalahgunaan
opioid di antara pasien-pasien pasca-operasi ortopedik dan sumber eksternal utama
untuk mendapatkan obat ini.

Desain: Studi didasarkan pada peninjauan/survei yang dilaksanakan selama


sepuluh bulan.

Latar: Dua pusat trauma level I (perkotaan dan pinggiran kota).

Pasien/Peserta: Dua ratus tujuh pasien berusia antara 18 dan 89 tahun yang
menjalani fiksasi bedah pada fraktur yang melibatkan panggul, tulang panjang, atau
daerah periartikular pada lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.

Pengukuran Hasil Utama: Pasien-pasien yang yakin bahwa mereka tidak cukup
menerima pengobatan anti nyeri, menggunakan opioid pada dosis yang lebih tinggi
dari yang dianjurkan, dan menggunakan opioid tambahan selain analgesik yang
ditentukan dianalisis berdasarkan usia, pekerjaan, pendapatan, pendidikan,
penggunaan zat terkontrol, gangguan rasa sakit pada aktivitas hidup sehari-hari, dan
lokasi anatomis pembedahan.

Hasil: Seratus delapan puluh dua pasien menyelesaikan survei yang dilakukan;
19,2% pasien (n = 35) merasa kekurangan pengobatan [pengangguran (P <0,05),
berpendapatan rendah (P <0,05), dan pengguna zat terkontrol yang dilaporkan
sendiri oleh pasien (P <0,05)]; 12,6% pasien (n = 23) mengaku menggunakan obat
nyeri dengan dosis lebih tinggi dari yang ditentukan [pengangguran (P <0,05),
berpendapatan rendah (P <0,05), bukan lulusan sekolah menengah (P <0,05), dan
riwayat pengguna zat terkontrol/controlled substance sebelumnya (P <0,05)];
Sementara itu, sebanyak 9,3% (n = 17) mengaku menggunakan opioid eksternal
[pengangguran (P <0,05) dan pengguna zat terkontrol yang dilaporkan sendiri oleh
pasien (P <0,05)]. Sumber utama opioid ekstra mencakup keluarga/teman (n = 5)
dan dokter-dokter lainnya (n = 4).

Kesimpulan: Pasien yang menganggur dan berpenghasilan rendah secara


signifikan lebih mungkin untuk yakin bahwa ahli bedah yang merawat mereka tidak
memberi resep obat nyeri yang cukup dan juga menggunakan obat opioid dengan
dosis yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan dibandingkan dengan pasien-
pasien lain yang berpendapatan lebih tinggi. Pasien yang menganggur juga secara
signifikan lebih cenderung menggunakan analgesik opioid tambahan selain yang
telah diberikan kepadanya oleh ahli bedah utama yang merawat mereka. Kesadaran
ahli bedah terhadap latar belakang sosial ekonomi pasien dan risiko
penyalahgunaan opioid yang terkait dengan keadaan ini adalah hal yang sangat
penting untuk menentukan pilihan rejimen anti nyeri yang paling aman dan paling
efektif.

Kata kunci: opioid, penyalahgunaan, ortopedi, trauma

Level Bukti: Level Prognostik IV. Lihat bagian Petunjuk untuk Penulis untuk
penjelasan lengkap mengenai level bukti.

(J Orthop Trauma 2017; 31: e103-e109)

LATAR BELAKANG

Manajemen nyeri yang tepat pada pasien pasca-operasi masih terus


berkembang. Peningkatan penggunaan opioid sebagai obat analgesik akhir-akhir ini
telah semakin banyak mendapat sorotan. Opioid adalah zat sintetis yang mengikat
reseptor pada sistem saraf pusat dan perifer, mengurangi intensitas sinyal rasa sakit
yang sampai ke otak sambil mempengaruhi pusat emosi untuk mengurangi
rangsangan yang menyakitkan. Opioid telah terbukti menyebabkan peningkatan
efektivitas dalam mengurangi rasa sakit subjektif, yang akhirnya menyebabkan
peningkatan kecenderungan peresepan kelas obat ini oleh dokter sejak pertengahan
tahun 1990an dan dengan cepat menjadi batu penjuru bagi terapi manajemen nyeri.
Sayangnya, peningkatan penggunaan opioid untuk mengobati rasa sakit ditambah
dengan diperkenalkannya formulasi obat lepas panjang (extended release), dan
dosis tinggi telah memperbedar peluang ketagihan penggunaan obat-obatan
terlarang. Penggunaan semacam itu dengan dalih mengelola rasa sakit, termasuk
penggunaan pasca-operasi, telah mencapai proporsi epidemi, bahkan melebihi
penggunaan narkotika jalanan di Amerika Serikat. Food and Drug Administration
baru-baru ini merilis sebuah rencana tindakan yang bertujuan memerangi epidemi
ini, yang disorot oleh komite penasehat luas. Selain itu mereka juga merencanakan
program mitigasi yang lebih efisien, pelabelan dan edukasi mengenai pengobatan
yang lebih baik, dan peningkatan akses terhadap pencegahan penyalahgunaan.

