You are on page 1of 25

1

BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Semarang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : SD
Tanggal Masuk RS : 12-03-2016

B. IDENTITAS KELUARGA
Nama : Ny. A
Umur : 38 tahun
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Buruh
Hub. Dengan pasien : Ibu

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autonamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 12 Maret 2016 pukul 11.00 WIB di poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Dr. Adhyatma Tugurejo Semarang.

A. Keluhan Utama :
Kulit kemerahan, pecah-pecah dan bersisik pada sela jari kaki dan
telapak kaki kanan dan kiri yang semakin meluas sejak 3 bulan yang lalu.
2

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Adhyatma
Tugurejo Semarang pada tanggal 12 Maret 2016 dengan keluhan kulit
kemerahan, pecah-pecah dan bersisik pada telapak kaki kanan dan kiri yang
semakin meluas sejak 3 bulan yang lalu disertai rasa gatal. Keluhan gatal
dirasakan semakin memberat terutama saat memakai kaos kaki dan setelah
berkeringat. Pasien mengaku sering berkeringat berlebihan saat melakukan
aktivitas di luar. Pasien sehari-hari bermain di pasir dan tanah. Karena merasa
gatal pasien sering menggaruk-garuk bagian tubuhnya dan mengganggu
aktivitas pasien.
Kisaran 3 bulan lalu, pasien mengeluhkan timbul bercak kemerahan di
ujung dan sela jari kedua kaki. Bercak tersebut kering dan gatal. Bercak
tersebut semakin lama semakin meluas dan kulit kaki menjadi bersisik dan
pecah-pecah. Pasien mengaku sering menggaruk bercak tersebut.
Pasien sehari-hari menggunakan sandal berbahan kulit atau karet,
tetapi tidak pernah mengalami gatal. Gatal juga tidak timbul waktu pasien
makan-makanan tertentu sperti ikan laut. Pasien juga menyangkal memiliki
alergi terhadap detergen atau sabun tertentu.
Karena keluhan pecah-pecah dan gatal bertambah berat, pasien
memutuskan untuk berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr.
Adhyatma Tugurejo Semarang.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat asma, bersin-bersin pagi hari : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal

D. Riwayat Keluarga :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat asma, bersin-bersin pagi hari : disangkal
3

Riwayat diabetes mellitus : disangkal


Riwayat hipertensi : disangkal

E. Riwayat Higienitas :
Pasien biasa mandi 2x sehari. Pasien mengaku tidak mengeringkan tangan
dan kaki setelah mandi. Pasien juga mengaku sering kontak dengan air untuk
mencuci kaki dan tangannya setelah bermain seharian di pasir atau tanah dan
jarang mengeringkannya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 Maret 2016 pukul 11.00 WIB
STATUS GENERALIS
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4, V5, M6)
c. Vital sign : TD : 110/80 mmHg
N : 92 x/menit
R : 22 x/menit
S : 36,60C
d. Tinggi badan : 125 cm
e. Berat badan : 30 kg
f. Status gizi : Kesan gizi cukup
g. Kulit
Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Ptekie : ada
h. Kepala : bentuk normocepal, rambut warna hitam, lebat, distribusi
merata, tidak mudah dicabut.
i. Mata : CA -/-, SI -/-, Rc (+/+)
j. Telinga : Bentuk normal, simetris, inflamasi (-), sekret minimal.
k. Hidung : Simetris, PCH (-), sekret (-)
l. Mulut : Bentuk normal, mukosa tidak hiperemis
4

m. Lidah : Tidak pucat, tidak kotor, warna merah muda


n. Tonsil : Tidak ada pembesaran
o. Faring : Tidak hiperemis
p. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
q. Thorak
Paru-paru : Inspeksi : Bentuk : Simetris
Retraksi : Tidak ada
Gerakan napas : Simetris
Palpasi : Ekspansi napas : Simetris
Fremitus taktil : simetris
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Batas paru-hepar : ICS 5 linea
midclavicula dextra
Peranjakan hepar : ICS 6 linea
midclavicula dextra
Auskultasi : Vesikuler kanan = kiri, Rh -/-, Wh -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistra
Palpasi : Nyeri tekan (-), Thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kanan: ICS 4 linea midclavicula dextra.
Batas jantung kiri: ICS 5 linea midclavicula sinistra.
Batas pinggang jantung: ICS 3 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
r. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : Datar
Umbilicus : Ditengah, inflamasi (-)
Massa (-),
Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut
Hepar : 1 jari bawah arcus costa
Lien : tidak ada pembesaran
Palpasi : Nyeri tekan (-), distensi (-), masa tidak teraba,
5

