You are on page 1of 17

PLASENTA PREVIA

A. PENDAHULUAN

Perdarahan obstetrik merupakan penyebab utama dari kematian ibu didunia


dan mempunyai onset yang cepat sehingga perlu penanganan yang cepat dalam
melakukan resusitasi. Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester
ketiga dan yang terjadi setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah
perdarahan hebat, dan jika tidak mendapatkan penanganan yang cepat bisa
menimbulkan syok yang fatal. Oleh sebab itu, perlulah keadaan ini diantisipasi
secepat mungkin selagi perdarahan belum sampai ketahap yang membahayakan ibu
dan janinnya.1

Perdarahan antepartum didefinisikan sebagai perdarahan signifikan dari jalan


lahir yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu. Perdarahan antepartum digolongkan
sebagai berikut yaitu perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan yaitu
plasenta previa, solusio plasenta, pecahnya sinus marginalis dan vasa previa.
Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan yaitu pecahnya varices
vagina, perdarahan polip serviks, perdarahan perlukan seviks, perdarahan karena
keganasan serviks. Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada
kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan
plasenta seperti kelainan serviks biasanya tidak terlalu berbahaya. Plasenta previa
terjadi pada 0,5 % dari semua kehamilan dan bertanggung jawab terhadap 20 %
pendarahan antepartum. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus
selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.2,3

1
B. DEFENISI

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sehingga plasenta terletak diatas atau sangat dekat yang akan menutupi seluruh atau
sebagian dari ostium uteri internum .1,2,3

Sejalan dengan bertambah membesarnya rahim dan meluasnya segmen bawah


bawah rahim kearah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim ikut berpindah mengikuti perluasan segmen bawah rahim
seolah plasenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan
meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas permukaan serviks yang
tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi
plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun
masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena
itu pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal
maupun intranatal.2

Gambar 1.
Plasenta Previa

C. KLASIFIKASI :

Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik


melainkan fisiologik.2,3

2
1. Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum
2. Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum
3. Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum
4. Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2
cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2cm dianggap plasenta letak
normal.2,3

Gambar 1. Klasifikasi Plasenta Previa


Dikutip dari kepustakaan 2

D. EPIDEMIOLOGI
Plasenta previa terjadi pada 0,5 % dari semua kehamilan dan bertanggung
jawab terhadap 20 % pendarahan antepartum. Pada beberapa rumah sakit umum
pemerintah dilaporkan insiden plasenta previa berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%.

3
Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu kurang dari 1%, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh berkurangnya wanita hamil paritas tinggi. Dengan penggunaan
ultrasonografi dalam obstetrik, deteksi dini pada plasenta previa bisa lebih tinggi.2,4

E. FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian plasenta previa antara lain.

1. Operasi sesar sebelumnya. Pada wanitawanita yang pernah menjalani


operasi sesar sebelumnya, maka sekitar 1,3% wanita tersebut akan
mengalami plasenta previa. Resiko akan makin meningkat setelah
mengalami enam kali atau lebih operasi sesar dimana 3,4% wanita tersebut
akan mengalami plasenta previa.5,6
2. Kuretase. Wanita yang telah melakukan kuretase sebelumnya akan
meningkatkan resiko plasenta previa.5
3. Multiparitas. Plasenta previa pada wanita multipara tiga kali atau 5%
beresiko dibandingkan wanita primipara. Secara teori plasenta yang baru
berusaha mencari tempat selain bekas plasenta sebelumnya.4,5
4. Usia ibu hamil. Diantara wanita-wanita yang berusia kurang dari 19 tahun,
hanya 1 dari 1500 yang mengalami plasenta previa. Satu dari 100 wanita
yang berusia lebih dari 35 tahun 3 kali lebih berisiko akan mengalami
plasenta previa.5,6
5. Kebiasaan tidak sehat seperti merokok. Pada perempuan perokok dijumpai
insidensi plasenta previa lebih tinggi 2-3 kali lipat. Hal ini berkaitan
dengan adanya karbon monoksida yang menyebabkan hipertrofi dan akan
berhubungan dengan defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi
akibat perubahan atrofik dan inflamatorotik.5,6