Meskipun dokter masih menggunakan opioid secara teratur, mereka


sekarang lebih berhati-hati terhadap efek adiktif dari opioid, bahkan seringkali
menyisakan rasa sakit pasien karena efek adiktif ini. Resep opioid oleh dokter yang
tidak mencukupi sebagai obat penghilang rasa sakit karena takut mengakibatkan
perilaku adiktif pada pasiendapat menyebabkan pasien yang sudah terlanjur
kecanduan memperolehnya secara tidak benar dari sumber luar. Mengenali adanya
kecanduan penting dalam operasi ortopedi karena "pasien yang kecanduan mungkin
akan mengalami hambatan penyembuhan luka akibat penurunan respons kekebalan
tubuh dan gizi buruk; dan lebih mungkin terlibat dalam kecelakaan, sehingga bisa
menyebabkan cedera ulang pada ekstremitas dan mengacaukan proses
penyembuhan." Terserah kepada masing-masing dokter untuk menilai manfaat dan
risiko pemberian resep opioid kepada pasien mereka sebagai bagian dari rencana
manajemen rasa sakit. Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan faktor-
faktor risiko tertentu untuk penggunaan opioid berkepanjangan pasca-operasi,
dengan hanya beberapa dari studi ini yang berfokus pada latar ortopedi. Faktor-
faktor risiko dan sumber penyalahgunaan opioid yang berlebihan di antara pasien
trauma ortopedi pascaoperasi belum pernah dikategorikan Tujuan penelitian kami
adalah untuk mengidentifikasi prevalensi penyalahgunaan opioid dan lebih
memahami sumber utama pasien untuk mendapatkan zat adiktif ini. Selain itu, kami
mencoba untuk mengkarakterisasi faktor risiko potensial untuk penyalahgunaan
opioid dalam kelompok ini dengan menghubungkan hasil survei kami dengan usia,
status pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, gangguan rasa sakit
dengan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan lokasi bedah anatomis.

METODE

Penelitian dilakukan di 2 pusat trauma level I yang mencakup baik area


perkotaan maupun pinggiran kota selama periode sepuluh bulan. Analisis
daya/kekuatan sebelumnya dilakukan untuk menentukan ukuran sampel sebesar
146 yang diperlukan untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kohort
satu dengan yang lain, yang sebanding dengan hasil dari literatur-literatur yang ada.
Dua ratus tujuh pasien berusia antara 18 dan 89 tahun yang menjalani fiksasi bedah
untuk fraktur tulang yang melibatkan panggul, tulang panjang, atau daerah
periartikular lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan diminta untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap pasien diidentifikasi untuk pengumpulan
data dan tujuan analisis.

