You are on page 1of 5

Nama : M Buyung Muslimin

NIM : 132011101103

RESUME JURNAL
Judul The Evolution of Radiation Therapy for Retinoblastoma: The
MD Anderson Cancer Center Experience
Ankit Agarwal, BA1; Nikhil G. Thaker, MD2; Bouchra Tawk,
MD3; Pamela K. Allen, PhD2; David R. Grosshans, MD, PhD2;
Cynthia E. Herzog, MD4; Daniel S. Gombos, MD5; and Anita
Mahajan, MD2
Pendahuluan Retinoblastoma (Rb) adalah penyakit keganasan yang sering
terjadi pada anak-anak. Terjadi sekitar 1 dari 18.000 anak setiap
tahunnya dan 300 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya di
amerika serikat sendiri. Secara kasar 60% tumor bersifat sporadik
dan 40% didapat dari keturunan yang disebabkan oleh germinal
mutasi RB1 tumor-suppressor gene. Pasien dengan mutasi
germinal RB1 muncul pada umur yang lebih muda, dan
mempunyai resiko lebih besar menjadi penyakit yang bilateral
serta beresiko lebih besar menjadi tumor maligna sekunder. Rb
sporadik biasanya terjadi unilateral dan terdiagnosis pada umur
yang lebih tua. Deteksi dini merupakan hal yang penting untuk
meningkatkan keselamatan dan pemeliharan fungsi okular.
Tujuan utama dari terapi retinoblastoma adalah untuk
mengeradikasi penyakit untuk menyelamatkan nyawa pasien,
menyelamatkan penglihatan semaksimal mungkin, dan
memperkecil efek akibat terapi yang terlambat seperti keganasan
sekunder. Pilihan terapi lokal pada Rb yaitu enukleasi, terapi
radiasi (TR), cryotherapy, dan terapi laser. External beam
radiation therapy (EBRT) merupakan salah satu terapi yang
menghasilkan kontrol tumor yang sangat bagus dan penyelamatn
penglihatan pasien yang bagus, namun penggunaanya sudah
dikurangi karena angka morbiditas yang terjadi. Penggunaan TR
saat ini hanya dibatasi untuk kasus Rb yang mengganggu refraksi
dan progresif setelah penggunaan kemoterapi.
Kemajuan dari teknologi terapi radiasi menghasilkan beberapa
pilihan radiasi terapi seperti proton radiation therapy (PRT),
electron radiation therapy (ERT), dan brachyotherapy (BRT).
Pada penelitian ini peneliti melakukan evaluasi dari outcome
klinis pada penggunaan ketiga terapi radiasi ini selama 22 tahun
terakhir.

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek dari


penggunaan PRT dan teknik RT lanjutan lainnya untuk
Retinoblastoma dan untuk mengobservasi perkembangan dari
penggunaan RT.