F. ETIOLOGI

Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belum


diketahui secara pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di

4
daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain
mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang
tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses radang atau atrofi. Paritas tinggi,
usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar, kuretase, miomektomi, dan
sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium
yang semuanya dapat dipandang sebagai faktor resiko bagi terjadinya plasenta previa.
Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada
perempuan perokok dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi 2 kali lipat.
Hipoksemia akibat karbon mono-oksida hasil pembakaran rokok menyebabkan
plasenta menjadi hipertrofi sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang mengalami
hipertrofi akan mendekati atau menutupi ostium uteri internum. Plasenta yang terlalu
besar seperti pada kehamilan ganda dan eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan
pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh ostium uteri internum.2

G. PATOFISIOLOGI

Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trisemester ketiga dan
mungkin juga lebih awal oleh karena mulai terbentuknya segmen bawah rahim,
tampak plasenta akan mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tampak plasenta
terbentuk dari jaringan maternal yaitu bagian desidua basalis yang bertumbuh
menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi segmen bawah
rahim, maka plasenta yang berimplantasi di situ sedikit banyak akan mengalami
laserasi akibat pelepasan pada desidua pada tapak plasenta. Demikian pula pada
waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada bagian tapak
plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi akan terjadi perdarahan yang berasal dari
sirkulasi maternal yaitu dari ruang intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena
pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun
pasti kan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relative
dipermudah dan diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak

5
mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya minimal,
dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan sempurna.
Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada laserasi
mengenai sinus yang besar dari plasenta dimana perdarahan akan berlangsung lebih
banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu akan
berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian
perdarahan. Demikian perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless).
Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri (pain-less).2

Pada plasenta yang menutupi seluruh uteri internum perdarahan terjadi lebih
awal dalam kehamilan karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada
bagian terbawah yaitu ostium uteri internum. Sebaliknya pada plasenta previa
parsialis atau letak rendah perdarahan baru akan terjadi pada waktu mendekati atau
mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak
pada perdarahan berikutnya. Perdarahan yang pertama sudah bisa terjadi pada
kehamilan dibawah 30 minggu, tetapi lebih separuh kejadiannya pada kehamilan 34
minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak pada dekat dengan ostium
uteri internum, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak
membentuk hematom retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan
melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal. Dengan demikian sangat
jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.2

Plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim, tapi tidak menutupi
ostium uteri internum pada trimester kedua dan bahkan pada awal trimester ketiga,
sangat kecil kemungkinan menjadi plasenta previa pada saat aterm karena
kemungkinan akan terjadi pergeseran plasenta atau migrasi menjauh serviks..2,3

H. DIAGNOSIS

1. Gejala klinis

6
Kejadian paling khas pada plasenta previa adalah pendarahan tanpa disertai
nyeri, yang biasanya belum terjadi sampai menjelang akhir trimester kedua atau
sesudahnya. Biasanya pendarahan dari plasenta previa muncul tanpa gejala dan tanpa
menimbulkan nyeri pada wanita yang menjalani prenatalnya secara normal.
Untungnya, pendarahan awal tersebut jarang terjadi sangat hebat sehingga tidak
terbukti fatal. Pendarahan ini biasanya berhenti spontan, tetapi kemudian dapat
berulang. 3,4

2. Pemeriksaan luar

Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen
sering ditemui bagian terbawah janin biasanya masih tinggi diatas simfisis dengan
letak janin tidak dalam letak memanjang dan sering berada bagian tengah pinngir
panggul. 4,7

3. Pemeriksaan in spekulo

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari


ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina. Apabila perdarahan
berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai. Untuk
menegakkan diagnosis yang tepat tentang adanya dan jenis plasenta previa ialah
langsung meraba plasenta melalui kanalis servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini
sangat berbahaya dan tidak boleh dilakukan kecuali jika wanita bersangkutan sudah
berada diruang operasi dengan semua persiapan untuk sesar segera karena
pemeriksaan akan menyebabkan pendarahan. 3,6