Pasien yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini diberi sebuah kertas
survei di sebuah klinik rawat jalan pribadi (lihat Konten Digital Tambahan 1,
http://links.lww.com/ BOT / A867). Tujuan dari survei ini adalah untuk
menentukan kecenderungan penyalahgunaan obat opioid dan mengidentifikasi
berbagai jenis sumber pasien bisa mendapatkan opioid tambahan selain yang telah
ditentukan oleh dokter bedah. Sumber-sumber ini termasuk resep sebelumnya,
keluarga dan teman, dan "secara ilegal" sebuah temuan yang menurut penulis paling
tepat ditetapkan melalui pelaporan pasien secara langsung ke dalam format survei.
Bagian pertama dari survei tersebut meminta pasien untuk mengukur rasa sakit
mereka sebelum dan sesudah operasi mereka, menerangkan kualitas nyeri mereka,
dan menyatakan apakah rasa sakit tersebut mempengaruhi aktivitas sehari-hari
mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini dibuat dengan menggunakan University of
California-San Diego Health Systems Pain Medication Questionnaire,
Massachusetts General Hospital Center for Pain Medication Questionnaire, dan
beberapa kuesioner pengobatan nyeri lainnya yang dibahas dalam literatur.
Kelompok ertanyaan kedua yang diperiksa apakah pasien percaya bahwa obat
tersebut diresepkan untuk mengendalikan rasa sakit mereka (pertanyaan 1), apakah
pasien menggunakan opioid yang ditentukan pada dosis yang lebih tinggi dari dosis
yang dianjurkan (pertanyaan 2), dan apakah pasien menggunakan obat opioid lain
selain analgesik yang telah diresepkan untuk mereka (pertanyaan 3). Jika mereka
menggunakan obat lain yang tidak diresepkan untuk mereka, pasien diberi
pertanyaan di mana mereka mendapatkan obat ini. Pertanyaan ketiga menanyakan
tentang lokasi anatomis dari prosedur bedah dan apakah pasien menerima
penanganan nyeri tambahan seperti terapi fisik. Mengacu pada berbagai kuesioner
lain yang saling berkaitan di dalam literatur, kelompok pertanyaan keempat
menanyakan tentang penggunaan zat tambahan oleh pasien. Pertanyaan kelima dan
terakhir mencatat data informasi demografis seperti umur pasien, status pekerjaan,
status pendidikan, dan tingkat pendapatan.

Data di katalogkan menggunakan spreadsheet elektronik. Hanya pasien


yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini yang diinklusikan di dalam
daftar pasien terakhir. Setiap lembar survei yang tidak lengkap atau tidak diisi
dengan benar dieksklusikan dari analisis akhir. Untuk mengkategorikan data, kami
menggunakan statistik deskriptif sederhana dan uji x2 atau uji Fisher exact untuk
menentukan adanya hubungan (IBM SPSS Versi 23 Statistics for Windows; IBM
Corp, Armonk, NY). Untuk semua analisis, P < 0,05 menunjukkan signifikansi
statistik.

HASIL

Seratus delapan puluh dua pasien (88,3%) telah melengkapi lembar survei
kami dan memenuhi kriteria inklusi. Keseluruhan rincian demografi sampel pasien
kami, yang telah distratifikasi berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, pendapatan
tahunan, status pekerjaan, tingkat pendidikan, dan duasi waktu dari pembedahan
sampai tindak lanjut, diuraikan pada Tabel 1. Singkatnya, 53,8% populasi kami
adalah wanita (n = 98), dan 70,9% berkulit putih (n = 129). Lima puluh delapan
koma delapan persen populasi kami adala pengangguran (n = 107), dengan 72,0%
dari populasi kami (n = 131) melaporkan bahwa mereka berpenghasilan kurang dari
$35.000 per tahun. Tiga puluh dua koma empat persen populasi (n = 59) berusia
antara 30 dan 50, dan sebesar 58,7% (n = 107) melaporkan bahwa mereka belum
memperoleh gelar sarjana. Mayoritas pasien (n = 140) menjalani operasi primer
di lokasi cedera mereka, dan kebanyakan pasien mengalami trauma pada luka
ekstremitas bawahnya (n = 119). Mayoritas pasien juga ada dalam durasi tidak lebih
dari 3 bulan sejak operasi yang mereka jalani (n = 94) dan menerima terapi fisik
sebagai tambahan terhadap rejimen pengobatan nyeri yang telah diresepkan (n =
127).

Pasien melaporkan rata-rata perbaikan skor nyeri sebesar 1,92 dalam skala
1-10 dari sebelum operasi sampai hari tindak lanjut pasca-operasi, dengan pasien
tindak lanjut akut (durasi 6 minggu-3 bulan) melaporkan rata-rata perbaikan skor
nyeri sebesar 2.13 dan pasien tindak lanjut subakut (lebih dari 3 bulan) melaporkan
rata-rata perbaikan skor nyeri sebesar 1,48. Sebanyak 58,2% pasien (n = 106)
mengklasifikasikan rasa nyeri yang mereka alami sebagai nyeri intermiten, dengan
sekitar sepertiga (n = 58) pasien secara kualitatif menggambarkan rasa nyeri mereka
sebagai nyeri tajam, berdenyut, dan seperti tertembak.

