You are on page 1of 19

A.

konsep Dasar Medis


1. Definisi
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-
271).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh
masa karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca
Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
(Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal 91).
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di
bagi menjadi 3 gradasi :
a. Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
c. Cedera kepala berat (CKB) = GCS 8
2. Anatomi Fisiologi
a. Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1) Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang
bersifat liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
2) Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna
putih karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang
memproduksi cairan serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi
CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat trauma, aneurisma,
stroke).
3) Piamater : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan
yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
b. Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:
1) Lobus frontal : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
2) Lobus parietal : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi,
mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
3) Lobus temporal : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka
pendek.
4) Lobus oksipital : menginterpretasikan penglihatan.
c. Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.
1) Talamus : Pusat penyambung sensasi bau dan nyeri.
2) Hipotalamus : Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan
suhu tubuh. Sebagai pusat lapar dan mengontrol BB, pengatur tidur,
tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon emosional.
3) Kelenjar hipofisis : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah
hormon dan fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus anterior
memproduksi hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH.
Lobus posterior berisi hormon ADH.
d. Batang otak, terdiri dari otak tengah, pons, medula oblongata.
1) Otak tengah/mesencephalon, bagian yang menghubungkan diencephalon
dan pons. Fungsi utama menghantarkan impuls ke pusat otak yang
berhubungan dengan pergerakan otot, penglihatan dan pendengaran.
2) Pons: Menghantarkan impuls ke pusat otak.
3) Medula oblongata, merupakan pusat refleks guna mengontrol fungsi
involunter seperti pernafasan, bersin, menelan, batuk, pengeluaran saliva,
muntah.
e. Serebrum: merangsang dan menghambat dan tanggung jawab terhadap
koordinasi gerak, keseimbangan, posisi.
Sirkulasi Serebral
Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini
sangat dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan, sementara
mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
1) Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat
kita raba dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula,
sepasang pembuluh darah ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan
bercabang menjadi tiga :
Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior)

Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut


arteri komunikan posterior.

2) Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak


dapat diraba oleh karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian
samping tulang leher, pembuluh darah ini memperdarahi batang otak dan
kedua otak kecil, kedua pembuluh darah tersebut akan saling berhubungan
pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut anastomosis.
Suplay darah ke Medula Spinalis : Menerima nutrisi melalui cabang-
cabang arteri vetebralis melalui cabang aorta thorakalis dan aorta
abdominalis. Arteri medula spinalis dan sistem vena berjalan secara paralel
satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan percabangan yang luas
untuk mencukupi suplay darah ke jaringan-jaringan. Dibentuk oleh pleksus
koroideus, dan bersirkulasi dalam ventrikel-ventrikel dan ruang
subaraknoid. CSF terdiri dari air, elektrolit, oksigen, karbondioksida,
glukosa dan sedikit protein, serta konsentrasi kalium dan klorida yg tinggi.
Produksi dan reabsorbsi CSF berlangsung konstan serta volume total CSF
sekitar 125 cc dengan kecepatan sekresi CSF perhari 500 750 cc.
Tekanan dalam cairan CSF sekitar 5 sampai 12 cm H2O.
3. Etiologi
Sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan
cedera oleh raga.
Cedera kepala terbuka sering disebabkan akibat benda tajam dan tembakan
sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang dan laserasi dura mater.
Macam-macam Pendarahan pada Otak :
a. Intraserebral hematoma (ICH)
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-
kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah
hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3
cm, perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma
tersebut dapat menyebabkan ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang
dilakukan biasanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang
kepala.
b. Subdural hematoma (SDH)
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan
jaringan otak, dapat terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh
darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara dura mater,
perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural hematoma adalah
hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical,
sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka
subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut
terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi
antara 3 hari 3 minggu dan subdural hematoma kronis jika perdarahan
terjadi lebih dari 3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yanag paling sering berupa
hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran
hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada
perdarahan subdural adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat
pergesaran garis tengah labih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah
evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema
serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan
sugalea. Prognosis dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi,
lamanya klien datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak,
serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8 prognosisnya 50%,
semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien
maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek
prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,
mengantuk, menarik diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang,
dan edema pupil.
c. Epidural hematoma (EDH)
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica
media (paling sering), vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria),
vena emmisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan
penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa
hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks patologis satu sisi,
adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH
sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH.
Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi
pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai
sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka
semakin baik prognosisnya klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan
untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak
hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran
area hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya
perdarahan volumenya lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang
dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikembangkan. Jika saat operasi tidak
didapatkan adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika
saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
4. Patofisiologi
a. Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah :
1) Lokasi dan arah dari penyebab benturan
2) Kecepatan kekuatan yang datang
3) Permukaan dari kekuatan yang menimpa
4) Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan
b. Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui dua
cara
1) Efek langsung ; trauma pada fungsi otak
2) Efek tidak langsung ; kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh
suatu benda atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan
otak. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi- deselarasi.
c. Derajat kerusakan dipengaruhi oleh kekuatan yang menimpa. Ada 2 macam
kekuatan yang dihasilkan :
1) Cidera setempat yang disebabkan oleh benda tajam, kerusakan neurologik
terjadi pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
2) Cidera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma tumpul dan
setelah kecelakaan.

Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Banyak
energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu : rambut, kulit kepala dan tengkorak.
Tetapi pada cidera berat penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi otak. Jika
kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, kerusakan tidak hanya
disebabkan oleh cidera setempat tetapi juga oleh akselerasi dan deselarasi.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras
bergerak, sehingga memaksa otak membantur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan benturan dan dampak yang terjadi adalah cedera jaringan
otak. Setiap kali jaringan mengalami cidera, akan terjadi perubahan isi cairan
intrasel dan ekstrasel. Penigkatan suplai darah ketempat dimana terjadi cidera
yang menimbulkan tekanan intracranial mengalami penigkatan sebagai akibat
cidera sirkulasi otak untuk mengatur volum darah ke otak yang mengalami
kemampuannya sehingga menyebabkan iskemia pada otak.

5. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, serangan (onset) tiba-tiba berupa defisit neuorologis,
perubahan tanda vital, ganguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cidera multi
sistem.
Klasifikasi cidera kepala berdasarkan mekanisme dan keparahan cidera :
a. Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater :
1) Trauma tumpul ; kecepatan tinggi (tabrakan)
2) Trauma tajam ; luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
3) Keparahan cidera :
b. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1) Skor skala coma Glasgow 13 15 (sadar penuh dan orientatif)
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita haematoma pada kulit kepala
6) Tidak ada criteria cedera sedang berat
c. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1) Skor skala coma Glasgow 9 12 (letargi)
2) Amnesia paska trauma
3) Muntah
4) Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea,
rinorea cairan serebrospinal)
5) Kejang
d. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1) Skor skala coma Glasgow 8 (coma)
2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3) Tanda neurologis vocal
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium.
6. Test Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
meliputi :
a. CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Digunakan sama dengan CT Scan dengan/tanpa kontras radio aktif.
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolisme otak
h. CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
k. Rontgen thorak 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa gas darah (AGD/astrup)
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status status respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam basa
n. Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa
protombin.
7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula
adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu
dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami
trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan
oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral
dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan
PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
kranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
a. Bedrest total
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c. Pemberian obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.

Pada trauma berat. Hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan


kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama ( 2 3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% selama 8 jam
pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada
hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui
nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai
urenitrogennya.
8. Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah peningkatan TIK, kehilangan sensori dan
motorik, kerusakan otak, dan disfungsi syaraf cranial. Tindakan operatif yang
dapat diberikan adalah kraniotomy atau trepanasi serta debridement.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Pemakaian alat pengaman/ pelindung diri pada saat bekerja.
Riwayat trauma.
Sakit kepala, kaku leher
b. Pola nutrisi metabolik
1) Mual, muntah, anoreksia
2) Gangguan menelan
3) Kehilangan penyerapan
4) Hipertermi
c. Pola eliminasi
1) Perubahan pola berkemih dan buang air besar (inkontinensia)
2) Bising usus negatif
3) Gangguan BAB (obstipasi)
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelemahan fisik
2) Gangguan tonus otot terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat
kesadaran
e. Pola tidur dan istirahat
1) Gelisah
2) Sulit tidur, sering terbangun
3) Cenderung tidur.
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
1) Perubahan status mental (orientasi, perhatian, emosi, tingkah laku,
memori).
2) Gangguan penglihatan
3) Kehilangan refleks tendon.
4) Kelemahan
5) Hilangnya rangsangan sensorik
6) Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
7) Penurunan kesadaran sampai dengan koma
8) Penurunan memori, pemecahan masalah
9) Kehilangan kemampuan masuknya rangsangan fisual
g. Pola persepsi dan konsep diri
1) Perasaan tidak berdaya dan putus asa.
2) Emosi labil dan kesulitan untuk mengekspresikan
h. Pola peran hubungan dengan sesama
1) Ketidakmampuan dalam berkomunikasi (kehilangan komunikasi verbal/
bicara pelo)
i. Pola reproduksi seksualitas
1) Tidak dapat melakukan hubungan seksual
2) Penyimpangan seksualitas
j. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
1) Perasaan tidak berdaya, putus asa
2) Emosi labil
3) Mudah tersinggung
k. Pola sistim kepercayaan
1) Kegiatan ibadah terganggu
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien cedera kepala sedang
menurut Doengoes Marilyn E (2000 : 273)
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak.
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
c. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori, tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
d. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan ketahanan, therapy pembatasan / kewaspadaan keamanan
(tirah baring).
e. Resiko infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasive.
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
3. Rencana Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak.
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral optimal secara bertahap setelah di lakukan
tindakan keperawatan dalam waktu 7 x 24 jam.
Sasaran :
- Kesadaran pasien compos mentis
- TTV dalam batas normal ( TD : 100-130/60-90mmHg, P:12-20x/mnt, N :
60-100x/mnt, S: 36C-37C).
- Pasien tampak rileks.