Metodologi Peneliti melakukan penelitian institusional secara analisis


retrospektif pada semua pasien Rb yang mendapat terapi radiasi
(RT) di MD Anderson Cancer Center pada April 1990 sampai
Desember 2012. Pasien dikelompokan berdasakan tipe terapi
radiasinya yaitu, PRT, ERT, dan BRT. Informasi demografik,
beban akibat penyakit, informasi penatalaksanaan dan outcome
data dikumpulkan untuk semua pasien yang teridentifikasi. Pasien
dibagai menurut sistem ICIR,ada atau tidaknya Rb yang bilateral,
dan muncul atau tidaknya penyakit ekstraokular. Terapi pasien
dibagi menjadi lini pertama,lini kedua, postoperatif dan terapi
salvage. Nilai outcome yang diteliti adalah enucletion-free
survival (EnFS), kontrol lokal 5 tahun, keselamatan hidup, dan
komplikasi lainnya yang berkaitan dengan toksisitas radiasi.
Keselmatan hidup dihitung dari akhir dari RT sampai kematian
akibat dari penyebab apapun atau tanggal follow up terakhir.
EnFS dihitung dari akhir terapi RT sampai tanggal pasien
menerima terapi enukliasi sampai tanggal follow up terakhir
pasien yang tidak melakukan enukleasi. Komplikasi
dikelompokan menjadi toksisitas akut dan jangka panjang.
Toksisitas jangka panjang termasuk katarak, retinopati,
perdarahan vitreous, hipoplasi orbita, strabismus, dan perubahan
dari kemampuan penglihatan.
Hasil Peneliti mengidentifikasi 39 pasien Rb yang dilakukan RT pada
tahun 1990 sampai 2012. Median umur saat terdiagnosis adalah
usia 11,4 bulan. Dari 39 pasien tersebut, 8 (20,5%) memiliki Rb
unilateral, 30 (76,9&) pasien bilateral, dam 1 (2.6%) pasien
memiliki trilateral Rb, dengan total 70 mata yang terkena. Dari 70
mata yang terkena Rb, 47 (67,1%) yang diterapi dengan RT. Dari
47 mata yang diterapi dengan RT, berdasarkan staging ICIR; tidak
ada satupun yang termasuk grup A; 8 (17.0%) termasuk grup B; 4
(8,5%) termasuk grup C; 20 (42,6%) termasuk grup D; 7 (14,9%)
termasuk grup E; 5 (10,6%)memiliki pemyakit ekstraokular; dan 3
(6,4%) tidak termasuk dalam staging ICIR. Dari 47 mata tersebut,
27 (57,4%) dilakukan ERT, 16 (34%) dilakukan PRT, dan 4
(8,5%) dilakukan BRT. Terapi radiasi sebagai terapi lini utama
pada 14 (29,8%) mata, lini kedua pada 4 (8,5%) mata, post
operatif pada 4 (8,5%0, dan terapi salvage pada 25 (53,2%)
Median durasi lamanya follow up adalah 8 tahun (rentang, 1
bulan-24 tahun). Median durasi lamanya follow-up ERT,PRT dan
BRT adalah 10,3, dan 5 tahun. Dari 39 pasien yang ditatalaksana
dengan RT, 38 (97,4%) yang hidup dari follow up terakhir. Enam
belas dari 47 mata membutuhkan enukleasi. Alasan dari
dibutuhkannya enukleasi adalah termasuk penyakit lokal seperti
perdarahan intraokuli, glaukoma, atau faktor lain yang
menyebabkan mata tidak dapat diperiksa. Berdasarkan pada tipe
RT, 8 dari 27 (29,6%) mata yang diterapi ERT membutuhkan
enukleasi, 6 dari 16 mata (37,5%) PRT butuh enukleasi, dan 1
dari 4 (25,0%) mata BRT butuh enukleasi. Toksisitas akut yang
terjadi dari RT seperti eritema kulit (n=33), hiperpigmentasi
(n=8), eritema konjungtiva (n=5) dan hilangnya bulu mata (n=4).
Toksisitas jangka panjang yang terjadi seperti katarak (n=15),
perubahan dalam kemampuan visual (n=4), katarak (n=15),
perdarahan vitreous (n=7), retinopati radiasi (n=5), strabismus
(n=3), beberapa toksisitas lainnya.
Pembahasan Pasien yang menggunakan PRT pada penelitian ini menunjukan
penyulit, refrakter, dan susasnya diterapi saat menggunakan PRT
pada terapi salvage. Meskipun dengan faktor resiko tersebut, hasil
dari penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan PRT
menunjukan tingkat penyelamatn dan EnFs yang sama dengan
ERT. Dalam penghitungan lainnya ERT dapat meningkatkan
tingkat penyelamatan mnejadi 40% pada Rb tingkat D, dimana
tingkat penyelamatan hanya 45% pada terapi kemoreduksi sendiri
saja. Dalam kelompok yang lebih besar, follow up setelah terapi
pada Rb, menunjukan angka terjadinya keganasan sekunder relatif
linear pada 50 tahun setelah terapi radiasi, dengan angka
kumulatif insiden terjadinya 38,2%. Keganasan sekunder
merupakan salah satu penyebab kematian pasien dengan Rb yang
didapat secara herediter, terhitung dengan angka mortalitas 26%.
PRT memiliki kemampuan lebih jauh untuk mereduksi resiko
terjadinya malignansi sekunder dengan membatasi daerah
terpapar radiasi dan dengan penggunaan dosis integral yang
rendah.

Kesimpulan Penelitian ini menunjukan profi efikasi dan toksisitas pada PRT
dan gambaran garis besar perannya sebagai terapi salvage.
Merujuk pada tren kedepan untuk kemoreduksi primer pada
pembahasan global, peran dari RT sudah berkembang dan pasien
yang diterapi dengan PRT sebagai terapi salvage menunjukan
cenderung lebih susah dan cenderung menyebabkan penyakit
yang lebih berat. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengembangkan teknik RT sendiri, dosis, perkiraan terjadinya
toksisitas untuk menjadi sumber paradigma terbaru sebagai
toleransi digunaknnya RT.

You might also like