Hasil semua uji statistik dilaporkan pada Tabel 2, termasuk tingkat jawaban
keseluruhan untuk pertanyaan 1, 2, dan 3 serta stratifikasi setiap respons pertanyaan
menggunakan 6 faktor demografis yang telah kami yang disebutkan di atas. Secara
keseluruhan, 19,2% pasien (n = 35) percaya bahwa ahli bedah yang merawat
mereka tidak memberi mereka cukup obat penghilang rasa nyeri (pertanyaan 1).
Status pekerjaan (P <0,05), tingkat pendapatan (P <0,05), dan penggunaan zat
terkontrol/controlled substance (*yaitu zat atau obat yang penggunaannya diatur
oleh pemerintah) (P <0,05) semuanya diketahui berkorelasi signifikan dengan
pertanyaan 1, dengan pasien pengangguran (27,1%), pasien berpenghasilan rendah
kurang dari $ 12.000 per tahun (30,9%), dan pengguna controlled substance yang
melaporkan penggunaannya secara mandiri melalui lembar survei (50,0%)
cenderung lebih banyak melaporkan bahwa ahli bedah mereka tidak memberi resep
obat penghilang rasa nyeri yang cukup. Analisis perbedaan usia, tingkat pendidikan,
lokasi anatomis prosedur bedah, dan gangguan aktivitas sehari-hari yang dirasakan
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik.

Meskipun sekitar seperlima pasien melaporkan bahwa mereka merasa ahli


bedah mereka tidak memberi resep obat nyeri yang cukup, 12,6% pasien (n = 23)
mengaku menggunakan obat nyeri dengan dosis lebih tinggi daripada yang
ditentukan (pertanyaan 2). Status pekerjaan (P <0,05), tingkat pendapatan (P
<0,05), tingkat pendidikan (P <0,05), dan penggunaan controlled substance (P
<0,05) semuanya berkorelasi signifikan dengan pertanyaan 2, dengan pasien
pengangguran (16,8%), pasien yang berpendapatan lebih rendah (21,0%), pasien
yang tidak lulus SMA atau tidak menerima General Educational
Development/GED (18,2%), dan pasien yang mengaku menggunakan controlled
substance (43,8%) cenderung lebih banyak melaporkan bahwa mereka
menggunakan obat nyeri pada dosis yang lebih tinggi dari yang ditentukan.
Gangguan aktivitas sehari-hari akibat rasa nyeri diketahui mungkin berhubungan
dengan penggunaan obat nyeri dengan dosis lebih tinggi dari yang ditentukan (P =
0,05).

Terakhir, sebanyak 33,5% pasien (n = 61) mengaku menggunakan obat


nyeri lain selain analgesik yang telah ditentukan. Dari kelompok ini, sebanyak 9,3%
pasien (n = 17) mengaku menggunakan obat nyeri opioid lain yang sebenarnya
tidak diresepkan (pertanyaan 3). Status pekerjaan (P <0,05) dan penggunaan
controlled substance (P <0,05) berkorelasi secara signifikan dengan pertanyaan 3,
dengan pasien pengangguran (14,0%) dan pengguna controlled substance yang
melaporkan penggunaannya secara mandiri melalui lembar survei (50,0%) secara
signifikan cenderung lebih banyak menggunakan obat nyeri opioid yang
sebenarnya tidak diresepkan. Empat pasien melaporkan mendapatkan opioid
tambahan ini dari dokter lain, 1 pasien melaporkan membeli obat-obatan " secara
ilegal", 5 pasien melaporkan mendapatkan obat ini dari keluarga atau teman, dan 7
pasien menolak untuk menunjukkan sumbernya.

Dari 25 pasien yang dikeluarkan dari penelitian karena survei tidak lengkap,
56% (n = 14) di antaranya adalah wanita, 64% (n = 16) berkulit putih, 40% (n = 10)
berusia antara 50 dan 69 tahun., 56% (n = 14) merupakan pengangguran, 44% (n =
11) menghasilkan pendapatan kurang dari $ 12.000 per tahun, 50% (n = 12) gagal
menggapai tingkat pendidikan tertinggi mereka, dan 60% (n = 15) melaporkan
bahwa tindak lanjut mereka saat ini dalam durasi waktu 6 minggu sampai 3 bulan
setelah operasi mereka.