Intervensi :

1) Kaji keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam dan kesadaran klien
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum pasien sebagai standar dalam
menentukan intervensi yang tepat.
2) Kaji karakteristik nyeri (intensitas, lokasi, frekuensi dan faktor yang
mempengaruhi).
Rasional :Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.
3) Kaji capillary refill, GCS, warna dalam kelembapan kulit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
TIK.
4) Kaji tanda peningkatan TIK ( kaku kuduk, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran.
Rasional : Untuk mengetahui potensial peningkatan TIK.
5) Berikan klien posisi semifowler, kepala ditinggikan 30 derajat.
Rasional : Memberi rasa nyaman bagi klien
6) Anjurkan orang terdekat ( keluarga ) untuk bicara dengan klien walaupun
hanya lewat sentuhan.
Rasional : Ungkapan keluarga yang menyenangkan memberikan efek
menurunkan TIK dan efek relaksasi bagi klien.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi obat-obatan neurologis.
Rasional : Sebagai therapi terhadap kehilangan kesadaran akibat kerusakan
otak, kecelakaan lalu lintas dan operasi otak.
b. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cidera pada pusat pernapasan )
Tujuan : bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam.
Sasaran : pola nafas dalam batas normal dan irama teratur.
Intervensi :
1) Kaji keluhan TTV
Rasional : mengetahui keadaan umum dan standar untuk menentukan
intervensi selanjutnya.
2) Auskutasi bunyi nafas, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.
Rasional : perubahan dapat menandakan luasnya keterlibatan otak.
3) Berikan klien posisi yang nyaman; posisi semi fowler.
Rasional : memberikan kemudahan klien dalam bernafas dan Memberikan
rasa nyaman. Anjurkan klien untuk batuk efektif dalam melakukan nafas
dalam jika klien sadar
Rasional : mencegah/ menurunkan atelektasis.
4) Lakukan pengisapan slym dengan hati-hati.
Rasional : pengisapan slym pada trakeostomi lebih dalam dapat
menyebabkan hypoxia.
5) Lakukan clapping dan vibrasi pada klien terutama pada pada area
punggung.
Rasional : agar klien lebih rileks dan nyaman.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi bronkodilator dan
oksigen.
Rasional : bronkodilator sebagai pengencer dahak dan oksigen memberi
kemudahan klien dalam bernafas.
c. Perubahan pesepsi sensori yang berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori, transmisi (trauma/ deficit neurologist) ditandai oleh : disorientasi
waktu, tempat orang, perubahan repon terhadap rangsang.
Tujuan : Persepsi sensori dapat kembali optimal secara bertahap setelah
dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam.
Sasaran :
- Orientasi terhadap waktu, tempat, orang.
- Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi

Intervensi :

1) Evaluasi/ pantau secara teratur orientasi, kemampuan berbicara dan


sensorik.
Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh
adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat trauma
awal atau kadang-kadang.
2) Hilangkan suara bising/ stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/ bingung
yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
3) Bicara dengan suara lembut dan pelan, gunakan kalimat yang pendek dan
sederhana, pertahankan kontak mata.
Rasional : Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/ pemahaman
selama fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini membantu pasien
untuk memunculkan komunikasi.
4) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada gangguan.
Rasional : mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan
kesempatan untuk tidur.
5) Kolaborasi dengan ahli fisiotherapy..
Rasional : Pendekatan antara disiplin dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan
/ketidakmampuan secara individu yang unik dengan berfokus pada
peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan aktual.
d. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan kekuatan pertahanan, tetapi pembatasan/ kewaspadaan
(tirah baring).
Tujuan : Aktivitas terpenuhi setelah di lakukan tindakan keperawatan 324
jam.
Sasaran :Klien mampu melakukan aktivitas ringan seperti mandi sendiri
dikamar mandi, keluhan nyeri dikepala kurang.
Intervensi :
1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
yang terjadi.
Rasional : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan
mempengaruhi intervensi yang akan dilakukan.
2) Letakkan klien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.
Rasional : perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada
seluruh tubuh.
3) Bantu untuk melakukan rentang gerakan.
Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi
4) Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan.
Rasional : proses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai trauma
kepala, keterlibatan klien dalam perencanaan dan keberhasilan
5) Beri perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab
Rasional : meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit.
6) Kolaborasi dengan ahli fisiotherapi untuk program rehabilitasi sesuai
indikasi Rasional : membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk
kompensasi gangguan pada kemampuan pergerakan.
e. Resiko tinggi infeksi sekuder yang berhubungan dengan prosedur infasif.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan tindakan keperawatan 324 jam.
Sasaran :
- Tidak terdapat tanda infeksi (tumor, dolor, kalor, rubor dan fungsileisa).
- TTV dalam batas normal.
- Luka tampak bersih

Intervensi :

1) Kaji TTV, perhatikan peningkatan suhu.