7
Gambar 3 Tampak plasenta previa pada pemeriksaan inspekulo
Dikutip dari kepustakaan 6

4. Pemeriksaan Ultrasonografi
Metode paling sederhana, tepat, dan aman untuk menentukan lokasi plasenta
adalah dengan sonografi transabdomen, yang digunakan untuk mengetahui letak
plasenta secara cukup akurat. Oleh karena itu, pemindaian ultrasonografik pada
kasus yang tampak positif perlu diulang setelah kandung kemih dikosongkan.
Transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih yang penuh akan
memberi kepastian diagnosis plasenta previa dengan ketepatan tinggi sampai 96%-
98%. Walaupun lebih superior jarang diperlukan transvaginal ultrasonografi untuk
mendeteksi keadaan ostium uteri internum. Ditangan yang ahli dengan transvaginal
ultrasonografi dapat mencapai 98% positive predictive value dan 100% negatif
predictive value pada upaya diagnosis plasenta previa. Sebagian besar orang kini
sependapat bahwa pemeriksaan dengan pencitraan transvagina diindikasikan jika
pada pemeriksaan transabdomen plasenta letak rendah atau tampak menutupi os
serviks. Keuntungan dari transvagina ultrasonografi tidak perlu kandung kemih
penuh sehingga menghindari ketidaknyamanan pasien pada saat diperiksa, tetapi .
Kerugiannya pemeriksaan ini jika tidak hati-hati dan teliti, dapat memprovokasi
pendarahan akibat dari dimasukkannya probe kedalam vagina. Syarat probe harus
dimasukkan tidak lebih dari tiga sentimeter ke dalam vagina dan tidak harus
bersentuhan dengan serviks atau segmen bawah.2,3,6,8

5. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Sejumlah peneliti telah menggunakan pencitraan MRI untuk


memvisualisasikan kelainan plasenta termasuk plasenta previa. Tetapi pencitraan
tidak dapat menggantikan ultrasonografi untuk evaluasi rutin. MRI tidak cukup
praktis jika dibandingkan dengan USG, apalagi jika dalam keadaan mendesak dan
tidak tersedia di semua rumah sakit. MRI mungkin berguna untuk mendeteksi
plasenta akreta.2,4,7,8

8
Gambar 2 Transvaginal Ultrasonografi
Dikutip dari kepustakaan 6

Gambar 3 Transabdominal Ultrasonografi


Dikutip dari kepustakaan 6
I. PENATALAKSANAAN

Setiap perempuan hamil yang mengalami perdarahan pada trimester kedua


atau trimester ketiga harus dirawat di rumah sakit. Pasien diminta istirahat baring dan
dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien dan pemeriksaan darah lengkap
termasuk golongan darah dan factor Rh.. Jika kemudian ternyata perdarahan tidak
banyak dan berhenti serta janin dalam keadaan sehat dan janin masih premature,
dibolehkan pulang dan dilanjutkan dengan rawat rumah atau rawat jalan dengan
syarat telah mendapat konsultasi yang cukup dengan pihak keluarga agar dengan
segera kembali kerumah sakit bila terjadi perdarahan ulang, walaupun kelihatannya
tidak mencemaskan. Dalam keadaan yang stabil tidak keberatan pasien untuk di rawat
di rumah atau rawat jalan. 2,4

9
Pada kehamilan antara 24-34 minggu diberikan steroid dalam perawatan
antenatal untuk pematangan paru janin. Dengan rawat jalan pasien akan merasa lebih
tenang dan bebas serta hemat biaya rumah sakit. Disarankan rawat inap bila keadaan
menjadi lebih serius.2

Dalam kasus pendarahan hebat, diperlukan tindakan darurat untuk melahirkan


bayi dan plasenta tanpa perhitungan umur kehamilan janin. Jika pendarahan tidak
hebat dan usia kehamilan < 36 minggu dilakukan observasi, dan bila pada
amniosintesis menunjukkan paru janin telah matang, maka terminasi dapat dilakukan
dan jika perlu melalui seksio sesarea.2,4

Hampir semua kasus plasenta previa harus dilakukan sesar. Pada sebagian
besar kasus, dibuat insisi uterus transversal. Karena dapat terjadi perdarahan janin
akibat insisi pada plasenta anterior, kadang-kadang dianjurkan insisi vertikal pada
kasus-kasus ini. Akan tetapi meski insisi meluas mengenai plasenta, prognosis ibu
atau janin jarang terganggu. Karena sifat segmen bawah uterus yang kurang
kontraktil, mungkin terjadi perdarahan tak terkontrol setelah pengeluaran plasenta.
Jika plasenta previa tertanam sebelah anterior di bekas insisi sesar, terdapat
peningkataan risiko plasenta akreta dan risiko pendarahan hebat. Jika plasenta previa
mengalami penyulit terkadang perdarahan dari jaringan plasenta sulit diatasi dengan
cara-cara konservatif.

