You are on page 1of 9

A.

Pengantar

Masih terbesit dalam ingatan tentang mbah Minah (usia 55


tahun), petani dari Dusun Sidoharjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah, tepatnya hari Kamis, 19
November 2009, dihukum percobaan 1 bulan 15 hari
karena mencuri tiga buah kakao di kebun PT Rumpun Sari
Antan 4 di desanya. Persidangan di Pengadilan Negeri
Purwokerto ini menyedot perhatian masyarakat karena
benda yang didakwakan dicuri hanya tiga buah kakao yang
akan digunakan Minah sebagai bibit.

Dalam proses hukum, permintaan maaf Minah ditolak,


manajemen PT Rumpun Sari Antan 4 malah melaporkan
Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang. Laporan itu
berlanjut pada pemeriksaan kepolisian dan berakhir di
meja hijau. Minah sudah berusaha melepaskan diri dari
jerat hukum. Tapi usahanya sia-sia. Hukum yang mestinya
mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan bagi
nenek Minah, ternyata tak punya nurani. Realitas ini
menggambarkan bahwa hukum kita rupanya tak memberi
ampun bagi orang kecil seperti Minah[1].
Lain dengan kasus Minah, bentuk ketidakadilan yang lain
misalnya pengrusakan lingkungan dengan aktivitas
tambang. Salah satu contoh di Manggarai Barat (Flores).
Banyak rakyat menolak aktivitas tambang setelah
mempertimbangkan efek negatif yang cukup besar
ketimbang efek positif. Aktivitas tambang yang diadakan di
Manggarai dan Manggarai Barat sama sekali tidak
diketahui oleh pemerintahan setempat[2]. Demikian juga
kebijakan kapitalis dalam proses produksi yang memberi
upah yang rendah kepada kaum buruh. Pemberian upah
tidak mempertimbangkan jaminan kesejahteraan buruh.
Beberapa contoh kasus tersebut di atas adalah bentuk
pemerkosaan terhadap keadilan yang terjadi di zaman
sekarang. Perbuatan tidak adil kerap terjadi dan akan terus
terjadi. Fenomena ketidakadilan adalah sangat
bertentangan dengan asas demokrasi yang dianut oleh
negara Indonesia.

Realitas ketidakadilan sosial yang kerap terjadi di era


sekarang memotivasi saya untuk perlunya belajar dari
kitab Amos terutama Amos, 5:7-13.

1. Tentang Amos

Amos adalah seorang biasa. Pekerjaannya sebagai gembala


dan pemungut buah ara.
Amos bukanlah seorang nabi yang professional yang
terikat pada salah satu tempat peziarahan atau ibadat,
melainkan sesuai dengan pengakuannya yaitu seorang
penggembala dan pencari buah hutan[6].
Amos berkarya di Israel pada zaman pemerintahan raja
Israel Yerobeam II, kira-kira sekitar tahun 760 sebelum
masehi.
Kemungkinan Amos berkarya dalam waktu yang cukup
pendek; mungkin kurang dari setahun. Amos menangkap
panggilan Yahwe untuk mewartakan firman-Nya di
kerajaan Utara (Israel). Pada waktu itu kerajaan utara
sedang mengalami zaman keemasan, tetapi jurang yang
semakin lebar antara kelompok kaya dengan sebagian
besar rakyat jelata.
Tema besar pewartaan Amos adalah kritik atas
ketidakadilan sosial yang merajalela di Israel serta kritik
atas penindasan terhadap orang yang tidak berdaya. Dia
mewartakan akhir kerajaan utara, kesudahan telah datang
bagi umat-Ku Israel. Aku tidak akan memaafkan lagi
(Amos, 8:2).

2. Pengolahan Teks

2.1. Pembagian Teks

Untuk memudahkan penelaahan teks, saya akan membagi


teks ini dalam empat (4) bagian.

Pembagian teks
Ayat 7: Obyek pewartaan Amos (yang dituju)

Ayat 8-9: Identitas yang dikenakan kepada Yahwe

Ayat 10-12: Konkritisasi dari ayat 7.