DISKUSI

Dokter telah menggunakan berbagai regimen penanganan nyeri untuk


membantu pasien mengatasi spektrum rasa nyeri mereka. Penelitian sebelumnya
telah mengkonfirmasi efektivitas dari obat analgesik dan AINS saja atau kombinasi
dengan opioid dalam dosis yang lebih rendah, senyawa seperti magnesium sulfat,
terapi fisik dan relaksasi, atau anestesi lokal dan blok saraf perifer. Namun,
kekuatan dan efektivitas terapi opioid menyebabkan peningkatan kecenderungan
penggunaan opioid sebagai rejimen manajemen rasa nyeri dalam beberapa tahun
terakhir.

Dokter yang mengandalkan opioid untuk manajemen nyeri harus tetap


waspada terhadap efek ketergantungan/adiksi pasien terhadap obat-obatan, yang
merupakan efek samping yang tidak diinginkan. Ketergantungan adalah kelainan
kronis dimana sistem umpan balik jalur mesomortikolimbik direspon secara
berlebihan. Proses penyalahgunaan obat lebih banyak merangsang neuron
dopaminergik yang diproyeksikan dari daerah tegmental ventral ke nukleus
akumbens (jalur sentral) yang menyebabkan keadaan euforia. Proyeksi ini,
termasuk proyeksi limbik lainnya ke amigdala dan hipokampus, memperkuat
rangsangan emosional yang biasanya tampak jelas pada pasien yang kecanduan.
Hal inPi merupakan fenomena fisiologis pada pasien yang harus diwaspadai dokter
saat menggunakan opioid sebagai rejimen manajemen rasa nyeri pasien. Jika ahli
ortopedi memahami tentang kecenderungan demografis dan faktor risiko umum
penyalahgunaan opioid, hal ini dapat membantu pasien tetap aman saat
pemulihannya berlangsung lebih lancar.

Melalui penelitian kami, kami bertujuan untuk menetapkan prevalensi


penyalahgunaan opioid pada populasi pasien pasca-operasi ortopedi dan
mengidentifikasi sumber utama pasien dalam mendapatkan zat adiktif ini. Kami
mengelompokkan pasien berdasarkan usia, status pekerjaan, tingkat pendapatan,
tingkat pendidikan, gangguan rasa sakit dengan ADL, dan lokasi bedah anatomis.
Dengan menggabungkan pasien dari lingkungan rumah sakit perkotaan dan
pinggiran kota, kami berharap untuk secara lebih akurat mewakili penampang
populasi trauma ortopedi yang khas.

Hasil kami menunjukkan bahwa pasien yang menganggur dan pendapatan


rendah secara signifikan percaya bahwa ahli bedah mereka tidak memberi resep
obat nyeri yang cukup dan juga menggunakan obat opioid yang diresepkan dengan
dosis yang lebih tinggi daripada yang dianjurkan dibandingkan dengan pasien yang
bekerja dengan pendapatan lebih tinggi. Pasien yang menganggur juga secara
signifikan lebih cenderung menggunakan analgesik opioid tambahan selain yang
diberikan oleh ahli bedah utama mereka. Hasil ini berkorelasi dengan Clarke dkk
yang menemukan bahwa pasien tanpa pekerjaan tetap atau tanpa pendapatan
memiliki risiko lebih tinggi untuk menyalahgunakan obat antinyeri mereka.
Temuan kami juga menunjukkan bahwa pasien berpendidikan lebih rendah
cenderung menggunakan obat opioid yang diresepkan pada dosis yang jauh lebih
tinggi daripada pasien yang berpendidikan lebih tinggi. Akibatnya, kesadaran ahli
bedah tentang latar belakang sosioekonomi pasien dan risiko penyalahgunaan
opioid yang terkait sangat penting untuk menentukan regimen pereda nyeri yang
paling aman dan efektif.

Hasil kami juga menunjukkan bahwa pengguna controlled substance yang


dilaporkan secara signifikan percaya bahwa mereka tidak diresepi obat antinyeri
yany cukup, mereka menggunakan obat nyeri opioid lain yang tidak diresepkan
oleh ahli bedah mereka, dan menggunakan analgesik opioid dengan dosis yang
lebih tinggi. Hubungan antara riwayat penggunaan controlled substance oleh pasien
dan kemungkinan mereka menginginkan jumlah analgesik opioid yang lebih tinggi
juga sesuai dengan temuan Becker dkk, yang menyoroti pentingnya mendapatkan
riwayat sosial menyeluruh untuk mengidentifikasi faktor risiko ini dengan lebih
baik sebelum meresepkan obat yang berpotensi adiktif.