Pengobatan plasenta previa dapat dibagi dalam 2 golongan: 9,10

Terapi Espektatif

Tujuan terapi espektatif ialah supaya janin tidak terlahir prematur, penderita
dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servikalis. Upaya
diagnosis dilakukan secara non-invasif. Pemantauan klinis dilaksanakan secara ketat
dan baik. Syarat terapi ekspektatif antara lain kehamilan preterm dengan pendarahan
sedikit, belum ada tanda-tanda inpartu, keadaan ibu cukup baik, dan janin masih

10
hidup. Terapi espektatif meliputi rawat inap, tirah baring dan pemberian antibiotik
profilaksis, lakukan pemeriksaan USG untuk menentukan tempat implantasi plasenta,
berikan tokolitik bila ada kontraksi, berikan kortikosteroid untuk pematangan paru.9,10

Terapi aktif

Wanita hamil di atas 22 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif


(perdarahan > 500 cc dalam 30 menit) dan banyak harus segera ditatalaksana secara
aktif tanpa memandang maturitas janin. Untuk diagnosis plasenta previa dan
menentukan cara persalinan, setelah semua persyaratan dipenuhi, dapat dilakukan
pemeriksaan dalam jika: 9,10

- Infus / tranfusi telah terpasang, kamar dan tim operasi telah siap
- Kehamilan 37 minggu (BB 2500 gram) dan in partu
- Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor (misal: anensefali)
- Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati PAP (2/5 atau 3/5
pada palpasi luar)

Cara persalinan dengan plasenta previa adalah: 9,10


1. Seksio Sesarea (SC)

Prinsip utama dalam melakukan SC adalah untuk menyelamatkan ibu, sehingga


walaupun janin meninggal atau tak punya harapan hidup tindakan ini tetap
dilakukan. 9,10
Tujuan SC antara lain: 9,10
1. Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera berkontraksi
dan menghentikan perdarahan
2. Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada cervik uteri, jika
janin dilahirkan pervaginam
Tempat implantasi plasenta previa terdapat banyak vaskularisasi sehingga
cervik uteri dan segmen bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek. Selain itu,

11
bekas tempat implantasi placenta sering menjadi sumber perdarahan karena
adanya perbedaan vaskularisasi dan susunan serabut otot dengan korpus uteri.
Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu
Lakukan perawatan lanjut pascabedah termasuk pemantauan perdarahan,
infeksi, dan keseimbangan cairan dan elektrolit.

2. Melahirkan Pervaginam9,10

Perdarahan akan berhenti jika ada penekanan pada plasenta. Penekanan


tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Amniotomi dan akselerasi


Umumnya dilakukan pada placenta previa lateralis / marginalis dengan
pembukaan > 3cm serta presentasi kepala. Dengan memecah ketuban, placent
akan mengikuti segmen bawah rahim dan ditekan oleh kepala janin. Jika
kontraksi uterus belum ada atau masih lemah akselerasi dengan infus
oksitosin.9,10

Versi Braxton Hicks


Tujuan melakukan versi Braxton Hicks adalah mengadakan tamponade plasenta
dengan bokong (dan kaki) janin. Versi Braxton Hicks tidak dilakukan pada janin
yang masih hidup. 9,10

Traksi dengan Cunam Willet


Kulit kepala janin dijepit dengan Cunam Willet, kemudian diberi beban
secukupnya sampai perdarahan berhenti. Tindakan ini kurang efektif untuk menekan
plasenta dan seringkali menyebabkan perdarahan pada kulit kepala. Tindakan ini
biasanya dikerjakan pada janin yang telah meninggal dan perdarahan yang tidak
aktif.9,10

12
Plasenta Previa

Perdarahan tanpa nyeri Konsentrasi Hb

Rawat

Inspekulo

Perdarahan dinding vagina atau serviks Dari cavum uteri

Tentukan usia gestasi

Sedikit Intermiten <37 minggu >37 minggu

Tirah baring Banyak/aktif sedikit

Konfirmasi USG

Implantasi/migrasi Plasenta previa parsialis/totalis Plasenta marginalis

Espektatif Perdarahan ulang Seksio Induksi Akselerasi

Penilaian klinik plasenta previa.9,10

13
J. KOMPLIKASI

Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang
menderita plasenta previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan pendarahan yang
cukup banyak dan fatal.2

1. Karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan sifat
segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan
invasinya menorobos ke dalam miometrium bahkan sampai ke
perimetrium dan menjadi sebab dari kejadian plasenta inkreta bahkan
plasenta perkreta. Paling ringan adalah plasenta akreta yang
perlekatannya lebih kuat tetapi vilinya masih belum masuk ke dalam
miometrium. Walaupun tidak seluruh permukaan maternal plasenta
mengalami akreta atau inkreta akan tetapi dengan demikian terjadi
retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah terlepas timbullah
perdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada
uterus yang yang pernah seksio sesaria. Dilaporkan plasenta akreta terjadi
sampai 10%-35% pada pasien yang pernah seksio sesaria satu kali dan
naik menjadi 60%-65% bila telah seksio sesaria tiga kali.
2. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah
sangat potensial untuk robek disertai dengan perdarahan yang banyak.
Oleh karena itu harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual
ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada
segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan
tangan pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi
perdarahan banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih
sederhana seperti penjahitan segmen bawah rahim, ligasi a.uterina, ligasi
a.ovarika, pemasangan tampon atau ligasi a.hipogastrika maka pada
keadaan yang sangat gawat seperti ini jalan keluarnya adalah melakukan

14
histerektomi total. Morbiditas dari semua tindakan ini tentu merupakan
komplikasi tidak langsung dari plasenta previa.
3. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini
memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala
konsekuensinya.
4. Kehamilan prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan karena
tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam kehamilan
belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan
amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru-paru janin dan
pemberian kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin
sebagai upaya antisipasi.
5. Solusio plasenta
6. Pendarahan postpartum karena trofoblas menginvasi segmen bawah
rahimyang kurang didukung oleh jaringan vena.

K. PROGNOSIS

Prognosis ibu dan anak pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika
dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini berkat diagnosis yang lebih dini dan
penggunaaan USG, disamping ketersediaan transfusi darah dan infus cairan telah ada
di hampir semua rumah sakit kabupaten. Rawat inap yang lebih radikal ikut berperan
terutama bagi kasus yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea atau bertempat
tinggal jauh dari fasilitas yang diperlukan. Penurunan jumlah ibu hamil dengan
paritas tinggi dan usia tinggi berkat sosialisasi program keluarga berencana
menambah penurunan insiden plasenta previa. Dengan demikian banyak komplikasi
maternal dapat dihindarkan. Namun, nasib janin masih belum terlepas dari
komplikasi kelahiran prematur baik yang lahir spontan maupun karena intervensi
seksio sesarea. Karenanya kelahiran prematur belum sepenuhnya bisa dihindari
sekalipun tindakan konservatif diberlakukan. Pada satu penelitian yang melibatkan
93.000 persalinan oleh Crane dan kawan-kawan (1999) dilaporkan angka kelahiran

15
prematur 47%. Hubungan hambatan pertumbuhan janin dan kelainan bawaan dengan
plasenta previa belum terbukti.1,11

DAFTAR PUSTAKA

1. Magowan BA et al. Obstetric Haemorrhage.In: Clinical Obstetrics and


Gynaecology 2nd. Elsevier: 2009: p

2. Chalik, T.M.A. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Dalam


Saifudin, AB, Rachimhadhi, T dan Winkjosastro, GH. Ilmu Kebidanan. ed. 4.
Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009: p. 495-503

3. Leveno KJ. Penyulit Obstetrics Akibat Kehamilan. Williams Obstetrics. Edisi


21. Jakarta: EGC , 1997.
4. Jones, Llewellyn D. Pendarahan Antepartum. Dalam: Dasar-dasar Obstetri an
Ginekologi. Ed.6. Jakarta: Hipokrates, 2001. hal 109-112
5. Gabbe SG et al. Antepartum and Postpartum Hemorrage. In :Obstetrics
Normal and Problem Pregnancies. Elseiver: 2010
6. Pitkin J, et al. b. Obstetrics and Gynaecology. London: Elsevier Science,
2003.
7. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Antepartum Bleeding. Williams
Obstetrics. 23th ed. Norwalk: Appleton & Lange, 2000
8. Genofese F et al. 2012. Management and Delivery in Asymtomatic Complete
Placenta Previa. Obstetricians and Gynaecologists. Italy.

9. Saifuddin AB. Perdarahan Anterpartum. Dalam Buku Acuan Nasional


Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: 2002

16
10. Oppenheimer L, 2007b. Diagnosis and Management of Placenta Previa.
SOGC Clinical Practice Guideline. J Obstet Gynaecol Can 2007;29(3):261-
266
11. Oppenheimer, L et. al, 2005. Diagnosis and Management of Placenta Previa.
Society of Obstetricians and Gynaecologists. Canada.

17

You might also like