Ayat 13: Gambaran kebijaksanaan

2.2. Tafsir

a. Ayat 7: Hai kamu yang mengubah keadilan menjadi


ipuh, dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah!
Teks ini bisa diparalelkan dengan Amos 6:12b: Sungguh,
kamu telah mengubah keadilan menjadi racun dan hasil
kebenaran menjadi ipuh! Atau dalam Yeremia 9:15: Sebab itu
beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel:
sesungguhnya, Aku akan memberi bangsa ini makan ipuh dan
minum racun. Ratapan 3:15 Ia mengenyangkan aku dengan
kepahitan, memberi aku minum ipuh.
Amos 5:7: Menggambarkan kaum bangsawan Israel yang
menjadikan keadilan atau hukum Allah suatu lelucon yang
masam (ipuh). Kebenaran, ukuran kejujuran telah
dihempaskan tak berdaya ke tanah. Hukum dimanipulasi
demi kepentingan pribadi atau kelompok. Demikian juga
kebenaran Allah diubah menjadi kebenaran yang diklaim
kelompok untuk menindas rakyat kecil demi keuntungan
kelompok.
Ayat 8-9: Dia yang telah membuat bintang kartika dan
bintang belantik, yang membuat kekelaman menjadi pagi dan
yang membuat siang gelap seperti malam; Dia yang memanggil
air laut dan mencurahkannya ke atas permukaan bumi
Tuhan itulah nama-Nya. Dia yang menimpakan kebinasaan
atas yang kuat, sehingga kebinasaan datang atas tempat yang
berkubu.
Teks (ayat 8-9) ini menarik; kesannya seperti lompatan
(mendadak) dari teks sebelumnya (ayat 7). Saya pribadi
melihat teks ini sebelum dikritisi seperti
tidak nyambung dengan ayat sebelumnya. Pada ayat 7
dibicarakan mereka yang melecehkan keadilan dan
kebenaran; tiba-tiba pada ayat 8-9 membicarakan
identitas yang dikenakan kepada Yahwe.
Dalam ayat 8-9, nampak bahwa Amos beralih dari orang-
orang yang telah melakukan perubahan yang sengit
(terhadap keadilan dan kebenaran) di atas bumi (ayat 7),
kepada pengubah Besar (Yahwe) itu sendiri (8-9). Amos
melakukan ini bukan begitu saja untuk
membandingkannya, melainkan untuk meminta
kesimpulan bahwa pemutarbalikan kebenaran oleh
manusia tidak dapat menang terhadap Allah, dan bahwa
api penghukuman yang dijanjikan (ayat 6) terhadap
penggoda akan meletus menyala dalam suatu kebinasaan
(ayat 9) yang memang Yahwe mampu
mendatangkannya[10].
Pada ayat 8-9 ada tiga gambaran yang ditampilkan oleh
Amos. Ia melukiskan bahwa Yahwe pengubah itu bekerja.
Pada ayat 9, Amos berbalik menjadi penafsirnya sendiri.
Pemerintahan-pemerintahan di jamannya itu telah
melakukan perubahan besar (ayat 7), dan rupanya tidak
ada yang menegur mereka atau menghentikan mereka.
Terhadap pembinasaan-Nya yang bernyala-nyala tidak ada
yang member perlawanan yang paling kecil pun, baik yang
kuat ataupun tempat yang berkubu. Betapa hal ini adalah
suatu penglihatan untuk iman dalam suatu waktu ketika
kefasikan merajalela, dan orang beriman terutama
menginsyafi keberdiam-diriannya sendiri yang tunadaya
(ay 13).