Mencari tahu bagaimana pasien mendapatkan obat opioid tambahan sama


pentingnya dengan mengidentifikasi penyalahgunaannya. Dalam analisis
retrospektif tentang penerimaan detoksifikasi pada kecanduan opioid di Kanada,
Sproule dkk menemukan bahwa opioid terutama diperoleh dari 3 sumber yang
berbeda. Dalam 37% kasus kecanduan, sumber opioid berasal dari resep dokter.
Demikian pula, kami menemukan bahwa 23,5% pasien mengaku melakukan
"doctor shopping," 29,4% pasien beralih ke keluarga dan teman-teman untuk
mendapatkan analgesik ekstra ini, dan 5,9% pasien memperoleh obat opioid ekstra
ini "ilegal." Berbagai faktor menentukan bagaimana setiap pasien mendapatkan
obat tambahan ini, termasuk kemudahan akses, kepercayaan, kepercayaan diri,
harga, dan keamanan yang dirasakan. Ahli bedah ortopedi harus memahami
lingkungan masing-masing pasien mereka tinggal dan menentukan regimen
pengendalian nyeri yang akan meminimalkan kemungkinan pasien menggunakan
sumber dari luar untuk mendapatkan obat mereka.

Hasil kami menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam


penyalahgunaan obat opioid antar kelompok usia yang berbeda, sebuah temuan
yang berbeda dari hipotesis Colliver dan Gfroerer dan Ferrari dkk yang keduanya
mencatat bahwa pasien yang lebih muda lebih cenderung menyalahgunakan obat
nyeri opioid dibandingkan dengan pasien kelompok usia yang lebih tua Hasil kami
juga tidak menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara praktik bedah dan
penyalahgunaan obat opioid, berbda dari penelitian Holman dkk yang menunjukkan
penggunaan opioid lebih singkat diberikan untuk cedera ekstremitas atas
dibandingkan dengan ekstremitas bawah dan cedera panggul. Sampel pasien kami
juga menghalangi kami untuk tidak melakukan analisis faktor psikologis sebagai
risiko penyalahgunaan obat-obatan opioid, karena tidak cukup banyak pasien yang
diidentifikasi kondisi psikologisnya.

Secara keseluruhan, 19,2% pasien tercatat bahwa mereka tidak percaya


bahwa obat resep tersebut diresepkan dengan cukup, 33,5% pasien tercatat
menggunakan obat rasa sakit lain yang tidak diresepkan oleh ahli bedah utama
mereka, dan 12,6% pasien menggunakan obat nyeri opioid yang diresepkan pada
dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan Ini menyoroti kesulitan yang
dihadapi setiap ahli bedah dalam menyeimbangkan risiko kecanduan dibandingkan
dengan risiko undermedication. Kedua ekstrem dapat merusak hasil keseluruhan
pasien dan harus dihindari sebaik mungkin. Kami percaya bahwa mendapatkan
riwayat menyeluruh dan akurat untuk mengidentifikasi faktor risiko
penyalahgunaan obat berikut dengan membuka jalur komunikasi yang jujur dengan
pasien akan memberi kesempatan kepada ahli bedah untuk mengendalikan nyeri
pasien dengan benar sambil meminimalkan kejadian buruk.

