You are on page 1of 11

J.

Teori General Anestesi


a. Definisi Anestesi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi
akibat induksi obat atau hilangnya rasa nyeri, hilang kesadaran. Obat anestesi umum
terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara
reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang
diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di
antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi
umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik,
senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin.
(Munaf, 2008).
Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra
anestesi dibagi menjadi 5 kategori, antara lain:
a. ASA 1 yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
b. ASA 2 yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akutdengan lekositosis dan
febris.
c. ASA 3 yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
d. ASA 4 yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
e. ASA 5 yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok
hemoragik karena ruptura hepatik.
f. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

Menurut Kee et al(1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering


dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
b. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam
dan antikolinergik (contoh,atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1
jam sebelum pembedahan
c. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)
d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
e. Pelemas otot jika diperlukan

2. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu
a. Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen
anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan
defekasi.
b. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang
tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
midriasis, hipertensi, dan takikardia.
c. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu
1) Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota
gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata
bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
2) Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
3) Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi.
d. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).

Tabel tahap anestesi


Tahap Nama Keterangan
I Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga
sebagai tahap induksi
II Eksitasi atau Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan
delirium korteks serebri.
Kekacauan mental, eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat
III Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap
ini
IV Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan
terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi.
Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal


Sifat anestesi umum yang ideal antara lain
a. bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,
b. cepat mencapai anestesi yang dalam,
c. batas keamanan lebar;
d. tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara
langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial
yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung
pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

4. Anestesi Cair yang Menguap


a. Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem
konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung
yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang
diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk
menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini
perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).
2) Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya
volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh
CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme
bronkus (Munaf, 2008).
3) Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan
intrakranial menurun (Munaf, 2008).
4) Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh
curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).
5) Hati
Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
6) Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus
obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).

Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di
hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian


potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak
ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya adalah depresi
miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh
katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).

Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya
menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).

Efek samping/Toksisitas
a) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai
resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi
dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji
fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan
isofluran dan etran (Munaf, 2008).
b) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh
secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara
umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang
merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf,
2008).
b. Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis,vasodilator arterial, dan sensitisasi
ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).
2) Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan
oleh bronkodilator (Munaf, 2008).
3) Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial
CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan
meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
4) Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).

Metabolisme
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida
mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan
secara klinis) (Munaf, 2008).

Keuntungan dan kerugian


Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular
stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran
napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas
kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat
disertai dengan gangguan patologik
intrakranial (Munaf, 2008).

c. Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan
curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi
miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal
oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan (Munaf,
2008).
2) Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi,
bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008).
3) Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah disebabkan
tekanan arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008).
4) Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral
menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).

Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu
ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian


Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan intrakranial
tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas
sedang (Munaf, 2008).

d. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat,
dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat.
Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk
pemeliharaan umum (Munaf, 2008)

Obat sevofluren
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung Darah Respirasi pada
katekolamin Hepar

Halotan +++

Enfluran +

Isofluran -- -- (stimulasi --
awal)
Sevofluran -- -- -- -- -- --
Nitrogen -- -- -- -- -- --
Oksida
5. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat
melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi
umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi,
penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al(1996).
Tabel Anestesi Intravena
Obat Waktu induksi Pertimbangan Pemakaian
Natrium tiopental Cepat Masa kerja singkat.
Dipakai untuk induksi
cepat pada anestesi umum.
Membuat pasien tetap
hangat, karena dapat terjadi
tremor. Dapat menekan
pusat pernapasan dan
mungkin diperlukan
bantuan ventilasi
Natrium Tiamilal Cepat Dipakai untuk induksi
anestesi dan anestesi untuk
terapi elektrosyok
Droperidol Sedang sampai
cepat Sering digunakan
bersama anaestesi
umum. Dapat juga dipaki
sebagai obat preanestetik
Ketamin Hidroklorida Cepat Dipakai untuk pembedahan
jangka singkat atau untuk
induksi
pembedahan. Obat ini
meningkatkan salivasi,
tekanan darah, dan denyut
jantung
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

6. Anestesi Gas
Tabel Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian
Nitrous oksida Sangat cepat Pemulihan cepat.
Mempunyai efek yang
minimal pada
kardiovaskular.
Harus diberikan bersama-
sama oksigen. Potensi
rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan
meledak. Jarang digunakan
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

7. Penggolongan Muscle Relaxant


Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang
mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya
kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan
durasi kerjanya, obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot
depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh ototnondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi
3grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat
berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot
membentuk blokade saraf-otot fase Idepolarisasi, blokade saraf-otot fase II
depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al.,2004).
a. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak
dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan
terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot
lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase
(Mangku, 2010).

1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)


Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level
pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal
dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen
pseudokolin esterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang
(Mangku, 2010).
2) Ciri Kelumpuhan
a) Ada fasikulasi otot.
b) Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c) Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis.
d) Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal maupun tetanik.
e) Belum diatasi dengan obat spesifik
b. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja (Latief, dkk, 2007). Farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh
otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi
ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat
perubahan distribusi dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek
atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok
saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti
dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya
anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibatpeningkatan ikatan
protein, dehidrasi atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi
kerjaobat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena (Lunn, 2004).
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan
menjadi:
1) Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
2) Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium,
rokuronium.
3) Eter-fenolik : gallamin
4) Nortoksiferin : alkuronium.

c. Obat Pelumpuh Otot


Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang,
sedang, dan pendek:lama kerja,
Dosis Dosis Durasi Efek Samping
Awal Rumatan (menit)
(mg/kg) (mg/kg)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 0.10 30 60 Hipotensi
0.60
2.Pankuronium 0.08 0.15 30 60 Vagolitik,takikardi
0.12 0.20
3.Metakurin 0.20 - 0.05 40 60 Hipotensi
0.40
4.Pipekuronium 0.05 0.01 40 60 Kardiovaskuler stabil
0.12 0.015
5.Doksakurium 0.02 0.005 45 60 Kardiovaskuler stabil
0.08 0.010
6.Alkurium 0.15 0.05 40 60 Vagolitik, takikardi
0.30
Non depol Intermediate
1.Gallamin 46 0.5 30 60 Hipotensi
2.Atrakurium 0.5 0.6 0.1 20 45 Aman untuk hepar
3.Vekuronium 0.1 0.2 0.015 25 45
0.02
4.Rokuronium 0.6 0.1 0.10 30 60
0.15
5.Cistacuronium 0.15 0.02 30 45
0.20
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang,
sedang, dan pendek:
Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi (menit) Efek Samping
(mg/kg) (mg/kg)
Non Depol Short Acting
1.Mivakurium 0.20 0.25 0.05 10 15
2.Ropacuronium 1.5 2.0 0.3 0.5 15 30
Depol Short Acting
Suksinilkolin 1 3 10
Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi
dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Ciri Kelumpuhan Otot Non Depolarisasi


a) Tidak ada fasikulasi otot.
b) Berpotensiasi dengan hipokalemia,hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter,halotan,
enfluran, isofluran)
c) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atautetanik.
d) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

You might also like