Ayat 10-12: Mereka yang benci kepada yang member teguran


di pintu gerbang, dan mereka keji kepada yang berkata dengan
tulus ikhlas. Sebab itu, karena kamu menginjak orang-orang
yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya,
sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu
pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah
membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum
anggurnya. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat
banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang
menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap
dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang.
` Pada ayat 10-12 Amos kembali melanjutkan ayat 7
yang intensinya adalah tuduhan terhadap Israel.
Menurut saya, tiga ayat ini merupakan penjabaran dari
ayat 7. Atau boleh dikatakan bahwa 3 (tiga) ayat ini adalah
konkritisasi dari ayat 7 yaitu gambaran ketidakadilan yang
dilakukan oleh kaum elit Israel (bangsawan) atau
pemerintah. Petani yang miskin harus membayar pajak
sehingga bangkrut dan dipaksa menjadi pelayan dalam
tempat tinggal keluarganya yang dulu atau bahkan menjadi
budak di salah satu tempat.
Pajak: dimulai sejak zaman kerajaan di Israel. Pajak
pada zaman Saul dan Daud didasarkan pada kesukarelaan
rakyat. Namun, sejak Salomo yang mengeluarkan biaya
besar untuk pembelanjaan istana dan pembangunan yang
megah, maka ia menuntut pembayaran pajak secara
teratur dengan jumlah tarif yang cukup tinggi. Hilangnya
kebebasan politik pada periode-periode sesudah Salomo
mengakibatkan adanya wajib upeti dan pajak yang
teratur[16].
Pajak sebenarnya berarti pemberian atau
pemberian wajib. Karena kamu mengambil sewa dari
(petani) yang miskin dan lemah, dan kemudian terus
menarik pemberian-pemberian dari padanya, tuan
tanah berpegang pada syarat-syarat hukum, tetapi ia
menemukan cara-cara lain (pungli) untuk membesarkan
tagihan-tagihannya! Tapi buah pengurusan harta milik
yang tidak adil tidak dinikmati lama.

.
Ayat 10-12: mengikuti suatu pola yang ketat: tuduhan
pertama (ayat 10) adalah berupa kebencian kepada teguran
yang pada tempatnya; yang kedua (ayat 11a) tuduhan
berupa ketiadaan hukum, praktek-praktek memeras. Yang
ketiga adalah penghukuman yang diancam dengan
pencabutan hak milik (ay 11b). Kini menyusul dua tuduhan
selanjutnya , yang mengimbangi kedua yang pertama:
tuduhan yang ketiga (teman tuduhan yang kedua)
berurusan dengan ketiadaan hukum dan praktek-praktek
yang memeras (ayat 12), dan tuduhan yang keempat
(dengan mengeraskan yang pertama) dengan
membungkamkan terguran yang pada tempatnya (ay
13)[18].
Kesalahan sosial (12) diserahkan lagi kepada pengadilan
surga untuk diputuskan sebagai perbuatanmu yang jahat
dan dosa (bdk 3:9-15). Suatu pembaharuan (reformasi)
moral belaka, tidaklah memadai; harus ada sesuatu
kekembalian kepada Allah. Dosa-dosa khusus adalah
pemakaian kekayaan untuk mengelakan keadilan, dan
pelaksanaan keadilan yang tak sama kepada orang kaya
dan orang miskin[19].

Dalam konteks umat Israel memperhatikan relasi segi tiga,


yaitu pelaksana hukum (rakyat), pengontrol hukum (elit
bangsawan/pemerintah) dan Yahwe. Ketidakadilan
terletak pada pelaksana tanggung jawab pengontrol
hukum. Mereka memperlakukan hukum untuk
kepentingan dan keuntungan pribadi dan kelompok
(memanipulasi hukum) bukan untuk menjaga kemurnian
relasi dengan Yahwe.

Ayat 13: Sebab itu orang yang berakal budi akan berdiam diri
pada waktu itu, karena waktu itu adalah waktu yang jahat.
Pemerintahan terror yang bengis mengakhiri
kebebasan berbicara, dan orang-orang diperintah oleh
kebijaksanaan yang berakal budi, bukan oleh kebenaran.
Orang yang tak berpengaruh tau bahwa apabila ia
membawa perkaranya kepada pengadilan (ay 12b), ia tidak
akan mendapat kepuasan, ia terpaksa berdiam diri
menghadapi kesalahan-kesalahan yang tak diperbaiki dari
orang-orang lain[21]. Tampak bahwa banyak rakyat kecil
yang bungkam akan keadilan karena adanya
ketidakpuasan dalam penanganan perkara. Di sini dituntut
ingatan kolektif untuk menyelesaikan setiap persoalan
keadilan yang diabaikan. Tidak adanya ingatan kolektif
menyebabkan hukum kehilangan martabatnya dan
keadilan semakin terpinggirkan. Maka stabilitas politik
pun akan semakin parah karena hukum diperjualbelikan,
dipermainkan demi kepentingan segelintir orang. Melihat
realitas ini Yahwe tidak bisa berdiam Diri. Ia murka dan
hendak menghukum Israel karena mengabaikan
perjanjian mereka.
C. Penutup

