You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (GAGAL GINJAL KRONIK)


A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001;
1448).
Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-
gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Gagal ginjal kronis biasanya
akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal
adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan
berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila
konsentrasi ureum plasma meningkat.

B. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
irreversible dari berbagai penyebab. Sebab-sebab gagal ginjal kronik yang sering
ditemukan dapat dibagi menjadi delapan kelas.
Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik
a. Infeksi : Pielonefritis kronik
b. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
c. Penyakit vascular hipertensi : Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteria renalis
d. Gangguan jaringan penyambung : Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongerital dan hereditas : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal.
f. Penyakit metabolic : Diabetes militus, gout, hiperpara tiroidisme, amiloidosis.
g. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale
h. Nefropati obstruktif : Saluran kemih bagian atas kalkuli , neoplasma,
fibrosisretroperitoneal.
i. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostate, struktur urea, anomaly kongetal
pada lehar kandung kemih dan uretra.

C. PATOFISIOLOGI
Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan
gangguan fungsi pada gagal ginjal kronik. Sudut pandang tradisional mengatakan bahwa
semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stdium yang berbeda-beda, dan
bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-
benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi organikpada medulla akan merusak
susunan asotomik pada lengkung Henle dan Vasa rekta, pompa klorida pada pars asendens
lengkung Henle dan aliran balik penukar. Pendekatan kedua dikerjakan dengan nama
hipotesis bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron
serang penyakit, maka seluruh unitnya akan hancur namun sisa nefron yang masih utuh
tetap bekerja normal. Uremia akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang
sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis
nefron ynag utuh sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada
penyakit gagal ginjal kronik, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air
dan elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Untuk peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal kronik dapat diuraikan dari segi
hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus berlanjut, namun
jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis
tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah
menurun secara progresif.
Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respons terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. terjadi peningkatan kecepatan
filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFr untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau
sekitar 75% massa nefron hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban untuk terlarut bagi
setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus atau
kesimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak
akan lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah
keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR ( yang berarti makin
sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan berat
jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm ( yaitu sama dengan konsentrasi plasma)
dan merupakan penyebab gejala poliuria dan rekturia. Sebagai contoh, seseorang dengan
makanan normal mengekskresi zat terlarut sekitar 600 mOsm per hari. Kalu orang tersebut
tidak dapat lagi memekatkan urinenya dari osmolalitas plasma normal sebesar 285 mOsm,
maka tanpa memandang banyaknya asupan air akan terdapat kehilangan obligatorik 2 liter
air untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respons terhadap
beban zat terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat
memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrsi plasma dan dengan demikian hanya akan
mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai akhirnya mencapai
nol, maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat terlarut secara tepat untuk
mampu mengkomodasikan penurunan fleksibilitas fungsi ginjal.
Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan eksperimental. Bricker
dan Fine (1969) memperlihatkan bahwa pasien pielonitritis dan anjing- anjing yang
ginjalnya rusak pada percobaan, nefron yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi
dan menjadi lebih aktif dari keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal
seorang yang normal dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan
fungsi ginjal ini mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu
secara bersama-sama.
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat akan bertindak
sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal kronik. Hal ini mendukung hipotesis
nefron yang utuh. Data eksperimental memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya
jumlah beban zat terlarut secara progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam
keadaan kekurangan air atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air
yang banyak akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati berat jenis 1,010
sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285 mosm sehingga terjadi berat
jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut iatas ditimbulkan pada seorang normal dengan
memberikan manitol (suatu diuretic osmotik). Dalam keadaan ini setiap nefron yang
normal mengalami diuresis osmotik disertai kehilangan air obligatorik. Ginjal kehilangan
fleksibilitas untuk memekatkan maupun mengencerkan urine dari osmolalitas plasma
sebesar 285 mOsm.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif, bahkan bial
faktor pencetus cedera disingkirkan. Sebagai conto, pada anak-anak dengan pielonefritis
kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral dan infeksi traktus urinarius yang
berulang akan timbul jaringan parut pielonefritis yang menyerang tubulus dan
interstisium, namun, bila refluks tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi ginjal
dihentikan dengan antibiotik, gagal ginjal kronik tetap akan berlanjut. Observasi ini telah
memulai upaya penelitian utama baru-baru ini untuk mempelajari alasan perkembangan
penyakit ginjal dan cara untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal kronik tampa penyakit
primer yang aktif adalah Hipotesis hiperfiltrasi. Menurut hiperfiltrasi tersebut, nefron
yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan aliran plasma dan GFr serta
kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus (misalnya, tekanan kapiler
glomerulus). Walaupun kenaikan SNGFR dapat menyesuaikan diri dengan lari jangka
pendek, namun tidak dapat menyesuaikan dengan lari jangka panjang.
Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari model sisa
ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga dari ginjal yang lain
rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal ginjal stadium akhir dalam
waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit ginjal primer. Tikus itu mengalami
proteinuria, dan biopsi ginjal pada sisa glomerulus memperlihatkan glomerulosklerosis
yang menyerupai lesi pada banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi
ginjal dan gagal ginjal kronik berdasarkan pada perubahan fungsi dari struktur yang
timbul ketika jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan hipertensi
sistemik dan peningkatan SNGFR pada sisa nefron yang utuh. Peningkatan SNGFR
sebagian besar dicapai melalui dilatasi ateriol aferen. Pada saat yang bersamaan, arteriol
eferen berkontraksi karena pelepasan angiotensin II local. Sebagai akibatnya, aliran
plasma ginjal meningkat, karena sebagian besar tekanan sistemik dipindahkan ke
glomerulus.
Kompensasi fungsional ini berkaitan dengan perubahan structural yang bermakna.
Volume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel visera,
dan mengakibatkan penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar.
Diyakini bahwa kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan perubahan
yang signifikan yang menyebabkan cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak
nefron dengan progresif. Penurunan densitas epiter visera menyebabkan penyatuan
pedikulus dan hilangnya selektif terukur sehingga akan meningkatkan protein yang hilang
dalam urine. Peningkatan permeabilitas dan hipertensi intraglomerulus juga membantu
akumulasi dari protein besar (misalnya, immunoglobulin M (IgM) dalam subendotelial.
Subendotelial ini menumpuk bersama prolefirasi matriks mesangial yang pada akhirnya
menyebabkan penyempitan lumen kapiler akibat tertekan. Cedera sekunder lainya adalah
pembentukan mikroaneurisma akibat disfungsi sel endotel. Akibat keseluruhan adalah
kolapsnya kapiler glomerulus dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan
protenuria dan gagal ginjal kronik. Selain itu, rangkaian ini menyebabkan timbale balik
positif dari lengkung henle dengan percepatan proses yang destruktif, sehingga semakin
sedikit sisa nefron yang utuh. Perubahan struktur dan fungsional akan menyebabkan
cedera sekunder pada glomerulus.

D. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin
aldosteron)
gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia,
mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak
mampu berkonsentrasi).
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai
dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
a. Gangguan pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat
toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh
bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping
itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya.
Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan
kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
b. Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal
akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.
c. Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila
terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu
Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang
disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal
Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat
pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik
mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
d. Sistem Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg
syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa
kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan
kesadaran atau koma.
e. Sistem Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya
hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau
sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang
sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan
elektrolit.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal
Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore.
Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik
vitamin D.
g. Gangguan lain
Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan
asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia,
hiperforfatemi, hipokalsemia.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urine
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak
keluar (anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
Klirens keratin : Mungkin agak menurun
Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
b. Darah
BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari
78 g/dL
SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan Natrium atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan EKG
mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
Magnesium/ Fosfat : Meningkat
Kalsium : Menurun.
Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
KUB fota : Menunujukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan adanya
obstruksi (batu)
Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular
massa.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam
ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dn Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi, klasifikasi. (Rencana Askep, Marilyn E Doenges dkk)

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin. Adapun penatalaksaannya sebagai berikut :
Tentukan dan tatalaksana penyebabnya
Diet tinggi kalori dan rendah protein
Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia
dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari
masukan berlebihan dari kalium dan garam.
Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena juga harus sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari)
atau diuretic 100p (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan
cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau
natrium bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine, dan
pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml).
Kontrol hipertensi
Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal kiri pada pasien
hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri
tanpa tergantung tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat anti
hipertensi.
Kontrol ketidaksemibangan elektrolit
Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah
hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari),
diuretik hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan eksresi kalium
(misalnya penghambat ACE dan obat anti inflamasi non steroid), asidosis berat, atau
kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam
kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG.
Gejala-gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter
biasanya terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki
secara spontan dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.
Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti alumunium
hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000mg) pada setiap makan.
Namun hati-hati dengan toksisitas obat tertentu. Diberikan supplemen vitamin D dan
dilakukan paratiroidektomi atas indikasi.
Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imuosupresif dan diterapi lebih ketat.
Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan
dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesic opiat,
amfoterisin dan alupurinol. Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan
ureum darah, misalnya tetrasiklin, kortikosteroid dan sitostatik.
Deteksi dan terapi komplikasi
Awasi denagn ketat kemungkinan ensefelopati uremia, perikarditis, neurepati perifer,
hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang
mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.
Persiapan dialysis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis
biasanya adalah gagal ginjal dengan klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi
konservatif atau terjadi komplikasi.

G. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit
sampai tidak BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan
gatal pada kulit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas,
kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau anomia, dan perubahan
pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk
mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatan apa.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat-obatan nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia dan
prostaktektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluraan kemih, infeksi system
perkemihan yang berulang, penyakit DM, dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi presdiposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai
riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adannya riwayat alergi terhadap jenis
obat kemudiaan dokumentasikan.
4. Riwayat Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan, gangguan konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji adanya riwayat penyakit keturunan dikeluarganya supaya dapat mengetahui
ada anggota dikeluarganya yang mengalami penyakit yang sama. Untuk
mempermudah tindakan perawatan selanjutnya.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan sistem tubuh secara keseluruhan dengan
menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultrasi. Klien dengan CKD
kemungkinan didapat data sebagai berikut :
1. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
2. Tanda-tanda vital
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.

3. Antropometri
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasienmterlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
2. Pola nutrisi dan metabolic
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
3. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
4. Aktifitas dan latihan
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
5. Pola istirahat dan tidur
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
6. Pola persepsi dan koknitif
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
7. Pola hubungan dengan orang lain
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
8. Pola persepsi diri
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
9. Pola mekanisme koping
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
10. Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan
perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti
biasanya.

H. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi
melalui alkalosis respiratorik
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan serta natrium.
3. Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
dan muntah, pembatasan diet perubahan membran mukosa mulut.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
5. Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelelahan, tirah baring, kelemahan umum,
anemia dan retensi produk sampah
I. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan pola nafas NOC Airway Management:
berhubungan dengan hiperventilasi Respiratory status : Ventilation Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
sekunder: kompensasi melalui Respiratory status : Airway patency Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
alkalosis respiratorik Vital sign Status
napas buatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan Lakukan fisioterapi dada bila perlu


selama. Pasien menunjukan keefektifan Keluarkan secret dengan batuk atau suction
pola napas, dibuktikan dengan :
Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan

Kriteria Hasil : Monitor respirasi dan status O2


Mendemonstrasikan batuk efektif Oxygen Theraphy:
dan suara nafas yang bersih, tidak Pertahankan jalan napas yang paten
ada sianosis dan dyspneu (mampu Atur peralatan oksigenasi
mengeluarkan sputum, mampu
Monitor aliran oksigen
bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips) Pertahankan posisi pasien
Menunjukkan jalan nafas yang Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
paten (klien tidak merasa tercekik,
Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
irama nafas, frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, tidak ada Vital Sign Monitoring :
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang Catat adanya fluktuasi tekanan darah
normal (tekanan darah, nadi, Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk, atau
pernafasan)
berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Monitor TD, nadi, dan RR sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan kelembapan kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign.

2 Kelebihan volume cairan NOC : Fluid management


berhubungan dengan penurunan Electrolit and acid base balance Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
haluaran urine, diet berlebihan dan Fluid balance Pasang urin kateter jika diperlukan
retensi cairan serta natrium. Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan
Kriteria Hasil: (BUN , Hmt , osmolalitas urin )
Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP,
Terbebas dari edema, efusi, anaskara
dan PCWP
Bunyi nafas bersih, tidak ada
Monitor vital sign
dyspneu/ortopneu Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles,
Terbebas dari distensi vena jugularis, CVP , edema, distensi vena leher, asites)
reflek hepatojugular (+) Kaji lokasi dan luas edema
Memelihara tekanan vena sentral, Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake
tekanan kapiler paru, output jantung dan kalori harian
vital sign dalam batas normal Monitor status nutrisi
Berikan diuretik sesuai interuksi
Terbebas dari kelelahan, kecemasan
Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi
atau kebingungan
dilusi dengan serum Na < 130 mEq/l
Menjelaskanindikator kelebihan Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
cairan memburuk
Fluid Monitoring
Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
eliminaSi
Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan (Hipertermia, terapi diuretik,
kelainan renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati,
dll )
Monitor serum dan elektrolit urine
Monitor serum dan osmilalitas urine
Monitor BP, HR, dan RR
Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama
jantung
Monitor parameter hemodinamik infasif
Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB
Monitor tanda dan gejala dari odema