Hepar : teraba 1 jari di bawah arcus costa,


Lien : tidak ada pembesaran,
Ginjal : tidak teraba.
s. Ekstremitas
Akral : hangat
CRT : < 2 dtk
Sianosis : tidak ada
Edema : (-/-)

STATUS DERMATOLOGI
Distribusi : Regional
Ad Regio : Cruralis anterior, calcanea, dan plantaris pedis dektra et
sinistra.
Lesi : Bentuk tidak beraturan, polisilik, batas tegas, berukuran
numular-plakat, tepi lesi tampak lebih aktif dan meninggi,
central healing, lesi kering, diameter > 2 cm.
Efloresensi : Makula hiperpigmentasi dan makula eritema, bentuk tidak
beraturan sebagian terdapat erosi, krusta, pada permuakan
sebagian lesi terdapat skuama kasar, berwarna putih.
6

IV. RESUME
An. S, 8 tahun, datang dengan keluhan kulit kemerahan, pecah-pecah,
dan bersisik pada telapak kaki kanan dan kiri yang semakin meluas sejak 3
bulan yang lalu disertai rasa gatal. Keluhan gatal dirasakan semakin
memberat terutama saat memakai kaos kaki dan setelah berkeringat. Pasien
mengaku sering berkeringat berlebihan saat melakukan aktivitas di luar.
Pasien sehari-hari bermain di pasir dan tanah. Karena merasa gatal pasien
sering menggaruk-garuk bagian tubuhnya dan mengganggu aktivitas pasien.
Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan, awalnya, kisaran 3
bulan lalu, pasien mengeluhkan timbul bercak kemerahan di telapak kaki.
7

Bercak tersebut kering dan gatal. Bercak tersebut semakin lama semakin
meluas dan kulit kaki menjadi bersisik dan pecah-pecah. Pasien mengaku
sering menggaruk bercak tersebut. Karena keluhan pecah-pecah dan gatal
bertambah berat, pasien memutuskan untuk berobat ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUD Dr. Adhyatma Tugurejo Semarang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas
normal. Untuk pemeriksaan dermatologi pada regio Cruralis anterior,
calcanea, dan plantaris pedis dektra et sinistra didapatkan Makula
hiperpigmentasi dan makula eritema, bentuk tidak beraturan sebagian
terdapat erosi, krusta, pada permuakan sebagian lesi terdapat skuama kasar,
berwarna putih. Lesi kering, central healing, batas tegas, diameter > 2 cm.

V. DIAGNOSIS BANDING
- Dermatitis kontak
- Psoriasis
- Kandidiasis

VI. USULAN PEMERIKSAAN


- Preparat Langsung Kerokan Kulit. Px. Kalium hidroksida (KOH)
- Pemeriksaan kultur jamur dalam media agar Saboraud
- Pemeriksaan histopatologi.

VII. DIAGNOSIS KERJA


- Tinea Pedis dektra et sinistra

VIII. PENATALAKSANAAN
Umum:
1. Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyebab penyakitnya
adalah jamur yang dapat menular, pengobatannya memerlukan waktu
yang cukup alama, sekitar 3-4 minggu, serta menasehati pasien untuk
tidak menggaruk bercak karena akan menyebabkan bercak semakin luas.
8

2. Menyarankan kepada pasien untuk mengkonsumsi obat secara teratur


dan tidak menghentikan pengobatan tanpa seizin dokter.
3. Menyarankan kepada pasien untuk mengeringkan tangan dan kaki yang
basah setelah mencuci.
Khusus
a. Sistemik :
Antijamur: Itrakonazol 2 x 100 mg (diberikan selama 1 minggu)
Antihistamin : Cetirizine 2 x 5 mg
b. Topikal
Antijamur : Ketokonazol Cream 2 kali sehari
Asam Salisilat 2%

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad sanasionam : ad malam
Quo ad kosmetikum : ad bonam
9

BAB II
PEMBAHASAN

A. TINEA PEDIS
I. Sinonim
Tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2)
II. Definisi
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau
stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai
sela jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis
dianggap sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki
karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab
mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela
jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena.
Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak
menggunakan sepatu.
III. Epidemiologi
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling
sering terjadi. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan
dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti
pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.(3)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa (30-50%), daripada anak
remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak.
Prevalensi keseluruhan dalam masyarakat dan mencakup semua kelompok usia
namun dari survei menunjukkan bahwa diperkirakan 10% dari jumlah penduduk
di banyak negara menderita penyakit ini. Laki-laki dewasa memiliki risiko 20 %
terkena tinea pedis, sementara di kalangan perempuan hanya 5% cenderung
menjadi infeksi kronis(4,5,6)
10