Studi kami memiliki beberapa keterbatasan, beberapa di antaranya melekat


pada mekanisme sistem pengumpulan data berbasis survei. Sebuah survei tertulis
memungkinkan ruang untuk bias responden, karena pasien mungkin tidak
menjawab dengan jujur atau sama sekali karena kekhawatiran kerahasiaan. Waktu
tindak lanjut yang panjang mungkin juga menyebabkan ingatan buruk, yang
menyebabkan bias respon. Pasien mungkin juga tidak mempercayai jawaban survei
mereka dan dengan sengaja memberikan jawaban yang tidak akurat. Karena hanya
pasien yang setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, sampel pasien kami
berdiri sebagai convenience sampling. Penulis memutuskan untuk mengekslusi
sebagian survei yang tidak terisi tanpa usaha menggunakan teknik analisis untuk
memasukkan data parsial, sehingga memungkinkan bias convenience sampling.
Namun, analisis populasi pasien yang diekslusi menunjukkan faktor demografis
yang serupa dengan populasi pasien yang masuk kriteria inklusi, ini membatasi
kemungkinan bias eksklusi. Pada pasien tertentu, obat nonopioid diresepkan untuk
membantu mencegah nyeri pasca-operasi. Namun, keputusan ini bersifat klinis oleh
setiap ahli bedah, dan tidak ada keseragaman obat atau dosis nonopioid yang
digunakan, membuat variabel ini membingungkan dalam penelitian ini.
Selanjutnya, indeks keparahan setiap fraktur bersamaan dengan dosis obat opioid
yang ditentukan sehubungan dengan tingkat keparahan ini tidak dicatat, sebuah
batasan yang harus dieksplorasi dalam penelitian selanjutnya. Tidak ada database
di seluruh negara bagian yang digunakan untuk melacak daftar obat opioid yang
diberikan oleh beberapa dokter, hanya mengandalkan rekam medis jaringan seperti
Allscripts and Epic. Namun, catatan medis ini tidak selalu menggambarkan secara
akurat daftar obat antinyeri yang digunakan, karena obat tersebut tidak
mencerminkan obat opioid yang diperoleh dari keluarga, teman, atau "secara
ilegal."

Studi kami juga mengamati gabungan sampel dari daerah perkotaan dan
pinggiran kota, namun 2 kohort tersebut tidak memiliki ukuran yang sama. Seratus
empat puluh tujuh survei pasien diselesaikan di daerah pinggiran kota, sementara
35 survei pasien diselesaikan di wilayah perkotaan. Kami percaya bahwa hasil
akurat dari populasi Amerika sejati hanya dapat dicapai dengan menggabungkan
kelompok urban dan pinggiran kota dengan benar, sehingga mencakup sampel yang
lebih representatif dari beragam populasi pasien yang ada. Populasi pasien kami
juga dibatasi oleh ahli bedah yang berpartisipasi dan spesialisasi mereka, yang
membatasi jenis fiksasi yang disertakan. Hal ini dapat menyebabkan
misrepresentasi populasi trauma ortopedi yang sebenarnya. Karakteristik demografi
populasi sampel kami mungkin juga tidak mewakili populasi pasien pascaoperasi
trauma ortopedi yang lebih besar, yang membatasi generalisasi temuan kami.
Penelitian selanjutnya seharusnya tidak hanya menjalankan studi di pinggiran kota
dan perkotaan bersama dengan sampel yang sama tetapi juga membandingkan juga
2 populasi yang serupa dengan protokol Cicero dkk, yang menggunakan populasi
sampel yang lebih besar dan seimbang dari berbagai setting wilayah klinis untuk
menunjukkan tingkat penyalahgunaan yang lebih tinggi dari berbagai wilayah yang
berbeda di seluruh negeri.
KESIMPULAN

Meningkatnya penggunaan opioid sebagai baku sandar manajemen nyeri


pascaoperasi telah mendapat perhatian baru-baru ini, dengan penyalahgunaan obat-
obatan opioid sebagai pusat bahasan dalam diskusi ini. Hasil kami menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien postoperatif ortopedi percaya bahwa mereka tidak
diresepi dengan obat antinyeri yang memadai, sehingga membuat mereka
mengonsumsi dengan dosis yang lebih tinghindarinyang dianjurkan atau
penggunaan opioid lain yang sebenarnya tidak diberikan pada mereka. Hasil ini
menggemakan temuan penelitian lain yang menyoroti tingkat penggunaan
penyalahgunaan opioid pada pasien pasca-operasi. Pendekatan multidisipliner,
yang harus mencakup spesialis manajemen rasa sakit, mungkin memainkan peran
penting dalam tidak hanya mendidik pasien mengenai regimen pengobatan nyeri
mereka, tetapi juga mengatur regimen pengendalian nyeri yang sesuai untuk pasien
yang berisiko mendapat obat di bawah dosis sehingga menyebabkan penggunaan
obat penghilang rasa sakit berlebihan. Pengetahuan tentang berbagai faktor
demografi pasien seperti status pekerjaan, pendapatan, dan penggunaan zat yang
pengomtrol dapat memberikan riwayat yang sesuai yang diperlukan untuk
pertimbangan piliham perawatan medis individual untuk membantu memastikan
hasil terbaik pada pasien pasca-operasi.

You might also like