3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang NOC : Manajemen Nutrisi :


Kaji penyebab mual dan muntah
dari kebutuhan tubuh b/d Nutritional status : food and fluid intake ,
Berikan perawatan mulut sebelum makan
ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient intake. Ajarkan agar makan pada posisi tegak
makanan Weight control Anjurkan untuk menyajikan makanan dalam keadaan
Kriteria Hasil : hangat
Berikan klien makanan dalam porsi kecil tapi sering
Adanya penigkatan BB
Timbang BB tiap hari
BB ideal sesuai dengan TB
Mampu mengidentifikasi kebutuhan
nutrisi Kolaborasi untuk memilih makanan yang dapat
Tidak ada tanda-tanda malnutrisi memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
Menunjukan peningkatan fungsi Kolaborasi dalam pemberian vitamin dan anti emetic
pengecapan dari menelan
Tidak terjadi penurunan berat badan
yang berarti
4. Kerusakan integritas kulit NOC : Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor,
Integritas kulit dapat terjaga dengan
berhubungan dengan pruritis vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
kriteria hasil :
Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran
Mempertahankan kulit utuh
Menunjukan perilaku / teknik untuk mukosa
mencegah kerusakan kulit Inspeksi area tergantung terhadap oedem
Ubah posisi sesering mungkin
Berikan perawatan kulit Pertahankan linen kering
Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan
dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
Anjurkan memakai pakaian katun longgar
5. Intoleran aktifitas berhubungan NOC : Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
dengan kelelahan, tirah baring, Setelah dilakukan tindakan keperawatan mampu dilakukan.
kelemahan umum, anemia dan retensi selama 2x24 jam diharapkan klien dapat Bantu klien memenuhi aktivitasnya mampu dengan
produk sampah melakukan aktivitas seperti biasanya tingkat keterbatasan klien.
dengan indicator : Berikan penjelasan tentang hal-hal yang dapat
1. Mampu melakukan aktivitas sehari- membantu meningkatkan kekuatan fisik klien.
hari (ADLs) secara mandiri. Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL klien
2. Mampu berpindah : dengan atau tanpa (Makan, Minum, mandi, berpakaian)
bantuan orang lain. Jelaskan pada keluarga dan klien tentang pentingnya
bedrest ditempat tidur.
infeksi vaskuler zat toksik Obstruksi saluran kemih

reaksi arteriosklerosis tertimbun ginjal Retensi urin batu besar dan iritasi / cidera
antigen kasar jaringan
antibodi suplai darah ginjal turun
menekan saraf hematuria
perifer
anemia
nyeri pinggang
GFR turun

GGK

sekresi protein terganggu retensi Na sekresi eritropoitis turun

J. PENYIMPANGAN KDM
sindrom uremia urokrom total CES resiko Perubahan kimiawi produksi Hb turun
tertimbun di kulit naik jatuh tubuh (Restless leg)
perpospatemia gang. tek. kapiler oksihemoglobin turun
keseimbangan perubahan warna naik
pruritis gangguan intoleransi
asam - basa kulit vol. interstisial suplai O2 kasar turun
perfusi jaringan aktivitas
naik
gang. prod. asam
naik edema payah jantung bendungan atrium kiri
integritas kulit as. lambung naik
(kelebihan volume kiri naik
cairan)
nausea, vomitus iritasi lambung preload naik COP turun
tek. vena pulmonalis
resiko gangguan infeksi perdarahan beban jantung naik aliran darah ginjal suplai O2 suplai O2 ke
nutrisi turun jaringan otak turun kapiler paru naik
gastritis
- hipertrofi ventrikel kiri turun
hematemesis RAA turun metab. syncope edema paru
mual,
- melena anaerob (kehilangan
muntah retensi Na & H2O timb. as.
anemia kesadaran) Ketidakefektifan pola
naik laktat naik
nafas
kelebihan vol. - fatigue intoleransi aktivitas
cairan - nyeri sendi
K. DAFTAR PUSTAKA
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

You might also like