IV. Etiologi
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum
(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum.(2) T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang
hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki;
T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang
sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi
diatas.(4)
V. Patogenesis
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi
jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu
dan kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan
sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora
harus tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat
daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma
dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru
muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk
kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan
pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat
tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh. (3)
VI. Gejala Klinis
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
1. Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara
jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini
dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat disertai
11

infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan


limfadenitis.(1,7)

Gambar 6.1. Tinea pedis tipe interdigitalis

2. Moccasin foot (plantar)

Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit
menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada
bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang
vesikel. Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten terhadap
pengobatan.(1,8)

Gambar 6.2. Tinea pedis tipe Moccasin foot (plantar)


12

3. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan
kadang-kadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada
daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki.
Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran
yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat hebat.
Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan
kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati pada atap
vesikel.(1,8)

Gambar 6.3. Tinea pedis tipe vesikobulosa; vesikel yang meluas

4. Tipe Ulseratif

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke


dermis akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada
sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien
diabetes. (2,3)

Gambar 6.4. Tinea pedis tipe ulseratif.


13

VII. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan secara klinikal dan
berdasarkan examinasi dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan
biasanya dengan cara kulit dikerok untuk preparat KOH, biopsi skin, atau kulture
dari daerah yang terinfeksi. (7)
1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) 10-20%).
Pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat
menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan
jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit
dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik
kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20 menit
untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis tipe
vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(3,9,10)

Gamabar 7.1. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)


2. Kultur
Kutur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan
menentukan spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan
klinis pada media buatan. Kultur dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan
pada medium SDA(sabourauds dextrose agar), pH asam dari 5,6 untuk
media ini menghambat banyak spesies bakteri dan dapat dibuat lebih selektif
dengan penambahan suplemen kloramfenikol. Pemeriksaan ini dapat selesai
2-4 minggu. Dermatophyte test medium (DTM) digunakan untuk isolasi
14

selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah pilihan lain diagnostik,


yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye ke merah untuk
menandakan kehadiran dermatofit. (5)

Gamabar 7.2. Trichophyton rubrum; koloni Downy

3. Pemeriksaan histopatologi,
Karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya akantosis,
hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik pada
dermis). (3,10)

Gambar 7.3. Histopatologi dari tinea pedis, hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis.
4. Pemeriksaan lampu Wood
Pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena banyak
dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di
15

daerah tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang


terinfeksi.(15)

VIII. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa :
a. Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa yaitu double
conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan
bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa.
Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. (3)
b. Kultur ditemukan dermatofit. (3)

IX. Diagnosis Banding


Diagnosis banding klinis dari erupsi cutaneus kaki seperti kontak
dermatitis, psoriasis, dihydrosis, eczema, dermatitis atopic, keratoderma, liken
planus dan beberapa infeki bacterial seperti C.minutissimum, streptococcal
cellulitis dan lain-lain yang umumnya susah dibedakan dengan tinea pedis.(5,6)
1. Dermatitis kontak
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya
tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya
pada bagian yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan
sebagainya. Adanya riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur
pada kultur tetapi hanya tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan
memberikan tes tempel positif, sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1)

Gambar 9.1. Dermatitis Kontak


16

2. Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas
jelas; psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis
terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(1)

A B
Gambar 9.2. A. Psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif. B. menunjukkan
hiperkeratotik psoriasis yang simetri.
3. Kandidiasis
Biasanya terdapat skuama yang berwarna putih pada sela jari ke 4 dan ke
5, lesinya dikelilingi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau
bula yang apabila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggiran
kasar.
X. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan
tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (2)
Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal
rubrum difus, eritema dan topikal disertai
retakan pada dengan obat-
Epidermophyton permukaan telapak obatan keratolitik
floccosum kaki; pada asam salisilat,
Scytalidium umumnya sifatnya urea dan asam
hyalinum kronik dan sulit laktat untuk
disembuhkan; mengurangi
S. dimidiatum berhubungan hiperkeratosis;
17

dengan defisiensi dapat juga


Cell Mediated ditambahkan
Immunity (CMI) dengan obat-
obatan oral
Interdigital T. mentagrophytes Tipe yang paling Obat-obatan
sering; eritema, topikal; bisa juga
(var. interdigitale) krusta dan maserasi menggunakan
T. rubrum yang terjadi pada obat-obatan oral
sela-sela jari kaki, dan pemberian
E. floccosum antibiotik jika
S. hyalinum terdapat infeksi
bakteri; kronik :
S. dimidiatum
ammonium
Candida spp. klorida
hexahidrate 20 %
Inflamasi T. mentagrophytes Vesikel dan bula Obat-obatan
Vesikobulosa pada pertengahan topikal biasanya
(var. kaki; berhubungan cukup pada fase
mentagrophytes) dengan reaksi akut, namun
dermatofit apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan
daerah interdigital; topikal; antibiotik
T. Ulserasi dan erosi; digunakan
mentagrophytes biasanya terdapat apabila terdapat
E. floccosum infeksi sekunder infeksi sekunder
oleh bakteri;
biasanya terdapat
pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes

A. Antifungal Topikal
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang
terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya
terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau
komponen yang lain. (2)
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok
pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan
kandida.(10)
18

- Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat


pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan
diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi
rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.
- Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan
Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel
yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan
selama 2-4 minggu.
- Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat
yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada
kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah intertriginosa.
Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3
kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh
jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan
hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam
salisilat 10 %.(9,10)
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam
berbagai jenis jamur.
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis
dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang
dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang
terjadi. (10,11)
d. Alilamin Topikal.
Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada tinea pedis
yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)
- Terbinafine (Lamisil), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4
minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1%
19

memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam mengobati


tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman. (11)
e. Antijamur Topikal Lainnya. (10,11)
- Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam
salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal
sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik
sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat
hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan
tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi
ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang
menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.
- Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat
memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep
campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng undesilenat.
- Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk
kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol.
Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

B. Antifungal Sistemik
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal
dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain:
1. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang
dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan
imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak
residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam
klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup
baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu
20

setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai,


yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 %
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus
yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif
dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole
yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin
dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole
Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai
pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan
lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat
pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan
dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela
membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput
lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan
terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia).
Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. (1,11,14)
4. Terbinafin
Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan
konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa
gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan
21

hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan
bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1) Terbinafin baik digunakan pada pasien
tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata
ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin. (12,13)

XI. Pencegahan
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik,
sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci
dengan benzoil peroksidase. (3,14)

XII. Komplikasi
1. Selulitis
Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan
selulitis. Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis
merupakan infeksi bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat
dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma,
ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit
akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi
menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti -hemolytic
streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus
pneumoniae, dan basil gram negatif. Apabila telah terjadi selulitis maka
diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik
seperti demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik secara intravena.
Antibiotik yang dapat digunakan berupa ampisillin, golongan beta laktam
ataupun golongan kuinolon. (3,14)
22

2. Tinea Ungium
Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan
biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T.
rubrum merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak
menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari
infeksi jamur tersebut. (14)
3. Dermatofid
Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu penyakit
imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat
menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris
dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari
infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi
(14,15)
antifungal. Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema
kronik, imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa
perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.(3,14)

XIII. Prognosis
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa
minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun
kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun
dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka
pasien dapat terkena reinfeksi.(2,3)
23

BAB III
KESIMPULAN

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai


sela jari dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia
dewasa dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat
pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah
tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Jamur
penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.

Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis,


moccasion foot, lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan
ditemukan adanya hifa double counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis
banding dapat berupa dermatitis kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis
pada kaki. Penatalaksanaan disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan
dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi
sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap
reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap dalam keadaan kering dan
bersih, hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama.
24

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.


5thedition. Jakarta; Fk-UI,2007;p 93
nd
2. Bolognia JL, Jorizzo L, Rapini RP. Dermatology. Tinea Pedis. 2 ed. British
Library; 2008. p19-21
3. Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Tinea Pedis. 7th edition.2. New York; McGraw-Hill Medicine 2008;
709-712
4. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Dermatology. Tinea Pedis. Thieme Clinical
Companions, 2006;p109-110
5. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Asian journal of medical
science. Tinea Pedis, 2011; p134- 135
6. Berth-jones J. Rooks Textbook of Dermatology. Mycology. 8th edition.1.
Cambridge; Wiley-Balckwell, 2010;p 36.30-36.32
7. Claire J. Carlo, MD, Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea
Pedis(athelete foot) available at
http://www.bhchp.org/BHCHP%20Manual/pdf_files/Part1_PDF/TineaPedis.p
df
8. Habif TP. Clinical Dermatology : a color guide to diagnosis and therapy.
4 th ed. London: Mosby; 2004 p409-416
9. James D William, Berger G Timothy, Elston M Dirk. Andrews disease of the
skin; Diseases resulting from fungi and yeast . 10th edition. Canada; Saunders
Elsevier, 2008;p 303-305
10. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea
infections. Am Fam Physic 2002;65:2095-102
11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna
FD, Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UI; 2005. p. 571-84.

12. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with
terbinafine: a double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol
1990;23:804-7
25

13. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I. Oral
treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002 Apr 22
[cited 2013 september 18]; Available from: URL:
http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html
14. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for
the practicing allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy
2004;2:5.

15. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common tinea
infections. [Online]. 2000 July [cited 2013 September 18]; Available
from: URL: http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html

You might also like