Rasional : peningkatan suhu bagian dari tanda infeksi.
2) Kaji tanda-tanda infeksi (tumor kalor rubor, dolor, fungsileisa)
Rasional : untuk menentukan tindakan selanjutnya yang lebih tepat.
3) Lakukan tehnik perawatan luka secara steril 1x/hari
Rasional : mencegah infeksi lebih lanjut.
4) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan luka.
Rasional : mengurangi terjadinya kontaminasi silang.
5) Beri posisi miring kiri atau kanan sesuai kebutuhan.
Rasional : penekanan yang berlebihan pada area luka dapat mengiritasi
kulit.
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic
Rasional : antibiotic untuk mencegah infeksi
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
dalam waktu 324 jam.
Sasaran :
- Klien dapat menghabiskan 1 porsi makanan.
- Keluhan mual, muntah dan anorexia berkurang sampai hilang.
- Klien makan secara spontan.
- Berat badan meningkat.

Intervensi :

1) Observasi TTV dan keadaan umum klien.


Rasional : untuk mengetahui kesehatan actual klien
2) Kaji tugor kulit, mukosa mulut klien.
Rasional : untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan nutrisi.
3) Kaji keluhan mual, muntah dan napsu makan klien.
Rasional : untuk mengetahui berat ringannya keluhan, sebagai standar
dalam menentukan intervensi yang tepat.
4) Timbang berat badan klien jika memungkinkan.
Rasional : untuk menilai keadaan nutrisi klien.
5) Beri makan cair via NGT.
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
6) Catat jumlah/ porsi makanan yang dihabiskan klien.
Rasional : untuk mengetahui berapa banyak nutrisi yang masuk.
7) Beri makanan cair yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : makanan yang mudah ditelan dapat mengurangi kerja lambung.
8) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy parenteral, antiemetik.
Rasional : untuk mencukupi intake yang kurang dan mengurangi mual dan
muntah.
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian
kegiatan yang sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang
optimal. Sebelum melakukan rencana tindakan keperawatan, perawat hendaklah
menjelaskan tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien. Dalam
pelaksanaan, perawatan melakukan fungsinya sebagai independent, interdependent
dan dependent. Pada fungsi independent perawat melakukan tindakan atas dasar
inisiatif sendiri. Contohnya memberikan latihan pernapasan perut dalam posisi
duduk dan berbaring. Pada fungsi interdependent, perawat melakukan fungsi
kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya. Dan fungsi independent perawat
melakukan fungsi tambahan untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain
seperti pengobatan.
Di samping itu perawat harus memperhatikan keadaan umum dan respon
pasien selama pelaksanaan. Dan untuk melatih pasien agar mandiri, sebaiknya
dalam tahap pelaksanaan ini adalah sebagai berikut : persiapan, pelaksanaan dan
dokumentasi. Pada fase persiapan, perawat dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan. Selain itu perawat juga harus mampu menganalisa situasi dan kondiri
pasien baik fisik maupun mentalnya sehingga dalam merencanakan, memvalidasi
rencana serta dalam pelaksanaannya perawat akan terhindar dari kesalahan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang dapat digunakan
sebagai alat pengukur keberhasilan suatu rencana keperawatan yang telah dibuat.
Meskipun evaluasi dianggap sebagai tahap akhir dari proses keperawatan proses ini
tidak berhenti, yang telah terpecahkan dan masalah yang perlu dikaji ulang,
direncanakan kembali, dilaksanakan dan dievaluasikan kembali.
6. Discharge Planning
a. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien bukan
merupakan bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari benturan yang
dialami pasien.
b. Anjurkan pada keluarga, agar pada saat berbicara dengan pasien menggunakan
metode kembali ke realita
c. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang yang
ada di rumah khususnya kamar pasien.
d. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan
pemenuhan kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan, Jakarta : Salemba Medika

Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyn, E (2000) Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3, EGC, Jakarta

Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2002). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian
Mediapress

Mansjoer Arif M. ( 2000 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media


Aeusculapius.

Pearse Evelyn C, (2002), Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. PT Gramedia Jakarta.

Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2006). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga

Price, Sylvia A. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta:

You might also like