Demikianlah isi dari perikop 5:7-13. Realitas


sosial yang menjadi keprihatinan Amos kiranya tidak
berbeda jauh dengan realitas keprihatinan sosial sekarang.
Hukum diperjual beli untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu. Siapa yang memiliki uang akan bebas
dari hukum. Sebaliknya yang tidak memiliki uang harus
tunduk kepada hukum. Demikian juga keprihatinan yang
lain yang menurut hemat saya membutuhkan Amos-Amos
yang baru untuk berani menyuarakannya.

Aktivitas penambangan emas, batu bara,


mangan, timah dan sejenisnya terus terjadi di negara
Indonesia. Pemerintah seperti menutup mata dan telinga,
seolah tidak tahu dan tidak peduli terhadap suara rakyat.
Aktivitas tambang sebagian besar merugikan rakyat kecil
dan menguntungkan pihak investor. Kerusakan
lingkungan, kekurangan air bersih dan global
warming adalah isu yang sebenarnya menjadi
pertimbangan fundamental tetapi dijadikan nomor sekian
di atas kepentingan uang atau harta.
Sebenarnya banyak Amos yang lahir untuk
melawan ketidakadilan yang ada. Namun suara Amos tidak
mengimbangi keganasan ketamakan atau kerakusan
manusia yang pada gilirannya keadilan ditindas atau
dinodai. Semoga suara kritik Amos yang cukup tajam pada
masa lampau itu akan tetap bergema di era sekarang
sehingga mampu membangkitkan Amos-Amos baru untuk
tidak lelahnya menyuarakan kebenaran yaitu suara Yahwe
Kadang orang sering salah paham: sikap adil disamakan dengan sikap
tidak berpihak. Contoh, seorang hakim dianggap harus bersikap
netral dan tidak memihak demi keadilan. Padahal, sang hakim justru
baru bersikap adil jika ia berpihak pada nilai-nilai kebenaran
sebagai dasar dari eksistensi hukum. Jika ia hanya mementingkan
argumentasi legal mana yang kuat di tengah persidangan, keadilan
belum tentu ditegakkan. Bisa saja yang dimenangkan justru mereka
yang sanggup membayar sepasukan pengacara kelas atas. Sementara,
mereka yang hanya mengandalkan bantuan hukum pro bono (sukarela)
harus berpuas diri dengan peluang yang minim.

Demi keadilan, Allah pun berpihak. Bukan kepada Israel, tetapi kepada
mereka yang terpinggirkan di tengah masyarakat Israel yang sedang
sejahtera dan mapan. Orang-orang yang terpinggirkan, seperti
"orang lemah" (11) dan "orang miskin" (12) berada dalam posisi
tertindas. Orang Israel justru membenci orang yang bertugas
sebagai penjaga keadilan (10). Mengapa Israel berlaku begitu?
Karena mereka jahat (12-13) dan melecehkan keadilan dan kebenaran
(7). Allah, dengan kemahakuasaan-Nya, bangkit melawan mereka dan
memihak orang-orang tertindas. Allah Israel adalah pembela
orang-orang yang terpinggirkan dan diperlakukan tidak adil. Pelaku
penindasan sebenarnya sedang melawan Allah sendiri.

Sebagaimana Allah, kita pun harus berpihak, demi keadilan. Umat Allah
sejati niscaya berpihak kepada mereka yang dibela Allah. Salah
satu hal yang paling mendesak saat ini adalah memilih pemimpin
negara dan daerah yang memperhatikan orang-orang yang
terpinggirkan. Pilihlah pemimpin yang benar-benar punya hati dan
kesungguhan untuk melaksanakan program-program yang pro-rakyat,
mulai dari jaminan kesehatan, pendidikan murah dan berkualitas
bagi semua penduduk, layanan birokrasi yang singkat dan bebas
korupsi, serta banyak lagi. Jangan pilih mereka yang lebih membela
kepentingan para pemodal, yang gemar gusur sana-sini demi
"pembangunan". Allah niscaya menghukum pemimpin seperti ini.

You might also like